Senin, 14 Agustus 2017

Perkembangan Hukum Waris Islam di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum waris Islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang.
Di negara kita Republik Indonesia ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW). Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 1 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.
Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui bagaimana perkembangan hukum kewarisan yang ada di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan hukum kewarisan Islam yang ada di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Kewarisan
Dalam lapangan hukum perdata non-Islam, “Hukum Waris” didefinisikan dengan kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.[1]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Kedua definisi hukum waris/hukum kewarisan di atas pada dasarnya telah cukup memadai.[2]
Dengan demikian untuk merumuskannya sebagai berikut: “Hukum waris ialah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan.
Dalam istilah fiqih Islam, kewarisan (al-mawarits kata tunggalnya al-mirats) lazim juga disebut dengan fara’idh, jamak dari kata faridhah. Kata faridhah diambil dari kata fardh dengan makna ketentuan (takdir). “Al-fardh” dalam terminologi syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris. Ilmu yang membahas perihal kewarisan umum dikenal dengan sebutan ilmu kewarisan (‘ilmul-mirats/al-mawarits) atau ilmu faraidh (‘ilm al-fara’idh).[3]


1.    Ahli Waris
Berbicara tentang waris, di antara hal penting yang perlu dibahas selain pewaris (al-muwarrits) dan harta peninggalan (tirkah/al-mauruts/al-mirats) ialah ahli waris (al-warits). Sebab, seperti dikemukakan para ahli hukum Islam, ada tiga unsur dalam kewarisan yaitu: ahli waris, tirkah (harta peninggalan) si mayit dan pewaris. Pewaris ialah setiap orang yang meninggal dengan meninggalkan harta kekayaan, sedangkan ahli waris ialah orang yang bernisbah (memiliki akses hubungan) kepada si mayit karena ada salah satu dari beberapa sebab yang menimbulkan kewarisan.[4]
Tentang ahli waris, siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing diatur dalam al-Qur’an tepatnya surat An-Nisa : 11,12, dan 176 dan beberapa hadist Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan ayat-ayat dan hadis-hadis yang ada, para ulama biasa mengelompokkan ahli waris kedalam kedua kelompok besar yaitu:
a.      Kelompok ashhabul furudh
Ashhabul furudh ialah ahli waris yang secara pasti mendapatkan bagian tertentu dari harta waris yang ditinggalkan si mayit. Mereka adalah 4 orang dari kalangan laki-laki, dan 8 orang dari kalangan perempuan. Empat orang dari kalangan laki-laki adalah ayah, kakek dan terus ke atas, saudara seibu, suami. Sedangkan 8 orang dari kalangan perempuan mereka adalah: ibu, nenek terus ke atas, anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri.
b.      Kelompok asabah
Yang dimaksud asabah ialah kelompok ahli waris yang berhubungan langsung dengan si mayit, yaitu setiap laki-laki yang antara dia dengan si mayit dalam silsilah nasabahnya tidak pernah terselang dengan ahli waris perempuan. Misalnya anak laki-laki si mayit dan ayahnya (kakek), anak laki-laki dari anak laki-laki si mayit, dan saudara kandung laki-laki atau saudara laki-laki se ayah, dan begitulah seterusnya. Hanya saja, terdapat perbedaan pandangan di kalangan para ahli hukum Islam mengenai pembahasan lebih lanjut tentang asabah ini, misalnya ashabah binafsihi, ashabah bighairihi, dan ashabah ma’a ghairihi sebagaimana dapat dipelajari dalam berbagai kitab fikih, khususnya fiqih mawaris.[5]
Dalam banyak hal, terdapat sejumlah persamaan antara ahli waris dalam sistem hukum Islam dengan ahli waris dalam sistem hukum Barat. Namun dalam beberapa hal, terdapat perbedaan antara keduanya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dikenal dua macam ahli waris, yaitu:
1)      Ahli waris secara langsung
Ahli waris langsung ialah waris yang mewarisi berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde), misalnya jika ayah meninggal dunia, maka sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris. Tentang ahli waris langsung, KUH Perdata menggolongkannya ke dalam empat golongan sebagai berikut:
a)      Golongan pertama, yaitu sekalian anak-anak berserta keturunannya dalam garis lenceng ke bawah.
b)      Golongan kedua, orang tua dan saudara pewaris, pada asasnya bagian orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris, tetapi ada jaminan di mana bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat harta peninggalan.
c)      Golongan ketiga, dalam hal tidak terdapat ahli waris golongan pertama dan kedua, harta peninggalan harus dibagi dua (kloving), setengah bagian untuk kakek-nenek pihak ayah, dan separuh bagian lainnya untuk kakek-nenek dari pihak ibu (perhatikan pasal 853 dan pasal 854 KUH Perdata)
d)     Golongan keempat, sanak keluarga si pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat keenam.[6]
2)      Ahli waris tidak langsung
Yaitu ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsver vulling), misalnya A meninggal dunia dengan meninggalkan anak B dan C. B telah meninggal terlebih dahulu dari A (pewaris). B mempunya anak D dan E. Maka, D dan E inilah yang tampil sebagai ahli waris A menggantikan B (cucu mewarisi dari kakek/nenek).
Dari uraian di atas dapatlah dipahami bahwa dalam banyak hal, terdapat persamaan antara hukum waris Islam dengan hukum waris Barat. Persamaan terutama terletak pada ahli waris tertentu yang harus mendapatkan bagian terutama anak, orang tua (ibu dan ayah) serta suami dan istri, pembagian mereka tidak selamanya sama antara yang diatur dalam hukum waris Islam dengan yang diatur dalam hukum waris Barat.
Adapaun perbedaannya terutama terletak pada kemungkinan waris didasarkan pada wasiat. Berlainan dengan hukum Barat yang memungkinkan pemberian warisan melalui wasiat, hukum Islam pada dasarnya tidak mengenal pembagian warisan atas dasar wasiat. Maksudnya, hukum Islam tidak mengatur tentang pembagian warisan yang didasarkan atas wasiat si mati. Bagaimanapun wasiat berbeda dengan waris meskipun keduanya terdapat hubungan yang erat.
Perbedaan lain terdapat pada keberadaan posisi ahli waris pengganti (plaats vervulling). Berlainan dengan hukum perdata Barat yang tegas-tegas mengakui keberadaan ahli waris pengganti, hukum waris Islam pada dasarnya tidak secara eksplisit mengakui keberadaan ahli waris pengganti. Perihal kemungkinan ada ahli waris pengganti, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengaturnya demikian:
1)      Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2)      Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan.[7]

B.     Perkembangan Hukum Kewarisan Di Indonesia Perspektif Hukum Islam, Hukum Adat, dan B.W.
Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah hukum waris yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadis, hukum yang berlaku universal di bumi manapun di dunia ini. Namun, jika ada beberapa perbedaan paham di kalangan ulama mazhab dengan tidak mengurangi ketaatan umat Islam kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka perbedaan pendapat tersebut dibolehkan dan dapat dipandang sebagai rahmat.
Mengenal hukum waris dalam sejarah bangsa Arab sebelum datangnya Islam, mewarisi menjadi bagian yang amat penting dalam memahami hukum waris-mewarisi dalam Islam. Mengetahui waris-mewarisi tersebut, seseorang dapat menggunakan filsafat hukum disertai alasan-alasan yang sosiologis, mengapa kemudian Islam mengatur hukum pembagian warisan sedemikian rupa. Perbandingan ini bukan hanya memberikan pemahaman yang baik terhadap konsep hukum waris dalam Islam, tetapi juga akan menyelamatkan seseorang agar dengan tidak dengan mudahnya menuduh Islam sebagai agama yang tidak memerhatikan keadilan dalam hal waris mewarisi.
Sebelum datangnya agama Islam, istri ataupun anak perempuan bukanlah dipandang sebagai orang-orang yang memiliki hak waris. Sebaliknya mereka dianggap sebagai harta warisan, dan oeh karena itu boleh diwariskan. Wahyu Al-Qur’an kemudian diturunkan dalam hal waris mewaris sebagai perbaikan terhadap keadaan-keadaan sebelumnya di mana pada masa itu wanita merupakan kekayaan, begitu juga laki-laki yang tidak mampu ke medan perang untuk bertempur juga dianggap vukan sebagai orang-orang yang berhak mewaris. Munculnya Islam dengan peraturan baru tentang hukum waris untuk perempuan dan anak-anak kecil telah memberikan perubahan yang sangat signifikan bagi status kaum perempuan dan anak-anak.[8]
Dalam kasus Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu sistem hukum di Indonesia selain sistem hukum yang lain: hukum adat dan hukum barat. Namun perlu digarisbawahi bahwa hukum Islam telah berlaku di Indonesia sejak Islam datang ke Indonesia sekitar abad VII-VIII M, yakni sejak raja-raja Islam dan para sultan memerintah kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan Islam yang di dalamnya juga memberlakukan hukum Islam.[9]
Hukum kewarisan dalam Islam biasa juga diatur dalam ilimu faraidh atau ilmu tentang waris mewarisi. Ilmu ini berkaitan dengan peraturan untuk membagi pusaka dan peraturan-peraturan perhitungan untuk mengetahui ketentuan bagian pusaka bagi yang berhak menerimanya, agar seseorang tidak terjadi mengambil hak orang lain dengan jalan tidak halal. Menurut hukum Islam hal ini disebabkan jika seseorang meninggal dunia, maka dengan sendirinya pusaka yang ditinggalkannya terlepas dari hak miliknya berpindah menjadi hak orang-orang yang menjadi ahli waris.
Dalam praktiknya, sebelum pusaka itu dibagi, ia menjadi hak dan milik di antara ahli waris menurut kadar bagiannya. Terkadang di antara waris mewarisi tersebut terdapat hak-hak anak yatim. Maka dengan melakukan pembagian pusaka menurut ilmu faraidh, akan selamatlah orang dari mengambil atau memakan hak milik orang lain. Sebagaimana arti kata faraidh, yaitu: bagian yang telah ditetapkan.[10]
Dengan lahirnya Islam muncullah pembaharuan dan perbaikan sosial bagi persamaan hak di berbagai bidang, atau dapat disebut juga munculnya aturan hidup baru dibandingkan dengan aturan hidup lama sebelum datangnya Islam, termasuk juga hukum waris karena peraturan yang terkandung dalam hukum Islam meliputi berbagai bidang kehidupan seperti ibadah, keluarga, warisan, hak milik dan hukum negara. Secara keseluruhan sumber hukum Islam ini mengambil kewibawaannya bukanlah dari sumber negara tetapi dari sumber kewibawaan negara.[11]
Namun demikian, datangnya Islam dengan hukum Islam yang khusus tidak serta merta menghilangkan hukum adat. Jadi, hukum Islam merupakan hukum yang cukup adaptif dengan hukum adat. Pada kenyataannya hukum adat sering kali diterima sebagai hukum yang sah selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hak waris bagi wanita maupun laki-laki, kemudian diatur dalam berbagai ayat seperti dalam Surat an-Nisa’, ayat 7, 11, 12, 176, Surat al-Baqarah ayat 180, 233, dsb. Yang mengatur tentang hak-hak seorang dalam pewarisan. Sebagai surat pertama tentang hak pewarisan ayat ini merupakan perbaikan, khususnya bagi wanita termasuk anak perempuan, istri, dan ibu.[12]
Ayat di atas menjadi semacam pendahuluan bagi ketentuan warisan dan hak-hak setiap orang. Ayat ini memerintahkan bahwa bagi laki-laki dewasa atau anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua dan kerabat, ada hak berupa bagian tertentu yang akan diatur oleh Allah SWT setelah turunnya ketentuan umum ini dari harta peninggalanibu-bapak dan kaum kerabat.[13] Ketentuan ini mejadikan suatu perubahan besar bagi sistem pewarisan masyarakat Arab ketika itu yang tidak menghargai kaum perempuan dan anak-anak kecil.
Adapun sebab turunnya ayat ini adalah karena masyarakat Arab Jahiliyah tidak memberikan warisan kepada anak perempuan dan anak laki-laki yang masih kecil.[14] Mereka hanya memberikan warisan kepada anak-anak laki-laki yang sudah dewasa, lalu turunlah QS. An-Nisa’ (4) ayat 11-12
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâôs? öNßgƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ   * öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2  Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ/ ÷rr& &úøïyŠ 4  Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ós9ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïyŠ 3 bÎ)ur šc%x. ×@ã_u ß^uqム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h!$ŸÒãB 4 Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ  
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Kedua ayat di atas merupakan pendahuluan tentang ketentuan memberi kepada setiap pemilik hak-hak sah mereka, juga menegaskan bahwa ada hak buat laki-laki dan perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu, bapak, dan kerabat yang akan diatur oleh Allah. Kedua ayat tersebut kemudian memerinci ketetapan-ketetapan mengenai ahli waris dan bagiannya, yaitu bagian anak seorang anak laki-laki dan anak kamu, kalau bersamanya ada anak-anak perempuan dan tidak ada halangan yang ditetapkan agama baginya untuk memperoleh warisan, misalnya membunuh pewaris atau berbeda agama dengannya, maka dia berhak memperoleh warisan yang kadarnya sama dengan dua anak perempuan.[15]
Pemilihan kata dzakar untuk anak laki-laki dan bukan rajul yang berarti laki-laki adalah untuk menegaskan bahwa usia tidak menjadi faktor penghalang bagi penerimaan warisan, karena kata dzakar dari segi bahasa berarti jantan, lelaki baik kecil atau besar, binatang maupun manusia. Sedang kata rajul atau pria dewasa juga demikian.[16] Penetapan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar mas kawin dan memberi nafkah.
Oleh karena itu, ketentuan hukum waris Islam hendaknya tidak berakibat madharat kepada ahli waris. Beberapa tindakan yang tidak dibolehkan dan dianggap bertentangan dengan syariat adalah:
1.      Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka.
2.      Berwasiat dengan maksud mangurangi harta warisan, sekalipun kurang dari sepertiga, dianggap sebagai hal yang memberi mudharat dan tidak diperbolehkan.
Penegasan tentang wasiat dan utang ini diulangi lagi pada ayat 12 yang akan datang ketika berbicara tentang warisan suami dari istri agar tidak timbul kesan bahwa hanya suami yang boleh berwasiat. Namun demikian, wasiat tersebut tidak boleh kepada ahli waris dan tidak boleh lebih dari sepertiga. Alasan mengapa penyebutan wasiat didahulukan atas penyebutan utang tetapi dalam pelaksanaannya hutang didahulukan adalah karena untuk menunjukkan betapa pentingnya wasiat dan untuk mengingatkan para waris agar memerhatikannya. Tidak mustahil mereka mengabaikan wasiat atau menyembunyikannya, berbeda dengan utang yang sulit untuk disembunyikan karena pasti yang memberi utang akan menuntut. Adapun wasiat haruslah disebutkan dengan jelas dan tidak boleh melebihi sepertiga. Artinya sepertiga itu, merupakan bagian yang maksimal.[17]
Dilihat dari segi asbab al-nuzul ayat 11 dan 12 ini adalah sebagai berikut: Jabir berkata, Rasulullah dan Abu Bakar menemuiku di wilayah Bani Salamah dengan berjalan kaki. Beliau mendapatiku dalam keadaan tidak sadarkan diri. Beliau meminta air lalu memercikan air itu kepadaku. Tak lama kemudian aku pun tersadar diri. Lalu aku bertanya, apa yang harus aku perbuat dengan hartaku ini. Kemudian ayat ini turun.[18]
Berkenaan dengan ayat-ayat tentang waris yang turun tersebut, maka para Ulama Mujtahid mengomentari hal tersebut. Sebab-sebab yang menjadikan seseorang berhak mendapat warisan itu ada tiga: nikah, nasab, dan wala’. Adapun tentang nikah dan nasab maka hal itu secara jelas diterangkan dalam Al-Qur’an, demikian Imam Syafi’i mengatakan.
Abu Hanifah mengatakan: Seseorang bisa mendepatkan warisan lebih dari hanya alasan itu. Bisa karena sumpah dan kesepakatan perjanjian dan karena adanya kesamaan dalam pandangan. Yang menjadi inti masalah dalam mazhab adalah bahwa mirats (warisan) dalam pandangan kami (Syaikh Barudi) dapat diperoleh melalui empat hal, yaitu nikah, nasab, wala’, dan Islam. Yang kami maksud dengan Islam adalah bahwa bantuan dari Baitul Mal dalam pandangan kami termasuk warisan, tetapi menurut Abu Hanifah ia bukan warisan.[19]
Pandangan Syaikh Barudi ini dapat dikatakan sebagai ijtihad untuk masa kini. Namun pandangan ini tidaklah mengikuti mayoritas Jumhur dan tidak populer. Mengomentari tentang turunnya ayat 11 dan 12 surat (4) tersebut di atas Sayyid Qutub seorang aktivis Islam dari Mesir mengatakan bahwa di masa jahiliyah, pada umumnya mereka tidak memberikan warisan kepada anak-anak perempuan dan anak-anak kecil, kecuali hanya sedikit di antara mereka. Karena mereka anak-anak perempuan dan anak-anak kecil, dianggap tidak bisa menunggang kuda dan tidak mampu melindungi dari serangan lawan.[20]
Ketentuan Al-Qur’an untuk kemudian memeberikan bagian waris untuk anak perempuan dan anak laki-laki yang belum dewasa sesuai dengan prinsip Islam untuk saling menunjang antara satu keluarga dan persaudaraan universal.[21] Jadi adalah sebuah keadilan jika ia mewarisinya, kalau pewaris memang meninggalkan harta benda dan ahli waris sesuai dengan tingkat kekerabatan dan tanggung jawab yang dimilikinya. Kasus pewarisan ini jelas menunjukan bahwa Islam adalah sistem yang lengkap dan sempurna dan memiliki sisi harmoni yang kuat. Sisi kelengkapan dan keakuratannya tampak jelas pada setiap pembagian hak dan kewajiban. Inilah prinsip kwarisan Islam secara umum.[22]
Firman Allah selanjutnya tentang kalalah yang terdapat dalam QS. An-Nisaa’ ayat 176 yang berbunyi:
y7tRqçFøÿtGó¡o È@è% ª!$# öNà6ÏFøÿムÎû Ï's#»n=s3ø9$# 4 ÈbÎ) (#îtâöD$# y7n=yd }§øŠs9 ¼çms9 Ó$s!ur ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts? 4 uqèdur !$ygèO̍tƒ bÎ) öN©9 `ä3tƒ $ol°; Ó$s!ur 4 bÎ*sù $tFtR%x. Èû÷ütFuZøO$# $yJßgn=sù Èb$sVè=V9$# $®ÿÊE x8ts? 4 bÎ)ur (#þqçR%x. Zouq÷zÎ) Zw%y`Íh [ä!$|¡ÎSur ̍x.©%#Î=sù ã@÷WÏB Åeáym Èû÷üus[RW{$# 3 ßûÎiüt6ムª!$# öNà6s9 br& (#q=ÅÒs? 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7OŠÎ=tæ ÇÊÐÏÈ  
176. Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ketentuan hukum waris dalam Islam kemudian terdapat pula QS. Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 yŠ#ur& br& ¨LÉêムsptã$|ʧ9$# 4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 Ÿw §!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÷bÎ*sù #yŠ#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã 3 ÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ  
233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Kedua ayat di atas boleh dikatakan merupakan perbaikan nasib bagi perempuan setelah datangnya Islam, khususnya dalam bidang hukum kewarisan, yang mana kaum perempuan ditetapkan oleh Allah sebagai pihak yang berhak menerima warisan. Dalam ayat-ayat lainnya pengaturannya semakin jelas, orangtua, dan sebagainya sebagai ahli waris yang dapat saling mewarisi.
Waris Islam merupakan suatu hukum yang memberikan aturan dalam hal pembagian, misalnya ½, ¼, 1/8, 2/3, 1/3, atau 1/6.[23] Secara ringkasnya hukum waris Islam mencakup hal-hal ahli waris dari pihak laki-laki yang terdiri dari sepuluh macam, yaitu: anak,cucu, ayah, kakek, saudara laki-laki baik dari yang seibu seayah ataupun yang seayah dan yang seibu saja, juga anak saudara laki-laki selain dari saudara laki-laki seibu, kemudian paman dan anaknya kecuali paman dari pihak ibu, lalu suami dan orang laki-laki yang mempunyai hak wala’. Selain itu juga membahas yang tidak memiliki ahli waris.[24] Lalu permasalahan dzawul arham yang sebelas yang berhak menerima waris yaitu anak laki-laki dari anak perempuan, anak dari saudara perempuan, anak perempuan darisaudara laki-laki, anak perempuan dari paman, paman yang seibu dengan ayah, paman dari pihak ibu, bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, kakek dari pihak ibu, ibu kakek dari pihak ibu, dan anak saudara lelaki yang seibu.
Selanjutnya, secara terperinci diatur pula pembagian ahli waris yang terdiri dari: ahli waris yang mendapat bagian dua pertiga, yaitu: dua orang anak perempuan atau lebih atau dua orang anak perempuan anak laki-laki atau dua orang saudara perempuan seibu seayah dan dua orang saudara perempuan seayah. Anak perempuan, anak perempuan anak laki-laki, saudara perempuan seibu seayah atau saudara perempuan seayah di-ashabah-kan oleh saudara laki-laki, masing-masing sama derajat dan urutan nasabnya dengan mayat. Adapun ahli waris yang mendapat bagian seperdua adalah lima orang, yaitu (anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan seibu seayah, dan saudara perempuan seayah) manakala mereka sendirian, tanpa saudara laki-laki dan orang yang meng-ashabah-kannya dan juga bagian bagi suami yang istrinya tidak mempunyai keturunan yang mewaris, baik laki-laki maupun perempuan.
Bagian selanjutnya adalah yang mendapatkan seperempat yang terdiri dari bagian suami yang disertai dengan anak keturunan istrinya. Seperempat ini merupakan bagian bagi istrinya baik seorang ataupun lebih dari satu orang bila tanpa keturunan dari pihak suaminya. Kemudian ahli waris yang mendapat bagian seperdelapan yaitu bagian istri yang apabila suaminya meninggal dunia meninggalkan anak. Selanjutnya ahli waris yang mendapat bagian sepertiga yaitu ibu dari si mayat yang tidak punya keturunan yang dapat mewarisi dan tidak punya sejumlah dua orang saudara hingga lebih, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan.
Kemudian adalah ahli waris yang mendapat bagian seperenam yaitu tujuh orang, ayah, dan kakek yang mayatnya mempunyai keturunan yang mewaris ibu bila mayat mempunyai anak keturunan yang mewaris atau sejumlah saudara laki-laki dan perempuan sebanyak dua orang hingga lebih. Juga bagian dari nenek, yaitu ibunya ayah dan ibunya ibu hingga ke atas, tanpa memandang apakah dia bersama dengan adanya ibu saudara seibu atau tidak (bagian nenek tetap seperenam).
Ahli waris yang mendapat ashabah ialah anak laki-laki, lalu anak laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah. Kemudian ayah dan kekek hingga terus ke atas, lalu saudara laki-laki seibu seayah dan saudara laki-laki seayah, begitu pula anak keduanya. Lalu paman yang seibu seayah dan paman yang seayah, begitu pula anak keduanya. kemudian ayah dan anak-anaknya, lalu paman kakek dan anak-anaknya dan seterusnya.[25]
Waris adat diwarnai oleh sistem kekeluargaan dalam masyarakat, sistem tersebut dibedakan sebagai berikut:
1.      Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat batak. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara “kawin jujur” yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orangtuanya yang meninggal dunia.
2.      Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk ank-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri, contohnya sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau yang sudah merantau ke luar tanah aslinya, kondisi tersebut sudah banyak berubah.
3.      Sistem Parental atu Bilateral, uaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayh maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.[26]
Hukum Perdata B.W tidak mengenal waris-mewaris, Pasal 875 mengatur tentang “surat wasiat”. Pemilik harta sebelum meninggal telah mempersiapkan akan diapakan hartanya bila ia meninggal, peruntukan tersebut dimuat di dalam surat wasiat (testament); bunyi pasal tersebut sebagai berikut: “Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testament ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, yang olehnya dapat dicabut kembali lagi”.
Dalam teori ilmu sosial, keadaan ini dapat dipahami sebagai struktur sosial mulai dari pembentukan sebuah keluarga, yakni masyarakat terkecil dimulai dari rumah tangga, yang terdiri dari: suami, istri, dan anak-anak. Perdata B.W. memandang ikatan perkawinan sebatas kontrak pribadi, sangat bertolak belakang dengan di Indonesia.[27]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Islam khususnya hukum keluarganya termasuk hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, hukum Islam tersebut hendaknya dijadikan sumber yang utama untuk pembentukan hukum nasional (mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran hukum agamanya), di samping hukum-hukum lain yang hidup di negara Indonesia.
Hukum waris ialah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok-pokok pikiran sebagai berikut: pertama, hukum kewarisan Islam sudah berlaku sejak zaman prapenjajahan bersamaan dengan masa kesultanan Islam yang memberlakukan hukum Islam; kedua, ketentuan waris menurut hukum barat dan hukum adat baru muncul setelah Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven melakukan sanggahan terhadap teori receptie in complexue dari van den Berg; dan ketiga, pola pembagian waris dalam hukum Islam diatur menurut ketentuan Al-Qur’an dan Hadis dengan istilah ahli waris (furudl al-muqaddarah), sedangkan setelah diberlakukan hukum adat dan hukum barat berkembang menjadi tiga pola, yaitu patrilineal, matrilineal, parental/bilateral.



DAFTAR PUSTAKA
al Barudi, Syaikh Imad Zaki. Tafsir al Qur’an al Ashim li an Nisa’, terj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2007.
al-Fanani, Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari. Fathul Muin, terj. Moch. Anwar. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo, 2005.
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2011.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 1982.
Shihab, Quraish. Tafsir al Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Sitompul. Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Waris Islam. Bandung: Armico, 1984.
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Suparman, Eman Hukum Waris Indonesia, dalam Perspektif Islam, Adat, dan B.W.,. Bandung: PT Refika Aditama, 2007.
Zuhaili, Wahbah. Al Mausu’ah al Qur’aniyyah al Muyassarah. Damaskus Syiria: Dar al-Fikr, 2002.




[1]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 107.
[2]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 108.
[3]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm.109.
[4]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 113.
[5]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 114-115.
[6]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 115-116.
[7]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 116-117.
[8]Sitompul, Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Waris Islam, (Bandung: Armico, 1984), hlm. 67.
[9]Habiburrahman, Rekonstruksi

Poligami dalam Islam

POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH MURSALAH A.     Latar Belakang Poligami merupakan masalah yang sering...