Tafsir
bi Al-Ma’tsur
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-qur’an
yang dalam memori kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, menjadikan
ia sebagai “petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala
sesuatu” sedemikian rupa, sehingga tidak ada sesuatu apapun yang ada dalam
realitas yang luput dari penjelasannya, bila disimpulkan bahwa penjelasan
Al-Qur’an adalah secara Universal dan aktualisasi makna yang terkandung
didalamnya sesuai dengan kondisi ummat dari zaman sebelum Nabi Muhammad saw
hingga zaman modern saat ini, berbagai cara dilakukan untuk memahami kandungan
al-Qur’an. Dari zaman Nabi dilakukan secara lisan dari generasi kegenasi hingga
tahun ke-2 Hijrah barulah ada pengkodifikasian. Hingga saat ini banyak para
pakar Islam membongkar kandungan alQur’an atau memaknai al-Qur’an bermunculan
sehingga dari masing-masing kajian keilmuan memiliki cara tersendiri untuk
memaknai kandungan-kandungan al-Qur’an yang mereka mengerti dan pahami. Mulai
dari khusus dalam bidang, fiqh, filsafat dan lain sebagainya.
Tafsir
merupakan upaya dan ikhtiar alami manusia untuk memahami pesan Ilahi yang
tercantum dalam al-Qur’an[1].
Upaya tersebut ditunjukan untuk menurunkan nilai dan maksud Ilahi dalam
nilai-nilai praktis kehidupan dan bagian dari usaha manusia untuk mempermudah
memahami kandungan al-Quran yang Allah turunkan untuk kehidupan manusia agar
supaya manusia lebih banyak mengambil pelajaran untuk diamalkan dalam kehidupannya dengan terperinci sesuai kemampuan ummat saat
ini. Perkembangan keilmuan dalam karya tafsir menyebabkan terjadinya keragaman
metode dan corak penafsiran,
seiring
dengan munculnya metode tahlili (analitis) yang memberikan ruang
lingkup yang luas bagi seorang mufasir
untuk menuangkan segala ide yang ada dalam pikirannya, perbedaan keilmuan dan
kecenderungan pola pikir dari masing-masing mufasir telah memberikan
banyak warna dan nuansa pada karya tafsir yang telah berkembang hingga saat
ini.[2] Dari berbagai perkembangan yang terjadi ini
merupakan menifestasi peningkatan keilmuan dan keragaman corak berfikir umat
Islam yang membahas tentang kandungan al-Qur’an dari berbagai Ilmu yang membuat
warna warni dalam pembahasannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian at-Tafsir bi al-Ma’tsur ?
2.
Apa yang melatarbelakangi muculnya at-Tafsir bi al-Ma’tsur ?
3.
Bagaimana relasi antara at-Tafsir bi al-Ma’tsur dan at-Tafsir bi
al-Ra’yi ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui apa pengertian dari at-Tafsir bi al-Ma’tsur
2.
Mengetahui latar belakang mengapa at-Tafsir bi al-Ma’tsur itu
muncul
3. Mengetahui
sejauh mana relasi antara at-Tafsir bi al-Ma’tsur dan at-Tafsir bi al-Ra’yi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
At-Tafsir bi al-Ma’tsur
1.
Pengertian at-Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir
bil al-ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih
yaitu menafsirkan Qur’an dengan Qur’an,
dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan
sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang
dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umunya mereka menerimanya dari
para sahabat.[3]
Sedangkan Ali Hasan Al-Araidi mengatakan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah
penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap maksud ayat al-Qur’an yang
lain.[4] Ia
menambahkan bahwa yang termasuk kedalam tafsir bi al-Ma’tsur adalah pertama,
penafsiran al-Qur’an dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah
saw untuk menjelaskan sebagian kesulitan yang ditemui oleh para sahabat semasa
Rasulullah saw masih hidup. Kedua, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat
para sahabat berdasarkan ijtihad mereka dan yang ketiga, penafsiran
al-Qur’an dengan pendapat tabi’in untuk menjelaskan kesamaran yang ditemui oleh
kaum muslimin tentang sebagian makna al-Qur’an. Dikatakan oleh Syekh
muhammad Ali Ash-Shabuni dalam bukunya At-Tibyan fi Ulumil Qu’an bahwa
at-Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an atau Hadis atau ucapan
sahabat untuk menjelaskan sesuatu yang dikehendaki Allah Swt.[5]
Beda
halnya dengan Said Agil Husin Al-Munawar mengatakan bahwa Tafsir bi al-ma’tsur
adalah penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap ayat al-Quran yang lain,
termasuk tafsir bi al-Ma’tsur yaitu penafsiran al-Qur’an dengan hadis-hadis
yang diriwatkan dari Rasulullah saw, penaafsiran al-Qur’an dengan pendapat para
sahabat berdasarkan ijtihad mereka, dan penafsiran al-Qur’an dengan pendapat
tabi’in.[6]
Begitupun hampir serupa yang dikatakan oleh Abu Nizhan bahwa tafsir bi
al-ma’tsur adalah metode menafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadis atau perkataan
para sahabat, karena para sahabatlah yang lebih paham maksud kandungan
al-Qur’an , selain itu mereka langsung mendengar penjelasan langsung dari
Rasulullah saw, dan merupakan saksi atas turunya al-Qur’an dan beliau
menambahkan tokoh dalam hal ini yang paling ahli adalah Ali bin Abi Thalib,
Ibnu Abbas dan Abdllah bin mas’ud.[7]
Said
Agil Husin al Munawir mengatakan bahwa
Ada beberapa perselisihan diantara para mufasir, apakah riwayat dari tabiin
mendekati mendekati tafsir bi al-Ma’tsur atau tafsir penalaran, berbagai
pendapat, mayoritas mengatakan, bahwa tafsir dari riwayat tabi’in adalah juga katagori Tafsir bi al-Ma’tsur,
karena mereka hidup dan bergaul dengan para sahabat Nabi serta mereka menimba
Ilmu dengan para sahabat Nabi,. Disamping itu, para tabi’in adalah orang dahulu
yang baik-baik yang mendapatkan julukan dari Nabi sebagai generasi yang
terbaik, sehingga dalam tafsir Ibnu Jarir tidak saja dicantumkan riwayat dari
Rasul saw, sahabat tetapi juga riwayat dari tabi’in.[8]
Pendapat
Syekh Muhammad Ali As-Shabuni dalam bukunya at-Tibyan Ulumil Qur’an bahwa pertama,
Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Kedua, penafsiran Al-Qur’an
dengan Hadis Nabi. Ketiga, Penafsiran al-Qur’an dengan ucapan para
sahabat. Lalu dia mencontohkan diantara ketiganya:
Pertama. contoh dari penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an seperti Contoh
Firman Allah:
ôM¯=Ïmé&ur
ãNà6s9 ãN»yè÷RF{$#
wÎ) $tB
4n=÷Fã öNà6øn=tæ
( ÇÌÉÈ
Artinya:
Telah Dihalalkan bagi kamu semua binatang
ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, Maka jauhilah olehmu
berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.(Q.S.
al-Hajj: [22]: 30)[9]
Kata
(ãöNà6øn=tæ 4n=÷Fã $tB wÎ)) ditafsirkan
dengan Ayat lain:
ôMtBÌhãm
ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$#
ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur
ÍÌYÏø:$# !$tBur
¨@Ïdé& ÎötóÏ9
«!$# ¾ÏmÎ/
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, (Q.S.
al-maidah:[05]: 03).
Demikian pula
dengan ayat:
Ïä!$uK¡¡9$#ur
É-Í$©Ü9$#ur ÇÊÈ
Artinya: Demi
langit dan yang datang pada malam hari. (Q.S. Ath-Thariq: [86]: 1)
Ditafsirkan
dengan ayat yang sama
ãNôf¨Y9$#
Ü=Ï%$¨W9$# ÇÌÈ
Artinya: ialah bintang yang cahayanya. (Q.S.
Ath-Thariq: [86]: 1)
Kemudian firman
Allah:
#¤)n=tGsù
ãPy#uä `ÏB
¾ÏmÎn/§ ;M»yJÎ=x.
z>$tGsù Ïmøn=tã
4 ¼çm¯RÎ)
uqèd Ü>#§qG9$#
ãLìÏm§9$# ÇÌÐÈ
Artinya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari
Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S.al-Baqarah: [02]:37)
Kekmudian
ditafsirkan dengan Firman Allah:
w$s% $uZ/u !$oY÷Hs>sß $uZ|¡àÿRr& bÎ)ur óO©9 öÏÿøós? $uZs9 $oYôJymös?ur ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB z`ÎÅ£»yø9$# ÇËÌÈ
Artinya: Keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami
telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan
memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang
merugi. (Q.S. Al-A’raf: [07]:23)
Kemudian dengan
firman lain:
!$¯RÎ)
çm»oYø9tRr& Îû
7's#øs9 >px.t»t6B
4 $¯RÎ)
$¨Zä. z`ÍÉZãB
ÇÌÈ
Artinya:
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada
suatu malam yang diberkahi dan
Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (Q.S. Ad-Dukhan [44]: 03)[10]
Ditafsirkan
pula dengan firman Allah:
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr&
Îû Ï's#øs9
Íôs)ø9$# ÇÊÈ
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya
Al-Quran pada malam kemuliaan. (Q.S. Al-Qodr: [97]: 01).
Kedua, contoh
penafsirkan Al-Qur’an dengan Hadis Nabi saw.
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä óOs9ur
(#þqÝ¡Î6ù=t OßguZ»yJÎ)
AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré&
ãNßgs9 ß`øBF{$#
Nèdur tbrßtGôgB
ÇÑËÈ
Artinya: orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan keimananya dengan kemusyrikan, untuk mereka keamannya,
sedangkan mereka itu mendapat petunjuk.(Q.S. Al-An’am [06]:82)
Nabi
saw menafsirkan lafad Adz-zhulmu dan As-Syirku penafsiran tersebut diperkuat dengan firman Allah Swt:
cÎ)
x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9
ÒOÏàtã ÇÊÌÈ
Artinya: Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar". (Q.S. al-Luqman [31]:13)
Nabi
menafsirkan Al-Hisaabul Yasiiru dengan kata Al-Ardhi, yakni
menyerahkan amal-amal kepada orang mukmin dan mengingatkannya, beliau bersabda:
Artinya: barangsiapa melest perhitungan (hisab)nya,
niscaya ditimpakan siksaan.”
Aisyah r.a bertanya: “ya Rasulallah, bukankah Allah Sw berfirman:
$¨Br'sù
ô`tB ÎAré&
¼çmt7»tGÏ. ¾ÏmÏYÏJuÎ/
ÇÐÈ t$öq|¡sù
Ü=y$ptä $\/$|¡Ïm
#ZÅ¡o ÇÑÈ Ü=Î=s)Ztur
#n<Î) ¾Ï&Î#÷dr&
#Yrçô£tB ÇÒÈ
Artinya: Adapun orang yang diberikan buku (amalan) dari sebelah kanannya, Maka
Dia akan diperhitungkan dengan perhitungkan yang sedikit dan dia akan kembali
kepada kelurganya dengan gembira. (Q.S. Al-Insyiqoq [84]:7-9)[11]
Kemudian
beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Ardhu adalah Al-Hisabul
Yasiira, Juga firman Allah Swt:
(#qÝàÏÿ»ym
n?tã ÏNºuqn=¢Á9$#
Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$#
(#qãBqè%ur ¬!
tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ
Artinya: peliharalah semua shalat(mu), dan
(peliharalah) shalat wusthaa Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu. (Q.S. Al-Baqarah [02]:238).
Nabi Saw, menafsirkan
Ash-shalaatu dengan Shalat Ashar, dan dalam perkatan beliau dalam
menaafsirkan kata Al-Maghdhuuubi’alaihim dan Adh-Adhaaliina
adalah orang yahudi Nasrani.
Juga dalam menafsirkan firman Allah
Azza Wajalla:
*
tûïÏ%©#Ïj9 (#qãZ|¡ômr&
4Óo_ó¡çtø:$# ×oy$tÎur
ÇËÏÈ
Artinya: untuk orang-orang yang berbuat kebajikan ad
kebajikan dan ada tambahanya... (Q.S. Yunus [10]:26)
Nabi
menafsirkan kata Az-ziyadah ialah melihat wajah Allah Swt An-nazhru
ila Wajhillahi.
Ketiga, bagian ketiga dari Tafsir bi al-Ma’tsur adalah “tafsir sahabat”
ini juga termasuk tafsir yang bisa diterima sebagai pegangan, karena para sahabat perah berkumpul dengan
Rasulullah saw, dan mereka tela meminum air pertolongan beliau yang bersih.
Mereka menyaksikan turunnya wahyu dan mereka tahu Asbabunuzul. Mereka
mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal memahami
secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWT, dan mampu membuat mereka
menemukan rahasia-rahasia Al-Qur’an lebih banyak dibandingkan setelahnya.
Imam
Al-Hakim berkata: sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu
dan turunya adalah hukum marf’u, atinya bahwa tafsir sahabat itu mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan hadis Nabawi
yang diangkat kepada Nabi saw, dengan demikian tafsir sahabat ini termasuk
Ma’tsur.[12]
Dari
beberapa uraian diatas mengenai tafsir bi al-Ma’tsur dapat disimpulkan bahwa
corak tafsir bi al-Ma’tsur ini adalah yang paling agung manakala sanadnya
sampai kepada Rasulullah saw, atau kepada sahabat. Namun demikian dari corak tasfir
ini tetap memerlukan penelitian riwayat. Al-hafizh Ibn Katsir r.a mengatakan
bahwa “sesungguhnya banyak tafsir bil al-Ma’tsur yang disandaarkan para perawi
Zindiq Yahudi dan muslim ahli kitab. Hal ini terdapat dalam kisah-kisah para
Rasul dan kaumnya, sesuatu yang berhubungan dengan kitab dan mukjizat mereka,
juga cerita-cerita selain mereka seperti Ash-Habul Kahfi dan lain
sebagainya, oleh karena itu perlu penelitian Riwayat.[13]
Lanjut
Abu Nizhan mengatakan bahwa hukum tafsir bi al-Ma’tsur ini adalah harus diikuti
dan dijadikan pedoman, karena merupakan jalan pengetahuan yang benar, serta
merupakan cara yang paling aman untuk menjaga diri dari tergelincir dan
kesesatan dalam memahami kitabullah.[14]
Hal serupa juga dikatakan Manna Khalil Al-Qattan bahwa status tafsir ini adalah
harus diikuti dan dipedomi karena jalan pengetahuan yang benar dan merupakan
jalan paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam
memahami kitabullah.[15]
Dari
kejadiannya tafsir bi al-Ma’tsur mengalami dua periode, yaitu riwayat dan pembukuan,
pertama, dalam periode riwayat dimulai dari masa Rasul saw, yang
menerangkan ayat-ayat yang sulit dipahami kepada para sahabat.kemudian para
sahabat menafsirkan Al-Qur’an dari ketetapan yang telah diberikan Rasul saw
atau dari pendapat yang ijtihadnya sendiri. Selanjutnya para tabi’in yang
mencurahkan prhatiannya kepada tafsir, mengumpulkan tafsiran-tafsiran dari
Rasul saw, sahabat-sahabat Rasul kemudian mereka menambahkan penafsirannya dengan kemampuan nalar dan
ijtihadnya, hingga kemudian datang generasi setelah tabi’in yang melakukan
penafsiran sebagaimana pendahulunya samapai berkelanjutan samapai kegenerasi
yang lain.
Kedua, adalah periode
pembukuan, dimana pada masa pertama kitab Tafsir bi al-Ma’tsur masih bercampur
dengan hadis-hadis Rasul saw, hal ini dilakukan oleh Imam Malik bin Anas
al-Asbahi, kemudian setelah itu tafsir telah berpisah dengan hadis. Seagaimana
dilihat shohifah yang diriwayatkan dari Ali bin Abi thalib dari Ibn Abbas,
selanutnya didapatkan satu Juz dan beberapa juz dibukukan tafsir khusus,
seperti satu Juz dari Abi Waraq, tiga Juz dari Muhammad bin Tsuri dari Ibn
Juraji. Dan akhirnya muncul pembukuan-pembukan tafsir yang banyak sekali,
seperti kitab tafsir Ibn Jarir al-Thabari.[16]
Didalam
masa tabi’it tabi’in timbulah usaha menyusun kitab-kitab tafsir, dalam masa
inilah dikumpulkan pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in. Maka terwujudlah
beberapa tafsir, dianaranya tafsir Sufyan ibn Uyainah, tafsir waki ibn Jarrah,
tafsir Syu’ban ibn Al-Hajjaj, tafsir Yazib ibn Harun, tafsir ibn Razzaq, tafsir
Adam Ibn iyas, tafsir ishaq ibn Rahawih, tafsir ibn Ubadah, tafsir Abd ibn
Humaid, tafsir Abu Bakar ibn Abi Syaibah, tafsir Ali bin Abi Thalib, tafsir
al-Bukhari dan lain sebagainya. Ibn Jari Ath Thabari menyusun kitab tafsirnya
yang sangat terkenal dan dipandang sebagai tafsir yang terbaik. Kemudian muncul
pula Ibn Abi Hatim, Ibn Majah,Al-Hakim, Ibn Mardawih, Ibn Hibban dan lain
sebagainya.[17]
2.
Tokoh dan karya Tafsir bi al-Ma’tsur
Pada pembahasan ini dari semua
pembahasan yang dikemukan oleh beberapa penulis dari buku studi ilmu tafsir
sepakat dan tidak ada perselisihan mengenai kurang dan lebihnya karya yang
fenomenal dari tafsir bi al-Ma’tsur beserta tokohnya, diantara sekian buku yang
terdat pembahasan ini penulis mengambil hanya dua pengarang dari sekian
pengarang dan menuliskan tentang ini, diantaranya penulis menukil dari karangan
Abu Nizhan dan Manna Khalil al-Qattan diantara keduanya menuliskan karya yang
hampir sama, diantara tokoh dan karya tersebut adalah:
a.
Tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas
b.
Tafsir Ibn Uyainah
c.
Tafsir Ibn Abi Hatim
d.
Tafsir Abusy Syeik bin Hibban
e.
Tafsir Ibn Atiah
f.
Tafsir Abu la’is as-Samarkandi, Bahrul Ulum
g.
Tafsir Abu Ishaq, Al-Kasyfu wal Bayan an Tafsiril Qur’an
h.
Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an
i.
Tafsir Ibn Syaibah
j.
Tafsir al-baghawi, Maklmumat Tanzl
k.
Tafsir Abil Fida, Al-Hafiz Ibn Kasir, tafsril Qur’anul Azim
l.
Tafsir as-Sa’labi, al-jawahirul hisan fi tafsiril Qur’an
m. Tafsir
jalaludin asy-Suyuti, Ad-Durrul Mansur fit Tafsiri bil Ma,sur
n. Tafsir Asy-Syaukani, Fathul Qodir.[18]
Dapat
dijelaskan pula bahwa dari bebrapa tokoh dan karya tafsir diatas penulis juga
menggambarkan dan menuliskan biografi daari kesemuanya,
a.
Tafsir Ibn Abbas
Satu
jilid besar tentang tafsi dinisbahkan (dinyatakan berasal) dari Ibn Abbas,
tafsir ini telah dicetak beberapa kali di Mesir dengan nama”Tanwirul Miqbas min
Tafsiri Ibn Abbas” kitab ini dihimpun oleh
Abu Tahir Muhammad bin Yakub al-Fairuzabadi asy-Syafe’i, pengarang kamus
al-Muhit.
Ibn
abbas adalah seoranag sahabat yang dikenal dengan julukan “Turjumanul Qur’an”
Umar bin Khathab sangat menghormati dan mempercayai tafsir-tafsirnya. Pada
beberapa bagian tafsirnya, Ibn Abbas terkadang
mengutip dari Ahli kitab keterangan-keterangan yang sesuai antara Qur’an
dengan Tauran dan Injil namun amatlah terbatas. Ibn Abbas berbeda dengan
sahabat-sahabat yang lain, dalam memahami lafaz al-Qur’an banyak merujuk pada
syair-syair arab, karena pengetahuannya tentang seluk beluk bahasa arab dan
pemahamannya akan sastra arab kuno sangat tnggi dan luas. Dari hal itu ada
bebrapa mengkritiki hasil Ibnu Abbas yaitu seperti Prof. Goldziher dalam
bukunya al-Mazhibul Islamiyahh fi tafsiril Qur’an, menuduh bahwa ibn Abbas
telah mengutip secara bebas dan tampa batas dari ahli kitab. Sama halnya juga
prof. Ahm Amin dalam bukunya Fajrul Islam, namun hal itu disanggah oleh Prof
Muhammad Husain az-Zahibi dalam bukunya Tafsir wal Mufassirun, Ibn Abbas seperti
halnya dengan sahabat-sahabat yang lain.
Diantara jalan
perawinya yang paling mashur adalah:
1)
Melalui Muawiyah bin Salih, Ali bin Abi Talhah dari Ibn Abbas
2)
Melalui Qais bin Muslim al-Kufi, dari Ata bin As-Sa’ib dari Said
bin Jubair
3)
Melalui Ibn Ishaq, dari Muhammad bin Muhammad maula keluarga
Zaid bin Tsabit dari Ikrimah atau Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas
4)
Melalui Ismail Bin Abdurrahman as-Sadi al-Kabir dari Abu Malik pada
suatu saat dan dari Abu Salih pada saat yang lain.
5)
Melalui Abu Malik bin Juraij
6)
Melalui Dahhak bin Muzahim al-Hilali
7)
Melalui Atiyah al-Aufi
8)
Melalui Muqatil bin Sulaiman al-Azadi sl-Khurrasani
9)
Melalui Muhammad as-Sa’ib al-kalbi dari Abu salih
b.
Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an, Oleh at-Tabari
at-Tabari ini
dipandang sebagai salah satu tokoh terkemuka yang menguasai benar berbagai
disiplin Ilmu dan telah meninggalkan warisan keislaman cukup besar yang
senantiasa mendapat sambutan baik dari setiap generas dan masa. Ia mendapatkan
popularitas yang luas melalui dua buah karyanya, tarikhul Umam wal muluk tentang
sejarah dan Jmiul Bayan fi Tafsiril Qur’an tentang Tafsir. Kedua buku
tersebut termasuk dianta sekian banyak rujukan ilmiah paling penting bahkan
buku tafsirnya merupakan rujukan Utama bagi Para Mufasir yang menaruh perhatian
terhadap tafsir bi al-Ma’tsur.
c. Al-Muharrarul
Wajiz fi tafsiril Kitabil Aziz, Oleh Ibn Atiyah
Ibn
Atiyah adalah salah satu Hakim diandalus (Spanyol) yang terkenl, ia tumbuh
dilingkungan keluarga berilmu dan penuh keutamaan, ia adalah seorang ahli fikih
besar, menguasai ilmu-Hadis, tafsir, bahasa dan sastra, cerdas serta baik
pemahamannya dan pendukung utama mazhab Malik, kitab Tafsirnya berjudul al-Muharrarul
wajiz fi Tafsiril Kitabil Aziz. Ibnu Taimiyah mengatakan; Tafsir Ibn Atiyah
dan yang serupa dengannya lebih mengikuti mazhab Ahlus sunah wal jamaah dan
lebih selamat dari bid’ah dibanding tafsir Zamakysari.
d. Tafsirul
Qur’anil Azim, Oleh Ibn Kasir
Imaduddin
Abu Fida Isma’il bin Amr bin Kasir adalah seorang imam besar dan seorang hafiz,
ia belajar kepada Ibn Taimiyah dan mengikuti dalam sejumlah besar pendapatnya,
para ulamapun mengakuui keluasan ilmunya terutama dalam bidang tafsir, hadis
dan sejarah. Kitab sejarahnya al-Bidayah wan Nihayah merupakan rujukan
utama dalam sejarah Islam, dan kitab
tafsirnya Tafsirul Quranil Azim merupakan tafsir paling terkenal
diantara sekian banyak tafsir bi al-ma’tsur yang pernah ditulis orangdan
menduduki peringkat kedua setelah kitab Ibn jarir. Ibn Kasir menafsirkan
kalamullah dengan hadis dan asar yang disandarkan kepada pemiliknya, serta
membicarakan pula masalah jarh dan ta’dil yang diperlukan, mentajihkan sebagian
pendapat atas yang lain, menetapkan lemah” pada sebagian riwayat dan menyatakan
shahih pada riwayat yang lain.
BAB III
ANALISIS
A.
Latar Belakang
Munculnya Tafsir bi al-Ma’tsur
Nabi Muhammad
saw bukan hanya bertugas menyampaikan Al-Quran, melainkan sekaligus
menjelaskannya kepada umat sebagaimana ditegaskan Allah di dalam surat al-Nahl
ayat 44:
“(...Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr (Alqur’an), agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka...)”
Dan 64:
(Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (Alqur’an) ini,
melainkan agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan di
dalamnya...)
Kecuali
penafsiran dari Nabi saw, ayat-ayat tertentu juga berfungsi menafsirkan ayat
lain. Ada yang langsung ditunjukan oleh Nabi bahwa ayat-ayat tersebut
ditafsirkan oleh ayat lain; ini masuk kelompok tafsir bi al ma’tsur (tafsir melalui riwayat) seperti kata zhulm (aniaya) di dalam al-An’am ayat
82:
”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Ditafsirkan
oleh Rasul Allah dengan syirk
(menyekutukan Allah) yang terdapat di dalam ayat 13 dari Lukman:
Dan ada pula
yang ditunjukkan oleh ulama berdasarkan ijtihad, ini masuk kategori tafsir bi al-ra’y sebagaimana akan dibahas.
Para sahabat
menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi saw secara musyafahat (dari mulut ke mulut), demikian pula generasi
berikutnya, sampai datang masa tadwin (pembukuan) ilmu-ilmu Islam, termasuk
tafsir sekitar abad ke-3 H. Cara penafsiran itulah, yang merupakan cikal bakal
apa yang disebut juga ‘tafsir bi
al-riwayat’. Dengan demikian, para sahabat umumnya dapat menafsirkan
Alqur’an. Namun yang paling menonjol di antara mereka adalah sepuluh orang
yaitu “khalifah yang empat, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ubayy bin Ka’b, Zayid bin
Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan ‘Abd Allah bin al-Zubayr”.[19]
B.
Relasi antara
Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi
Pengertian Tafsir
bil al-ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih
yaitu menafsirkan Qur’an dengan Qur’an,
dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan
sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang
dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umunya mereka menerimanya dari
para sahabat.[20]
Sedangkan, pengertian tafsir bi al Ra’yi itu sendiri ialah upaya memahami nash
Alquran atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir yang memahami betul bahasa Arab
dari segala sisinya, mengerti betul lafadh-lafadhnya, dan dalalahnya, mengerti
syair-syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul Asbabunuzul,
mengerti Nasikh Mansukh di dalam Alquran dan menguasai ilmu lain yang
dibutuhkan seoranf mufassir.[21]
Mengenai kedua
pengertian tafsir tersebut, tafsir bi al-ma’tsur itu tetap menjadikan riwayat
sebagai dasar; sedangkan tafsir bi al-ra’yi berangkat dari pemikiran (ijtihad),
kemudian dicari argumen berupa ayat-ayat Al Quran, Sunah Nabi, dan sebagainya
untuk mendukung penafsiran tersebut. Dengan demikian tafsir bi al-ma’tsur lebih
banyak memakai riwayat ketimbang tafsir bi al-ra’yi sebagaimana dijumpai dalam
kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur antara lain Tafsir al-Thabari, Ibn Katsir,
al-Durr al-Mantsur karangan al-Suyuthi, dan lain-lain.
Namun perlu
diingat bahwa penafsiran Nabi itu terdiri atas dua kategori: 1) sudah terinci.
Ini biasanya menyangkut masalah ibadah seperti kewajiban shalat, zakat puasa,
haji dan sebagainya. Semua ini sudah terinci dan tak dikembangkan lagi. Artinya
apa yang telah digariskan oleh Nabi saw berkenaan dengan masalah-masalah ibadah
tidak perlu ditafsirkan lagi tapi cukup dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
tersebut, tak boleh diubah sedikitpun. Dan 2) dalam garis besarnya, atau boleh
disebut pedoman dasar yang dapat dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Ini
biasanya berhubungan dengan masalah-masalah muamalah (kemasyarakatan) seperti
hukum, urusan kenegaraan, kekeluargaan, dan sebagainya. Dalam lapangan inilah
diperlukan ijtihad supaya pedoman-pedoman yang telah digariskan oleh Nabi saw
dapat diaktualisasikan dan diterapkan di tengah masyarakat sesuai dengan
tuntutan zaman. Dengan demikian, Al Qur’an akan selalu terasa modern dan
updated serta mampu membimbing umat ke jalan yang benar. Di sinilah diperlukan
tafsir bi al-ra’yi yang berdasarkan Al Qur’an dan hadis bukan berdasarkan
pemikiran semata.[22]
C.
Pro Kontra
Seputar Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi
al-Ma’tsur berkisar pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat ini.
Perbedaan pendapat di antara mereka sedikit sekali jumlahnya dibandingkan dengan
yang terjadi pada generasi sesudahnya. Sebagian besar perbedaan tersebut hanya
terletak pada aspek redaksional yang sedang maknanya tetap sama, atau hanya
berupa penafsiran kata-kata yang umum dengan salah satu makna yang dicakupnya.
Menurut Ibnu
Taimiyah, perbedaan pendapat dalam tafsir di kalangan salaf sedikit jumlahnya.
Dan pada umumnya perbedaan itu hanya berkonotasi keberagaman pendapat, bukan
kontradiksi. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:
Pertama, seorang mufassir di antara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata
dengan redaksi berbeda dengan redaksi lainnya. Masing-masing redaksi itu
menunjuk makna yang juga berbeda, tetapi pada dasarnya memiliki maksud yang
sama. Misalnya penafsiran kata ash-shirat
al- mustaqim. Sebagian menafsirkan dengan makna “Al-Qur’an”, maksudnya
mengikuti Al-Qur’an, sedang yang lain maknanya “Islam”. Kedua tafsiran ini
sama, sebab ber-Islam berarti mengikuti Al-Qur’an. Hanya saja masing-masing
penafsiran itu menggunakan pola berbeda satu dengan lainnya.
Kedua, masing-masing mufassir menafsirkan kata-kata yang bersifat umum
dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak maknanya sebagai contoh,
dan untuk mengingatkan pendengar bahwa kata tersebut mengandung bermacam-macam
makna, bukan hanya satu. Misalnya penafsiran tentang firman Allah: Al-Qur’an
Fathir: 32 “Kemudian kitab itu Kami
wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di
antara mereka ada yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada
yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat
kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar.”
Disebutkan
bahwa “sabiq” adalah orang yang
menenuaikan shalat di awal waktu. “Muqtashid”
adalah melakukan shalat di tengah waktu. Sedang “zhalim” ialah orang yang mengakhirkan shalat Ashar sampai langit
berwarna kekuning-kuningan. Mufassir lain mengatakan, “sabiq” orang yang berbuat baik yaitu bersedekah di sampin zakat. “Muqtashid”, orang yang hanya menenuaikan
zakat wajib saja. Adapun “zhalim”,
adalah orang yang enggan membayar zakat.
Perbedaan
pendapat seperti itu kadang-kadang disebabkan oleh satu lafazh yang mengandung
dua makna, seperti kata ‘as’as mempunya arti datangnya waktu malam dan
kepergiannya. Atau karena beberapa kata yang digunakan menyampaikan
pesan-pesan, memiliki makna yang saling berdekatan. Misalnya kata “tubsal”, sebagian menafsirkannya dengan
“tuhbas” (ditahan) dan sebagian lain
dengan “turhan” (tergadai, dijadikan
jaminan). Masing-masing penafsiran ini berdekatan satu dengan yang lain.
Perbedaan
pendapat di kalangan mufassir terkadang terjadi pada hal-hal yang pada dasarnya
tidak perlu diketahui, seperti penukilan sebagian mufassir terhadap kisah-kisah
Israiliyat dari Ahlul Kitab yang
berhubungan dengan kasus Ashhab Al-Kahfi
(orang yang bersembunyi di dalam goa). Mereka berbeda pendapat tentang
nama-nama, warna anjing dan jumlah mereka. Padahal tentang hal ini Allah telah
berfirman, “Katakanlah Tuhanku lebih
mengetahui jumlah mereka, tidak ada orang yang mengetahui bilangan mereka
kecuali sedikit.” (Al-Kahfi:22)
Juga mereka
berselisih tentang ukuran kapal Nabi Nuh dan jenis kayunya, nama anak yatim
dibunuh oleh Khidir, nama-nama burung yang dihidupkan Allah untuk Nabi Ibrahim,
jenis kayu tongkat Musa dan lain-lain. Hal seperti itu hanya bisa diketahui
melalui metode periwayatan. Maka apa yang dinukil dengan riwayat yang shahih
dari Nabi boleh diterima, namun jika tidak ada yang shahih hendaknya kita
tawaqquf (diam), meskipun hati kita merasa cenderung untuk menerima apa yang
diriwayatkan dari para sahabat, sebab periwayatan mereka dari Ahli Kitab
relatif lebih sedikit dari pada tabi’in.
BAB IV
KAJIAN KRITIS
Telah
dijelaskan bahwa penafsiran bi al-ma’tsur ini dari al-Qur’an dengan al-Qur’an
dan al-Qur’an dengan hadis shahih tidak diragukan lagi dan dapat diterima serta
tidak ada perbedaan didalamnya, namun dengan Ma’tsur dari sahabat dan tabi’in
terdapat kelemahan diantaranya:
1.
Terjadinya campur baur antara yang sahih dan yang tidak sahih dan
banyak pendapat yang dihubungkan kepada para sahabat dan tabiin tampa ada isnad
dan penelitian yang mengakibatkan campurnya kebenaran dengan kebathilan.
2.
Riwayat-riwayat tersebut penuh dengan certa-cerita Isra’iliyat yang
memuat banyak khurafat yang bertentangan
dengan Akidah Islam, hal itu sengaja disusupkan kepada kaum muslimin dari ahli
kitab.
3.
Sebagian ulama mazhab memutar balikan beberapa pendapat, mereka
berbuat kebathilan lalu menyadarkannya kepada sebagian para sahabat seperti
para ulama Mazhab Syi’ah
4.
Sesunguhnya musuh-musuh
Islam dari golongan kafir Zindiq bersembunyi dibelakang para sahabat dan para
tab’in sebagaimana mereka ersembunyi dibelakang Rasulullah saw, dalam rangka
misinya merobohkan agama dengan cara sembunyi dan menyusup, maka dari itu perlu
adanya penelitian yang sungguh-sunguh terhadap pendapat-pendapat yang
disandarkan kepada para sahabat dan tabiin.[23]
Said
Agil menambahkan keterkaitan kelemahan dari tafsir bi al-ma’tsur dianataranya
dia mengatakan bahwa: : masuknya orang zindiq kedalam Islam dari Yahudi,
Nasrani dan Romawi yang tdak bisa meninggalkan budaya aslinya dan dengan
latarbelakang dan motivasi tertentu, perpecahan karena perbuatan
politik, setiap kelompok berusaha unutk membela anggotanya dan pendiriannya,
lalu menafsirkan ayat-ayat tertentu.
Mengenai
batasan yang ada pada tafsir bi al-ma’tsur. Al-Zarqani misalnya, membatasi pada
“tafsir yang diberikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, sunnah, dan para sahabat”.[24]
Dalam batasan itu jelas terlihat, tafsir yang diberikan oleh tabi’in tidak
termasuk kelompok al-ma’tsur, sementara ulama lain, seperti al-Dzahabi
memasukkan tafsir tabi’in ke dalam al-ma’tsur karena menurut pendapatnya,
meskipun tabi’in tidak menerima tafsir secara langsung dari Nabi saw, namun
kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur, demikian al-Dzahabi, memuat tafsir mereka,
seperti tafsir al-Thabari, tidak hanya berisi tafsiran dari Nabi dan sahabat,
melainkan juga memuat tafsir dari tabi’in.[25]
Keengganan
al-Zarqani memasukkan penafsiran tabi’in ke dalam al-ma’tsur dilatarbelakangi
oleh kenyataan: banyak di antara tabi’in itu terlalu terpengaruhi oleh
riwayat-riwayat israi’liyyat yang berasal dari kaum Yahudi dan Ahli Kitab
lainnya seperti terlihat dalam kisah para Nabi, penciptaan alam, ashab
al-kahfi, kota iram, dan sebagainya. Kisah-kisah semacam ini [tulis al-Zarqani
mengutip dari Ibn Katsir] “lebih banyak bohongnya dari pada benar”. Para parawi
dari kalangan tabi’in membenarkannya, bahkan juga sebagian sahabat. Karena
itulah [tambahnya] Imam Ahmad berkata, “Ada tiga hal yang tidak punya dasar,
yaitu tafsir, kisah pertempuran, dan peperangan.[26]
Terlepas
dari setuju atau tidak setuju terhadap kedua pendapat itu, yang menjadi
persoalan dalam kajian al-ma’tsur, ialah 1) apakah yang dimaksud dengan
al-ma’tsur tersebut, penafsiran yang telah diberikan Nabi dan para sahabat;
atau 2) penafsiran Al-Quran berdasarkan bahan-bahan yang diwarisi dari Nabi
berupa Al-Quran dan sunnah, serta pendapat sahabat. Dalam hal yang pertama,
ma’tsur menjadi sifat bagi tafsir; dan dalam hal yang kedua, ia menjadi sifat
bagi sumber-sumber yang digunakan dalam penafsiran. Kedua permasalahin ini
mempunyai implikasi yang besar dalam penafsiran. Jika yang pertama diterima,
maka tafsir bi al-ma’tsur ialah sesuatu yang telah baku dan tidak dapat
dikemabngkan lagi. Dalam hal ini, tugas mufassir hanya meneliti sanadnya,
apakah sahih atau tidak? Jika ternyata shahih, maka penafsiran tersebut diterima,
tapi jika tidak, maka penafsiran itu ditolak. Apabila pengertian yang kedua
diterima, maka tafsir bi al-ma’tsur dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan
zaman karena dalam pengertian yang kedua itu masih terbuka bagi mufassir untuk
mengembangkan pemikiran dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Mengenai
hal ini penulis merasa tafsir yang dilakukan oleh para Nabi dan para sahabat
dapat juga disebut dengan tafsir bi al-ra’yi karena Nabi merupakan mufassir
pertama yang menafsirkan Al-Qur’an, ketika Nabi merupakan menerima wahyu beliau
langsung menjelaskan maksud ayat yang diterimanya kepada para sahabat karena Al
Qur’an turun dengan bahasa Arab, bahasa yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw
dan bangsa Arab.
Rasulullah
saw adalah penafsir pertama Al-Qur’an, sementara para sahabat mengutip
penafsiran Rasul saw. Rasulullah saw menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada
para sahabat atau hukum yang Rasul sampaikan kepada mereka, baik berupa
perkataan, perbuatan, penetapan. Sebagaimana Rasulullah menjelaskan kepada mereka
tentang cara pelaksanaan shalat dan haji dengan bentuk perbuatan.[27]
Para
sahabat Nabi apabila tidak menemukan tafsir Al-Qur’an dan juga tidak ada
penjelasan dari Nabi, maka mereka akan berijtihad dan melaksanakan hasil
ijtihadnya, lalu pendapatnya akan dijadikan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Hal
ini dikarenakan para sahabat Nabi adalah orang Arab asli dan mereka juga
mengetahu tentang makna-makan dalam Al-Qur’an dan juga karena mereka hidup pada
masa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi, mereka juga mengetahu Asbab nuzul
Al-Qur’an, kondisi saat turunnya Al-Qur’an.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat disimpulkan pengertian tafsir
bil al-ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih
yaitu menafsirkan Qur’an dengan Qur’an,
dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan
sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang
dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umunya mereka menerimanya dari
para sahabat.
Dari pengertian diatas ada sebagia
ulama yang berpendapat bahwa para tabi’in tidak termasuk dalam tafsir bi
al-ma’tsur, hal ini dikarenakan para ulama berpendapat banyak di antara tabi’in
itu terlalu terpengaruhi oleh riwayat-riwayat israi’liyyat yang berasal dari
kaum Yahudi dan Ahli Kitab lainnya seperti terlihat dalam kisah para Nabi,
penciptaan alam, ashab al-kahfi, kota iram, dan sebagainya. Kisah-kisah semacam
ini [tulis al-Zarqani mengutip dari Ibn Katsir] “lebih banyak bohongnya dari
pada benar”. Para parawi dari kalangan tabi’in membenarkannya, bahkan juga
sebagian sahabat. Karena itulah [tambahnya] Imam Ahmad berkata, “Ada tiga hal
yang tidak punya dasar, yaitu tafsir, kisah pertempuran, dan peperangan.
Mengenai hal ini tugas mufassir itu sendiri hanya meneliti sanadnya saja,
apakah shahih atau tidak? Jika ternayat shahih maka penafsiran tersebut dapat
diterima, tapi jikat tidak, maka penafsiran itu di tolak.
Akan tetapi tidak semua ulama berpendapat seperti itu, ada juga
sebagian ulama yang memasuka tabi’in ke dalam tafsir bi al-ma’tsur, hal ini
dikarenakan menurut mereka meskipun tabi’in tidak menerima tafsir langsung dari
Nabi saw, namun kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur, demikian al-Dzahabi, memuat
tafsir mereka, seperti tafsir al-Thabari, tidak hanya berisi tafsiran dari Nabi
dan sahabat, melainkan juga memuat tafsir dari tabi’in.
DAFTAR
PUSTAKA
Mustaqim Abdul. aliran-aliran Tafsir. Yogyakarta:
Kreasi kencana, 2005.
Usman. ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2009.
al-Qattan
Manna Khaill. Mabahis Fi ulumil Qur’an Terjemah Mudzakir. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Cet-15. Bogor: PT Pustaka
Litera AntarNusa, 2012.
Sejarah dan Metodologi Tafsir. Cet. II. Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 1994.
Ali
Ash-Shabuni Muhammad. At-Tibyan fi Ulumil Qu’an Penerjemah Muhammad
Qodirun Nur Judul Terjemahan Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta:
Pustaka Amani, 2001.
Al-Munawar
Said Agil Husin. Al-Qur’an membangun Tradisi keshaehan Hakiki. Cet ke-2.
Ciputat:Ciputat Press, 2002.
Nizhan Abu. Buku Pintar
Al-Qur’an. Jakarta: Qultum media, 2008.
Ash
Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu-Ilmu al Qur’an. Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2002.
al-Nasafi Abd Allah bin Ahmad Mahmud. Tafsir al-Nasafi. Mesir: ‘Isa al-Bab
al-Halabi, t.th.
al-Qattan
Manna Khaill. Mabahis Fi ulumil Qur’an Terjemah Mudzakir. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Cet-15. Bogor: PT Pustaka
Litera AntarNusa, 2012.
Al-Dzahabi Husein. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Al-Qohirah: Maktabah Wahbah, 2003.
Baidan Nashruddin. Metode Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
al-Iskan
Al-Khatib. Durrat al-Tanzil wa Ghurrat
al-Ta’wil. Riwayat Ibn Abi al-Farj al-Urdustani. Cet. IV. Bairut: Dar
al-Afaq al-Jadidat, 1981.
al-Finisan
Saud Bin Abdullah. Ikhtilaf al-Mufassirin
Asbabuhu wa Atsaruhu. Riyadh: Dar Isybiliya, 1997.
[1]Abdul Mustaqim, aliran-aliran
Tafsir, (yogyakarta: Kreasi kencana,2005), hlm. 1
[2]Usman, ilmu Tafsir,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 1
[3]Manna Khaill al-Qattan,
Mabahis Fi ulumil Qur’an Terjemah Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Cet-15, (Bogor:
PT Pustaka Litera AntarNusa, 2012), hlm.482-483.
[4]Ali Hasan
Al-Araidi, terjemahan dari buku aslinya Tarikh ilm al-Tafsir wa Manahij
al-Mufassirin, oleh Ahmad Arkom dengan Judul Terjemahan Sejarah dan
Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, cet-2, 1994), hlm.
41.
[5]Syekh muhammad
Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qu’an Penerjemah Muhammad Qodirun
Nur dengan Judul Terjemahan Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (jakarta:
Pustka Amani, 2001), hlm. 99-100.
[6]Said Agil Husin
Al-Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi keshaehan Hakiki, Cet ke-2, (Ciputat:Ciputat
Press, 2002), hlm.71.
[7]Abu Nizhan, Buku
Pintar Al-Qur’an,(jakarta: Qultum media, 2008), hlm. 44.
[8]Said Agil Husin
Al-Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi keshaehan Hakiki. hlm 77.
[9]Q.S. Al-Hajj
(22): 30; Al-ma’idah (5): 03; Q.S. At-Thariq (86):1; Q.S. Al-Baqarah (2 ) :37.
[10]Q.S. Ad-Dukhan
(44): 03; Q.S. Al-Qodr (97): 01, Q.S. Al-An’am (06):82; Q.S. al-Luqman (31):13
[11]Q.S.
Al-Insyiqoq [(84):7-9; Q.S. Al-Baqarah (02):238; Q.S. Yunus (10):26.
[12]Syekh muhammad
Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, hlm, 99-105
[13]Syekh muhammad
Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, hlm, 106
[14]Abu Nizhan, Buku
Pintar Al-Qur’an. hlm. 44.
[15]Terjemah
Mudzakir, Judul Asli, Mabahis Fi ulumil Qur’an, Terjemah, Studi
Ilmu-ilmu Qur’an, hlm. 486.
[16]Al Munawar, keshaehan Hakiki, hlm. 77-80.
[17]Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, ilmu-ilmu al Qur’an, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2002). hlm.227.
[19]‘Abd Allah bin Ahmad
Mahmud al-Nasafi, Tafsir al-Nasafi,
(Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halabi, t.th.), hlm. 173.
[20]Manna Khaill
al-Qattan, Mabahis Fi ulumil Qur’an Terjemah Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Cet-15, (Bogor:
PT Pustaka Litera AntarNusa, 2012), hlm.482-483.
[21]Husein Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Al-Qohirah:
Maktabah Wahbah, 2003), Jilid I, hlm. 183.
[22]Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 45.
[23]Syekh muhammad
Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qu’an, hlm. 107
[24]Al-Khatib al-Iskan, Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil,
Riwayat Ibn Abi al-Farj al-Urdustani, (Cet. IV, Bairut: Dar al-Afaq al-Jadidat,
1981), hlm.112.
[25]Al-Khatib al-Iskan, Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil,
Riwayat Ibn Abi al-Farj al-Urdustani, hlm. 112.
[27]Saud Bin Abdullah
al-Finisan, Ikhtilaf al-Mufassirin Asbabuhu wa Atsaruhu, (Riyadh: Dar
Isybiliya, 1997), hlm. 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar