BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum waris Islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga Islam,
ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan
Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji
separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di
tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad pertengahan,
zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang.
Di negara kita Republik Indonesia ini, hukum waris yang berlaku
secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris
yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang
berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW). Hal ini
adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk
Hindia Belanda dahulu.
Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah
tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional
(seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 1 Tahun1974), yang sesuai
dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan
aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.
Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama
Islam. Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk
hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam
menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok
hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya
atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, kita
perlu mengetahui bagaimana perkembangan hukum kewarisan yang ada di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
perkembangan hukum kewarisan Islam yang ada di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Kewarisan
Dalam lapangan hukum perdata non-Islam, “Hukum Waris” didefinisikan
dengan kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena
wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh
si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya,
baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara
mereka dengan pihak ketiga.[1]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa “Hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing. Kedua definisi hukum waris/hukum kewarisan di atas
pada dasarnya telah cukup memadai.[2]
Dengan demikian untuk merumuskannya sebagai berikut: “Hukum waris
ialah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan
berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan waktu pembagian
harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan.
Dalam istilah fiqih Islam, kewarisan (al-mawarits kata
tunggalnya al-mirats) lazim juga disebut dengan fara’idh, jamak dari
kata faridhah. Kata faridhah diambil dari kata fardh
dengan makna ketentuan (takdir). “Al-fardh” dalam terminologi syar’i
ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris. Ilmu yang membahas perihal
kewarisan umum dikenal dengan sebutan ilmu kewarisan (‘ilmul-mirats/al-mawarits)
atau ilmu faraidh (‘ilm al-fara’idh).[3]
1.
Ahli
Waris
Berbicara tentang waris, di antara hal penting yang perlu dibahas
selain pewaris (al-muwarrits) dan harta peninggalan (tirkah/al-mauruts/al-mirats)
ialah ahli waris (al-warits). Sebab, seperti dikemukakan para ahli
hukum Islam, ada tiga unsur dalam kewarisan yaitu: ahli waris, tirkah (harta
peninggalan) si mayit dan pewaris. Pewaris ialah setiap orang yang meninggal
dengan meninggalkan harta kekayaan, sedangkan ahli waris ialah orang yang
bernisbah (memiliki akses hubungan) kepada si mayit karena ada salah satu dari
beberapa sebab yang menimbulkan kewarisan.[4]
Tentang ahli waris, siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagian masing-masing diatur dalam al-Qur’an tepatnya surat An-Nisa :
11,12, dan 176 dan beberapa hadist Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan ayat-ayat dan
hadis-hadis yang ada, para ulama biasa mengelompokkan ahli waris kedalam kedua
kelompok besar yaitu:
a.
Kelompok
ashhabul furudh
Ashhabul furudh
ialah ahli waris yang secara pasti mendapatkan bagian tertentu dari harta waris
yang ditinggalkan si mayit. Mereka adalah 4 orang dari kalangan laki-laki, dan
8 orang dari kalangan perempuan. Empat orang dari kalangan laki-laki adalah
ayah, kakek dan terus ke atas, saudara seibu, suami. Sedangkan 8 orang dari
kalangan perempuan mereka adalah: ibu, nenek terus ke atas, anak perempuan,
anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), saudara kandung perempuan,
saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri.
b.
Kelompok
asabah
Yang dimaksud asabah ialah kelompok ahli waris yang berhubungan
langsung dengan si mayit, yaitu setiap laki-laki yang antara dia dengan si
mayit dalam silsilah nasabahnya tidak pernah terselang dengan ahli waris
perempuan. Misalnya anak laki-laki si mayit dan ayahnya (kakek), anak laki-laki
dari anak laki-laki si mayit, dan saudara kandung laki-laki atau saudara
laki-laki se ayah, dan begitulah seterusnya. Hanya saja, terdapat perbedaan
pandangan di kalangan para ahli hukum Islam mengenai pembahasan lebih lanjut
tentang asabah ini, misalnya ashabah binafsihi, ashabah bighairihi, dan ashabah
ma’a ghairihi sebagaimana dapat dipelajari dalam berbagai kitab fikih,
khususnya fiqih mawaris.[5]
Dalam banyak hal, terdapat sejumlah persamaan antara ahli waris
dalam sistem hukum Islam dengan ahli waris dalam sistem hukum Barat. Namun
dalam beberapa hal, terdapat perbedaan antara keduanya. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, dikenal dua macam ahli waris, yaitu:
1)
Ahli
waris secara langsung
Ahli waris langsung ialah waris yang mewarisi berdasarkan kedudukan
sendiri (uit eigen hoofde), misalnya jika ayah meninggal dunia, maka
sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris. Tentang ahli waris langsung,
KUH Perdata menggolongkannya ke dalam empat golongan sebagai berikut:
a)
Golongan
pertama, yaitu sekalian anak-anak berserta keturunannya dalam garis
lenceng ke bawah.
b)
Golongan
kedua, orang tua dan saudara pewaris, pada asasnya bagian orang tua
disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris, tetapi ada jaminan di mana
bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat harta peninggalan.
c)
Golongan
ketiga, dalam hal tidak terdapat ahli waris golongan pertama dan kedua,
harta peninggalan harus dibagi dua (kloving), setengah bagian untuk
kakek-nenek pihak ayah, dan separuh bagian lainnya untuk kakek-nenek dari pihak
ibu (perhatikan pasal 853 dan pasal 854 KUH Perdata)
d)
Golongan
keempat, sanak keluarga si pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat
keenam.[6]
2)
Ahli
waris tidak langsung
Yaitu
ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsver vulling), misalnya A
meninggal dunia dengan meninggalkan anak B dan C. B telah meninggal terlebih
dahulu dari A (pewaris). B mempunya anak D dan E. Maka, D dan E inilah yang
tampil sebagai ahli waris A menggantikan B (cucu mewarisi dari kakek/nenek).
Dari uraian di atas dapatlah dipahami bahwa dalam banyak hal,
terdapat persamaan antara hukum waris Islam dengan hukum waris Barat. Persamaan
terutama terletak pada ahli waris tertentu yang harus mendapatkan bagian
terutama anak, orang tua (ibu dan ayah) serta suami dan istri, pembagian mereka
tidak selamanya sama antara yang diatur dalam hukum waris Islam dengan yang
diatur dalam hukum waris Barat.
Adapaun perbedaannya terutama terletak pada kemungkinan waris
didasarkan pada wasiat. Berlainan dengan hukum Barat yang memungkinkan
pemberian warisan melalui wasiat, hukum Islam pada dasarnya tidak mengenal
pembagian warisan atas dasar wasiat. Maksudnya, hukum Islam tidak mengatur
tentang pembagian warisan yang didasarkan atas wasiat si mati. Bagaimanapun
wasiat berbeda dengan waris meskipun keduanya terdapat hubungan yang erat.
Perbedaan lain terdapat pada keberadaan posisi ahli waris pengganti
(plaats vervulling). Berlainan dengan hukum perdata Barat yang tegas-tegas
mengakui keberadaan ahli waris pengganti, hukum waris Islam pada dasarnya tidak
secara eksplisit mengakui keberadaan ahli waris pengganti. Perihal kemungkinan
ada ahli waris pengganti, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengaturnya demikian:
1)
Ahli
waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2)
Bagian
ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang digantikan.[7]
B.
Perkembangan
Hukum Kewarisan Di Indonesia Perspektif Hukum Islam, Hukum Adat, dan B.W.
Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah hukum waris yang
bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadis, hukum yang berlaku universal di bumi
manapun di dunia ini. Namun, jika ada beberapa perbedaan paham di kalangan
ulama mazhab dengan tidak mengurangi ketaatan umat Islam kepada ketentuan Allah
dan Rasul-Nya, maka perbedaan pendapat tersebut dibolehkan dan dapat dipandang
sebagai rahmat.
Mengenal hukum waris dalam sejarah bangsa Arab sebelum datangnya
Islam, mewarisi menjadi bagian yang amat penting dalam memahami hukum
waris-mewarisi dalam Islam. Mengetahui waris-mewarisi tersebut, seseorang dapat
menggunakan filsafat hukum disertai alasan-alasan yang sosiologis, mengapa
kemudian Islam mengatur hukum pembagian warisan sedemikian rupa. Perbandingan
ini bukan hanya memberikan pemahaman yang baik terhadap konsep hukum waris
dalam Islam, tetapi juga akan menyelamatkan seseorang agar dengan tidak dengan
mudahnya menuduh Islam sebagai agama yang tidak memerhatikan keadilan dalam hal
waris mewarisi.
Sebelum datangnya agama Islam, istri ataupun anak perempuan
bukanlah dipandang sebagai orang-orang yang memiliki hak waris. Sebaliknya
mereka dianggap sebagai harta warisan, dan oeh karena itu boleh diwariskan.
Wahyu Al-Qur’an kemudian diturunkan dalam hal waris mewaris sebagai perbaikan
terhadap keadaan-keadaan sebelumnya di mana pada masa itu wanita merupakan
kekayaan, begitu juga laki-laki yang tidak mampu ke medan perang untuk
bertempur juga dianggap vukan sebagai orang-orang yang berhak mewaris.
Munculnya Islam dengan peraturan baru tentang hukum waris untuk perempuan dan
anak-anak kecil telah memberikan perubahan yang sangat signifikan bagi status
kaum perempuan dan anak-anak.[8]
Dalam kasus Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu sistem
hukum di Indonesia selain sistem hukum yang lain: hukum adat dan hukum barat.
Namun perlu digarisbawahi bahwa hukum Islam telah berlaku di Indonesia sejak Islam
datang ke Indonesia sekitar abad VII-VIII M, yakni sejak raja-raja Islam dan
para sultan memerintah kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan Islam yang
di dalamnya juga memberlakukan hukum Islam.[9]
Hukum kewarisan dalam Islam biasa juga diatur dalam ilimu faraidh
atau ilmu tentang waris mewarisi. Ilmu ini berkaitan dengan peraturan untuk
membagi pusaka dan peraturan-peraturan perhitungan untuk mengetahui ketentuan
bagian pusaka bagi yang berhak menerimanya, agar seseorang tidak terjadi
mengambil hak orang lain dengan jalan tidak halal. Menurut hukum Islam hal ini
disebabkan jika seseorang meninggal dunia, maka dengan sendirinya pusaka yang
ditinggalkannya terlepas dari hak miliknya berpindah menjadi hak orang-orang
yang menjadi ahli waris.
Dalam praktiknya, sebelum pusaka itu dibagi, ia menjadi hak dan
milik di antara ahli waris menurut kadar bagiannya. Terkadang di antara waris
mewarisi tersebut terdapat hak-hak anak yatim. Maka dengan melakukan pembagian
pusaka menurut ilmu faraidh, akan selamatlah orang dari mengambil atau
memakan hak milik orang lain. Sebagaimana arti kata faraidh, yaitu:
bagian yang telah ditetapkan.[10]
Dengan lahirnya Islam muncullah pembaharuan dan perbaikan sosial
bagi persamaan hak di berbagai bidang, atau dapat disebut juga munculnya aturan
hidup baru dibandingkan dengan aturan hidup lama sebelum datangnya Islam,
termasuk juga hukum waris karena peraturan yang terkandung dalam hukum Islam
meliputi berbagai bidang kehidupan seperti ibadah, keluarga, warisan, hak milik
dan hukum negara. Secara keseluruhan sumber hukum Islam ini mengambil
kewibawaannya bukanlah dari sumber negara tetapi dari sumber kewibawaan negara.[11]
Namun demikian, datangnya Islam dengan hukum Islam yang khusus
tidak serta merta menghilangkan hukum adat. Jadi, hukum Islam merupakan hukum yang
cukup adaptif dengan hukum adat. Pada kenyataannya hukum adat sering kali
diterima sebagai hukum yang sah selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Hak waris bagi wanita maupun laki-laki, kemudian diatur dalam berbagai ayat
seperti dalam Surat an-Nisa’, ayat 7, 11, 12, 176, Surat al-Baqarah ayat 180,
233, dsb. Yang mengatur tentang hak-hak seorang dalam pewarisan. Sebagai surat
pertama tentang hak pewarisan ayat ini merupakan perbaikan, khususnya bagi
wanita termasuk anak perempuan, istri, dan ibu.[12]
Ayat di atas menjadi semacam pendahuluan bagi ketentuan warisan dan
hak-hak setiap orang. Ayat ini memerintahkan bahwa bagi laki-laki dewasa atau
anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua dan kerabat, ada hak berupa bagian
tertentu yang akan diatur oleh Allah SWT setelah turunnya ketentuan umum ini
dari harta peninggalanibu-bapak dan kaum kerabat.[13]
Ketentuan ini mejadikan suatu perubahan besar bagi sistem pewarisan masyarakat
Arab ketika itu yang tidak menghargai kaum perempuan dan anak-anak kecil.
Adapun sebab turunnya ayat ini adalah karena masyarakat Arab
Jahiliyah tidak memberikan warisan kepada anak perempuan dan anak laki-laki
yang masih kecil.[14]
Mereka hanya memberikan warisan kepada anak-anak laki-laki yang sudah dewasa,
lalu turunlah QS. An-Nisa’ (4) ayat 11-12
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& (
Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4
bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? (
bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4
Ïm÷uqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4
bÎ*sù óO©9 `ä3t ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4
bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4
.`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy 3
öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur w tbrâôs? öNßgr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4
ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3
¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÊÊÈ * öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur 4
bÎ*sù tb$2 Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts? 4
.`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur úüϹqã !$ygÎ/ ÷rr& &úøïy 4
Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6t öNä3©9 Ós9ur 4
bÎ*sù tb$2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4
.`ÏiB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur cqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïy 3
bÎ)ur c%x. ×@ã_u ß^uqã »'s#»n=2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4
bÎ*sù (#þqçR%2 usYò2r& `ÏB y7Ï9ºs ôMßgsù âä!%2uà° Îû Ï]è=W9$# 4
.`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy uöxî 9h!$ÒãB 4
Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3
ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÎ=ym ÇÊËÈ
11.
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu
: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.
Kedua ayat di atas merupakan pendahuluan tentang ketentuan memberi
kepada setiap pemilik hak-hak sah mereka, juga menegaskan bahwa ada hak buat
laki-laki dan perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu, bapak, dan
kerabat yang akan diatur oleh Allah. Kedua ayat tersebut kemudian memerinci
ketetapan-ketetapan mengenai ahli waris dan bagiannya, yaitu bagian anak
seorang anak laki-laki dan anak kamu, kalau bersamanya ada anak-anak perempuan
dan tidak ada halangan yang ditetapkan agama baginya untuk memperoleh warisan,
misalnya membunuh pewaris atau berbeda agama dengannya, maka dia berhak
memperoleh warisan yang kadarnya sama dengan dua anak perempuan.[15]
Pemilihan kata dzakar untuk anak laki-laki dan bukan rajul
yang berarti laki-laki adalah untuk menegaskan bahwa usia tidak menjadi
faktor penghalang bagi penerimaan warisan, karena kata dzakar dari segi
bahasa berarti jantan, lelaki baik kecil atau besar, binatang maupun manusia.
Sedang kata rajul atau pria dewasa juga demikian.[16]
Penetapan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban
laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar mas kawin dan
memberi nafkah.
Oleh karena itu, ketentuan hukum waris Islam hendaknya tidak berakibat
madharat kepada ahli waris. Beberapa tindakan yang tidak dibolehkan dan
dianggap bertentangan dengan syariat adalah:
1.
Mewasiatkan
lebih dari sepertiga harta pusaka.
2.
Berwasiat
dengan maksud mangurangi harta warisan, sekalipun kurang dari sepertiga, dianggap
sebagai hal yang memberi mudharat dan tidak diperbolehkan.
Penegasan
tentang wasiat dan utang ini diulangi lagi pada ayat 12 yang akan datang ketika
berbicara tentang warisan suami dari istri agar tidak timbul kesan bahwa hanya
suami yang boleh berwasiat. Namun demikian, wasiat tersebut tidak boleh kepada
ahli waris dan tidak boleh lebih dari sepertiga. Alasan mengapa penyebutan
wasiat didahulukan atas penyebutan utang tetapi dalam pelaksanaannya hutang
didahulukan adalah karena untuk menunjukkan betapa pentingnya wasiat dan untuk
mengingatkan para waris agar memerhatikannya. Tidak mustahil mereka mengabaikan
wasiat atau menyembunyikannya, berbeda dengan utang yang sulit untuk
disembunyikan karena pasti yang memberi utang akan menuntut. Adapun wasiat haruslah
disebutkan dengan jelas dan tidak boleh melebihi sepertiga. Artinya sepertiga
itu, merupakan bagian yang maksimal.[17]
Dilihat dari
segi asbab al-nuzul ayat 11 dan 12 ini adalah sebagai berikut: Jabir berkata,
Rasulullah dan Abu Bakar menemuiku di wilayah Bani Salamah dengan berjalan
kaki. Beliau mendapatiku dalam keadaan tidak sadarkan diri. Beliau meminta air
lalu memercikan air itu kepadaku. Tak lama kemudian aku pun tersadar diri. Lalu
aku bertanya, apa yang harus aku perbuat dengan hartaku ini. Kemudian ayat ini
turun.[18]
Berkenaan
dengan ayat-ayat tentang waris yang turun tersebut, maka para Ulama Mujtahid
mengomentari hal tersebut. Sebab-sebab yang menjadikan seseorang berhak
mendapat warisan itu ada tiga: nikah, nasab, dan wala’. Adapun tentang nikah
dan nasab maka hal itu secara jelas diterangkan dalam Al-Qur’an, demikian Imam
Syafi’i mengatakan.
Abu Hanifah
mengatakan: Seseorang bisa mendepatkan warisan lebih dari hanya alasan itu.
Bisa karena sumpah dan kesepakatan perjanjian dan karena adanya kesamaan dalam
pandangan. Yang menjadi inti masalah dalam mazhab adalah bahwa mirats
(warisan) dalam pandangan kami (Syaikh Barudi) dapat diperoleh melalui empat
hal, yaitu nikah, nasab, wala’, dan Islam. Yang kami maksud dengan Islam
adalah bahwa bantuan dari Baitul Mal dalam pandangan kami termasuk warisan,
tetapi menurut Abu Hanifah ia bukan warisan.[19]
Pandangan
Syaikh Barudi ini dapat dikatakan sebagai ijtihad untuk masa kini. Namun
pandangan ini tidaklah mengikuti mayoritas Jumhur dan tidak populer. Mengomentari
tentang turunnya ayat 11 dan 12 surat (4) tersebut di atas Sayyid Qutub seorang
aktivis Islam dari Mesir mengatakan bahwa di masa jahiliyah, pada umumnya
mereka tidak memberikan warisan kepada anak-anak perempuan dan anak-anak kecil,
kecuali hanya sedikit di antara mereka. Karena mereka anak-anak perempuan dan
anak-anak kecil, dianggap tidak bisa menunggang kuda dan tidak mampu melindungi
dari serangan lawan.[20]
Ketentuan
Al-Qur’an untuk kemudian memeberikan bagian waris untuk anak perempuan dan anak
laki-laki yang belum dewasa sesuai dengan prinsip Islam untuk saling menunjang
antara satu keluarga dan persaudaraan universal.[21]
Jadi adalah sebuah keadilan jika ia mewarisinya, kalau pewaris memang
meninggalkan harta benda dan ahli waris sesuai dengan tingkat kekerabatan dan
tanggung jawab yang dimilikinya. Kasus pewarisan ini jelas menunjukan bahwa
Islam adalah sistem yang lengkap dan sempurna dan memiliki sisi harmoni yang
kuat. Sisi kelengkapan dan keakuratannya tampak jelas pada setiap pembagian hak
dan kewajiban. Inilah prinsip kwarisan Islam secara umum.[22]
Firman Allah
selanjutnya tentang kalalah yang terdapat dalam QS. An-Nisaa’ ayat 176 yang
berbunyi:
y7tRqçFøÿtGó¡o È@è% ª!$# öNà6ÏFøÿã Îû Ï's#»n=s3ø9$# 4
ÈbÎ) (#îtâöD$# y7n=yd }§øs9 ¼çms9 Ó$s!ur ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts? 4
uqèdur !$ygèOÌt bÎ) öN©9 `ä3t $ol°; Ó$s!ur 4
bÎ*sù $tFtR%x. Èû÷ütFuZøO$# $yJßgn=sù Èb$sVè=V9$# $®ÿÊE x8ts? 4
bÎ)ur (#þqçR%x. Zouq÷zÎ) Zw%y`Íh [ä!$|¡ÎSur Ìx.©%#Î=sù ã@÷WÏB Åeáym Èû÷üus[RW{$# 3
ßûÎiüt6ã ª!$# öNà6s9 br& (#q=ÅÒs? 3
ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7OÎ=tæ ÇÊÐÏÈ
176.
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ketentuan hukum
waris dalam Islam kemudian terdapat pula QS. Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. (
ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$# 4
n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4
w ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4
w §!$Òè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ wur ×qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4
n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºs 3
÷bÎ*sù #y#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã 3
÷bÎ)ur öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3
(#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
233.
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Kedua ayat di
atas boleh dikatakan merupakan perbaikan nasib bagi perempuan setelah datangnya
Islam, khususnya dalam bidang hukum kewarisan, yang mana kaum perempuan
ditetapkan oleh Allah sebagai pihak yang berhak menerima warisan. Dalam
ayat-ayat lainnya pengaturannya semakin jelas, orangtua, dan sebagainya sebagai
ahli waris yang dapat saling mewarisi.
Waris Islam
merupakan suatu hukum yang memberikan aturan dalam hal pembagian, misalnya ½,
¼, 1/8, 2/3, 1/3, atau 1/6.[23]
Secara ringkasnya hukum waris Islam mencakup hal-hal ahli waris dari pihak
laki-laki yang terdiri dari sepuluh macam, yaitu: anak,cucu, ayah, kakek,
saudara laki-laki baik dari yang seibu seayah ataupun yang seayah dan yang
seibu saja, juga anak saudara laki-laki selain dari saudara laki-laki seibu,
kemudian paman dan anaknya kecuali paman dari pihak ibu, lalu suami dan orang
laki-laki yang mempunyai hak wala’. Selain itu juga membahas yang tidak
memiliki ahli waris.[24]
Lalu permasalahan dzawul arham yang sebelas yang berhak menerima waris
yaitu anak laki-laki dari anak perempuan, anak dari saudara perempuan, anak
perempuan darisaudara laki-laki, anak perempuan dari paman, paman yang seibu
dengan ayah, paman dari pihak ibu, bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah,
kakek dari pihak ibu, ibu kakek dari pihak ibu, dan anak saudara lelaki yang
seibu.
Selanjutnya,
secara terperinci diatur pula pembagian ahli waris yang terdiri dari: ahli
waris yang mendapat bagian dua pertiga, yaitu: dua orang anak perempuan atau
lebih atau dua orang anak perempuan anak laki-laki atau dua orang saudara
perempuan seibu seayah dan dua orang saudara perempuan seayah. Anak perempuan,
anak perempuan anak laki-laki, saudara perempuan seibu seayah atau saudara
perempuan seayah di-ashabah-kan oleh saudara laki-laki, masing-masing sama
derajat dan urutan nasabnya dengan mayat. Adapun ahli waris yang mendapat
bagian seperdua adalah lima orang, yaitu (anak perempuan, anak perempuan dari
anak laki-laki, saudara perempuan seibu seayah, dan saudara perempuan seayah)
manakala mereka sendirian, tanpa saudara laki-laki dan orang yang
meng-ashabah-kannya dan juga bagian bagi suami yang istrinya tidak mempunyai
keturunan yang mewaris, baik laki-laki maupun perempuan.
Bagian
selanjutnya adalah yang mendapatkan seperempat yang terdiri dari bagian suami
yang disertai dengan anak keturunan istrinya. Seperempat ini merupakan bagian
bagi istrinya baik seorang ataupun lebih dari satu orang bila tanpa keturunan
dari pihak suaminya. Kemudian ahli waris yang mendapat bagian seperdelapan
yaitu bagian istri yang apabila suaminya meninggal dunia meninggalkan anak.
Selanjutnya ahli waris yang mendapat bagian sepertiga yaitu ibu dari si mayat
yang tidak punya keturunan yang dapat mewarisi dan tidak punya sejumlah dua
orang saudara hingga lebih, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan.
Kemudian adalah
ahli waris yang mendapat bagian seperenam yaitu tujuh orang, ayah, dan kakek
yang mayatnya mempunyai keturunan yang mewaris ibu bila mayat mempunyai anak keturunan
yang mewaris atau sejumlah saudara laki-laki dan perempuan sebanyak dua orang
hingga lebih. Juga bagian dari nenek, yaitu ibunya ayah dan ibunya ibu hingga
ke atas, tanpa memandang apakah dia bersama dengan adanya ibu saudara seibu
atau tidak (bagian nenek tetap seperenam).
Ahli waris yang
mendapat ashabah ialah anak laki-laki, lalu anak laki-laki dari anak laki-laki
terus kebawah. Kemudian ayah dan kekek hingga terus ke atas, lalu saudara
laki-laki seibu seayah dan saudara laki-laki seayah, begitu pula anak keduanya.
Lalu paman yang seibu seayah dan paman yang seayah, begitu pula anak keduanya.
kemudian ayah dan anak-anaknya, lalu paman kakek dan anak-anaknya dan
seterusnya.[25]
Waris adat
diwarnai oleh sistem kekeluargaan dalam masyarakat, sistem tersebut dibedakan
sebagai berikut:
1.
Sistem
Patrilineal, yaitu sistem
kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di
dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris
sangat menonjol, contohnya pada masyarakat batak. Yang menjadi ahli waris hanya
anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara “kawin jujur”
yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak
merupakan ahli waris orangtuanya yang meninggal dunia.
2.
Sistem
Matrilineal, yaitu sistem
kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di
dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk
ank-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena
anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih
merupakan anggota keluarganya sendiri, contohnya sistem ini terdapat pada
masyarakat Minangkabau yang sudah merantau ke luar tanah aslinya, kondisi
tersebut sudah banyak berubah.
3.
Sistem
Parental atu Bilateral,
uaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayh
maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan anak
perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya baik anak laki-laki
maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua
mereka.[26]
Hukum Perdata
B.W tidak mengenal waris-mewaris, Pasal 875 mengatur tentang “surat wasiat”.
Pemilik harta sebelum meninggal telah mempersiapkan akan diapakan hartanya bila
ia meninggal, peruntukan tersebut dimuat di dalam surat wasiat (testament);
bunyi pasal tersebut sebagai berikut: “Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testament
ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya
akan terjadi setelah ia meninggal dunia, yang olehnya dapat dicabut kembali
lagi”.
Dalam teori
ilmu sosial, keadaan ini dapat dipahami sebagai struktur sosial mulai dari
pembentukan sebuah keluarga, yakni masyarakat terkecil dimulai dari rumah
tangga, yang terdiri dari: suami, istri, dan anak-anak. Perdata B.W. memandang
ikatan perkawinan sebatas kontrak pribadi, sangat bertolak belakang dengan di
Indonesia.[27]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum
Islam khususnya hukum keluarganya termasuk hukum warisnya telah lama dikenal
dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai
konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, hukum
Islam tersebut hendaknya dijadikan sumber yang utama untuk pembentukan hukum
nasional (mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran
hukum agamanya), di samping hukum-hukum lain yang hidup di negara Indonesia.
Hukum
waris ialah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan
berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan waktu pembagian
harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dirumuskan pokok-pokok pikiran sebagai berikut: pertama,
hukum kewarisan Islam sudah berlaku sejak zaman prapenjajahan bersamaan dengan
masa kesultanan Islam yang memberlakukan hukum Islam; kedua, ketentuan
waris menurut hukum barat dan hukum adat baru muncul setelah Snouck Hurgronje
dan Van Vollenhoven melakukan sanggahan terhadap teori receptie in complexue
dari van den Berg; dan ketiga, pola pembagian waris dalam hukum Islam
diatur menurut ketentuan Al-Qur’an dan Hadis dengan istilah ahli waris (furudl
al-muqaddarah), sedangkan setelah diberlakukan hukum adat dan hukum barat
berkembang menjadi tiga pola, yaitu patrilineal, matrilineal,
parental/bilateral.
DAFTAR
PUSTAKA
al Barudi, Syaikh Imad Zaki. Tafsir
al Qur’an al Ashim li an Nisa’, terj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka al
Kautsar, 2007.
al-Fanani, Zainuddin bin Abdul Aziz
al-Malibari. Fathul Muin, terj. Moch. Anwar. Bandung: Penerbit Sinar
Baru Algesindo, 2005.
Habiburrahman, Rekonstruksi
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2011.
Huijbers, Theo. Filsafat
Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 1982.
Shihab, Quraish. Tafsir
al Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Sitompul. Dasar-dasar
Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Waris Islam. Bandung:
Armico, 1984.
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga
Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Suparman, Eman Hukum Waris Indonesia,
dalam Perspektif Islam, Adat, dan B.W.,. Bandung: PT Refika Aditama, 2007.
Zuhaili, Wahbah. Al Mausu’ah al
Qur’aniyyah al Muyassarah. Damaskus Syiria: Dar al-Fikr, 2002.
[1]Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004),
hlm. 107.
[2]Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 108.
[3]Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm.109.
[4]Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 113.
[5]Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, 114-115.
[6]Muhammad Amin
Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 115-116.
[7]Muhammad Amin
Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 116-117.
[8]Sitompul, Dasar-dasar
Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Waris Islam, (Bandung:
Armico, 1984), hlm. 67.
[9]Habiburrahman, Rekonstruksi