اليقين لايزال بالشك
(Keyakinan Tidak Dapat Hilang oleh Keraguan)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Qowaid fiqhiyah merupakan salah
satu kebutuhan bagi kita semua, khususnya mahasiswa Fakultas Syariah. Dengan
menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah dalam menguasai
fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh yang
lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeada untuk
kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih
moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan
lebih mudah dalam mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan
berkembang dalam masyarakat. Hal ini tidak lain karena kaidah fiqh sebagai
hasil dari cara berfikir induktif, dengan meneliti materi-materi fiqh yang
banyak sekali jumlahnya yang tersebar di dalam ribuan kitab fiqh.
Titik tolak pelaksanaan hukum Islam
diatur oleh kaidah-kaidah yang bersifat universal yang merupakan stasiun
keberangkatan suatu perbuatan. Sebagaimana ada kaidah yang menyatakan bahwa
keyakinan tidak terkalahkan oleh keraguan, karena setiap perbuatan harus
dilandasi oleh keyakinan, bukan oleh keraguan.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari lafadh yakin dan syakk secara etimologi dan terminologi?
2. Bagaimana
implementasi dari kaidah tersebut beserta landasan yang dipakai?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian
lafadh yakin dan syakk secara etimologi dan terminologi.
2.
Agar mampu
mengimplementasikan isi dari kaidah tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
lafadh
Secara etimologis, yakin adalah
sebuah ilmu (pengetahuan) yang tidak ada keraguan. Pada asalnya, yakin berarti al-istiqrar (sesuatu yang menetap),
seperti kalimat yakin al-mau fi al
baudhi: iza istaqarra (air menetap di telaga). Kata yakin dalam kalimat ini artinya adalah istaqarra (menetap).[1]
Menurut Ibnu Manzur (w.711 H) dalam kamusnya Lisan al-‘Arab, yakin adalah
sebuah ilmu (pengetahuan), sesuatu yang dapat menjauhkan keraguan, dan sesuatu
yang nyata (realistis); yakin kebalikan dari syakk, dan syakk lawannya yakin.[2]
Menurut al-Jauhari, yakin adalah sebuah ilmu (pengetahuan) dan hilangnya
keraguan, seperti يقنت الأمر يقنا(saya benar-benar
meyakini perkara itu).
Secara terminologis, yakin adalah الإعتقاد
الجازم المطابق(i’tiqad (keyakinan) yang pasti, kokoh/
teguh, dan sesuai dengan kenyataan/ realitas). Definisi ini mengemukakan tiga
indikator yakin, yaitu pasti (al-jazim),
kokoh/ teguh (al-tsabit), dan sesuai
dengan kenyataan/ realitas (al-mutabiq
lil waqi’). Indikator pertama,
yaitu kepastian (al-jazim), dapat
mengeluarkan sesuatu yang masih dugaan kuat (zann atau galabah al-zann). Sesuatu yang masih dugaan kuat (zann) tidak masuk kategori yakin. Indikator kedua, yaitu kekokohan/
keteguhan (al-tsabit), dapat
mengeluarkan i’ tiqad (keyakinan)
seorang yang taklid (muqallid)
terhadap kebenaran. Hal ini karena i’ tiqad
(keyakinan) seorang yang taklid (muqallid)
tidak berdasarkan argumentasi, sehingga rentan untuk hilang atau berubah.
Dengan demikian, kondisi seperti itu tidak layak disebuat yakin. Indikator ketiga, yaitu sesuai dengan
kenyataan (realitas), dapat mengeluarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan
kenyataan yaitu al-jahl
(ketidaktahuan).[3]
Menurut Muhammad al-Zarqa (w. 1357
H/1938M), pengertian yakin dalam kaidah ini yang cocok (munasib) adalah pengertian secara lugawi (etimologis), karena hukum-hukum fikh didasarkan kepada
sesuatu yang bersifat lahiriyah (konkrit). Dengan demikian, banyak sesuatu yang
dalam pandangan syara’ yakin yang tidak
dapat hilang oleh keraguan, tetapi menurut akal (rasio), hal tersebut boleh
jadi tidak sesuai dengan kenyataan (realitas). Misalnya, sesuatu yang telah
kuat (jelas) berdasarkan bukti-bukti syara’, yang dalam pandangan syara’, hal
seperti ini telah yakin ibarat sesuatu yang telah jelas dengan kasat mata.
Padahal dalam pandangan akal (rasio), kesaksian para saksi (bukti-bukti) adalah
berita perorangan (khabar ahad) yang
boleh jadi ada kelupaan dan kebohongan. Namun demikian, kemungkinan lemah (ihtimal dhaif) ini tidak membuat
keyakinan tersebut berubah. Kemungkinan lemah tersebut telah dibuang/
dihilangkan oleh sesuatu yang kuat/ jelas (bukti-bukti) yang berlawanan dengan
kemungkinan lemah ini.[4]
Syakk adalah الترددبين
النقيضين بلا تر جيح لأحدهما على الاخر(keraguan antara dua perkara/masalah yang berlawanan tanpa
mengunggulkan salah satunya). Apabila berdasarkan argumentasi (dalil) salah satunya lebih unggul, dan
keunggulannya itu mencapai tingkat kejelasan (dhuhur) yang seorang berakal dan membangun hukum-nya berdasarkan
hal itu, tetapi kemungkinan (ihtimal)
lain masih ada, maka itu disebut dugaan kuat (dhann). Apabila kemungkinan (ihtimal)
lain itu tidak ada; dalam pengertian bahwa sudah tidak ada lagi kemungkinan
pemikiran, karena kemungkinan (ihtimal)
lain itu sangat lemah sekali, maka disebut dugaan sangat kuat (galib al-dhann/ galabah al-dhann).[5]
Kaidah di atas sangat penting bagi
hukum Islam, ia dapat menunjukan bahwa hukum Islam adalah mudah dan tidak
memberatkan. Kaidah ini mengakui keyakinan dan meniadakan keraguan yang
seringkali timbul dari perasaan was-was, terutama dalam masalah bersuci dan
shalat. Was-was adalah penyakit kronis, sehingga kalau sudah berat (akut) perasaan tersebut sangat susah
untuk dilepaskan. Kondisi ini akan sangat menyulitkan seorang mukallaf, karena
dengan perasaan was-was ia harus berusaha sekuatnya untuk menjalankan
kewajiban. Kaidah ini bermaksud menghilangkan kesulitan tersebut.
Para ulama menyepakati (konsensus)
kaidah ini, Imam al-Qarafi (w.684 H) menyatakan sebagai berikut: “para ulama menyepakati kaidah ini, yaitu
kaidah yang menjelaskan bahwa setiap manusia yang diragukan seperti sesuatu
yang telah pasti ketidakadaannya.” Menurut al-Sarakhsi dalam kitabnya Usul
al-Sarakhsi, berpegang kepada keyakinan dan meninggalkan keraguan merupakan
asal (kaidah) dalam syari’at (Islam).
Meskipun para ulama menyepakati
kaidah ini, tetapi dalam penerapannya mereka berbeda pendapat sesuai dengan
perbedaan sudut pandang dan metodologi istinbath. Imam Ibnu Daqiq al-Id
mengisyaratkan hal ini ketika ia menjelaskan hadis riwayat Abdullah bin Zaid,
ia menyatakan sebagai berikut: “Hadis ini
merupakan asal (kaidah) dalam mengamalkan asal dan membuang keraguan (syakk).
Para ulama menyepakati kaidah ini, tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal
cara (kaifiyat) penerapannya.”[6]
Contoh yang jelas untuk hal ini
adalah terjadinya keraguan setelah bersuci (taharah),
apakah telah hadats atau belum. Menurut jumhur ulama (hanafiyah, syafi’iyah, hanabilah, dan dhahiriyah), boleh memegang
asal (taharah) dan membuang keraguan
(hadats) serta melaksanakan shalat
dalam kondisi seperti ini, karena taharah
yang diyakini dan hadats yang diragukan. Penjelasannya sebagai berikut:
1. Dalam
kitab al-Asybab wa al-Nadhair Ibnu Nujaim
dijelaskan sebagai berikut: “Siapa yang
meyakin taharah, kemudian timbul keraguan, apakah ia telah hadats, maka ia
tetap dalam keadaaan taharah. Siapa yang meyakini hadats, kemudian timbul
keraguan apakah ia telah taharah, maka ia tetap dalam keadaan hadats.”[7]
Menurut Ibnu ‘Abidin, apabila seorang yakin bahwa ia telah bersuci, kemudian
timbul keraguan, apabila ia telah hadats, atau sebaliknya, maka ia (boleh)
memegang keyakinan (taharah).[8]
2. Al-Nawawi
(w.676 H) dalam kitabnya al-Raudhah
menyatakan sebagai berikut: “Di antara
kaidah yang telah membangun banyak hukum (fiqh) adalah kaidah yang menetapkan
keyakinan dan membuang keraguan. Apabila seorang yakin bahwa ia telah bersuci,
kemudian timbul keraguan, apakah ia telah hadats, atau sebaliknya, maka ia
(boleh) memegang (mengamalkan) keyakinannya.”[9]
3. Dalam
kitab Kasysyaf al-Qina’ dinyatakan
sebagai berikut: “Siapa yang yakin bahwa
ia telah bersuci, kemudian timbul keraguan, apakah ia telah hadats, atau
sebaliknya, siapa yang yakin ia berhadats, kemudian timbul keraguan, apakah ia
telah bersuci, maka ia (boleh) memegang keyakinan, yaitu taharah.”[10] Abu
Daud menyatakan, saya mendengar Ahmad bin Hanbal ditanya tentang seseorang yang
ragu-ragu dalam wudhunya. Kemudian Ahmad bin Hanbal menjawab: “Apabila ia telah berwudhu, maka ia tetap
dalam wudhunya, sehingga yakin bahwa ia telah berhadats; apabila ia telah
hadats setelah berwudhu, maka ia tetap dalam keadaan hadats, sehingga yakin
bahwa ia telah berwudhu.”[11]
4. Ibnu
Hazm dalam kitabnya al-Muhalla
menyatakan sebagai berikut: “Siapa yang
yakin bahwa ia telah berwudhu dan mandi besar (gusl), kemudia timbul keraguan,
apabila ia telah hadats atau telah terjadi sesuatu yang mengharuskannya mandi
besar, maka ia (dianggap) tetap dalam keadaan taharah (suci). Ia tidak perlu
memperbaharui (mengulangi) kembali mandi besar dan wudhunya tersebut.”
Mazhab Maliki tidak sepakat dengan
Mazhab Jumhur Ulama, karena mereka melarang seseorang mengerjakan shalat yang
disertai keraguan dalam taharahnya (kesucian dari hadats). Menurut mereka, yang
menjadi asal adalah adanya kewajiban shalat, padahal tidak mungkin melepaskan
diri dari kewajiban dan tanggung jawab tersebut kecuali dengan taharah yang
meyakinkan.
Menurut Abu al-Abbas al-Qarafi
(w.684 H), kewajiban shalat adalah yakin, yang membutuhkan sebab (yang
meyakinan) pula untuk kebebasannya. Keraguan dalam syarat membawa keraguan
terhadap yang disyaratkan (masyrut),
sehingga timbul keraguan dalam shalat yang dikerjakan dengan taharah yang
diragukan. Padahal, taharah adalah sebab yang membebaskan (seseorang dari
kewajiban shalat), sehingga apabila taharah yang menjadi sebab kebebasan dari
kewajiban shalat diragukan, maka kewajiban shalatpun tentu (masih ada).[12]
Sebagian ulama Mazhab Maliki
berpendapat bahwa keraguan dapat membatalkan wudhu, sebagaimana dijelaskan
dalam kitab Syarh al-Hattab berikut
ini: “Keraguan dalam hadats menuntut
kewajiban wudhu, karena kewajiban shalat adalah yakin dan tidak akan terbebas
darinya kecuali dengan taharah yang yakin. Taharah adalah syarat sah shalat.
Dengan demikian, keraguan dalam syarat (dalam hal ini taharah) membawa keraguan
pula terhadap yang disyaratkan (masyrut), yaitu shalat.”[13]
Pendapat Mazhab Maliki ini
diperjelas dan diperinci oleh Abu al-Barakat al-Dardiri. Menurut al-Dardiri,
keraguan dapat membatalkan (wudhu), karena kewajiban tidak dapat bebas kecuali
dengan sesuatu yang meyakinkan; bukan keyakinan yang disertai keraguan.
Keyakinan mencakup sesuatu yang masih dugaan kuat (dhann). Keraguan yang menuntut kewajiban wdhu ada tiga bentuk,
yaitu (1) keraguan yang timbul setelah yakin bahwa sebelumnya ia mempunyai
wudhu, apakah ia telah hadats atau ada sebab lain yang membatalkan wudhunya.
(2) keraguan yang timbul setelah yakin bahwa sebelumnya ia mempunyai hadats, apakah
ia telah berwudhu atau belum. (3) seseorang meyakini keduanya, yaitu taharah
dan hadats, tetapi ragu manakah dari keduanya yang paling dahulu.
Namun demikian, perbedaan pendapat
antara jumhur ulama dengan Mazhab Maliki terletak pada pandangannya, manakah
yang menjadi asal, apakah taharah
(suci) atau baraah al-zimmah (bebas tanggung
jawab). Jumhur ulama memandang bahwa yang menjadi asal adalah taharah, sehingga
orang yang shalat dalam kondisi seperti ini dapa menggugurkan kewajiban. Mazhab
Maliki mewajibkan wudhu jika ada keraguan, karena mengamalkan asal lain, yaitu
kewajiban shalat yang masih ada dalam tanggung jawab seseorang kecuali dengan
taharah yang meyakinkan.
Perbedaan pendapat mereka tidak
membatalkan penggunaan kaidah ini, karena perbedaan tersebut hanya berpangkal
pada perbedaan pandangan mereka dalam hal menentukan manakah yang menjadi asal,
bukan pada penggunaan asal. Pada dasarnya, mereka sepakat mengamalkan sesuatu
yang menjadi asal, tetapi kadang-kadang tidak sepakat dalam hal cara (kaifiyat) penggunaannya terhadap masalah
furu’.[14]
B. Dasar
Kaidah
Hadist
riwayat Muslim (w.265) H dari Abu Hurairah ra yang berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
إذا وجد أحدكم في بطنه شيئا فأشكل عليه, أخرج منه شيئ أم لا ؟ فلا يخرجن من المسجد حتى يسىمع صوتاأو يجد
ريحا(رواه مسلم )
Artinya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu menemukan
sesuatu dalam perutnya, kemudian sesuatu itu membingungkannya, apakah dari
perutnya keluar sesuatu atau tidak? Maka, janganlah orang tersebut keluar dari
masjid (membatalkan shalat) sebelum mendengar suara atau mencium bau (kentut)”
(HR. Muslim)
Dari
Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda,
إذا شك أحدكم في صلاته فلم يدركم صلى
أثلاثا أم أربعا فليطرح الشك واليبن على ماا ستيقن(رواه مسلم)
Artinya:
“apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya, apabila ia
telah mengerjakan tiga atau empat raka’at, maka buanglah keraguan dan peganglah
apa yang meyakinkan”
C. Uraian
Kaidah
Dari kaidah yang merupakan garis
besar ini dapat dibentuk kaidah-kaidah yang lebih khusus yang pada dasarnya
tidak menyimpang dari kaidah pokok ini, kaidah- kaidah itu antara lain ialah:
1. الأصل
بقاءما كان على ما كان
Yang
menjadi asal adalah sesuatu yang ditetapkan pada asalnya.
Contoh: Apabila
seseorang merasa yakin bahwa dalam pakaiannya terdapat najis, tetapi ia tidak
mengetahui di mana letak najis tersebut, maka ia harus membasuh seluruh
pakaiannya. Hal ini karena keraguan (syakk) tidak dapat menghilangkan sesuatu
yang diyakini sebelumnya.[15]
2. الأصل
براءةالذمة
Yang
menjadi asal adalah bebas dari tanggung jawab.
Contoh: apabila
seseorang membeli pakaian baru, kemudain merasa ragu apakah pakaiannya itu suci
atau najis, maka yang ia pegang adalah sucinya pakaian tersebut dan tidak wajib
membasuhnya.[16]
3. من
شك أفعل شيئا أم لا فالأصل أنه لم ينفعله
Siapa
yang merasa ragu, apakah ia telah mengerjakan sesuatu atau belum, maka yang
menjadi asal adalah belum mengerjakan sesuatu.
Contoh: Apabila
seseorang terkena basah (balal), dan tidak mengetahui apakah basahnya itu suci
atau najis, maka ia tidak wajib menelitinya. Begitu juga, ia tidak harus
bertanya kepada orang yang menyiramnya tersebut, apakah airnya suci atau najis.
Dengan demikian, apabila pada malam atau siang hari sandal seseorang terkena
basah, maka ia tidak seharusnya mencium bau sandalnya tersebut atau
menelitinya; ia hanya mengamalkan apa yang diyakininya.[17]
4. من
تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل لأنه المتيقن
Siapa
yang yakin bahwa ia telah mengerjakan (sesuatu), tetapi merasa ragu, apakah
pekerjaannya itu sedikit atau banyak, maka peganglah yang sedikit karena itu
meyakinkan.
Contoh: apabila
seseorang ragu, apakah air (yang suci) itu terkena najis atau tidak? Maka ia
harus berpegang kepada keyakinannya, yaitu sucinya air tersebut. Apabila ia
yakin bahwa air tersebut terkena najis, lalu timbul keraguan, apakah
kenajisannya itu telah hilang atau belum? Maka ia harus memegang keyakinannya,
yaitu najisnya air tersebut.[18]
5. الأصل
العدم
Yang
menjadi asal adalah ketiadaan perbuatan.
Contoh: apabila
seseorang melihat sebuah batu, kemudian timbul keraguan tentang musta’mal atau tidaknya batu tersebut,
maka ia boleh menggunakannya, karena yang menjadi asal adalah suci. Namun, ia
sunnah meninggalkan atau membasuh batu tersebut.[19]
6. الأصل
كل حادث تقديره بأقرب زمن
Yang
menjadi asal dalam setiap kejadian adalah memperkirakannya dengan waktu yang paling
dekat dengannya.
Contoh: apabila orang
yang berpuasa merasa ragu mengenai terbenamnya matahari, maka ia tidak boleh
membuka puasanya, karena berpegang kepada asal adalah tetapnya siang.
Sebaliknya apabila seseorang merasa ragu mengenai terbitnya fajar, maka ia
boleh makan, karena yang menjadi asal tetaplah malam.[20]
7. الأصل
في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Segala
sesuatu pada dasarnya boleh, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya.
Ini menurut madzhab
Syafii, sedangkan menurut madzhab Hanafi sebaliknya yakni: الأصل في الأشياء التحتى يدلالدليل على الإبحة
Segala
sesuatu itu pada dasarnya haram, kecuali bila ada dalil yang memperbolehkannya.
Contoh: ada seekor
binatang yang kita belum dapat mengetahui tenteng halal atau haramnya. Menurut
Imam Syafii halal sedangkan menurut Imam Hanafi mengharamkannya.[21]
8. الأصل
في الكلام الحقيقة
Yang
menjadi asal dalam pembicaraan adalah yang haqiqah/ sebenarnya (bukan yang
kiasan)
Contoh: apabila
seseorang yakin bahwa ia telah mengerjakan sesuatu, tetapi merasa ragu, apakah
pekerjaannya itu sedikit atau banyak, maka ia harus memegang yang maka ia harus
memegang yang sedikit karena itulah yang diyakini. Hal ini seseorang merasa
ragu apakah ia telah mentalaq satu atau dua, maka ia harus memegang yang satu.[22]
D. Macam
– macam Syakk
Menurut Asy-Syaikh Al-Imam Abu
Hamid Al-Asfirayiniy, syak (keraguan) itu ada tiga macam yaitu:
1. Syak
atas asal yang haram.
Misalnya: Ada seekor
kambing di sembelih di daerah yang berpenduduk campuran antara Muslimin dan
Majusi. Kambing tersebut hukumnya tidak halal, sebab asalnya haram.
2. Syak
atas asal yang mubah.
Misalnya: Ada air
berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkin pula karena terlalu
lama tergenang. Menurut hukum, air tersebut dapat digunakan, sebab asalnya
memang air itu suci.
3. Syak
atas seuatu yang tidak diketahui asalnya.
Misalnya: A berhubungan
kerja dengan orang yang sebagian besar uangnya adalah uang haram. Hukumnya
boleh, sebab tidak diketahui dari mana uang itu (yang digunakan untuk muamalah)
berasal.[23]
Sebagai catatan, Syak (ragu) dan
Dhan (sangkaan) itu pengaruhnya dalam hukum sama, misalnya: seseorang bertamu
ke rumah temannya. Sampai disana rumahnya tertutup, lalu timbul dalam
fikirannya “teman ini, boleh jadi pergi, dan mungkin malahan sedang tidur”, ini
namanya Syak, “tetapi kemungkinan besar masih berada di rumah sebab
kendaraannya ada”. Ini namanya Dhan.
Kaidah اليقين
لايزال بالشك
mempunyai bandingan, yakni الميقن قد يزال بالشك . “yakin itu terkadang bisa hilang sebab bimbang.” Akan tetapi
kaidah ini hanya berlaku pada beberapa masalah bahkan Syaikh Abul ‘Abas Ahmad
bin Al-Qash membatasi kaidah ini hanya pada sebelas masalah, sedang Imam
Nawawiy menambahnya dengan beberapa masalah, begitu pula Imam Subkiy. Contoh:
orang-orang akan melakukan shalat Jum’at, tetapi mereka merasa ragu, apakah
waktu Jum’atan masih ataukah sudah habis?. Maka berdasar kaidah ini, mereka
harus shalat dhuhur saja.[24]
E.
Aplikasi
Kaidah Terhadap Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah
1.
Wali
Nikah Dalam Perkawinan
Pengertian
Wali Nikah, Kata wali dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai
pengasuh, orang tua atau pembimbing terhadap orang atau barang.[25] Perwalian dari bahasa Arab adalah Al Walayah
atau Al Wilayah yaitu hak yang diberikan oleh syariat yang membuat si wali
mengambil dan melakukan sesuatu, kalau perlu secara paksa diluar kerelaan dan
persetujuan dari orang yang di perwalikan.
Menurut
Amin perwalian dalam literatur fikih Islam disebut dengan Al-Walayah atau
Al-Wilayah seperti kata ad-dalalah yang juga disebut ad-dilalah. Secara etimologis
mengandung beberapa arti yaitu cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah)
atau bisa juga berarti kekuasaan atau otoritas.Seperti dalam ungkapan al-wali
yakni orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengurus sesuatu.[26]
Perwalian
dalam istilah fikih disebut wilayah yang berarti penguasaan dan
perlindungan.Yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan
oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.[27] Dalam fikih sunnah dijelaskan bahwa wali
adalah suatu ketentuan hukum yang dapat di paksakan kepada orang lain sesuai
dengan bidang hukumnya, wali ada yang khusus dan ada yang umum. Wali khusus
adalah yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.[28]
Dalam
literature – literature fiqih klasik dan kontemporer, kata al- wilayah
dugunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi
seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah
wali bagi anak yatim. Dan orang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah
al-wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita dimana hak
itu dipegang oleh wali nikah.[29]
Adapun
yang dimaksud dengan perwalian disini adalah perwalian terhadap jiwa seseorang
wanita dalam hal perkawinannya.
Masalah
perwalian dalam arti perkawinan, mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita itu
tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan tidak pula mengawinkan wanita
lainnya karena akad perkawinan tidak di anggap sah apabila tanpa seorang wali,[30] pendapat ini dikemukakan oleh Imam Maliki dan
Imam Syafi’i bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat
sahnya pernikahan.[31]
Menurut
madzhab Hanafi, wali tidak merupakan syarat sahnya untuk suatu pernikahan,
tetapi sunnah saja hukumnya boleh ada wali boleh tidak ada wali, yang
terpenting adalah harus ada izin dari orang tua pada saat akan menikah baik
pria maupun wanita.
Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak jelas mengatur tentang wali
nikah, tetapi disyaratkan harus ada izin dari orang tua bagi yang akan
melangsungkan pernikahan dan apabila belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun
disebutkan bahwa : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.[32]
2.
Kawin
Hamil
Yang
dimaksud dengan “kawih hamil” di sini ialah kawin dengan seseorang
wanita yang hamil di luar nikah baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya
maupun oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang
menghamilinya.
Ketentuan tentang kawin hamil atau
peristiwa perkawinan yang telah didahului kehamilan calon istri diatur dalam
pasal 53 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
a. Seorang
wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b. Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c. Dengan
dilangsungkan perkawinannya pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.[33]
Ketentuan
ini menarik untuk diperbandingkan dengan pemikiran ulama dalam kitab-kitab
fikih. Ketentuan ini bermakna positif sebagai perlindungan hukum bagi anak yang
tidak berdosa yang ada dalam kandungan si wanita. Dengan kawin hamil ia
memiliki nasab yang jelas.
Allah
berfirman dalam QS An Nur : 3
’ÎT#¨“9$# Ÿw ßxÅ3Ztƒ žwÎ) ºpuŠÏR#y— ÷rr& Zpx.ÎŽô³ãB èpu‹ÏR#¨“9$#ur Ÿw !$ygßsÅ3Ztƒ žwÎ) Ab#y— ÷rr& Ô8ÎŽô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºsŒ ’n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ
Artinya:
Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas oran-orang yang mukmin.[34]
Hukum
kawin dengan wanita yang hamil di luar nikah para ulama berpendapat, sebagai
berikut:
a.
Para ulama Madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi‟i berpendapat bahawa perkawinan keduanya sah dan boleh
bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan, pria itu yang menghamilinya
dan kemudian ia mengawininya.
b. Ibnu
Hazm berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan bolehpula bercampur,
dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalanihukuman dera (cambuk),
karena keduanya telah berzina.[35]
Selanjutnya mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh
orang lain, terjadi perbedaan pendapat para Ulama:
1) Abu
Yusuf, mengharamkan yakni tidak membolehkan mengawini wanita hamil akibat zina,
karena hamil akibat zina mencegah persetujuan, maka mencegah akadnya juga.
Seperti pencegahan terhadap nasab.[36]
Dan bila dikawinkan maka perkawinannya batal.
2) Ibnu
Qudamah sependapat dengan Imam abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria
tidak boleh mengawini wanita yang diketahui berbuat zina dengan orang lain,
kcuali dengan 2 Syarat:
a)
Wanita tersebut telah
melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
b)
Wanita tersebut telah
menjalani hukuman dera (cambuk) terlebih dahulu, apakah ia hamil atau tidak.
c)
Imam Muhammad bin
Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram
baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.[37]
d) Imam
Abu Hanifah dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah.
Karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada massa iddah).
Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi
yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan
keturunan orang yang mengawini ibunya itu.
Dengan
demikian status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang mengawini
ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini ibunya
itu adalah pria yang menghamilinya maka terjadi perbedaan pendapat:
1. Bayi
itu termasuk anak Zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur
4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi itu adalah anak suaminya
yang sah.
2. Bayi
itu termasuk anak Zina. Karena anak itu adalah anak diluar Nikah walaupun
dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya karena hasil dari
sperma dan ovum bapak dan ibunya itu.
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan wali nikah adalah
orang yang mewakili perempuan dalam hal melakukan akad pernikahan, karena ada
anggapan bahwa perempuan tersebut tidak mampu melaksanakan akadnya sendiri
karena dipandang kurang cakap dalam mengungkapkan keingnannya sehingga
dibutuhkan seorang wali untuk melakukan akad nikah dalam pernikahan.
F.
Aplikasi
Kaidah dalam bidang Al-ahwal Al-Syakhsiyyah
Salah satu pendapat yang sudah
dijelaskan di atas, Bayi itu termasuk anak Zina, bila ibunya dikawini setelah
usia kandungannya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi
itu adalah anak suaminya yang sah. Dan Bayi itu termasuk anak Zina. Karena anak
itu adalah anak diluar Nikah walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu
adalah anaknya karena hasil dari sperma dan ovum bapak dan ibunya itu.
Melihat apa yang sudah dijelaskan di
atas, banyaknya perkawinan yang sudah didahului oleh hamilnya mempelai
perempuan yang mengakibatkan status dari sah/ tidak sahnya anak tersebut. Aplikasi
kaidah ini dalam bidang al-ahwal al-syakhsiyah, salah satunya dalam urusan wali
nikah. Melihat kasus yang sudah dijelaskan di atas, dapat kita pahami adalah
apabila seorang ayah/ bapak merasa yakin bahwa anak yang lahir dari kandungan
istrinya adalah anak yang sah, anak dari hasil pernikahan yang sah, maka anak
tersebut adalah anak sah dan ayah/ bapak tersebut berhak menjadi wali bagi anak
perempuannya tesebut.
Dan apabila ayah/ bapaknya tersebut
meyakini bahwa anak tersebut adalah anak tidak sah, anak dari hasil di luar
pernikahan, maka ayah/ bapaknya tersebut tidak sah menjadi wali bagi anak
perempuan tersebut. Kaidah ini menjadi penting dalam kasus seperti ini, hal ini
dikarenakan dapat menyebabkan sah/tidak sahnya perkawinan anaknya tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita
tarik kesimpulan bahwa rasa yakin akan mengarahkan manusia menuju kunci
kesuksesan dan keberhasilan dalam menggapai kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat. Keyakinan merupakan sugesti yang sangat kuat mempengaruhi dalam setiap
lagkah yang akan dilalui oleh manusia. Dalam pembahasan diatas telah di bahas
bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak bisa di pengaruhi oleh
keraguan yang timbul kemudian.
Yang di maksud yakin dalam hal ini
adalah tercapainya kemantapan hati pada satu objek hukum yang telah di kerjakan,
baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau hanya
persepsi yang kuat (dhann). Terlepas dari kaidah-kaidah yang telah di bahas
sebelumnya bahwa sejarah telah menjadi saksi bagaimana para filosof, pemikir,
cendekiawan dan lain sebagainya tentunya mempunyai keyakinan yang kuat dalam
setiap apa yang mereka lakukan serta mempunyai landasan pijak sebagai penyangga
atas keilmuan yang mereka miliki.
Dan aplikasi kaidah ini dalam
bidang al-ahwal al-syaksiyyah menjadi penting akan kemantapan hati seorang ayah
dalam membuktikan bahwa anak perempuannya tersebut adalah anak yang sah, anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang sah sehinggan ayah/bapaknya berhak menjadi
wali bagi anak perempuannya tersebut setelah ia dewasa dan ingin melangsungkan
pernikahan.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Abd Al-Salam ,‘Izzuddin. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam.
Juz I. Mesir: Dar al- Ma’arif, t.th.
‘Abidin, Ibnu. Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar. Jilid III. Cet. II.
Beirut: Dar al Fikr, t.th.
Abidin, Slamet – Aminudin. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia,
1999.
al-Bakri, Badruddin. Al-I’tina’ fi al-Farq wa al-Istitsna’.
Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah,
1991 M.
al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Bada’i al-Fawaid. Jilid III. Beirut: Dar
al-Kitab al-‘Araby, t.th.
Al-Nawawi. Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab. Jilid I. Mesir: Mathba’ah al-Imam,
t.th.
Al-Nawawi. Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab. Juz II. Mesir: Mathba’ah al-Imam,
t.th.
Al-Subki. Al-Asybah wa al-Nadhair. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991 M.
Al-Syathibi. Al-Muwafaqat fi Al-Ahkam. Juz II. Beirut: Dar Al-Rasyad
Al-Haditsah, t.th.
Al-Syuthi. Al Asybab wa al-Nadhair. Semarang: Toha Putra, t.th.
Al-Zarkasyi. Al-Mantsur fi al-Qawa’id. Juz I. Kuwait: Muassasah al-Khalij, 1982
M.
Al-Zinjani. Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1984
M.
Bisri, Adib. Al Faraidul Bahiyyah. Kudus: Menara, t.th.
Departemen Agama RI. Alqur’an
dan Terjemahannya. Surabaya: Mekar Surabaya, 2004.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008.
Junaidi, Dedy. Bimbingan Perkawinan. Jakarta: Akademi pressindo, 2003.
Muchtar, Kamal. Asas-Asas
Hukum Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Nujaim, Ibnu. Al-Asyabah wa al-Nadhair. Cet. I. Damaskus: Dar al-Fikr, 1983 M/1403
H.
Porwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Ramulyo, M. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Peradilan Agama, dan menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika,2006.
Rohayana, Ade Dedi. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2008.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah 7. Bandung:
Al-Ma’arif, 1997/
Suma, Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di dunia Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004.
Tim Citra Umbara, UU No.1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Bandung: Citra Umbara,2009.
Zuhaili, Wahbah. Al fiqh Al Islami wa Adillatuh. Juz IX,
Dar Al Fikr, 1997.
[1] Al-Syathibi,
Al-Muwafaqat fi Al-Ahkam, Juz II
Tahqiq Muhammad Khadar Husen (Beirut: Dar Al-Rasyad Al-Haditsah, t.th.), hlm.
31.
[3] ‘Izzuddin
bin ‘Abd Al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi
Mashalih al-Anam, Juz I (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th.), hlm. 4-5.
[10] Badruddin
al-Bakri, Al-I’tina’ fi al-Farq wa
al-Istitsna’ (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991 M), hlm. 8-9.
[11] Al-Zarkasyi.
Al-Zarkasyi, Al-Mantsur fi al-Qawa’id,
Juz I (Kuwait: Muassasah al-Khalij, 1982 M), hlm. 66.
[13] Al-Zinjani,
Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1984 M), hlm. 102-103 dan 449.
[15] Ibnu
Nujaim, Al-Asyabah wa al-Nadhair,
Tahqiq Muhammad Muthi’ al-Hafidz (Cet. I, Damaskus: Dar al-Fikr, 1983 M/1403
H), hlm. 60.
[16] Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, Bada’i al-Fawaid,
Jilid III (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.th.), hlm. 273-274
[19] Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I
(Mesir: Mathba’ah al-Imam, t.th.), hlm. 132.
[20] Ibnu Nujaim, Al-Asyabah wa al-Nadhair, hlm. 63.;
Al-Suyuthi, Al Asybab wa al-Nadhair, hlm.
52.; Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bada’i
al-Fawaid, hlm. 272.
[22] Al-Zarkasyi,
Al-Mantsur fi al-Qawa’id, hlm. 275.;
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala
al-Durr al-Mukhtar, Jilid III (Cet. II; Beirut: Dar al Fikr, t.th.), hlm.
283.
[23]Moh. Adib Bisri, Al Faraidul Bahiyyah, hlm. 16.
[24]Moh. Adib Bisri, Al Faraidul Bahiyyah, hlm. 16-17.
[29]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 35
[32]M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Peradilan Agama, dan menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm.
12.
[33]Tim Citra Umbara, UU No.1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam
(Bandung: Citra Umbara,2009)
[35] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), h. 124-125.
[36] Dr Wahbah Zuhaili Al fiqh Al Islami wa Adillatuh, (Juz IX,
Dar Al Fikr, 1997), h. 2649
[37] Abdul Rahman GHozali, Fiqh Munakahat, h. 127.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar