Rabu, 24 Mei 2017

Studi Qur'an - Tafsir bi Al-Ma'tsur

Tafsir bi Al-Ma’tsur
  

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Al-qur’an yang dalam memori kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, menjadikan ia sebagai “petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian rupa, sehingga tidak ada sesuatu apapun yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasannya, bila disimpulkan bahwa penjelasan Al-Qur’an adalah secara Universal dan aktualisasi makna yang terkandung didalamnya sesuai dengan kondisi ummat dari zaman sebelum Nabi Muhammad saw hingga zaman modern saat ini, berbagai cara dilakukan untuk memahami kandungan al-Qur’an. Dari zaman Nabi dilakukan secara lisan dari generasi kegenasi hingga tahun ke-2 Hijrah barulah ada pengkodifikasian. Hingga saat ini banyak para pakar Islam membongkar kandungan alQur’an atau memaknai al-Qur’an bermunculan sehingga dari masing-masing kajian keilmuan memiliki cara tersendiri untuk memaknai kandungan-kandungan al-Qur’an yang mereka mengerti dan pahami. Mulai dari khusus dalam bidang, fiqh, filsafat dan lain sebagainya.
Tafsir merupakan upaya dan ikhtiar alami manusia untuk memahami pesan Ilahi yang tercantum dalam al-Qur’an[1]. Upaya tersebut ditunjukan untuk menurunkan nilai dan maksud Ilahi dalam nilai-nilai praktis kehidupan dan bagian dari usaha manusia untuk mempermudah memahami kandungan al-Quran yang Allah turunkan untuk kehidupan manusia agar supaya manusia lebih banyak mengambil pelajaran untuk diamalkan dalam kehidupannya  dengan terperinci sesuai kemampuan ummat saat ini. Perkembangan keilmuan dalam karya tafsir menyebabkan terjadinya keragaman metode dan corak penafsiran,



seiring dengan munculnya metode tahlili (analitis) yang memberikan ruang lingkup  yang luas bagi seorang mufasir untuk menuangkan segala ide yang ada dalam pikirannya, perbedaan keilmuan dan kecenderungan pola pikir dari masing-masing mufasir telah memberikan banyak warna dan nuansa pada karya tafsir yang telah berkembang hingga saat ini.[2]  Dari berbagai perkembangan yang terjadi ini merupakan menifestasi peningkatan keilmuan dan keragaman corak berfikir umat Islam yang membahas tentang kandungan al-Qur’an dari berbagai Ilmu yang membuat warna warni dalam pembahasannya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian at-Tafsir bi al-Ma’tsur ?
2.      Apa yang melatarbelakangi muculnya at-Tafsir bi al-Ma’tsur ?
3.      Bagaimana relasi antara at-Tafsir bi al-Ma’tsur dan at-Tafsir bi al-Ra’yi ?
C.      Tujuan
1.      Mengetahui apa pengertian dari at-Tafsir bi al-Ma’tsur
2.      Mengetahui latar belakang mengapa at-Tafsir bi al-Ma’tsur itu muncul
3.      Mengetahui sejauh mana relasi antara at-Tafsir bi al-Ma’tsur dan at-Tafsir bi al-Ra’yi









BAB II
PEMBAHASAN

A.      At-Tafsir bi al-Ma’tsur
1.        Pengertian at-Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bil al-ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih yaitu menafsirkan  Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umunya mereka menerimanya dari para sahabat.[3] Sedangkan Ali Hasan Al-Araidi mengatakan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap maksud ayat al-Qur’an yang lain.[4] Ia menambahkan bahwa yang termasuk kedalam tafsir bi al-Ma’tsur adalah pertama, penafsiran al-Qur’an dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah saw untuk menjelaskan sebagian kesulitan yang ditemui oleh para sahabat semasa Rasulullah saw masih hidup. Kedua, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka dan yang ketiga, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat tabi’in untuk menjelaskan kesamaran yang ditemui oleh kaum muslimin tentang sebagian makna al-Qur’an. Dikatakan oleh Syekh muhammad Ali Ash-Shabuni dalam bukunya At-Tibyan fi Ulumil Qu’an bahwa at-Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an atau Hadis atau ucapan sahabat untuk menjelaskan sesuatu yang dikehendaki Allah Swt.[5]
Beda halnya dengan Said Agil Husin Al-Munawar mengatakan bahwa Tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap ayat al-Quran yang lain, termasuk tafsir bi al-Ma’tsur yaitu penafsiran al-Qur’an dengan hadis-hadis yang diriwatkan dari Rasulullah saw, penaafsiran al-Qur’an dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka, dan penafsiran al-Qur’an dengan pendapat tabi’in.[6] Begitupun hampir serupa yang dikatakan oleh Abu Nizhan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah metode menafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadis atau perkataan para sahabat, karena para sahabatlah yang lebih paham maksud kandungan al-Qur’an , selain itu mereka langsung mendengar penjelasan langsung dari Rasulullah saw, dan merupakan saksi atas turunya al-Qur’an dan beliau menambahkan tokoh dalam hal ini yang paling ahli adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan Abdllah bin mas’ud.[7]
Said Agil Husin al Munawir  mengatakan bahwa Ada beberapa perselisihan diantara para mufasir, apakah riwayat dari tabiin mendekati mendekati tafsir bi al-Ma’tsur atau tafsir penalaran, berbagai pendapat, mayoritas mengatakan, bahwa tafsir dari riwayat tabi’in  adalah juga katagori Tafsir bi al-Ma’tsur, karena mereka hidup dan bergaul dengan para sahabat Nabi serta mereka menimba Ilmu dengan para sahabat Nabi,. Disamping itu, para tabi’in adalah orang dahulu yang baik-baik yang mendapatkan julukan dari Nabi sebagai generasi yang terbaik, sehingga dalam tafsir Ibnu Jarir tidak saja dicantumkan riwayat dari Rasul saw, sahabat tetapi juga riwayat dari tabi’in.[8]
Pendapat Syekh Muhammad Ali As-Shabuni dalam bukunya at-Tibyan Ulumil Qur’an bahwa pertama, Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Kedua, penafsiran Al-Qur’an dengan Hadis Nabi. Ketiga, Penafsiran al-Qur’an dengan ucapan para sahabat. Lalu dia mencontohkan diantara ketiganya:
Pertama. contoh dari penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an seperti Contoh Firman Allah:
  ôM¯=Ïmé&ur ãNà6s9 ãN»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNà6øn=tæ (   ÇÌÉÈ                             
Artinya: Telah Dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.(Q.S. al-Hajj: [22]: 30)[9]
Kata (ãöNà6øn=tæ 4n=÷Fマ $tB wÎ)) ditafsirkan dengan Ayat lain:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/  
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, (Q.S. al-maidah:[05]: 03).
Demikian pula dengan ayat:
Ïä!$uK¡¡9$#ur É-Í$©Ü9$#ur ÇÊÈ  
Artinya:  Demi langit dan yang datang pada malam hari. (Q.S. Ath-Thariq: [86]: 1)
Ditafsirkan dengan ayat yang sama
ãNôf¨Y9$# Ü=Ï%$¨W9$# ÇÌÈ  
Artinya: ialah bintang yang cahayanya. (Q.S. Ath-Thariq: [86]: 1)
Kemudian firman Allah:
#¤)n=tGsù ãPyŠ#uä `ÏB ¾ÏmÎn/§ ;M»yJÎ=x. z>$tGsù Ïmøn=tã 4 ¼çm¯RÎ) uqèd Ü>#§q­G9$# ãLìÏm§9$# ÇÌÐÈ  
Artinya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S.al-Baqarah: [02]:37)
Kekmudian ditafsirkan dengan Firman Allah:
Ÿw$s% $uZ­/u !$oY÷Hs>sß $uZ|¡àÿRr& bÎ)ur óO©9 öÏÿøós? $uZs9 $oYôJymös?ur ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»yø9$# ÇËÌÈ                        
Artinya: Keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi. (Q.S. Al-A’raf: [07]:23)
Kemudian dengan firman lain:
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû 7's#øs9 >px.t»t6B 4 $¯RÎ) $¨Zä. z`ƒÍÉZãB ÇÌÈ  
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi  dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (Q.S. Ad-Dukhan [44]: 03)[10]
Ditafsirkan pula dengan firman Allah:
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ                                                                                             
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya Al-Quran pada malam kemuliaan. (Q.S. Al-Qodr: [97]: 01).



Kedua, contoh penafsirkan Al-Qur’an dengan Hadis Nabi saw.

tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ  
Artinya: orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimananya dengan kemusyrikan, untuk mereka keamannya, sedangkan mereka itu mendapat petunjuk.(Q.S. Al-An’am [06]:82)
Nabi saw menafsirkan lafad Adz-zhulmu dan As-Syirku penafsiran tersebut diperkuat dengan firman Allah Swt:
  cÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  
Artinya: Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Q.S. al-Luqman [31]:13)
Nabi menafsirkan Al-Hisaabul Yasiiru dengan kata Al-Ardhi, yakni menyerahkan amal-amal kepada orang mukmin dan mengingatkannya, beliau bersabda:
Artinya: barangsiapa melest perhitungan (hisab)nya, niscaya ditimpakan siksaan.”
Aisyah r.a bertanya: “ya Rasulallah, bukankah Allah Sw berfirman:
$¨Br'sù ô`tB šÎAré& ¼çmt7»tGÏ. ¾ÏmÏYŠÏJuÎ/ ÇÐÈ   t$öq|¡sù Ü=y$ptä $\/$|¡Ïm #ZŽÅ¡o ÇÑÈ   Ü=Î=s)Ztƒur #n<Î) ¾Ï&Î#÷dr& #YrçŽô£tB ÇÒÈ  
Artinya: Adapun orang yang diberikan buku (amalan) dari sebelah kanannya, Maka Dia akan diperhitungkan dengan perhitungkan yang sedikit dan dia akan kembali kepada kelurganya dengan gembira. (Q.S. Al-Insyiqoq [84]:7-9)[11]
Kemudian beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Ardhu adalah Al-Hisabul Yasiira, Juga firman Allah Swt:
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ  
 Artinya: peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu. (Q.S. Al-Baqarah [02]:238).
               Nabi Saw, menafsirkan Ash-shalaatu dengan Shalat Ashar, dan dalam perkatan beliau dalam menaafsirkan kata Al-Maghdhuuubi’alaihim dan Adh-Adhaaliina adalah orang yahudi Nasrani.
Juga dalam menafsirkan firman Allah Azza Wajalla:
* tûïÏ%©#Ïj9 (#qãZ|¡ômr& 4Óo_ó¡çtø:$# ×oyŠ$tƒÎur  ÇËÏÈ  
Artinya: untuk orang-orang yang berbuat kebajikan ad kebajikan dan ada tambahanya... (Q.S. Yunus [10]:26)
Nabi menafsirkan kata Az-ziyadah ialah melihat wajah Allah Swt An-nazhru ila Wajhillahi.
Ketiga, bagian ketiga dari Tafsir bi al-Ma’tsur adalah “tafsir sahabat” ini juga termasuk tafsir yang bisa diterima sebagai pegangan, karena  para sahabat perah berkumpul dengan Rasulullah saw, dan mereka tela meminum air pertolongan beliau yang bersih. Mereka menyaksikan turunnya wahyu dan mereka tahu Asbabunuzul. Mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal memahami secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWT, dan mampu membuat mereka menemukan rahasia-rahasia Al-Qur’an lebih banyak dibandingkan setelahnya.
Imam Al-Hakim berkata: sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah hukum marf’u, atinya bahwa tafsir sahabat itu mempunyai  kedudukan hukum yang sama dengan hadis Nabawi yang diangkat kepada Nabi saw, dengan demikian tafsir sahabat ini termasuk Ma’tsur.[12]
Dari beberapa uraian diatas mengenai tafsir bi al-Ma’tsur dapat disimpulkan bahwa corak tafsir bi al-Ma’tsur ini adalah yang paling agung manakala sanadnya sampai kepada Rasulullah saw, atau kepada sahabat. Namun demikian dari corak tasfir ini tetap memerlukan penelitian riwayat. Al-hafizh Ibn Katsir r.a mengatakan bahwa “sesungguhnya banyak tafsir bil al-Ma’tsur yang disandaarkan para perawi Zindiq Yahudi dan muslim ahli kitab. Hal ini terdapat dalam kisah-kisah para Rasul dan kaumnya, sesuatu yang berhubungan dengan kitab dan mukjizat mereka, juga cerita-cerita selain mereka seperti Ash-Habul Kahfi dan lain sebagainya, oleh karena itu perlu penelitian Riwayat.[13]
Lanjut Abu Nizhan mengatakan bahwa hukum tafsir bi al-Ma’tsur ini adalah harus diikuti dan dijadikan pedoman, karena merupakan jalan pengetahuan yang benar, serta merupakan cara yang paling aman untuk menjaga diri dari tergelincir dan kesesatan dalam memahami kitabullah.[14] Hal serupa juga dikatakan Manna Khalil Al-Qattan bahwa status tafsir ini adalah harus diikuti dan dipedomi karena jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami kitabullah.[15]
Dari kejadiannya tafsir bi al-Ma’tsur mengalami dua periode, yaitu riwayat dan pembukuan, pertama, dalam periode riwayat dimulai dari masa Rasul saw, yang menerangkan ayat-ayat yang sulit dipahami kepada para sahabat.kemudian para sahabat menafsirkan Al-Qur’an dari ketetapan yang telah diberikan Rasul saw atau dari pendapat yang ijtihadnya sendiri. Selanjutnya para tabi’in yang mencurahkan prhatiannya kepada tafsir, mengumpulkan tafsiran-tafsiran dari Rasul saw, sahabat-sahabat Rasul kemudian mereka menambahkan  penafsirannya dengan kemampuan nalar dan ijtihadnya, hingga kemudian datang generasi setelah tabi’in yang melakukan penafsiran sebagaimana pendahulunya samapai berkelanjutan samapai kegenerasi yang lain.
Kedua, adalah periode pembukuan, dimana pada masa pertama kitab Tafsir bi al-Ma’tsur masih bercampur dengan hadis-hadis Rasul saw, hal ini dilakukan oleh Imam Malik bin Anas al-Asbahi, kemudian setelah itu tafsir telah berpisah dengan hadis. Seagaimana dilihat shohifah yang diriwayatkan dari Ali bin Abi thalib dari Ibn Abbas, selanutnya didapatkan satu Juz dan beberapa juz dibukukan tafsir khusus, seperti satu Juz dari Abi Waraq, tiga Juz dari Muhammad bin Tsuri dari Ibn Juraji. Dan akhirnya muncul pembukuan-pembukan tafsir yang banyak sekali, seperti kitab tafsir Ibn Jarir al-Thabari.[16]
Didalam masa tabi’it tabi’in timbulah usaha menyusun kitab-kitab tafsir, dalam masa inilah dikumpulkan pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in. Maka terwujudlah beberapa tafsir, dianaranya tafsir Sufyan ibn Uyainah, tafsir waki ibn Jarrah, tafsir Syu’ban ibn Al-Hajjaj, tafsir Yazib ibn Harun, tafsir ibn Razzaq, tafsir Adam Ibn iyas, tafsir ishaq ibn Rahawih, tafsir ibn Ubadah, tafsir Abd ibn Humaid, tafsir Abu Bakar ibn Abi Syaibah, tafsir Ali bin Abi Thalib, tafsir al-Bukhari dan lain sebagainya. Ibn Jari Ath Thabari menyusun kitab tafsirnya yang sangat terkenal dan dipandang sebagai tafsir yang terbaik. Kemudian muncul pula Ibn Abi Hatim, Ibn Majah,Al-Hakim, Ibn Mardawih, Ibn Hibban dan lain sebagainya.[17]
2.        Tokoh dan karya Tafsir bi al-Ma’tsur
Pada pembahasan ini dari semua pembahasan yang dikemukan oleh beberapa penulis dari buku studi ilmu tafsir sepakat dan tidak ada perselisihan mengenai kurang dan lebihnya karya yang fenomenal dari tafsir bi al-Ma’tsur beserta tokohnya, diantara sekian buku yang terdat pembahasan ini penulis mengambil hanya dua pengarang dari sekian pengarang dan menuliskan tentang ini, diantaranya penulis menukil dari karangan Abu Nizhan dan Manna Khalil al-Qattan diantara keduanya menuliskan karya yang hampir sama, diantara tokoh dan karya tersebut adalah:
a.     Tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas
b.    Tafsir Ibn Uyainah
c.     Tafsir Ibn Abi Hatim
d.    Tafsir Abusy Syeik bin Hibban
e.     Tafsir Ibn Atiah
f.     Tafsir Abu la’is as-Samarkandi, Bahrul Ulum
g.    Tafsir Abu Ishaq, Al-Kasyfu wal Bayan an Tafsiril Qur’an
h.    Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an
i.      Tafsir Ibn Syaibah
j.      Tafsir al-baghawi, Maklmumat Tanzl
k.    Tafsir Abil Fida, Al-Hafiz Ibn Kasir, tafsril Qur’anul Azim
l.      Tafsir as-Sa’labi, al-jawahirul hisan fi tafsiril Qur’an
m.  Tafsir jalaludin asy-Suyuti, Ad-Durrul Mansur fit Tafsiri bil Ma,sur
n.     Tafsir Asy-Syaukani, Fathul Qodir.[18]
Dapat dijelaskan pula bahwa dari bebrapa tokoh dan karya tafsir diatas penulis juga menggambarkan dan menuliskan biografi daari kesemuanya,
a.         Tafsir Ibn Abbas
Satu jilid besar tentang tafsi dinisbahkan (dinyatakan berasal) dari Ibn Abbas, tafsir ini telah dicetak beberapa kali di Mesir dengan nama”Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibn Abbas” kitab ini dihimpun oleh  Abu Tahir Muhammad bin Yakub al-Fairuzabadi asy-Syafe’i, pengarang kamus al-Muhit.
Ibn abbas adalah seoranag sahabat yang dikenal dengan julukan “Turjumanul Qur’an” Umar bin Khathab sangat menghormati dan mempercayai tafsir-tafsirnya. Pada beberapa bagian tafsirnya, Ibn Abbas terkadang  mengutip dari Ahli kitab keterangan-keterangan yang sesuai antara Qur’an dengan Tauran dan Injil namun amatlah terbatas. Ibn Abbas berbeda dengan sahabat-sahabat yang lain, dalam memahami lafaz al-Qur’an banyak merujuk pada syair-syair arab, karena pengetahuannya tentang seluk beluk bahasa arab dan pemahamannya akan sastra arab kuno sangat tnggi dan luas. Dari hal itu ada bebrapa mengkritiki hasil Ibnu Abbas yaitu seperti Prof. Goldziher dalam bukunya al-Mazhibul Islamiyahh fi tafsiril Qur’an, menuduh bahwa ibn Abbas telah mengutip secara bebas dan tampa batas dari ahli kitab. Sama halnya juga prof. Ahm Amin dalam bukunya Fajrul Islam, namun hal itu disanggah oleh Prof Muhammad Husain az-Zahibi dalam bukunya Tafsir wal Mufassirun, Ibn Abbas seperti halnya dengan sahabat-sahabat yang lain.
Diantara jalan perawinya yang paling mashur adalah:
1)        Melalui Muawiyah bin Salih, Ali bin Abi Talhah dari Ibn Abbas
2)        Melalui Qais bin Muslim al-Kufi, dari Ata bin As-Sa’ib dari Said bin Jubair
3)        Melalui Ibn Ishaq, dari Muhammad bin Muhammad maula keluarga Zaid bin Tsabit dari Ikrimah atau Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas
4)        Melalui Ismail Bin Abdurrahman as-Sadi al-Kabir dari Abu Malik pada suatu saat dan dari Abu Salih pada saat yang lain.
5)        Melalui Abu Malik bin Juraij
6)        Melalui Dahhak bin Muzahim al-Hilali
7)        Melalui Atiyah al-Aufi
8)        Melalui Muqatil bin Sulaiman al-Azadi sl-Khurrasani
9)        Melalui Muhammad as-Sa’ib al-kalbi dari Abu salih
b.      Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an, Oleh at-Tabari
at-Tabari ini dipandang sebagai salah satu tokoh terkemuka yang menguasai benar berbagai disiplin Ilmu dan telah meninggalkan warisan keislaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan baik dari setiap generas dan masa. Ia mendapatkan popularitas yang luas melalui dua buah karyanya, tarikhul Umam wal muluk tentang sejarah dan Jmiul Bayan fi Tafsiril Qur’an tentang Tafsir. Kedua buku tersebut termasuk dianta sekian banyak rujukan ilmiah paling penting bahkan buku tafsirnya merupakan rujukan Utama bagi Para Mufasir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bi al-Ma’tsur.
c.       Al-Muharrarul Wajiz fi tafsiril Kitabil Aziz, Oleh Ibn Atiyah
Ibn Atiyah adalah salah satu Hakim diandalus (Spanyol) yang terkenl, ia tumbuh dilingkungan keluarga berilmu dan penuh keutamaan, ia adalah seorang ahli fikih besar, menguasai ilmu-Hadis, tafsir, bahasa dan sastra, cerdas serta baik pemahamannya dan pendukung utama mazhab Malik, kitab Tafsirnya berjudul al-Muharrarul wajiz fi Tafsiril Kitabil Aziz. Ibnu Taimiyah mengatakan; Tafsir Ibn Atiyah dan yang serupa dengannya lebih mengikuti mazhab Ahlus sunah wal jamaah dan lebih selamat dari bid’ah dibanding tafsir Zamakysari.
d.      Tafsirul Qur’anil Azim, Oleh Ibn Kasir
Imaduddin Abu Fida Isma’il bin Amr bin Kasir adalah seorang imam besar dan seorang hafiz, ia belajar kepada Ibn Taimiyah dan mengikuti dalam sejumlah besar pendapatnya, para ulamapun mengakuui keluasan ilmunya terutama dalam bidang tafsir, hadis dan sejarah. Kitab sejarahnya al-Bidayah wan Nihayah merupakan rujukan utama dalam sejarah Islam,  dan kitab tafsirnya Tafsirul Quranil Azim merupakan tafsir paling terkenal diantara sekian banyak tafsir bi al-ma’tsur yang pernah ditulis orangdan menduduki peringkat kedua setelah kitab Ibn jarir. Ibn Kasir menafsirkan kalamullah dengan hadis dan asar yang disandarkan kepada pemiliknya, serta membicarakan pula masalah jarh dan ta’dil yang diperlukan, mentajihkan sebagian pendapat atas yang lain, menetapkan lemah” pada sebagian riwayat dan menyatakan shahih pada riwayat yang lain.



BAB III
ANALISIS
A.    Latar Belakang Munculnya Tafsir bi al-Ma’tsur
Nabi Muhammad saw bukan hanya bertugas menyampaikan Al-Quran, melainkan sekaligus menjelaskannya kepada umat sebagaimana ditegaskan Allah di dalam surat al-Nahl ayat 44:
“(...Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr (Alqur’an), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka...)”
Dan 64:
(Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (Alqur’an) ini, melainkan agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan di dalamnya...)
Kecuali penafsiran dari Nabi saw, ayat-ayat tertentu juga berfungsi menafsirkan ayat lain. Ada yang langsung ditunjukan oleh Nabi bahwa ayat-ayat tersebut ditafsirkan oleh ayat lain; ini masuk kelompok tafsir bi al ma’tsur (tafsir melalui riwayat) seperti kata zhulm (aniaya) di dalam al-An’am ayat 82:
”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Ditafsirkan oleh Rasul Allah dengan syirk (menyekutukan Allah) yang terdapat di dalam ayat 13 dari Lukman:
Dan ada pula yang ditunjukkan oleh ulama berdasarkan ijtihad, ini masuk kategori tafsir bi al-ra’y sebagaimana akan dibahas.
Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi saw secara musyafahat (dari mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya, sampai datang masa tadwin (pembukuan) ilmu-ilmu Islam, termasuk tafsir sekitar abad ke-3 H. Cara penafsiran itulah, yang merupakan cikal bakal apa yang disebut juga ‘tafsir bi al-riwayat’. Dengan demikian, para sahabat umumnya dapat menafsirkan Alqur’an. Namun yang paling menonjol di antara mereka adalah sepuluh orang yaitu “khalifah yang empat, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ubayy bin Ka’b, Zayid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan ‘Abd Allah bin al-Zubayr”.[19]



B.     Relasi antara Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi
Pengertian Tafsir bil al-ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih yaitu menafsirkan  Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umunya mereka menerimanya dari para sahabat.[20] Sedangkan, pengertian tafsir bi al Ra’yi itu sendiri ialah upaya memahami nash Alquran atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadh-lafadhnya, dan dalalahnya, mengerti syair-syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul Asbabunuzul, mengerti Nasikh Mansukh di dalam Alquran dan menguasai ilmu lain yang dibutuhkan seoranf mufassir.[21]
Mengenai kedua pengertian tafsir tersebut, tafsir bi al-ma’tsur itu tetap menjadikan riwayat sebagai dasar; sedangkan tafsir bi al-ra’yi berangkat dari pemikiran (ijtihad), kemudian dicari argumen berupa ayat-ayat Al Quran, Sunah Nabi, dan sebagainya untuk mendukung penafsiran tersebut. Dengan demikian tafsir bi al-ma’tsur lebih banyak memakai riwayat ketimbang tafsir bi al-ra’yi sebagaimana dijumpai dalam kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur antara lain Tafsir al-Thabari, Ibn Katsir, al-Durr al-Mantsur karangan al-Suyuthi, dan lain-lain.
Namun perlu diingat bahwa penafsiran Nabi itu terdiri atas dua kategori: 1) sudah terinci. Ini biasanya menyangkut masalah ibadah seperti kewajiban shalat, zakat puasa, haji dan sebagainya. Semua ini sudah terinci dan tak dikembangkan lagi. Artinya apa yang telah digariskan oleh Nabi saw berkenaan dengan masalah-masalah ibadah tidak perlu ditafsirkan lagi tapi cukup dilaksanakan sesuai dengan ketentuan tersebut, tak boleh diubah sedikitpun. Dan 2) dalam garis besarnya, atau boleh disebut pedoman dasar yang dapat dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Ini biasanya berhubungan dengan masalah-masalah muamalah (kemasyarakatan) seperti hukum, urusan kenegaraan, kekeluargaan, dan sebagainya. Dalam lapangan inilah diperlukan ijtihad supaya pedoman-pedoman yang telah digariskan oleh Nabi saw dapat diaktualisasikan dan diterapkan di tengah masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan demikian, Al Qur’an akan selalu terasa modern dan updated serta mampu membimbing umat ke jalan yang benar. Di sinilah diperlukan tafsir bi al-ra’yi yang berdasarkan Al Qur’an dan hadis bukan berdasarkan pemikiran semata.[22]
C.    Pro Kontra Seputar Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur berkisar pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat ini. Perbedaan pendapat di antara mereka sedikit sekali jumlahnya dibandingkan dengan yang terjadi pada generasi sesudahnya. Sebagian besar perbedaan tersebut hanya terletak pada aspek redaksional yang sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa penafsiran kata-kata yang umum dengan salah satu makna yang dicakupnya.
Menurut Ibnu Taimiyah, perbedaan pendapat dalam tafsir di kalangan salaf sedikit jumlahnya. Dan pada umumnya perbedaan itu hanya berkonotasi keberagaman pendapat, bukan kontradiksi. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:
Pertama, seorang mufassir di antara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi berbeda dengan redaksi lainnya. Masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang juga berbeda, tetapi pada dasarnya memiliki maksud yang sama. Misalnya penafsiran kata ash-shirat al- mustaqim. Sebagian menafsirkan dengan makna “Al-Qur’an”, maksudnya mengikuti Al-Qur’an, sedang yang lain maknanya “Islam”. Kedua tafsiran ini sama, sebab ber-Islam berarti mengikuti Al-Qur’an. Hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan pola berbeda satu dengan lainnya.
Kedua, masing-masing mufassir menafsirkan kata-kata yang bersifat umum dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak maknanya sebagai contoh, dan untuk mengingatkan pendengar bahwa kata tersebut mengandung bermacam-macam makna, bukan hanya satu. Misalnya penafsiran tentang firman Allah: Al-Qur’an Fathir: 32 “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar.”
Disebutkan bahwa “sabiq” adalah orang yang menenuaikan shalat di awal waktu. “Muqtashid” adalah melakukan shalat di tengah waktu. Sedang “zhalim” ialah orang yang mengakhirkan shalat Ashar sampai langit berwarna kekuning-kuningan. Mufassir lain mengatakan, “sabiq” orang yang berbuat baik yaitu bersedekah di sampin zakat. “Muqtashid”, orang yang hanya menenuaikan zakat wajib saja. Adapun “zhalim”, adalah orang yang enggan membayar zakat.
Perbedaan pendapat seperti itu kadang-kadang disebabkan oleh satu lafazh yang mengandung dua makna, seperti kata ‘as’as mempunya arti datangnya waktu malam dan kepergiannya. Atau karena beberapa kata yang digunakan menyampaikan pesan-pesan, memiliki makna yang saling berdekatan. Misalnya kata “tubsal”, sebagian menafsirkannya dengan “tuhbas” (ditahan) dan sebagian lain dengan “turhan” (tergadai, dijadikan jaminan). Masing-masing penafsiran ini berdekatan satu dengan yang lain.
Perbedaan pendapat di kalangan mufassir terkadang terjadi pada hal-hal yang pada dasarnya tidak perlu diketahui, seperti penukilan sebagian mufassir terhadap kisah-kisah Israiliyat dari Ahlul Kitab yang berhubungan dengan kasus Ashhab Al-Kahfi (orang yang bersembunyi di dalam goa). Mereka berbeda pendapat tentang nama-nama, warna anjing dan jumlah mereka. Padahal tentang hal ini Allah telah berfirman, “Katakanlah Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka, tidak ada orang yang mengetahui bilangan mereka kecuali sedikit.” (Al-Kahfi:22)
Juga mereka berselisih tentang ukuran kapal Nabi Nuh dan jenis kayunya, nama anak yatim dibunuh oleh Khidir, nama-nama burung yang dihidupkan Allah untuk Nabi Ibrahim, jenis kayu tongkat Musa dan lain-lain. Hal seperti itu hanya bisa diketahui melalui metode periwayatan. Maka apa yang dinukil dengan riwayat yang shahih dari Nabi boleh diterima, namun jika tidak ada yang shahih hendaknya kita tawaqquf (diam), meskipun hati kita merasa cenderung untuk menerima apa yang diriwayatkan dari para sahabat, sebab periwayatan mereka dari Ahli Kitab relatif lebih sedikit dari pada tabi’in.



BAB IV
KAJIAN KRITIS
Telah dijelaskan bahwa penafsiran bi al-ma’tsur ini dari al-Qur’an dengan al-Qur’an dan al-Qur’an dengan hadis shahih tidak diragukan lagi dan dapat diterima serta tidak ada perbedaan didalamnya, namun dengan Ma’tsur dari sahabat dan tabi’in terdapat kelemahan diantaranya:
1.      Terjadinya campur baur antara yang sahih dan yang tidak sahih dan banyak pendapat yang dihubungkan kepada para sahabat dan tabiin tampa ada isnad dan penelitian yang mengakibatkan campurnya kebenaran dengan kebathilan.
2.      Riwayat-riwayat tersebut penuh dengan certa-cerita Isra’iliyat yang memuat banyak khurafat  yang bertentangan dengan Akidah Islam, hal itu sengaja disusupkan kepada kaum muslimin dari ahli kitab.
3.      Sebagian ulama mazhab memutar balikan beberapa pendapat, mereka berbuat kebathilan lalu menyadarkannya kepada sebagian para sahabat seperti para ulama Mazhab Syi’ah
4.      Sesunguhnya  musuh-musuh Islam dari golongan kafir Zindiq bersembunyi dibelakang para sahabat dan para tab’in sebagaimana mereka ersembunyi dibelakang Rasulullah saw, dalam rangka misinya merobohkan agama dengan cara sembunyi dan menyusup, maka dari itu perlu adanya penelitian yang sungguh-sunguh terhadap pendapat-pendapat yang disandarkan kepada para sahabat dan tabiin.[23]
Said Agil menambahkan keterkaitan kelemahan dari tafsir bi al-ma’tsur dianataranya dia mengatakan bahwa: : masuknya orang zindiq kedalam Islam dari Yahudi, Nasrani dan Romawi yang tdak bisa meninggalkan budaya aslinya dan dengan latarbelakang dan motivasi tertentu, perpecahan karena perbuatan politik, setiap kelompok berusaha unutk membela anggotanya dan pendiriannya, lalu menafsirkan ayat-ayat tertentu.
Mengenai batasan yang ada pada tafsir bi al-ma’tsur. Al-Zarqani misalnya, membatasi pada “tafsir yang diberikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, sunnah, dan para sahabat”.[24] Dalam batasan itu jelas terlihat, tafsir yang diberikan oleh tabi’in tidak termasuk kelompok al-ma’tsur, sementara ulama lain, seperti al-Dzahabi memasukkan tafsir tabi’in ke dalam al-ma’tsur karena menurut pendapatnya, meskipun tabi’in tidak menerima tafsir secara langsung dari Nabi saw, namun kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur, demikian al-Dzahabi, memuat tafsir mereka, seperti tafsir al-Thabari, tidak hanya berisi tafsiran dari Nabi dan sahabat, melainkan juga memuat tafsir dari tabi’in.[25]
Keengganan al-Zarqani memasukkan penafsiran tabi’in ke dalam al-ma’tsur dilatarbelakangi oleh kenyataan: banyak di antara tabi’in itu terlalu terpengaruhi oleh riwayat-riwayat israi’liyyat yang berasal dari kaum Yahudi dan Ahli Kitab lainnya seperti terlihat dalam kisah para Nabi, penciptaan alam, ashab al-kahfi, kota iram, dan sebagainya. Kisah-kisah semacam ini [tulis al-Zarqani mengutip dari Ibn Katsir] “lebih banyak bohongnya dari pada benar”. Para parawi dari kalangan tabi’in membenarkannya, bahkan juga sebagian sahabat. Karena itulah [tambahnya] Imam Ahmad berkata, “Ada tiga hal yang tidak punya dasar, yaitu tafsir, kisah pertempuran, dan peperangan.[26]
Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap kedua pendapat itu, yang menjadi persoalan dalam kajian al-ma’tsur, ialah 1) apakah yang dimaksud dengan al-ma’tsur tersebut, penafsiran yang telah diberikan Nabi dan para sahabat; atau 2) penafsiran Al-Quran berdasarkan bahan-bahan yang diwarisi dari Nabi berupa Al-Quran dan sunnah, serta pendapat sahabat. Dalam hal yang pertama, ma’tsur menjadi sifat bagi tafsir; dan dalam hal yang kedua, ia menjadi sifat bagi sumber-sumber yang digunakan dalam penafsiran. Kedua permasalahin ini mempunyai implikasi yang besar dalam penafsiran. Jika yang pertama diterima, maka tafsir bi al-ma’tsur ialah sesuatu yang telah baku dan tidak dapat dikemabngkan lagi. Dalam hal ini, tugas mufassir hanya meneliti sanadnya, apakah sahih atau tidak? Jika ternyata shahih, maka penafsiran tersebut diterima, tapi jika tidak, maka penafsiran itu ditolak. Apabila pengertian yang kedua diterima, maka tafsir bi al-ma’tsur dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman karena dalam pengertian yang kedua itu masih terbuka bagi mufassir untuk mengembangkan pemikiran dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Mengenai hal ini penulis merasa tafsir yang dilakukan oleh para Nabi dan para sahabat dapat juga disebut dengan tafsir bi al-ra’yi karena Nabi merupakan mufassir pertama yang menafsirkan Al-Qur’an, ketika Nabi merupakan menerima wahyu beliau langsung menjelaskan maksud ayat yang diterimanya kepada para sahabat karena Al Qur’an turun dengan bahasa Arab, bahasa yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw dan bangsa Arab.
Rasulullah saw adalah penafsir pertama Al-Qur’an, sementara para sahabat mengutip penafsiran Rasul saw. Rasulullah saw menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada para sahabat atau hukum yang Rasul sampaikan kepada mereka, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan. Sebagaimana Rasulullah menjelaskan kepada mereka tentang cara pelaksanaan shalat dan haji dengan bentuk perbuatan.[27]
Para sahabat Nabi apabila tidak menemukan tafsir Al-Qur’an dan juga tidak ada penjelasan dari Nabi, maka mereka akan berijtihad dan melaksanakan hasil ijtihadnya, lalu pendapatnya akan dijadikan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan para sahabat Nabi adalah orang Arab asli dan mereka juga mengetahu tentang makna-makan dalam Al-Qur’an dan juga karena mereka hidup pada masa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi, mereka juga mengetahu Asbab nuzul Al-Qur’an, kondisi saat turunnya Al-Qur’an.




BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat disimpulkan pengertian tafsir bil al-ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih yaitu menafsirkan  Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umunya mereka menerimanya dari para sahabat.
Dari pengertian diatas ada sebagia ulama yang berpendapat bahwa para tabi’in tidak termasuk dalam tafsir bi al-ma’tsur, hal ini dikarenakan para ulama berpendapat banyak di antara tabi’in itu terlalu terpengaruhi oleh riwayat-riwayat israi’liyyat yang berasal dari kaum Yahudi dan Ahli Kitab lainnya seperti terlihat dalam kisah para Nabi, penciptaan alam, ashab al-kahfi, kota iram, dan sebagainya. Kisah-kisah semacam ini [tulis al-Zarqani mengutip dari Ibn Katsir] “lebih banyak bohongnya dari pada benar”. Para parawi dari kalangan tabi’in membenarkannya, bahkan juga sebagian sahabat. Karena itulah [tambahnya] Imam Ahmad berkata, “Ada tiga hal yang tidak punya dasar, yaitu tafsir, kisah pertempuran, dan peperangan. Mengenai hal ini tugas mufassir itu sendiri hanya meneliti sanadnya saja, apakah shahih atau tidak? Jika ternayat shahih maka penafsiran tersebut dapat diterima, tapi jikat tidak, maka penafsiran itu di tolak.
Akan tetapi tidak semua ulama berpendapat seperti itu, ada juga sebagian ulama yang memasuka tabi’in ke dalam tafsir bi al-ma’tsur, hal ini dikarenakan menurut mereka meskipun tabi’in tidak menerima tafsir langsung dari Nabi saw, namun kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur, demikian al-Dzahabi, memuat tafsir mereka, seperti tafsir al-Thabari, tidak hanya berisi tafsiran dari Nabi dan sahabat, melainkan juga memuat tafsir dari tabi’in.



DAFTAR PUSTAKA
Mustaqim Abdul. aliran-aliran Tafsir. Yogyakarta: Kreasi kencana, 2005.
Usman. ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2009.
al-Qattan Manna Khaill. Mabahis Fi ulumil Qur’an Terjemah Mudzakir.  Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Cet-15. Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2012.
Sejarah dan Metodologi Tafsir. Cet. II. Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 1994.
Ali Ash-Shabuni Muhammad. At-Tibyan fi Ulumil Qu’an Penerjemah Muhammad Qodirun Nur Judul Terjemahan Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta: Pustaka Amani, 2001.
Al-Munawar Said Agil Husin. Al-Qur’an membangun Tradisi keshaehan Hakiki. Cet ke-2. Ciputat:Ciputat Press, 2002.
Nizhan Abu. Buku Pintar Al-Qur’an. Jakarta: Qultum media, 2008.
Ash Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu-Ilmu al Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
al-Nasafi Abd Allah bin Ahmad Mahmud. Tafsir al-Nasafi. Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halabi, t.th.
al-Qattan Manna Khaill. Mabahis Fi ulumil Qur’an Terjemah Mudzakir.  Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Cet-15. Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2012.
Al-Dzahabi Husein. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Al-Qohirah: Maktabah Wahbah, 2003.
Baidan Nashruddin. Metode Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
al-Iskan Al-Khatib. Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil. Riwayat Ibn Abi al-Farj al-Urdustani. Cet. IV. Bairut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1981.
al-Finisan Saud Bin Abdullah. Ikhtilaf al-Mufassirin Asbabuhu wa Atsaruhu. Riyadh: Dar Isybiliya, 1997.





[1]Abdul Mustaqim, aliran-aliran Tafsir, (yogyakarta: Kreasi kencana,2005), hlm. 1
[2]Usman, ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 1
[3]Manna Khaill al-Qattan, Mabahis Fi ulumil Qur’an Terjemah Mudzakir,  Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Cet-15, (Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2012), hlm.482-483.
[4]Ali Hasan Al-Araidi, terjemahan dari buku aslinya Tarikh ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, oleh Ahmad Arkom dengan Judul Terjemahan Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, cet-2, 1994), hlm. 41.
[5]Syekh muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qu’an Penerjemah Muhammad Qodirun Nur dengan Judul Terjemahan Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (jakarta: Pustka Amani, 2001), hlm. 99-100.
[6]Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi keshaehan Hakiki, Cet ke-2, (Ciputat:Ciputat Press, 2002), hlm.71.
[7]Abu Nizhan, Buku Pintar Al-Qur’an,(jakarta: Qultum media, 2008), hlm. 44.
[8]Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi keshaehan Hakiki. hlm 77.
[9]Q.S. Al-Hajj (22): 30; Al-ma’idah (5): 03; Q.S. At-Thariq (86):1; Q.S. Al-Baqarah (2 ) :37.
[10]Q.S. Ad-Dukhan (44): 03; Q.S. Al-Qodr (97): 01, Q.S. Al-An’am (06):82; Q.S. al-Luqman (31):13
[11]Q.S. Al-Insyiqoq [(84):7-9; Q.S. Al-Baqarah (02):238; Q.S. Yunus (10):26.
[12]Syekh muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, hlm, 99-105
[13]Syekh muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, hlm, 106
[14]Abu Nizhan, Buku Pintar Al-Qur’an. hlm. 44.
[15]Terjemah Mudzakir, Judul Asli, Mabahis Fi ulumil Qur’an, Terjemah, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, hlm. 486.
[16]Al Munawar,  keshaehan Hakiki, hlm. 77-80.
[17]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, ilmu-ilmu al Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002). hlm.227.
[18]Mabahis Fi ulumil Qur’an Terjemah Mudzakir,  Studi Ilmu-ilmu Qur’an, hlm. 498.
[19]‘Abd Allah bin Ahmad Mahmud al-Nasafi, Tafsir al-Nasafi, (Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halabi, t.th.), hlm. 173.
[20]Manna Khaill al-Qattan, Mabahis Fi ulumil Qur’an Terjemah Mudzakir,  Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Cet-15, (Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2012), hlm.482-483.
[21]Husein Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Al-Qohirah: Maktabah Wahbah, 2003), Jilid I, hlm. 183.
[22]Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 45.
[23]Syekh muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qu’an, hlm. 107
[24]Al-Khatib al-Iskan, Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil, Riwayat Ibn Abi al-Farj al-Urdustani, (Cet. IV, Bairut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1981), hlm.112.
[25]Al-Khatib al-Iskan, Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil, Riwayat Ibn Abi al-Farj al-Urdustani, hlm. 112.
[26] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, hlm.43.
[27]Saud Bin Abdullah al-Finisan, Ikhtilaf al-Mufassirin Asbabuhu wa Atsaruhu, (Riyadh: Dar Isybiliya, 1997), hlm. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Poligami dalam Islam

POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH MURSALAH A.     Latar Belakang Poligami merupakan masalah yang sering...