POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH
MURSALAH
A.
Latar Belakang
Poligami merupakan masalah yang sering diperhatikan di indonesia, dan
Indonesia merupakan salah satu negara yang memperbolehkan warganya melakukan
poligamidengan syarat tertentu. Poligami memang termasuk ajaran agama Islam,
yaitu agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk di indonesia. Tidak
mustahil ada perempuan yang rela dan bersedia menerima poligami, tetapi
kerelaan atau kesediaan dari satu atau sejumlah perempuan tidak boleh dijadikan
acuan menggeneralisasi. Dengan demikian, penerimaan poligami oleh perempuan
bergantung pada dirinya sendiri seperti apa dia memandang dirinya, bagaimana
seseorang memandang dirinya sendiri sangat mempengaruhi setiap aspek
pengalamannya sehari-hari, mulai dari peran kerja, dalam hubungan asmara,
pernikahan, hubungan seksual, cara bersikap sebagai orangtua, sampai seberapa
tinggi derajat kehidupan yang ingin dicapai.
Beberapa pemikir yang tidak setuju dengan poligami menyatakan, seandainya
kaum muslimin dalam kehidupan mereka memberi komitmen secara penuh terhadap apa
yang di wajibkan oleh Allah berupa bertindak adil terhadap kaum perempuan tentu
tidak akan terjadi kehancuran seperti yang ditimbulkan oleh suami yang tidak
memenuhi persyaratan-persyaratan bagi praktek poligami.
Penelitian yang dilakukan oleh Virpi
Lummaa, seorang ahli ekologi Inggris dari Universitas Sheffield mempublikasikan
penemuannya mengenai hubungan antara poligami dan umur panjang dalam pertemuan
tahunan International Society for Behavioral Ecology di Ithaca, New York,
Amerika Serikat.
Riset tersebut menyimpulkan bahwa langkah pria untuk melakukan praktek
poligami atau beristri lebih dari satu dapat memanjangkan usia bagi pria yang
melakukannya. Penelitian ini melibatkan lelaki berusia 60 tahun yang berasal
dari 140 negara penganut poligami. Riset tersebut membuktikan bahwa usia
rata-rata pria yang melakukan poligami lebih panjang 12% dibandingkan para pria
yang tinggal di 49 negara yang terkenal menganut monogami.
Riset tersebut menjelaskan bahwa pria yang berpoligami masih memiliki
kualitas alat reproduksi yang baik bahkan sampai berusia 80 tahun. Hal inilah
yang diperkirakan memperpanjang usia pria tersebut. Pria poligami akan lebih
panjang umur berkaitan dengan faktor sosial dan genetika. Pria tersebut akan
terus berjuang menghidupi anak-anak dan istrinya sehingga kemungkinan ia akan
lebih baik dalam menjaga kesehatannya.
Virpi Lumma juga mengatakan bahwa suami yang
memiliki istri banyak, yang bisa mengurus dirinya lebih baik, tentu akan
memiliki kesehatan yang lebih baik. Mereka akan lebih bahagia karena memiliki
banyak anak dan kehidupan seksnya sangat terjamin. “Kebutuhan seksual yang
terpenuhi akan membuat kesuburan tetap terjaga meski sudah berusia separuh
baya. Kesuburan tersebut akan berpengaruh terhadap fungsi hormon dan mengatur
metabolisme tubuh. Kesuburuan berbanding lurus dengan kinerja hormon dan akan
membuat pria semakin sehat,”
Bagi pria, poligami memang dapat membawa efek baik untuk kesehatan namun
sayangnya efek tersebut tidak bekerja sama baiknya untuk wanita. Meskipun
beberapa studi menyebutkan bahwa poligami membawa efek baik untuk istri, namun
lebih banyak studi yang menunjukkan bahwa istri yang dipoligami cenderung lebih
stres dan depresi karena perasaan cemburu.[1]
Adapun beberapa dampak Poligami terhadap perempuan diantaranya berdampak
kepada psikologis wanita yang di poligami, berdampak juga pada ekonomi rumah
tangga, dan dampak kesehatan. Di sini peneliti hanya memfokuskan kepada dampak
poligami terhadap Kesehatan Reproduksi Wanita. Resiko Poligami terhadap
penularan penyakit kelamin, salah satunya pasangan yang berpoligami bisa
terkena penyakit Kanker Leher Rahim (Kanker Serviks) Berganti-ganti pasangan
seksual. Suami atau pasangan seksualnya melakukan hubungan seksual pertama pada
usia dibawah 18 tahun, berganti-ganti pasangan dan pernah menikah dengan wanita
yang menderita kanker serviks. Pemakain DES (dietilstilbestrol) pada wanita
hamil untuk mencegah keguguran (banyak digunakan pada tahun 1940-1970).[2]
Terlepas dari semua itu, poligami merupakan bentuk pernikahan yang memang
merupakan pilihan hidup seseorang. Kehidupan pribadi dan keputusan untuk
menjalankan poligami sendiri akan berserah kepada masing-masing keluarga karena
secara hukum di Indonesia maupun secara agama (Islam), poligami bukan sesuatu
yang dilarang. Namun memang tentunya baik faktor tanggung jawab, faktor
kesehatan, dan faktor-faktor lainnya dapat menjadi salah satu pertimbangan
sebelum seorang pria memutuskan untuk berpoligami.
Berdasarkan pemaparan permasalah di atas dapat dilihat bahwa dalam melangsungkan
poligami tidak hanya dari keadilan yang akan dinilai melainkan dari berbagai
macam faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum seorang laki-laki ingin
berpoligami, salah satu di antara faktor tersebut adalah kesehatan reproduksi
bagi pasangan yang berpoligami. Dalam penelitian kali ini peneliti hanya akan
membahas poligami dilihat dari sisi kemaslahatan kesehatan reproduksi bagi
pasangan yang berpoligami.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
poligami dalam islam perspektif kesehatan reproduksi?
2.
Bagaimana aspek
maslahah dalam poligami perspektif kesehatan reproduksi?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka diperlukan
penjelasan tujuan diadakan penelitian ini. Di antaranya, untuk mengetahui
bagaimana poligami dalam Islam itu sendiri dilihat dari segi kesehatan
reproduksi karena menurut penulis dalam melakukan poligama tidak hanya adil
sebagai syarat akan tetapi kesehatan yang dialami oleh orang yang akan
berpoligami ataupun wanita yang akan di poligami juga sangat perlu diperhatikan.
Dan juga ingin mengetahui bagaimana aspek maslahah dalam berpoligami dalam
pandangan kesehatan reproduksi.
D.
Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan bisa
bermanfaat secara teoritis maupun secara praktis.
1. Secara teoritis.
a. Diharapkan dari penelitian ini merupakan bahan
masukan untuk penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan permasalahan ini
dan sekaligus dapat mencari solusinya.
b. Diharapkan dari penelitian ini dapat menambah
kajian keilmuan yang mengulas dan wacana baru tentang kemaslahatan poligami
dalam Islam itu sendiri.
2. Secara praktis
a. Secara sosial, dapat memberikan informasi
kepada masyarakat yang ingin melangsungkan poligami diharapkan untuk mengetahui
inti dari kemaslahatan poligami khususnya dalam kesehatan reproduksi bagi pasangan
yang akan melangsungkan poligami.
b. Dapat memberikan informasi dan pengetahuan
khususnya bagi peneliti secara pribadi dan masyarakat luas pada umumnya
mengenai kemaslahatan poligami ditinjau dari kesehatan reproduksi.
E.
Orisinalitas Penelitian
Permasalahan tentang poligami dalam Islam perspektif kesehatan reproduksi
dan maslahah mursalah ini belum diteliti oleh para peneliti sebelumnya, akan
tetapi di sini peneliti akan memaparkan beberapa perbedaan dan persamaan
mengenai penelitian sebelumnya yang juga membahas mengenai tema besar yaitu
poligami dalam Islam ataupun yang lainnya. Diantaranya akan dipaparkan dalam
tabel dibawah ini mengenai persamaan dan perbedaan antara yang akan diteliti
sekarang dan penelitian sebelumnya:
Nama
|
Judul
|
Persamaan
|
Perbedaan
|
BADRUDIN, S.HI
(11780016)
2013
|
POLIGAMI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)
(Studi Pendapat Judex Factie
Pengadilan Agama Kota Malang)
|
Sama-sama membahas tentang poligami
|
Penelitian ini hanya fokus pada pendapat
Judex factie Pengadilan Agama kota Malang bagi PNS yang berpoligami
|
Alvan Fathony
(12780013)
2014
|
PERILAKU POLIGAMI KYAI MASYARAKAT PERSPEKTIF
FENOMENOLOGI (Studi Model Mu’asyarah Poligami Kyai Masyarakat Dalam Membina
Keluarga Sakinah)
|
Sama-sama membahas tentang poligami
|
Penelitian ini membahas berbagai fenomena
polgami kyai masyarkat dan membahas tentang pandangan keluarga inti mengenai
model mu’asyarah poligami Kyai Masyurat dan mengenai relevansinya terhadap
keluarga sakinah.
|
MOH ANAS KHOLISH
(09780011)
2011
|
MENAKAR EKSISTENSI REGULASI POLIGAMI DALAM
UNDANG-UNDANG RI NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (Studi Konstruksi
Sosial Muslimat Hizbut Tahrir Indonesia di Kota Malang)
|
|
|
Sofyan Afandi
2011
|
ESKALASI POLIGAMI (Studi Fenomena Sosial
Masyarakat Kota Malang)
|
Sama-sama membahas tentang poligami
|
Penelitian ini membahas tentang tingginya
angka poligami yang dicatatkan di Pengadilan Agama mengindikasikan kesadaran
hukum yang baik, dan peneliti tertarik untuk menguji teori hukum dan sosial.
|
F.
Definisi Istilah
Poligami: adalah sebagai ikatan perkawinan yang salah satu (suami)
mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.
Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat
poligami.
Kesehatan Reproduksi: keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang
utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit dan kelemahan, dalam segala hal yang
berhubungan dengan system reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya.[3]
Maslahah Mursalah: Segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan
syari’ (dalam mensyari’atkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus
yang menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya.
G.
Sistematika Pembahasan
Pertanggungjawaban sistematika adalah uraian
logis sistematika susunan bab dan sub bab untuk menjawab uraian terhadap
permasalahan kemaslahatan dalam berpoligami perspektif kesehatan reproduksi.
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan starting point dari penelitian
ini yang meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, definisi istilah, sistematika
pembahasan, metode penelitian. Bab ini merupakan langka awal untuk memberikan
pemahaman tentang permasalahan-permasalahan khususnya tentang poligami dalam
Islam, yang dirumuskan dalam rumusan masalah, dengan menggunakan metode yang
sesuai dengan penelitian ini dan disusun dengan sistematika yang baik.
BAB II KAJIAN
TEORI
Dalam bab ini akan diuraikan tinjauan umum
mengenai pandangan umum tentang poligami dalam Islam dan tinjauan umum mengenai
konsep kesehatan reproduksi, tinjauan umum tentang maslahah mursalah.
BAB III HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan bahan hukum yang
telah diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan yang kemudian diedit,
diklasifikasi, diverifikasi, dan dianalisis untuk menjawab rumusan masalah yang
telah ditetapkan.
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan finishing dari penelitian
ini, pada bab ini akan dikemukakan kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab
sebelumnya, serta saran-saran penulis yang mungkin berguna dan bermanfaat bagi
ilmu pengetahuan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Konsep Poligami dalam Islam
1. Pengertian Poligami
Kata-kata “poligami” terdiri dari kata “poli”
dan “gami”. Secara etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”.
Jadi, poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu
“seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”. Atau seorang laki-laki
beristri lebih dari seorang, tetapi paling banyak dibatasi empat orang.[4]
Dalam bahasa Arab poligami disebut ta’addud az-zaujaat.[5]
Adapun dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, poligami merupakan praktek
memiliki beberapa istri atau pasangan pada waktu yang bersamaan.[6] Sedangkan
dalam Kamus Agama Islam, Poligami apabila seorang laki-laki nikah dengan dua
sampai empat orang perempuan, disebut poligami.[7]
Poligami adalah sebagai ikatan perkawinan yang
salah satu (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.
Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat
poligami. Selain poligami dikenal juga dengan istilah poliandri, jika dalam
poligami suami yang memiliki beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, justru
istri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi
dibandingkan dengan poligami bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan.
Poliandri hanya ditemukan pada suku-suku tertentu, seperti pada suku Toda dan
beberapa suku di Tibet.[8]
Allah SWT membolehkan poligami sampai 4 orang
istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Adil dalam artian melayani
istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan segala hal
yang bersifat lahiriah. Apabila seorang laki-laki tidak sanggup berlaku adil
kepada semua istrinya maka cukup satu orang istri saja. Hal ini berdasarkan
dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat: 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4
y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.
Berkaitan dengan masalah ini Rasyid Ridha
mengatakan, Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/ mudharat dari
pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature)
mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan
mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam keluarga yang poligamis.
Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan
keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anaknya. Karena
itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan
monogami akan mudah mentralisasi sifat/ watak cemburu, iri hati dan suka
mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis.[9]
Sebenarnya Islam tidaklah memulai poligami,
tidak memerintahkan dan juga tidak menganjurkan poligami itu. Islam hanya
memperbolehkan poligami dalam suasana tertentu, dengan mengadakan
syarat-syarat, terutama adil dan mampu.[10] Dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa poligami adalah seorang laki-laki yang menikah
dengan lebih dari seorang wanita, dalam hal ini dibatasi hanya empat orang
wanita (isteri) dalam waktu yang sama.
2. Dasar Hukum Poligami
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian
terdahulu bahwa Islam bukanlah agama yang pertama kali mengenalkan poligami.
Fenomena poligami sudah ada pada sejarah manusia berabad-abad yang lalu sebelum
hadirnya Islam. Masyarakat Arab sebelum Islam juga sudah tidak asing lagi dengan
praktik-praktik poligami dalam kehidupan sehari-harinya.
Syari’at Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw
meliputi berbagai sendi kehidupan manusia, termasuk masalah poligami,
diantaranya adalah firman Allah swt dalam surat An-Nisa’ ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4
y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.
Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang
laki-laki beristeri empat orang wanita dalam waktu yang sama. Penegasan ini
dinyatakan dalam bentuk perintah. Akan tetapi, perintah pada ayat di atas
hukumnya tidak dengan sendirinya menyatakan wajib seperti halnya perintah
melakukan sholat atau puasa.[11] Perintah
poligami tersebut pada pokoknya hukumnya mubah, artinya bebas dilakukan oleh
setiap lelaki muslim selama yang bersangkutan dapat melakukannya dengan adil
dan memberikan kecukupan kepada isteriisterinya. Namun dalam hal ini yang perlu
dingat adalah prinsip murni dalam Islam adalah monogami, yakni perkawinan
antara satu laki-laki dengan satu perempuan, tanpa perceraian.[12]
“Atas dasar ayat inilah sehingga Nabi saw
melarang dalam saat yang sama lebih dari empat orang isteri bagi seorang pria”.[13] Ketika
turunnya ayat ini, beliau memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat
orang isteri, agar segera menceraikan isteri-isterinya sehingga maksimal setiap
orang (suami) hanya beristerikan empat orang wanita. Dalam salah satu hadis
Nabi saw dari Haris bin Qais: “Dari Qois bin Haris ia berkata : “Saya masuk
Islam, sedang di sisiku terdapat delapan orang isteri. Aku menerangkan itu
kepada Nabi saw, maka Nabi saw bersabda : “Pilihlah empat orang di antara
mereka”.[14]
(H.R. Ibnu Majjah)
Dari al-Qur’an dan Hadis tersebut dapat
diketahui bahwa poligami itu diperbolehkan, tetapi tidak terlepas dari
syarat-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya adalah keadilan. “Perlu
dijelaskan bahwa keadilan yang disyaratkan ayat yang membolehkan poligami itu
adalah keadilan dalam bidang material”.[15] Dalam
hal ini suami dituntut untuk berlaku adil dalam pemberian tempat tinggal,
makan, minum, serta kemampuan suami untuk berlaku adil dalam hal nafkah kepada
isteri-isteri dan anak-anaknya.
Perintah berlaku adil bagi suami yang
berpoligami juga dijelaskan dalam al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 129 :
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym (
xsù (#qè=ÏJs? ¨@à2 È@øyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4
bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊËÒÈ
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Adapun keadilan atau persamaan dalam masalah
cinta dan kecenderungan hati tidak dapat dituntut, karena manusia tidak mampu
melakukannya. Dalam surat An-Nisa’ ayat 129 di atas, menurut Muhammad Thalib
menjadi isyarat jelas bahwa keadilan yang dituntut dari seorang suami kepada
para isterinya bukanlah keadilan cinta dan kasih sayang, melainkan keadilan
dalam pemberian nafkah materiil, sikap dan perilaku lahiriah, serta giliran.
“Apa sebab kita berani menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan perlakuan adil dalam QS. An-Nisa’ ayat 129 adalah dalam urusan
materiil, sikap dan perlakuan lahir, serta giliran seorang suami kepada
isterinya? Demikianlah karena perasaan cinta dan kasih sayang bukan hal yang
dapat dikuasai seseorang. Rasa cinta dan kasih sayang berada di bawah kekuasaan
Allah dan ditetapkan serta diatur oleh Allah”.[16]
Itu sebabnya hati orang yang berpoligami dilarang memperturutkan hatinya dan
berlebihan dalam kecenderungan kepada yang dicintai. Namun demikian tidaklah
tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup pintu poligami serapat rapatnya.[17]
Konsekuensi adil itu bukanlah syarat hukum
yang berarti apabila suami tidak dapat berbuat adil kepada isteri-isterinya
lantas nikahnya batal atau cerai langsung, atau dengan kata lain batal demi
hukum. Tetapi merupakan konsekuensi yang lebih banyak menyangkut moral atau
tepatnya syarat dari agama. Apabila ada suami yang tidak berlaku adil kepada
isteriisterinya, maka dia berdosa kepada Allah swt, sebab dia sudah diberikan kelonggaran
untuk melaksanakan poligami, tetapi dia tidak dapat menjaga kelonggaran yang
diberikan kepadanya.
Jelaslah bahwa, keadilan suami bukanlah syarat
hukum, tetapi merupakan konsekuensi logis dari poligami tersebut. Poligami
memang merupakan alternatif bagi suami yang kurang puas dengan satu orang
isteri karena berbagai sebab, dari pada ia terjerumus ke lembah perzinaan atau
pelacuran, lebih baik melaksanakan poligami yang dihalalkan oleh syari’at Islam.[18]
3. Poligami dalam Perspektif Hukum Perkawinan
Indonesia
Hukum perkawinan di Indonesia menganut asas
seorang pria hanya mempunyai satu orang isteri atau asas monogami. Sebagaimana
disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Namun demikian, dalam hukum perkawinan di
Indonesia itu sendiri tidak lantas melarang sepenuhnya seorang suami untuk
berpoligami, poligami dibolehkan bagi seorang suami dengan syarat dan prosedur
tertentu. Karena pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri, maka poligami atau seorang suami beristeri lebih dari seorang
perempuan diperbolehkan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
dan pengadilan telah memberi izin untuk berpoligami.[19] Adapun
alasan-alasan yang dipedomani oleh Pengadilan untuk dapat memberi izin poligami
, ditegaskan dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan;
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang
apabila;
1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri;
2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan;
3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.[20]
Apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas adalah mengacu kepada
tujuan pokok perkawinan itu dilaksanakan, yaitu membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau dalam
rumusan kompilasi, yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Jika diantara ketiga hal tersebut di atas menimpa suatu keluarga atau pasangan
suami isteri, sudah barang tentu kehampaan dan kekosongan manis dan romantisnya
kehidupan rumah tangga yang menerpanya. Misalnya, isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya atau si suami tidak dapat menjalankan kewajibannya tentu
akan terjadi kepincangan yang mengganggu laju bahtera rumah tangga yang
bersangkutan. Meskipun kebutuhan seksual hanyalah sebagian dari tujuan
perkawinan, namun ia akan mendatangkan pengaruh besar manakala tidak terpenuhi.
Demikian juga, bila isteri mendapat cacat badan atau penyakit; yang tidak bisa
disembuhkan.
Demikian juga bila si isteri tidak dapat melahirkan keturunan, walaupun
tidak setiap pasangan suami isteri, yang isteri tidak dapat melahirkan
keturunan memilih alternatif untuk berpoligami. Mereka kadang menempuh cara
mengangkat anak asuh. Namun jika suami ingin berpoligami adalah wajar dan masuk
akal, karena keluarga tanpa kehadiran anak, tidaklah lengkap.
4. Syarat Poligami
Selain alasan-alasan di atas, untuk berpoligami syarat-syarat dibawah ini
harus dipenuhi. Menurut ketentuan pasal 5 UU Perkawinan dijelaskan:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang
ini harus dipenuhi syaratsyarat
sebagai berikut :
1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.[21]
B. Konsep Umum Kesehatan Reproduksi
1. Definisi Kesehatan Reproduksi
Paradigma dalam pengelolaan masalah
kependudukan dan pembangunan telah mengalami perubahan. Semula menggunakan
pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas kemudian berubah
menjadi pendekatan kesehatan reproduksi dengan memperhatikan hak-hak reproduksi
dan kesetaraan gender. Perubahan ini telah disepakati dalam Konferensi Wanita
Sedunia ke-4 di Beijing tahun 1995 serta Konferensi Internasional Kependudukan
dan Pembangunan (International Conference on Population and Development-ICPD)
yang diselenggarakan di Kairo pada tahun 1994.[22]
Dalam kesepakatan itu pula Kesehatan
Reproduksi didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial
secara utuh (tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan) dalam semua
hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.[23]
2. Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi
Ruang lingkup kesehatan reproduksi mencakup
keseluruhan kehidupan manusia sejak lahir sampai mati. Pelaksanaan kesehatan
reproduksi menggunakan pendekatan siklus hidup (life cycle approach)
agar diperoleh sasaran yang pasti dan komponen pelayanan yang jelas serta
dilaksanakan secara terpadu dan berkualitas dengan memperhatikan hak reproduksi
perorangan dengan bertumpu pada program pelayanan yang tersedia.
Dalam pendekatan siklus hidup dikenal lima tahap,
beberapa pelayanan kesehatan reproduksi dapat diberikan pada tiap tahapan
berikut ini.
a. Konsepsi
1) Perlakuan sama terhadap janin
laki-laki/perempuan.
2) Pelayanan antenatal, persalinan, dan nifas
yang aman, serta pelayan bayi baru lahir.
b. Bayi dan anak.
1) ASI eksklusif dan penyapihan yang layak.
2) Tumbuh kembang anak dan pemberian makanan
dengan gizi seimbang.
3) Imunisasi, Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS), dan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM)
4) Pencegahan dan penanggulangan kekerasan
5) Pendidikan dan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan.
c. Remaja.
1) Gizi seimbang.
2) Informasi tentang kesehatan reproduksi.
3) Pencegahan kekerasan seksual.
4) Pencegahan terhadap ketergantungan narkotik,
psikotropika, dan zat adiktif.
5) Perkawinan pada usia yang wajar.
6) Pendidikan dan peningkatan keterampilan.
7) Peningkatan penghargaan diri.
8) Peningkatan pertahanan terhadap godaan dan
ancaman.
d. Usia subur.
1) Kehamilan dan persalinan yang aman.
2) Pencegahan kecacatan dan kematian akibat
kehamilan pada ibu dan bayi.
3) Menjaga jarak kelahiran dan jumlah kehamilan
dengan menggunakan alat kontrasepsi atau KB.
4) Pencegahan terhadap PMS/HIV/AIDS.
5) Pelayanan kesehatan reproduksi yang
berkualitas.
6) Pencegahan dan penanggulangan masalah aborsi
secara rasional.
7) Deteksi dini kanker payudara dan leher rahim.
8) Pencegahan dan manajemen infertilitas.
e. Usia lanjut
1) Perhatian terhadap menopause/andropause.
2) Perhatian pada penyakit utama degeneratif,
termasuk rabun, gangguan mobilitas, dan osteoporosis.
3) Deteksi dini kanker rahim dan kanker prostast.[24]
Secara luas ruang lingkup kesehatan reproduksi
meliputi hal-hal berikut.
a. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
b. Keluarga berencana (KB).
c. Pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran
reproduksi (ISR) termasuk PMS-HIV/AIDS.
d. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi
aborsi.
e. Kesehatan reproduksi remaja.
f. Pencegahan dan penanganan infertilitas.
g. Kanker pada usila dan osteoporosis.
h. Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain,
misalnya kanker serviks, mutilasi genital, fistula, dan lain-lain.
Untuk kepentingan Indonesia saat ini, secara
nasional telah disepakati ada empat komponen prioritas kesehatan reproduksi.
a. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir (BBL)
b. Keluarga berencana.
c. Kesehatan reproduksi remaja.
d. Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
seksual termasuk HIV/AIDS
Pelayanan yang mencakup empat komponen
prioritas di atas disebut dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial
(PKRE). Jika ditambah dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Usia Lanjut,
maka pelayanan yang diberikan disebut Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Komprenshif (PKRK).[25]
3. Hak-Hak Reproduksi
Hak reproduksi adalah hak setiap individu dan
pasangan untuk menentukan kapan mempunyai anak, berapa jumlah anak, dan jarak
antara anak yang dikehendaki. Dalam hal ini hak reproduksi terkait erat dengan
sistem, fungsi, dan proses produksi.
Menurut dokumen International Conference on Population
and Development (ICPD) Kairo 1994, hak reproduksi mencakup hal-hal sebagai
berikut.
a. Hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan
kesehatan reproduksi.
b. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan
kesehatan reproduksi.
c. Hak atas kebebasan berpikir dan membuat
keputusan tentang kesehatan reproduksi.
d. Hak untuk memutuskan jumlah dan jarak
kelahiran anak.
e. Hak untuk hidup dab bebas dari risiko kematian
karena kehamilan atau masalah gender.
f. Hak mendapat kebebasan dan keamanan dalam
pelayanan kesehatan reproduksi.
g. Hak untuk bebas dari segala bentuk
penganiayaan dan perlakuan buruk yang menyangkut kesehatan reproduksi.
h. Hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan
reproduksinya.
i.
Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
j.
Hak dalam kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam
politik yang bernuansa kesehatan reproduksi.
k. Hak untuk bebas dari segala bentuk
diskriminasi dan kesehatan reproduksi.
Indikator terpenuhi atau tidak terpenuhinya hak reproduksi digambarkan
dalam derajat kesehatan reproduksi masyarakat, yang ditunjukan dengan beberapa
komponen berikut.
a. Angka kematian ibu/ AKI (makin tinggi AKI,
makin rendah derajat kesehatan reproduksi).
b. Angka kematian bayi/ AKB (makin tinggi AKB,
makin rendah derajat kesehatan reproduksi).
c. Angka cakupan pelayanan KB dan partisipasi
laki-laki dalam keluarga berencana (makin rendah angka cakupan layanan KB,
makin rendah kesehatan reproduksi).
d. Jumlah ibu hamil dengan 4 Terlalu- terlalu
muda, terlalu tua, terlalu dekat jarak kelahiran, dan terlalu banyak anak-
(makin tinggi jumlah ibu hamil dengan terlalu, makin rendah derajat kesehatan
reproduksi).
e. Jumlah perempuan dan atau ibu hamil dengan
masalah kesehatan, terutama anemia dan kurang energi kronis/KEK (semakin tinggi
tingkat anemia dan KEK, semakin rendah derajat kesehatan reproduksi).
f. Perlindungan bagi perempuan terhadap penularan
penyakit menular seksual/ PMS (makin rendah perlindungan bagi perempuan, makin
rendah derajat kesehatan reproduksi).
g. Pemahaman laki-laki terhadap upaya pencegahan
dan penularan PMS (makin rendah pemahaman PMS pada laki-laki, makin rendah
derajat kesehatan reproduksi).[26]
Untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak reproduksi, maka kebijakan teknis operasional
yang dilakukan di Indonesia adalah sebagai berikut.
a. Promosi hak-hak reproduksi.
Dilaksanakan dengan menganalisis perundang-undangan
peraturan dan kebijakan yang saat ini berlaku apakah sudah sering dan mendukung
hak-hak reproduksi dengan tidak melupakan kondisi lokal sosial budaya
masyarakat. Pelaksanaan upaya pemenuhan hak reproduksi memerlukan dukungan
secara politik dan legislatif sehingga bisa tercipta undang-undang hak
reproduksi yang mencakup aspek pelanggaran hak reproduksi.
b. Advokasi hak-hak reproduksi.
Advokasi dimaksudkan agar mendapatkan dukungan komitmen
dari para tokoh politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM/LSOM, dan swasta.
Dukungan swasta dan LSM sangat dibutuhkan karena ruang gerak pemerintah lebih
terbatas. [27]Dukungan
para tokoh sangat membantu memperlancar terciptanya pemenuhan hak-hak
reproduksi. LSM yang memperjuangkan hak-hak reproduksi sangat penting artinya
untuk terwujudnya pemenuhan hak-hak reproduksi.
c. KIE hak-hak reproduksi.
Dengan KIE diharapkan masyarakat semakin mengerti hak-hak
reproduksi sehingga dapat bersama-sama mewujudkan kesehatan keluarga.
d. Sistem pelayanan hak-hak reproduksi (BKKBN,
2000).[28]
C. Konsep Maslahah Mursalah
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan
ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti mendatangkan
kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan. Menurut bahasa
aslinya kata maslahah berasal dari kata salahu, yasluhu, salahan, صلح , يصلح , صلاحا artinya sesuatu yang
baik, patut, dan bermanfaat.[29] Sedang
kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama
(al-Qur’an dan al-Hadits) yang membolehkan atau yang melarangnya.[30]
Menurut Abdul Wahab Khallaf, maslahah mursalah
adalah maslahah di mana syari’ tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudkan
maslahah, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.[31]
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahra, definisi maslahah mursalah adalah
segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ (dalam
mensyari’atkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang
menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya.[32]
Dengan definisi tentang maslahah mursalah di atas, jika dilihat dari segi
redaksi nampak adanya perbedaan, tetapi dilihat dari segi isi pada hakikatnya
ada satu kesamaan yang mendasar, yaitu menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama
sekali tidak disebutkan dalam al-Qur-an maupun al-Sunnah, dengan pertimbangan
untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang bersendikan pada asas
menarik manfaat dan menghindari kerusakan.
1. Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah sebagai metode hukum yang mempertimbangkan adanya
kemanfaatan yang mempunyai akses secara umum dan kepentingan tidak terbatas, tidak
terikat. Dengan kata lain maslahah mursalah merupakan kepentingan yang
diputuskan bebas, namun tetap terikat pada konsep syari’ah yang mendasar.
Karena syari’ah sendiri ditunjuk untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat
secara umum dan berfungsi untuk memberikan kemanfaatan dan mencegah
kemazdaratan (kerusakan).
Kemudian mengenai ruang lingkup berlakunya
maslahah mursalah dibagi atas tiga bagian yaitu:
1. Al-Maslahah al-Daruriyah,
(kepentingan-kepentingan yang esensi dalam kehidupan) seperti memelihara agama,
memelihara jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2. Al-Maslahah al-Hajjiyah,
(kepentingan-kepentingan esensial di bawah derajatnya al-maslahah daruriyyah),
namun diperlukan dalam kehidupan manusia agar tidak mengalami kesukaran dan
kesempitan yang jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan kerusakan dalam
kehidupan, hanya saja akan mengakibatkan kesempitan dan kesukaran baginya.
3. Al-Maslahah al-Tahsiniyah,
(kepentingan-kepentingan pelengkap) yang jika tidak terpenuhi maka tidak akan
mengakibatkan kesempitan dalam kehidupannya, sebab ia tidak begitu
membutuhkannya, hanya sebagai pelengkap atau hiasan hidupnya.[33]
Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan hukum
Islam, maka harus mempunyai dua dimensi penting, yaitu sisi pertama harus tunduk
dan sesuai dengan apa yang terkandung dalam nash (al- Qur’an dan al-Hadits)
baik secara tekstual atau kontekstual. Sisi kedua harus mempertimbangkan adanya
kebutuhan manusia yang selalu berkembang sesuai zamannya. Kedua sisi ini harus
menjadi pertimbangan yang secara cermat dalam pembentukan hukum Islam, karena
bila dua sisi di atas tidak berlaku secara seimbang, maka dalam hasil istinbath
hukumnya akan menjadi sangat kaku disatu sisi dan terlalu mengikuti hawa nafsu
disisi lain. Sehingga dalam hal ini perlu adanya syarat dan standar yang benar
dalam menggunakan maslahah mursalah baik secara metodologi atau aplikasinya.
Adapun syarat maslahah mursalah sebagai dasar legislasi hukum Islam sangat
banyak pandangan ulama, diantaranya adalah:
1. Menurut Al-Syatibi
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum
bila:
a. Kemaslahatan sesuai dengan prinsip-prinsip apa
yang ada dalam ketentuan syari’ yang secara ushul dan furu’nya tidak
bertentangan dengan nash.
b. Kemaslahatan hanya dapat dikhususkan dan diaplikasikan
dalam bidang-bidang sosial (mu’amalah) di mana dalam bidang ini menerima terhadap
rasionalitas dibandingkan dengan bidang ibadah. Karena dalam mu’amalah tidak
diatur secara rinci dalam nash.
c. Hasil maslahah merupakan pemeliharaan terhadap
aspek-aspek Daruriyyah, Hajjiyah, dan Tahsiniyyah. Metode maslahah adalah sebagai
langkah untuk menghilangkan kesulitan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama
dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan.[34] Sesuai
firman Allah:
(#rßÎg»y_ur Îû «!$# ¨,ym ¾ÍnÏ$ygÅ_ 4
uqèd öNä38u;tFô_$# $tBur @yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4
s'©#ÏiB öNä3Î/r& zOÏdºtö/Î) 4
uqèd ãNä39£Jy tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# `ÏB ã@ö6s% Îûur #x»yd tbqä3uÏ9 ãAqß§9$# #´Îgx© ö/ä3øn=tæ (#qçRqä3s?ur uä!#ypkà n?tã Ĩ$¨Z9$# 4
(#qßJÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qßJÅÁtGôã$#ur «!$$Î/ uqèd óOä39s9öqtB (
zN÷èÏYsù 4n<öqyJø9$# zO÷èÏRur çÅÁ¨Z9$# ÇÐÑÈ
Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan
(begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu
dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.
2. Menurut Abdul Wahab Khallaf
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai legislasi hukum
Islam bila memenuhi syarat yang diantaranya adalah:
a. Berupa maslahah yang sebenarnya (secara
haqiqi) bukan maslahah yang sifatnya dugaan, tetapi yang berdasarkan
penelitian, kehati-hatian dan pembahasan mendalam serta benar-benar menarik
manfa’at dan menolak kerusakan.
b. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan
untuk kepentingan perorangan, tetapi untuk orang banyak.
c. Tidak bertentangan dengan hukum yang telah
ditetapkan oleh nash (al- Qur’an dan al-Hadits) serta ijma’ ulama.[35]
3. Menurut Al-Ghozali
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum
bila:
a. Maslahah mursalah aplikasinya sesuai dengan
ketentuan syara’
b. Maslahah mursalah tidak bertentangan dengan
ketentuann nash syara’ (al-Qur’an dan al-Hadits).
c. Maslahah mursalah adalah sebagai tindakan yang
dzaruri atau suatu kebutuhan yang mendesak sebagai kepentingan umum masyarakat.[36]
4. Menurut Jumhurul Ulama
Menurut Jumhurul Ulama bahwa maslahah mursalah
dapat sebagai sumber legislasi hukum Islam bila memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Maslahah tersebut haruslah “maslahah yang
haqiqi” bukan hanya yang berdasarkan prasangka merupakan kemaslahatan yang
nyata. Artinya bahwa membina hukum berdasarkan kemaslahatan yang benar-benar dapat
membawa kemanfaatan dan menolak kemazdaratan. Akan tetapi kalau hanya sekedar
prasangka adanya kemanfaatan atau prasangka adanya penolakan terhadap kemazdaratan,
maka pembinaan hukum semacam itu adalah berdasarkan wahm (prasangka) saja dan
tidak berdasarkan syari’at yang benar.
b. Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan
yang umum, bukan kemaslahatan yang khusus baik untuk perseorangan atau kelompok
tertentu, dikarenakan kemaslahatan tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh orang
banyak dan dapat menolak kemudaratan terhadap orang banyak pula.
c. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan
dengan kemaslahatan yang terdapat dalm al-Qur’an dan al-Hadits baik secara
zdahir atau batin. Oleh karena itu tidak dianggap suatu kemaslahatan yang
kontradiktif dengan nash seperti menyamakan bagian anak laki-laki dengan perempuan
dalam pembagian waris, walau penyamaan pembagian tersebut berdalil kesamaan
dalam pembagian.[37]
Dari ketentuan di atas dapat dirumuskan bahwa maslahah mursalah dapat
dijadikan sebagai landasan hukum serta dapat diaplikasikan dalam tindakan
sehari-hari bila telah memenuhi syarat sebagai tersebut di atas, dan ditambahkan
maslahah tersebut merupakan kemaslahatan yang nyata, tidak sebatas kemaslahatan
yang sifatnya masih prasangka, yang sekiranya dapat menarik suatu kemanfaatan
dan menolak kemudaratan. Dan maslahah tersebut mengandung kemanfa’atan secara
umum dengan mempunyai akses secara menyeluruh dan tidak melenceng dari
tujuan-tujuan yang dikandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
D. Teori maslahah
Agar dapat menjamin kebahagiaan dalam sebuah pernikahan, khususnya poligami
bagi masyarakat Indonesia, teori maslahah dapat digunakan sebagai teori
aplikasi. Di antara tokoh-tokoh ulama dan pemikir muslim yang telah
memperkenalkan teori maslahah adalah Imam al-Syatibi dan al-Ghazali. Teori maslahah
yang pertama dikemukakan oleh al-Syatibi bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan umum dengan cara menjadikan aturan hukum syariah yang paling utama
dan sekaligus menjadi kompatibel sesuai dengan kebutuhan ruang dan waktu (shalihah
li kulli zaman wa makan) dalam kehidupan manusia yang adil dan bermartabat.
Maslahah merupakan unsur utama bangunan hukum Islam yang mengikat
unsur-unsur lain yang juga inti atau substansi dari hukum Islam. Secara
normatif, maslahah mengacu pada suatu keadaan yang seharusnya ada sehingga
hanya timbul hal-hal positif atau disana tidak ada hal-hal negatif semisal
kerusakan dan kerugian. Adapun secara empirik, maslahah mengacu kepada sejauh
mana sesuatu atau keadaan yang positif tersebut dapat terealisasikan sehingga
keberadaannya dapat dirasakan dan dialami oleh masyarakat.
Imam al-Syatibi menyatakan bahwa premis hukum dalam teori maslahah
hendaknya dapat ditegakkan dalam aplikasi syariah dengan metode induksi, baik
sebagai tema umum dalam syariat maupun dalam paparan illat hukum dari berbagai
perintah secara terperinci.[38]
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian kali ini akan menggunakan jenis
penelitian normatif atau penelitian kepustakaan (library reserach)
karena dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka,[39]
yaitu penelitian terhadap poligami dalam Islam dengan berdasarkan kesehatan
reproduksi dan maslahah mursalah. Dengan terdapat sifat pada penelitian ini
yaitu bersifat deskriptif analitis.[40]
B. Pendekatan Penelitian
Karena jenis penelitian yang digunakan adalah library
research, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual
approach). Yaitu pendekatan yang dilakukan manakala peneliti tidak beranjak
dari aturan hukum yang ada. Hak itu dilakukan karena memang belum atau tidak
ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.[41]
Adapun dalam penelitian ini memang belum ada yang meneliti tentang poligami
dalam islam perspektif kesehatan reproduksi dan maslahah mursalah
sehingga mempengaruhi terhadap hukum poligami dalam Islam itu sendiri. Akan
tetapi dengan pertimbangan kesehatan reproduksi dan maslahah mursalah
akan dapat menemukan hal baru dalam poligami sesuai dengan apa yang
diperintahkan dalam Islam.
C. Sumber Data
Dalam penelitian normatif ini sebagai sumber
datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.[42]
Uraian tentang bahan hukum yang dikaji sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum
yang mengikat.[43]
Yakni mengenai buku-buku utama yang menjelaskan poligami dalam Islam secara
keseluruhan, konsep dasar kesehatan reproduksi dan maslahah mursalah.
b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.[44]
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini mencakup literatur-literatur buku
yang membahas tentang persoalan poligami, kesehatan reproduksi, maslahah mursalah.
c. Bahan hukum tersier: bahan hukum yang
memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder.[45]
Yang meliputi kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.
D. Pengumpulan Data
Menggunakan sistem kartu, yaitu bahan hukum
yang berhubungan dengan tema sentral dipaparkan, disestematisasi, kemudiaan
dianalisis untuk menginterpretasikan dan menemukan hukum baru yang dapat
diberlakukan sebagai tawaran keluarga modernis.[46]
E. Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan
metode penelitian deskriptif analitis, maka analisa bahan hukum yang
dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, serta tersier.[47]
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisis dengan konsep
kesehatan reproduksi dan kemudian dipadukan dengan teori maslahah.
Diharapkan dari hasil penelitian ini akan dapat diuraikan mengenai poligami
dalam Islam dan dapat diterapkan bagi mereka yang ingin berpoligami. Dalam hal
ini dalam poligami tidak hanya terlihat dari sisi keadilannya saja akan tetapi
peneliti akan menguraikan dari sisi kesehatan reproduksi dengan pertimbangan
teori tersebut.
OUTLINE PENELITIAN
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERNYATAAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
MOTTO
ABSTRAK
TRANSLITERASI
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Orisinalitas Penelitian
F. Definisi Istilah
G. Sistematika Pembahasan
BAB II: KAJIAN
TEORI
A. Konsep Poligami dalam Islam
B. Konsep Umum Kesehatan Reproduksi
C. Konsep Maslahah Mursalah
D. Teori Maslahah
BAB III: METODE
PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
B. Sumber Data
C. Pengumpulan Data
D. Analisis Data
BAB IV: PAPARAN
DATA DAN HASIL PENELITIAN
BAB V: PEMBAHASAN
BAB VI: PENUTUP
A. Simpulan
B. Implikasi
C. Saran
Bagian Akhir
DAFTAR RUJUKAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
[1]http://wartakesehatan.com/47243/poligami-antara-kesehatan-kesenangan-dan-depresi
diakses tanggal 29 Mei 2015.
[2]http://bsi-actions.indonesianforum.net/t62-dampak-poligami-terhadap-wanita-indonesia.
Diakses Tanggal 29
Mei 2015.
[3]Suryati Romauli dan Anna Vida Vindari, Kesehatan Reproduksi buat
Mahasiswi Kebidanan, (Yogyakarta: Nuha Offset, 2009), hlm. 1.
[6]Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,
(Jakarta: Modern English Press, 1991), hlm. 1178.
[8]Siti Musda Mulia, Pertimbangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta:
Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), hlm. 2.
[10]Abbas Mahmoud al-Akkad,
Al-Mar’ah fil Qur’an, Wanita Dalam al-Qur’an,Terj. Chadidjah
Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 126.
[11]Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, (Bandung:
Irsyad Baitus Salam, 2001), hlm. 18.
[12]Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of Islam,
Terj., Nur Rachman, Syari’ah Demokratik, (Surabaya: Lembaga Studi Agama
dan Demokrasi, 1996), hlm. 204.
[18]Bakri A. Rahman
dan Ahmad Subardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UUP dan Hukum
Perdata, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981), hlm. 8.
[19]Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Cet. III,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 171.
[20]Departemen Agama RI., Bahan Penyuluhan Hukum; Lampiran
II UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, hlm. 96 – 97.
[21]Departemen Agama RI., Bahan Penyuluhan Hukum; Lampiran
II UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, hlm. 97.
[22]Intan Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk
Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan, (Jakarta: Salemba Medika, 2012), hlm.
1.
[23]Intan
Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk Mahasiswa
Kebidanan dan Keperawatan, hlm. 1.
[24]Intan Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk
Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan, hlm. 1-2.
[25]Intan Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk
Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan, hlm. 3.
[26]Intan Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk
Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan, hlm. 3-4.
[27]Munawar
Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah,
(Semarang: Bulan Bintang, 1955),
hlm. 43.
[28]Intan
Kumalasari dan Iwan Andhyantoro, Kesehatan Reproduksi, Untuk Mahasiswa
Kebidanan dan Keperawatan, hlm. 4-5.
[29]Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973), hlm. 219.
[31]Abdullah Wahab
Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah - kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 123.
[32]Muhammad Abu
Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 424.
[35]Abdullah Wahab
Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah - kaidah Hukum Islam, hlm. 125
Walisongo Press,
2008), hlm. 24.
[38]Al-Syathibi,
al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jus II, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, t.th.), hlm. 4-5.
[42]Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
(Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 118.
[45]Johnny
Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2011), hlm. 296
Tidak ada komentar:
Posting Komentar