Rabu, 11 Oktober 2017

Poligami dalam Islam

POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH MURSALAH
A.    Latar Belakang
Poligami merupakan masalah yang sering diperhatikan di indonesia, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang memperbolehkan warganya melakukan poligamidengan syarat tertentu. Poligami memang termasuk ajaran agama Islam, yaitu agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk di indonesia. Tidak mustahil ada perempuan yang rela dan bersedia menerima poligami, tetapi kerelaan atau kesediaan dari satu atau sejumlah perempuan tidak boleh dijadikan acuan menggeneralisasi. Dengan demikian, penerimaan poligami oleh perempuan bergantung pada dirinya sendiri seperti apa dia memandang dirinya, bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri sangat mempengaruhi setiap aspek pengalamannya sehari-hari, mulai dari peran kerja, dalam hubungan asmara, pernikahan, hubungan seksual, cara bersikap sebagai orangtua, sampai seberapa tinggi derajat kehidupan yang ingin dicapai.
Beberapa pemikir yang tidak setuju dengan poligami menyatakan, seandainya kaum muslimin dalam kehidupan mereka memberi komitmen secara penuh terhadap apa yang di wajibkan oleh Allah berupa bertindak adil terhadap kaum perempuan tentu tidak akan terjadi kehancuran seperti yang ditimbulkan oleh suami yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan bagi praktek poligami.
Penelitian yang dilakukan oleh Virpi Lummaa, seorang ahli ekologi Inggris dari Universitas Sheffield mempublikasikan penemuannya mengenai hubungan antara poligami dan umur panjang dalam pertemuan tahunan International Society for Behavioral Ecology di Ithaca, New York, Amerika Serikat.
Riset tersebut menyimpulkan bahwa langkah pria untuk melakukan praktek poligami atau beristri lebih dari satu dapat memanjangkan usia bagi pria yang melakukannya. Penelitian ini melibatkan lelaki berusia 60 tahun yang berasal dari 140 negara penganut poligami. Riset tersebut membuktikan bahwa usia rata-rata pria yang melakukan poligami lebih panjang 12% dibandingkan para pria yang tinggal di 49 negara yang terkenal menganut monogami.
Riset tersebut menjelaskan bahwa pria yang berpoligami masih memiliki kualitas alat reproduksi yang baik bahkan sampai berusia 80 tahun. Hal inilah yang diperkirakan memperpanjang usia pria tersebut. Pria poligami akan lebih panjang umur berkaitan dengan faktor sosial dan genetika. Pria tersebut akan terus berjuang menghidupi anak-anak dan istrinya sehingga kemungkinan ia akan lebih baik dalam menjaga kesehatannya.
Virpi Lumma juga mengatakan bahwa suami yang memiliki istri banyak, yang bisa mengurus dirinya lebih baik, tentu akan memiliki kesehatan yang lebih baik. Mereka akan lebih bahagia karena memiliki banyak anak dan kehidupan seksnya sangat terjamin. “Kebutuhan seksual yang terpenuhi akan membuat kesuburan tetap terjaga meski sudah berusia separuh baya. Kesuburan tersebut akan berpengaruh terhadap fungsi hormon dan mengatur metabolisme tubuh. Kesuburuan berbanding lurus dengan kinerja hormon dan akan membuat pria semakin sehat,”
Bagi pria, poligami memang dapat membawa efek baik untuk kesehatan namun sayangnya efek tersebut tidak bekerja sama baiknya untuk wanita. Meskipun beberapa studi menyebutkan bahwa poligami membawa efek baik untuk istri, namun lebih banyak studi yang menunjukkan bahwa istri yang dipoligami cenderung lebih stres dan depresi karena perasaan cemburu.[1]
Adapun beberapa dampak Poligami terhadap perempuan diantaranya berdampak kepada psikologis wanita yang di poligami, berdampak juga pada ekonomi rumah tangga, dan dampak kesehatan. Di sini peneliti hanya memfokuskan kepada dampak poligami terhadap Kesehatan Reproduksi Wanita. Resiko Poligami terhadap penularan penyakit kelamin, salah satunya pasangan yang berpoligami bisa terkena penyakit Kanker Leher Rahim (Kanker Serviks) Berganti-ganti pasangan seksual. Suami atau pasangan seksualnya melakukan hubungan seksual pertama pada usia dibawah 18 tahun, berganti-ganti pasangan dan pernah menikah dengan wanita yang menderita kanker serviks. Pemakain DES (dietilstilbestrol) pada wanita hamil untuk mencegah keguguran (banyak digunakan pada tahun 1940-1970).[2]
Terlepas dari semua itu, poligami merupakan bentuk pernikahan yang memang merupakan pilihan hidup seseorang. Kehidupan pribadi dan keputusan untuk menjalankan poligami sendiri akan berserah kepada masing-masing keluarga karena secara hukum di Indonesia maupun secara agama (Islam), poligami bukan sesuatu yang dilarang. Namun memang tentunya baik faktor tanggung jawab, faktor kesehatan, dan faktor-faktor lainnya dapat menjadi salah satu pertimbangan sebelum seorang pria memutuskan untuk berpoligami.
Berdasarkan pemaparan permasalah di atas dapat dilihat bahwa dalam melangsungkan poligami tidak hanya dari keadilan yang akan dinilai melainkan dari berbagai macam faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum seorang laki-laki ingin berpoligami, salah satu di antara faktor tersebut adalah kesehatan reproduksi bagi pasangan yang berpoligami. Dalam penelitian kali ini peneliti hanya akan membahas poligami dilihat dari sisi kemaslahatan kesehatan reproduksi bagi pasangan yang berpoligami.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana poligami dalam islam perspektif kesehatan reproduksi?
2.      Bagaimana aspek maslahah dalam poligami perspektif kesehatan reproduksi?
C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka diperlukan penjelasan tujuan diadakan penelitian ini. Di antaranya, untuk mengetahui bagaimana poligami dalam Islam itu sendiri dilihat dari segi kesehatan reproduksi karena menurut penulis dalam melakukan poligama tidak hanya adil sebagai syarat akan tetapi kesehatan yang dialami oleh orang yang akan berpoligami ataupun wanita yang akan di poligami juga sangat perlu diperhatikan. Dan juga ingin mengetahui bagaimana aspek maslahah dalam berpoligami dalam pandangan kesehatan reproduksi.
D.    Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat secara teoritis maupun secara praktis.
1.      Secara teoritis.
a.       Diharapkan dari penelitian ini merupakan bahan masukan untuk penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan permasalahan ini dan sekaligus dapat mencari solusinya.
b.      Diharapkan dari penelitian ini dapat menambah kajian keilmuan yang mengulas dan wacana baru tentang kemaslahatan poligami dalam Islam itu sendiri.
2.      Secara praktis
a.       Secara sosial, dapat memberikan informasi kepada masyarakat yang ingin melangsungkan poligami diharapkan untuk mengetahui inti dari kemaslahatan poligami khususnya dalam kesehatan reproduksi bagi pasangan yang akan melangsungkan poligami.
b.      Dapat memberikan informasi dan pengetahuan khususnya bagi peneliti secara pribadi dan masyarakat luas pada umumnya mengenai kemaslahatan poligami ditinjau dari kesehatan reproduksi.
E.     Orisinalitas Penelitian
Permasalahan tentang poligami dalam Islam perspektif kesehatan reproduksi dan maslahah mursalah ini belum diteliti oleh para peneliti sebelumnya, akan tetapi di sini peneliti akan memaparkan beberapa perbedaan dan persamaan mengenai penelitian sebelumnya yang juga membahas mengenai tema besar yaitu poligami dalam Islam ataupun yang lainnya. Diantaranya akan dipaparkan dalam tabel dibawah ini mengenai persamaan dan perbedaan antara yang akan diteliti sekarang dan penelitian sebelumnya:

Nama
Judul
Persamaan
Perbedaan
BADRUDIN, S.HI
(11780016)
2013
POLIGAMI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)
(Studi Pendapat Judex Factie Pengadilan Agama Kota Malang)
Sama-sama membahas tentang poligami
Penelitian ini hanya fokus pada pendapat Judex factie Pengadilan Agama kota Malang bagi PNS yang berpoligami
Alvan Fathony
(12780013)
2014
PERILAKU POLIGAMI KYAI MASYARAKAT PERSPEKTIF FENOMENOLOGI (Studi Model Mu’asyarah Poligami Kyai Masyarakat Dalam Membina Keluarga Sakinah)
Sama-sama membahas tentang poligami
Penelitian ini membahas berbagai fenomena polgami kyai masyarkat dan membahas tentang pandangan keluarga inti mengenai model mu’asyarah poligami Kyai Masyurat dan mengenai relevansinya terhadap keluarga sakinah.
MOH ANAS KHOLISH
(09780011)
2011
MENAKAR EKSISTENSI REGULASI POLIGAMI DALAM UNDANG-UNDANG RI NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (Studi Konstruksi Sosial Muslimat Hizbut Tahrir Indonesia di Kota Malang)


Sofyan Afandi
2011
ESKALASI POLIGAMI (Studi Fenomena Sosial Masyarakat Kota Malang)
Sama-sama membahas tentang poligami
Penelitian ini membahas tentang tingginya angka poligami yang dicatatkan di Pengadilan Agama mengindikasikan kesadaran hukum yang baik, dan peneliti tertarik untuk menguji teori hukum dan sosial.

F.     Definisi Istilah
Poligami: adalah sebagai ikatan perkawinan yang salah satu (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami.
Kesehatan Reproduksi: keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit dan kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan system reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya.[3]
Maslahah Mursalah: Segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ (dalam mensyari’atkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya.
G.    Sistematika Pembahasan
Pertanggungjawaban sistematika adalah uraian logis sistematika susunan bab dan sub bab untuk menjawab uraian terhadap permasalahan kemaslahatan dalam berpoligami perspektif kesehatan reproduksi. Sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I                         PENDAHULUAN
Bab ini merupakan starting point dari penelitian ini yang meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, definisi istilah, sistematika pembahasan, metode penelitian. Bab ini merupakan langka awal untuk memberikan pemahaman tentang permasalahan-permasalahan khususnya tentang poligami dalam Islam, yang dirumuskan dalam rumusan masalah, dengan menggunakan metode yang sesuai dengan penelitian ini dan disusun dengan sistematika yang baik.
BAB II            KAJIAN TEORI
Dalam bab ini akan diuraikan tinjauan umum mengenai pandangan umum tentang poligami dalam Islam dan tinjauan umum mengenai konsep kesehatan reproduksi, tinjauan umum tentang maslahah mursalah.
BAB III          HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan bahan hukum yang telah diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan yang kemudian diedit, diklasifikasi, diverifikasi, dan dianalisis untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan.
BAB IV          PENUTUP
Bab ini merupakan finishing dari penelitian ini, pada bab ini akan dikemukakan kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta saran-saran penulis yang mungkin berguna dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Konsep Poligami dalam Islam
1.      Pengertian Poligami
Kata-kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi, poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”. Atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi paling banyak dibatasi empat orang.[4] Dalam bahasa Arab poligami disebut ta’addud az-zaujaat.[5] Adapun dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, poligami merupakan praktek memiliki beberapa istri atau pasangan pada waktu yang bersamaan.[6] Sedangkan dalam Kamus Agama Islam, Poligami apabila seorang laki-laki nikah dengan dua sampai empat orang perempuan, disebut poligami.[7]
Poligami adalah sebagai ikatan perkawinan yang salah satu (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain poligami dikenal juga dengan istilah poliandri, jika dalam poligami suami yang memiliki beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, justru istri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi dibandingkan dengan poligami bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan. Poliandri hanya ditemukan pada suku-suku tertentu, seperti pada suku Toda dan beberapa suku di Tibet.[8]
Allah SWT membolehkan poligami sampai 4 orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Adil dalam artian melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah. Apabila seorang laki-laki tidak sanggup berlaku adil kepada semua istrinya maka cukup satu orang istri saja. Hal ini berdasarkan dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat: 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Berkaitan dengan masalah ini Rasyid Ridha mengatakan, Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/ mudharat dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anaknya. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah mentralisasi sifat/ watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis.[9]
Sebenarnya Islam tidaklah memulai poligami, tidak memerintahkan dan juga tidak menganjurkan poligami itu. Islam hanya memperbolehkan poligami dalam suasana tertentu, dengan mengadakan syarat-syarat, terutama adil dan mampu.[10] Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa poligami adalah seorang laki-laki yang menikah dengan lebih dari seorang wanita, dalam hal ini dibatasi hanya empat orang wanita (isteri) dalam waktu yang sama.



2.      Dasar Hukum Poligami
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa Islam bukanlah agama yang pertama kali mengenalkan poligami. Fenomena poligami sudah ada pada sejarah manusia berabad-abad yang lalu sebelum hadirnya Islam. Masyarakat Arab sebelum Islam juga sudah tidak asing lagi dengan praktik-praktik poligami dalam kehidupan sehari-harinya.
Syari’at Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw meliputi berbagai sendi kehidupan manusia, termasuk masalah poligami, diantaranya adalah firman Allah swt dalam surat An-Nisa’ ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang laki-laki beristeri empat orang wanita dalam waktu yang sama. Penegasan ini dinyatakan dalam bentuk perintah. Akan tetapi, perintah pada ayat di atas hukumnya tidak dengan sendirinya menyatakan wajib seperti halnya perintah melakukan sholat atau puasa.[11] Perintah poligami tersebut pada pokoknya hukumnya mubah, artinya bebas dilakukan oleh setiap lelaki muslim selama yang bersangkutan dapat melakukannya dengan adil dan memberikan kecukupan kepada isteriisterinya. Namun dalam hal ini yang perlu dingat adalah prinsip murni dalam Islam adalah monogami, yakni perkawinan antara satu laki-laki dengan satu perempuan, tanpa perceraian.[12]
“Atas dasar ayat inilah sehingga Nabi saw melarang dalam saat yang sama lebih dari empat orang isteri bagi seorang pria”.[13] Ketika turunnya ayat ini, beliau memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat orang isteri, agar segera menceraikan isteri-isterinya sehingga maksimal setiap orang (suami) hanya beristerikan empat orang wanita. Dalam salah satu hadis Nabi saw dari Haris bin Qais: “Dari Qois bin Haris ia berkata : “Saya masuk Islam, sedang di sisiku terdapat delapan orang isteri. Aku menerangkan itu kepada Nabi saw, maka Nabi saw bersabda : “Pilihlah empat orang di antara mereka”.[14] (H.R. Ibnu Majjah)
Dari al-Qur’an dan Hadis tersebut dapat diketahui bahwa poligami itu diperbolehkan, tetapi tidak terlepas dari syarat-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya adalah keadilan. “Perlu dijelaskan bahwa keadilan yang disyaratkan ayat yang membolehkan poligami itu adalah keadilan dalam bidang material”.[15] Dalam hal ini suami dituntut untuk berlaku adil dalam pemberian tempat tinggal, makan, minum, serta kemampuan suami untuk berlaku adil dalam hal nafkah kepada isteri-isteri dan anak-anaknya.
Perintah berlaku adil bagi suami yang berpoligami juga dijelaskan dalam al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 129 :
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊËÒÈ  
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Adapun keadilan atau persamaan dalam masalah cinta dan kecenderungan hati tidak dapat dituntut, karena manusia tidak mampu melakukannya. Dalam surat An-Nisa’ ayat 129 di atas, menurut Muhammad Thalib menjadi isyarat jelas bahwa keadilan yang dituntut dari seorang suami kepada para isterinya bukanlah keadilan cinta dan kasih sayang, melainkan keadilan dalam pemberian nafkah materiil, sikap dan perilaku lahiriah, serta giliran.
“Apa sebab kita berani menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perlakuan adil dalam QS. An-Nisa’ ayat 129 adalah dalam urusan materiil, sikap dan perlakuan lahir, serta giliran seorang suami kepada isterinya? Demikianlah karena perasaan cinta dan kasih sayang bukan hal yang dapat dikuasai seseorang. Rasa cinta dan kasih sayang berada di bawah kekuasaan Allah dan ditetapkan serta diatur oleh Allah”.[16] Itu sebabnya hati orang yang berpoligami dilarang memperturutkan hatinya dan berlebihan dalam kecenderungan kepada yang dicintai. Namun demikian tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup pintu poligami serapat rapatnya.[17]
Konsekuensi adil itu bukanlah syarat hukum yang berarti apabila suami tidak dapat berbuat adil kepada isteri-isterinya lantas nikahnya batal atau cerai langsung, atau dengan kata lain batal demi hukum. Tetapi merupakan konsekuensi yang lebih banyak menyangkut moral atau tepatnya syarat dari agama. Apabila ada suami yang tidak berlaku adil kepada isteriisterinya, maka dia berdosa kepada Allah swt, sebab dia sudah diberikan kelonggaran untuk melaksanakan poligami, tetapi dia tidak dapat menjaga kelonggaran yang diberikan kepadanya.
Jelaslah bahwa, keadilan suami bukanlah syarat hukum, tetapi merupakan konsekuensi logis dari poligami tersebut. Poligami memang merupakan alternatif bagi suami yang kurang puas dengan satu orang isteri karena berbagai sebab, dari pada ia terjerumus ke lembah perzinaan atau pelacuran, lebih baik melaksanakan poligami yang dihalalkan oleh syari’at Islam.[18]
3.      Poligami dalam Perspektif Hukum Perkawinan Indonesia
Hukum perkawinan di Indonesia menganut asas seorang pria hanya mempunyai satu orang isteri atau asas monogami. Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Namun demikian, dalam hukum perkawinan di Indonesia itu sendiri tidak lantas melarang sepenuhnya seorang suami untuk berpoligami, poligami dibolehkan bagi seorang suami dengan syarat dan prosedur tertentu. Karena pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, maka poligami atau seorang suami beristeri lebih dari seorang perempuan diperbolehkan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan pengadilan telah memberi izin untuk berpoligami.[19] Adapun alasan-alasan yang dipedomani oleh Pengadilan untuk dapat memberi izin poligami , ditegaskan dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan;
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila;
1.      isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
2.      isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3.      isteri tidak dapat melahirkan keturunan.[20]
Apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas adalah mengacu kepada tujuan pokok perkawinan itu dilaksanakan, yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau dalam rumusan kompilasi, yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Jika diantara ketiga hal tersebut di atas menimpa suatu keluarga atau pasangan suami isteri, sudah barang tentu kehampaan dan kekosongan manis dan romantisnya kehidupan rumah tangga yang menerpanya. Misalnya, isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya atau si suami tidak dapat menjalankan kewajibannya tentu akan terjadi kepincangan yang mengganggu laju bahtera rumah tangga yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan seksual hanyalah sebagian dari tujuan perkawinan, namun ia akan mendatangkan pengaruh besar manakala tidak terpenuhi. Demikian juga, bila isteri mendapat cacat badan atau penyakit; yang tidak bisa disembuhkan.
Demikian juga bila si isteri tidak dapat melahirkan keturunan, walaupun tidak setiap pasangan suami isteri, yang isteri tidak dapat melahirkan keturunan memilih alternatif untuk berpoligami. Mereka kadang menempuh cara mengangkat anak asuh. Namun jika suami ingin berpoligami adalah wajar dan masuk akal, karena keluarga tanpa kehadiran anak, tidaklah lengkap.

4.      Syarat Poligami
Selain alasan-alasan di atas, untuk berpoligami syarat-syarat dibawah ini harus dipenuhi. Menurut ketentuan pasal 5 UU Perkawinan dijelaskan:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syaratsyarat
sebagai berikut :
1.      Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2.      adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
3.      adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.[21]
B.     Konsep Umum Kesehatan Reproduksi
1.      Definisi Kesehatan Reproduksi
Paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan telah mengalami perubahan. Semula menggunakan pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas kemudian berubah menjadi pendekatan kesehatan reproduksi dengan memperhatikan hak-hak reproduksi dan kesetaraan gender. Perubahan ini telah disepakati dalam Konferensi Wanita Sedunia ke-4 di Beijing tahun 1995 serta Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development-ICPD) yang diselenggarakan di Kairo pada tahun 1994.[22]
Dalam kesepakatan itu pula Kesehatan Reproduksi didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial secara utuh (tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan) dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.[23]

2.      Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi
Ruang lingkup kesehatan reproduksi mencakup keseluruhan kehidupan manusia sejak lahir sampai mati. Pelaksanaan kesehatan reproduksi menggunakan pendekatan siklus hidup (life cycle approach) agar diperoleh sasaran yang pasti dan komponen pelayanan yang jelas serta dilaksanakan secara terpadu dan berkualitas dengan memperhatikan hak reproduksi perorangan dengan bertumpu pada program pelayanan yang tersedia.
Dalam pendekatan siklus hidup dikenal lima tahap, beberapa pelayanan kesehatan reproduksi dapat diberikan pada tiap tahapan berikut ini.
a.       Konsepsi
1)      Perlakuan sama terhadap janin laki-laki/perempuan.
2)      Pelayanan antenatal, persalinan, dan nifas yang aman, serta pelayan bayi baru lahir.
b.      Bayi dan anak.
1)      ASI eksklusif dan penyapihan yang layak.
2)      Tumbuh kembang anak dan pemberian makanan dengan gizi seimbang.
3)      Imunisasi, Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), dan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM)
4)      Pencegahan dan penanggulangan kekerasan
5)      Pendidikan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan.
c.       Remaja.
1)      Gizi seimbang.
2)      Informasi tentang kesehatan reproduksi.
3)      Pencegahan kekerasan seksual.
4)      Pencegahan terhadap ketergantungan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif.
5)      Perkawinan pada usia yang wajar.
6)      Pendidikan dan peningkatan keterampilan.
7)      Peningkatan penghargaan diri.
8)      Peningkatan pertahanan terhadap godaan dan ancaman.
d.      Usia subur.
1)      Kehamilan dan persalinan yang aman.
2)      Pencegahan kecacatan dan kematian akibat kehamilan pada ibu dan bayi.
3)      Menjaga jarak kelahiran dan jumlah kehamilan dengan menggunakan alat kontrasepsi atau KB.
4)      Pencegahan terhadap PMS/HIV/AIDS.
5)      Pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas.
6)      Pencegahan dan penanggulangan masalah aborsi secara rasional.
7)      Deteksi dini kanker payudara dan leher rahim.
8)      Pencegahan dan manajemen infertilitas.
e.       Usia lanjut
1)      Perhatian terhadap menopause/andropause.
2)      Perhatian pada penyakit utama degeneratif, termasuk rabun, gangguan mobilitas, dan osteoporosis.
3)      Deteksi dini kanker rahim dan kanker prostast.[24]
Secara luas ruang lingkup kesehatan reproduksi meliputi hal-hal berikut.
a.       Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
b.      Keluarga berencana (KB).
c.       Pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi (ISR) termasuk PMS-HIV/AIDS.
d.      Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi.
e.       Kesehatan reproduksi remaja.
f.       Pencegahan dan penanganan infertilitas.
g.      Kanker pada usila dan osteoporosis.
h.      Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks, mutilasi genital, fistula, dan lain-lain.
Untuk kepentingan Indonesia saat ini, secara nasional telah disepakati ada empat komponen prioritas kesehatan reproduksi.
a.       Kesehatan ibu dan bayi baru lahir (BBL)
b.      Keluarga berencana.
c.       Kesehatan reproduksi remaja.
d.      Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS
Pelayanan yang mencakup empat komponen prioritas di atas disebut dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE). Jika ditambah dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Usia Lanjut, maka pelayanan yang diberikan disebut Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprenshif (PKRK).[25]
3.      Hak-Hak Reproduksi
Hak reproduksi adalah hak setiap individu dan pasangan untuk menentukan kapan mempunyai anak, berapa jumlah anak, dan jarak antara anak yang dikehendaki. Dalam hal ini hak reproduksi terkait erat dengan sistem, fungsi, dan proses produksi.
Menurut dokumen International Conference on Population and Development (ICPD) Kairo 1994, hak reproduksi mencakup hal-hal sebagai berikut.
a.       Hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
b.      Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
c.       Hak atas kebebasan berpikir dan membuat keputusan tentang kesehatan reproduksi.
d.      Hak untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak.
e.       Hak untuk hidup dab bebas dari risiko kematian karena kehamilan atau masalah gender.
f.       Hak mendapat kebebasan dan keamanan dalam pelayanan kesehatan reproduksi.
g.      Hak untuk bebas dari segala bentuk penganiayaan dan perlakuan buruk yang menyangkut kesehatan reproduksi.
h.      Hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan reproduksinya.
i.        Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
j.        Hak dalam kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang bernuansa kesehatan reproduksi.
k.      Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kesehatan reproduksi.
Indikator terpenuhi atau tidak terpenuhinya hak reproduksi digambarkan dalam derajat kesehatan reproduksi masyarakat, yang ditunjukan dengan beberapa komponen berikut.
a.       Angka kematian ibu/ AKI (makin tinggi AKI, makin rendah derajat kesehatan reproduksi).
b.      Angka kematian bayi/ AKB (makin tinggi AKB, makin rendah derajat kesehatan reproduksi).
c.       Angka cakupan pelayanan KB dan partisipasi laki-laki dalam keluarga berencana (makin rendah angka cakupan layanan KB, makin rendah kesehatan reproduksi).
d.      Jumlah ibu hamil dengan 4 Terlalu- terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat jarak kelahiran, dan terlalu banyak anak- (makin tinggi jumlah ibu hamil dengan terlalu, makin rendah derajat kesehatan reproduksi).
e.       Jumlah perempuan dan atau ibu hamil dengan masalah kesehatan, terutama anemia dan kurang energi kronis/KEK (semakin tinggi tingkat anemia dan KEK, semakin rendah derajat kesehatan reproduksi).
f.       Perlindungan bagi perempuan terhadap penularan penyakit menular seksual/ PMS (makin rendah perlindungan bagi perempuan, makin rendah derajat kesehatan reproduksi).
g.      Pemahaman laki-laki terhadap upaya pencegahan dan penularan PMS (makin rendah pemahaman PMS pada laki-laki, makin rendah derajat kesehatan reproduksi).[26]
Untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak reproduksi, maka kebijakan teknis operasional yang dilakukan di Indonesia adalah sebagai berikut.
a.       Promosi hak-hak reproduksi.
Dilaksanakan dengan menganalisis perundang-undangan peraturan dan kebijakan yang saat ini berlaku apakah sudah sering dan mendukung hak-hak reproduksi dengan tidak melupakan kondisi lokal sosial budaya masyarakat. Pelaksanaan upaya pemenuhan hak reproduksi memerlukan dukungan secara politik dan legislatif sehingga bisa tercipta undang-undang hak reproduksi yang mencakup aspek pelanggaran hak reproduksi.
b.      Advokasi hak-hak reproduksi.
Advokasi dimaksudkan agar mendapatkan dukungan komitmen dari para tokoh politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM/LSOM, dan swasta. Dukungan swasta dan LSM sangat dibutuhkan karena ruang gerak pemerintah lebih terbatas. [27]Dukungan para tokoh sangat membantu memperlancar terciptanya pemenuhan hak-hak reproduksi. LSM yang memperjuangkan hak-hak reproduksi sangat penting artinya untuk terwujudnya pemenuhan hak-hak reproduksi.
c.       KIE hak-hak reproduksi.
Dengan KIE diharapkan masyarakat semakin mengerti hak-hak reproduksi sehingga dapat bersama-sama mewujudkan kesehatan keluarga.
d.      Sistem pelayanan hak-hak reproduksi (BKKBN, 2000).[28]

C.    Konsep Maslahah Mursalah
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan. Menurut bahasa aslinya kata maslahah berasal dari kata salahu, yasluhu, salahan, صلح , يصلح , صلاحا artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.[29] Sedang kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama (al-Qur’an dan al-Hadits) yang membolehkan atau yang melarangnya.[30]
Menurut Abdul Wahab Khallaf, maslahah mursalah adalah maslahah di mana syari’ tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudkan maslahah, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.[31]
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahra, definisi maslahah mursalah adalah segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ (dalam mensyari’atkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya.[32]
Dengan definisi tentang maslahah mursalah di atas, jika dilihat dari segi redaksi nampak adanya perbedaan, tetapi dilihat dari segi isi pada hakikatnya ada satu kesamaan yang mendasar, yaitu menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam al-Qur-an maupun al-Sunnah, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan.
1.      Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah sebagai metode hukum yang mempertimbangkan adanya kemanfaatan yang mempunyai akses secara umum dan kepentingan tidak terbatas, tidak terikat. Dengan kata lain maslahah mursalah merupakan kepentingan yang diputuskan bebas, namun tetap terikat pada konsep syari’ah yang mendasar. Karena syari’ah sendiri ditunjuk untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat secara umum dan berfungsi untuk memberikan kemanfaatan dan mencegah kemazdaratan (kerusakan).
Kemudian mengenai ruang lingkup berlakunya maslahah mursalah dibagi atas tiga bagian yaitu:
1.      Al-Maslahah al-Daruriyah, (kepentingan-kepentingan yang esensi dalam kehidupan) seperti memelihara agama, memelihara jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2.      Al-Maslahah al-Hajjiyah, (kepentingan-kepentingan esensial di bawah derajatnya al-maslahah daruriyyah), namun diperlukan dalam kehidupan manusia agar tidak mengalami kesukaran dan kesempitan yang jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan kerusakan dalam kehidupan, hanya saja akan mengakibatkan kesempitan dan kesukaran baginya.
3.      Al-Maslahah al-Tahsiniyah, (kepentingan-kepentingan pelengkap) yang jika tidak terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan kesempitan dalam kehidupannya, sebab ia tidak begitu membutuhkannya, hanya sebagai pelengkap atau hiasan hidupnya.[33]
Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan hukum Islam, maka harus mempunyai dua dimensi penting, yaitu sisi pertama harus tunduk dan sesuai dengan apa yang terkandung dalam nash (al- Qur’an dan al-Hadits) baik secara tekstual atau kontekstual. Sisi kedua harus mempertimbangkan adanya kebutuhan manusia yang selalu berkembang sesuai zamannya. Kedua sisi ini harus menjadi pertimbangan yang secara cermat dalam pembentukan hukum Islam, karena bila dua sisi di atas tidak berlaku secara seimbang, maka dalam hasil istinbath hukumnya akan menjadi sangat kaku disatu sisi dan terlalu mengikuti hawa nafsu disisi lain. Sehingga dalam hal ini perlu adanya syarat dan standar yang benar dalam menggunakan maslahah mursalah baik secara metodologi atau aplikasinya.
Adapun syarat maslahah mursalah sebagai dasar legislasi hukum Islam sangat banyak pandangan ulama, diantaranya adalah:
1.      Menurut Al-Syatibi
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum bila:
a.       Kemaslahatan sesuai dengan prinsip-prinsip apa yang ada dalam ketentuan syari’ yang secara ushul dan furu’nya tidak bertentangan dengan nash.
b.      Kemaslahatan hanya dapat dikhususkan dan diaplikasikan dalam bidang-bidang sosial (mu’amalah) di mana dalam bidang ini menerima terhadap rasionalitas dibandingkan dengan bidang ibadah. Karena dalam mu’amalah tidak diatur secara rinci dalam nash.
c.       Hasil maslahah merupakan pemeliharaan terhadap aspek-aspek Daruriyyah, Hajjiyah, dan Tahsiniyyah. Metode maslahah adalah sebagai langkah untuk menghilangkan kesulitan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan.[34] Sesuai firman Allah:
(#rßÎg»y_ur Îû «!$# ¨,ym ¾ÍnÏŠ$ygÅ_ 4 uqèd öNä38u;tFô_$# $tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 s'©#ÏiB öNä3Î/r& zOŠÏdºtö/Î) 4 uqèd ãNä39£Jy tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# `ÏB ã@ö6s% Îûur #x»yd tbqä3uÏ9 ãAqß§9$# #´Îgx© ö/ä3øn=tæ (#qçRqä3s?ur uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Z9$# 4 (#qßJŠÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qßJÅÁtGôã$#ur «!$$Î/ uqèd óOä39s9öqtB ( zN÷èÏYsù 4n<öqyJø9$# zO÷èÏRur 玍ÅÁ¨Z9$# ÇÐÑÈ  
Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.
2.      Menurut Abdul Wahab Khallaf
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai legislasi hukum Islam bila memenuhi syarat yang diantaranya adalah:
a.       Berupa maslahah yang sebenarnya (secara haqiqi) bukan maslahah yang sifatnya dugaan, tetapi yang berdasarkan penelitian, kehati-hatian dan pembahasan mendalam serta benar-benar menarik manfa’at dan menolak kerusakan.
b.      Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan untuk kepentingan perorangan, tetapi untuk orang banyak.
c.       Tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh nash (al- Qur’an dan al-Hadits) serta ijma’ ulama.[35]
3.      Menurut Al-Ghozali
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum bila:
a.       Maslahah mursalah aplikasinya sesuai dengan ketentuan syara’
b.      Maslahah mursalah tidak bertentangan dengan ketentuann nash syara’ (al-Qur’an dan al-Hadits).
c.       Maslahah mursalah adalah sebagai tindakan yang dzaruri atau suatu kebutuhan yang mendesak sebagai kepentingan umum masyarakat.[36]
4.      Menurut Jumhurul Ulama
Menurut Jumhurul Ulama bahwa maslahah mursalah dapat sebagai sumber legislasi hukum Islam bila memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Maslahah tersebut haruslah “maslahah yang haqiqi” bukan hanya yang berdasarkan prasangka merupakan kemaslahatan yang nyata. Artinya bahwa membina hukum berdasarkan kemaslahatan yang benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan menolak kemazdaratan. Akan tetapi kalau hanya sekedar prasangka adanya kemanfaatan atau prasangka adanya penolakan terhadap kemazdaratan, maka pembinaan hukum semacam itu adalah berdasarkan wahm (prasangka) saja dan tidak berdasarkan syari’at yang benar.
b.      Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan yang khusus baik untuk perseorangan atau kelompok tertentu, dikarenakan kemaslahatan tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh orang banyak dan dapat menolak kemudaratan terhadap orang banyak pula.
c.       Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang terdapat dalm al-Qur’an dan al-Hadits baik secara zdahir atau batin. Oleh karena itu tidak dianggap suatu kemaslahatan yang kontradiktif dengan nash seperti menyamakan bagian anak laki-laki dengan perempuan dalam pembagian waris, walau penyamaan pembagian tersebut berdalil kesamaan dalam pembagian.[37]
Dari ketentuan di atas dapat dirumuskan bahwa maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum serta dapat diaplikasikan dalam tindakan sehari-hari bila telah memenuhi syarat sebagai tersebut di atas, dan ditambahkan maslahah tersebut merupakan kemaslahatan yang nyata, tidak sebatas kemaslahatan yang sifatnya masih prasangka, yang sekiranya dapat menarik suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Dan maslahah tersebut mengandung kemanfa’atan secara umum dengan mempunyai akses secara menyeluruh dan tidak melenceng dari tujuan-tujuan yang dikandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
D.    Teori maslahah
Agar dapat menjamin kebahagiaan dalam sebuah pernikahan, khususnya poligami bagi masyarakat Indonesia, teori maslahah dapat digunakan sebagai teori aplikasi. Di antara tokoh-tokoh ulama dan pemikir muslim yang telah memperkenalkan teori maslahah adalah Imam al-Syatibi dan al-Ghazali. Teori maslahah yang pertama dikemukakan oleh al-Syatibi bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umum dengan cara menjadikan aturan hukum syariah yang paling utama dan sekaligus menjadi kompatibel sesuai dengan kebutuhan ruang dan waktu (shalihah li kulli zaman wa makan) dalam kehidupan manusia yang adil dan bermartabat.
Maslahah merupakan unsur utama bangunan hukum Islam yang mengikat unsur-unsur lain yang juga inti atau substansi dari hukum Islam. Secara normatif, maslahah mengacu pada suatu keadaan yang seharusnya ada sehingga hanya timbul hal-hal positif atau disana tidak ada hal-hal negatif semisal kerusakan dan kerugian. Adapun secara empirik, maslahah mengacu kepada sejauh mana sesuatu atau keadaan yang positif tersebut dapat terealisasikan sehingga keberadaannya dapat dirasakan dan dialami oleh masyarakat.
Imam al-Syatibi menyatakan bahwa premis hukum dalam teori maslahah hendaknya dapat ditegakkan dalam aplikasi syariah dengan metode induksi, baik sebagai tema umum dalam syariat maupun dalam paparan illat hukum dari berbagai perintah secara terperinci.[38]



BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Jenis Penelitian
Penelitian kali ini akan menggunakan jenis penelitian normatif atau penelitian kepustakaan (library reserach) karena dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka,[39] yaitu penelitian terhadap poligami dalam Islam dengan berdasarkan kesehatan reproduksi dan maslahah mursalah. Dengan terdapat sifat pada penelitian ini yaitu bersifat deskriptif analitis.[40]
B.     Pendekatan Penelitian
Karena jenis penelitian yang digunakan adalah library research, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach). Yaitu pendekatan yang dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hak itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.[41] Adapun dalam penelitian ini memang belum ada yang meneliti tentang poligami dalam islam perspektif kesehatan reproduksi dan maslahah mursalah sehingga mempengaruhi terhadap hukum poligami dalam Islam itu sendiri. Akan tetapi dengan pertimbangan kesehatan reproduksi dan maslahah mursalah akan dapat menemukan hal baru dalam poligami sesuai dengan apa yang diperintahkan dalam Islam.
C.    Sumber Data
Dalam penelitian normatif ini sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.[42] Uraian tentang bahan hukum yang dikaji sebagai berikut:
a.       Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.[43] Yakni mengenai buku-buku utama yang menjelaskan poligami dalam Islam secara keseluruhan, konsep dasar kesehatan reproduksi dan maslahah mursalah.
b.      Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.[44] Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini mencakup literatur-literatur buku yang membahas tentang persoalan poligami, kesehatan reproduksi, maslahah mursalah.
c.       Bahan hukum tersier: bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder.[45] Yang meliputi kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.
D.    Pengumpulan Data
Menggunakan sistem kartu, yaitu bahan hukum yang berhubungan dengan tema sentral dipaparkan, disestematisasi, kemudiaan dianalisis untuk menginterpretasikan dan menemukan hukum baru yang dapat diberlakukan sebagai tawaran keluarga modernis.[46]
E.     Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, maka analisa bahan hukum yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif terhadap bahan hukum primer dan sekunder, serta tersier.[47] Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisis dengan konsep kesehatan reproduksi dan kemudian dipadukan dengan teori maslahah. Diharapkan dari hasil penelitian ini akan dapat diuraikan mengenai poligami dalam Islam dan dapat diterapkan bagi mereka yang ingin berpoligami. Dalam hal ini dalam poligami tidak hanya terlihat dari sisi keadilannya saja akan tetapi peneliti akan menguraikan dari sisi kesehatan reproduksi dengan pertimbangan teori tersebut.



OUTLINE PENELITIAN
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERNYATAAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
MOTTO
ABSTRAK
TRANSLITERASI
BAB I:                        PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.    Tujuan Penelitian
D.    Manfaat Penelitian
E.     Orisinalitas Penelitian
F.     Definisi Istilah
G.    Sistematika Pembahasan
BAB II:          KAJIAN TEORI
A.    Konsep Poligami dalam Islam
B.     Konsep Umum Kesehatan Reproduksi
C.    Konsep Maslahah Mursalah
D.    Teori Maslahah
BAB III:         METODE PENELITIAN
A.    Pendekatan dan Jenis Penelitian
B.     Sumber Data
C.    Pengumpulan Data
D.    Analisis Data
BAB IV:         PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN
BAB V:          PEMBAHASAN
BAB VI: PENUTUP
A.    Simpulan
B.     Implikasi
C.    Saran
Bagian Akhir
DAFTAR RUJUKAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP







[2]http://bsi-actions.indonesianforum.net/t62-dampak-poligami-terhadap-wanita-indonesia. Diakses Tanggal 29 Mei 2015.
[3]Suryati Romauli dan Anna Vida Vindari, Kesehatan Reproduksi buat Mahasiswi Kebidanan, (Yogyakarta: Nuha Offset, 2009), hlm. 1.
[4]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 129.
[5]Rahman Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 13.
[6]Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hlm. 1178.
[7]Sudarsono, Kamus Agama Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hlm. 180.
[8]Siti Musda Mulia, Pertimbangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), hlm. 2.
[9]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hlm. 130-131.
[10]Abbas Mahmoud al-Akkad,  Al-Mar’ah fil Qur’an, Wanita Dalam al-Qur’an,Terj. Chadidjah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 126.
[11]Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2001), hlm. 18.
[12]Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of Islam, Terj., Nur Rachman, Syari’ah Demokratik, (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), hlm. 204.
[13]Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 199.
[14]Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah Juz I, (Lebanon: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 628.
[15]Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 201.
[16]Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, hlm. 27.
[17]Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 200.
[18]Bakri A. Rahman  dan Ahmad Subardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UUP dan Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981), hlm. 8.
[19]Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Cet. III, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 171.
[20]Departemen Agama RI., Bahan Penyuluhan Hukum; Lampiran II UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, hlm. 96 – 97.
[21]Departemen Agama RI., Bahan Penyuluhan Hukum; Lampiran II UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, hlm. 97. 
[22]Intan Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan, (Jakarta: Salemba Medika, 2012), hlm. 1.
[23]Intan Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan, hlm. 1.
[24]Intan Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan, hlm. 1-2.
[25]Intan Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan, hlm. 3.
[26]Intan Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan, hlm. 3-4.
[27]Munawar Kholil,  Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah,  (Semarang: Bulan Bintang, 1955),  hlm.  43.
[28]Intan Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan, hlm. 4-5.
[29]Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973), hlm. 219.
[30]Munawar Kholil,  Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah,  hlm. 43.
[31]Abdullah Wahab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah - kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 123.
[32]Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 424.
[33]Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, Ushul Fiqih,  hlm. 426.
[34]Al-Syatibi, Al-I’tishom, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 115.
[35]Abdullah Wahab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah - kaidah Hukum Islam, hlm. 125
[36]Mukhsin Jamil,  Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang:
Walisongo Press, 2008), hlm. 24.
[37]Mukhsin Jamil,  Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, hlm. 24.
[38]Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jus II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), hlm. 4-5.
[39]Soerdjono Soekamto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Garafindo, 2003), hlm. 13.
[40]Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 175.
[41]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 137.
[42]Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 118.
[43]Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, hlm. 176.
[44]Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, hlm. 119.
[45]Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2011), hlm. 296
[46]Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Normatif, hlm. 297.
[47]Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, hlm. 177.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Poligami dalam Islam

POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH MURSALAH A.     Latar Belakang Poligami merupakan masalah yang sering...