Rabu, 24 Mei 2017

Ushul Fiqh - اليقين لايزال بالشك (Keyakinan Tidak Dapat Hilang oleh Keraguan)

اليقين لايزال بالشك
(Keyakinan Tidak Dapat Hilang oleh Keraguan)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Qowaid fiqhiyah merupakan salah satu kebutuhan bagi kita semua, khususnya mahasiswa Fakultas Syariah. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh yang lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeada untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah dalam mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini tidak lain karena kaidah fiqh sebagai hasil dari cara berfikir induktif, dengan meneliti materi-materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya yang tersebar di dalam ribuan kitab fiqh.
Titik tolak pelaksanaan hukum Islam diatur oleh kaidah-kaidah yang bersifat universal yang merupakan stasiun keberangkatan suatu perbuatan. Sebagaimana ada kaidah yang menyatakan bahwa keyakinan tidak terkalahkan oleh keraguan, karena setiap perbuatan harus dilandasi oleh keyakinan, bukan oleh keraguan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari lafadh yakin dan syakk secara etimologi dan terminologi?
2.      Bagaimana implementasi dari kaidah tersebut beserta landasan yang dipakai?

C.    Tujuan
1.         Mengetahui pengertian lafadh yakin dan syakk secara etimologi dan terminologi.
2.         Agar mampu mengimplementasikan isi dari kaidah tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi lafadh
Secara etimologis, yakin adalah sebuah ilmu (pengetahuan) yang tidak ada keraguan. Pada asalnya, yakin berarti al-istiqrar (sesuatu yang menetap), seperti kalimat yakin al-mau fi al baudhi: iza istaqarra (air menetap di telaga). Kata yakin dalam kalimat ini artinya adalah istaqarra (menetap).[1] Menurut Ibnu Manzur (w.711 H) dalam kamusnya Lisan al-‘Arab, yakin adalah sebuah ilmu (pengetahuan), sesuatu yang dapat menjauhkan keraguan, dan sesuatu yang nyata (realistis); yakin kebalikan dari syakk, dan syakk lawannya yakin.[2] Menurut al-Jauhari, yakin adalah sebuah ilmu (pengetahuan) dan hilangnya keraguan, seperti يقنت الأمر يقنا(saya benar-benar meyakini perkara itu).
Secara terminologis, yakin adalah الإعتقاد الجازم المطابق(i’tiqad (keyakinan) yang pasti, kokoh/ teguh, dan sesuai dengan kenyataan/ realitas). Definisi ini mengemukakan tiga indikator yakin, yaitu pasti (al-jazim), kokoh/ teguh (al-tsabit), dan sesuai dengan kenyataan/ realitas (al-mutabiq lil waqi’). Indikator pertama, yaitu kepastian (al-jazim), dapat mengeluarkan sesuatu yang masih dugaan kuat (zann atau galabah al-zann). Sesuatu yang masih dugaan kuat (zann) tidak masuk kategori yakin. Indikator kedua, yaitu kekokohan/ keteguhan (al-tsabit), dapat mengeluarkan i’ tiqad (keyakinan) seorang yang taklid (muqallid) terhadap kebenaran. Hal ini karena i’ tiqad (keyakinan) seorang yang taklid (muqallid) tidak berdasarkan argumentasi, sehingga rentan untuk hilang atau berubah. Dengan demikian, kondisi seperti itu tidak layak disebuat yakin. Indikator ketiga, yaitu sesuai dengan kenyataan (realitas), dapat mengeluarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan yaitu al-jahl (ketidaktahuan).[3]
Menurut Muhammad al-Zarqa (w. 1357 H/1938M), pengertian yakin dalam kaidah ini yang cocok (munasib) adalah pengertian secara lugawi (etimologis), karena hukum-hukum fikh didasarkan kepada sesuatu yang bersifat lahiriyah (konkrit). Dengan demikian, banyak sesuatu yang dalam pandangan syara’ yakin yang tidak dapat hilang oleh keraguan, tetapi menurut akal (rasio), hal tersebut boleh jadi tidak sesuai dengan kenyataan (realitas). Misalnya, sesuatu yang telah kuat (jelas) berdasarkan bukti-bukti syara’, yang dalam pandangan syara’, hal seperti ini telah yakin ibarat sesuatu yang telah jelas dengan kasat mata. Padahal dalam pandangan akal (rasio), kesaksian para saksi (bukti-bukti) adalah berita perorangan (khabar ahad) yang boleh jadi ada kelupaan dan kebohongan. Namun demikian, kemungkinan lemah (ihtimal dhaif) ini tidak membuat keyakinan tersebut berubah. Kemungkinan lemah tersebut telah dibuang/ dihilangkan oleh sesuatu yang kuat/ jelas (bukti-bukti) yang berlawanan dengan kemungkinan lemah ini.[4]
Syakk adalah الترددبين النقيضين بلا تر جيح لأحدهما على الاخر(keraguan antara dua perkara/masalah yang berlawanan tanpa mengunggulkan salah satunya). Apabila berdasarkan argumentasi (dalil) salah satunya lebih unggul, dan keunggulannya itu mencapai tingkat kejelasan (dhuhur) yang seorang berakal dan membangun hukum-nya berdasarkan hal itu, tetapi kemungkinan (ihtimal) lain masih ada, maka itu disebut dugaan kuat (dhann). Apabila kemungkinan (ihtimal) lain itu tidak ada; dalam pengertian bahwa sudah tidak ada lagi kemungkinan pemikiran, karena kemungkinan (ihtimal) lain itu sangat lemah sekali, maka disebut dugaan sangat kuat (galib al-dhann/ galabah al-dhann).[5]
Kaidah di atas sangat penting bagi hukum Islam, ia dapat menunjukan bahwa hukum Islam adalah mudah dan tidak memberatkan. Kaidah ini mengakui keyakinan dan meniadakan keraguan yang seringkali timbul dari perasaan was-was, terutama dalam masalah bersuci dan shalat. Was-was adalah penyakit kronis, sehingga kalau sudah berat (akut) perasaan tersebut sangat susah untuk dilepaskan. Kondisi ini akan sangat menyulitkan seorang mukallaf, karena dengan perasaan was-was ia harus berusaha sekuatnya untuk menjalankan kewajiban. Kaidah ini bermaksud menghilangkan kesulitan tersebut.
Para ulama menyepakati (konsensus) kaidah ini, Imam al-Qarafi (w.684 H) menyatakan sebagai berikut: “para ulama menyepakati kaidah ini, yaitu kaidah yang menjelaskan bahwa setiap manusia yang diragukan seperti sesuatu yang telah pasti ketidakadaannya.” Menurut al-Sarakhsi dalam kitabnya Usul al-Sarakhsi, berpegang kepada keyakinan dan meninggalkan keraguan merupakan asal (kaidah) dalam syari’at (Islam).
Meskipun para ulama menyepakati kaidah ini, tetapi dalam penerapannya mereka berbeda pendapat sesuai dengan perbedaan sudut pandang dan metodologi istinbath. Imam Ibnu Daqiq al-Id mengisyaratkan hal ini ketika ia menjelaskan hadis riwayat Abdullah bin Zaid, ia menyatakan sebagai berikut: “Hadis ini merupakan asal (kaidah) dalam mengamalkan asal dan membuang keraguan (syakk). Para ulama menyepakati kaidah ini, tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal cara (kaifiyat) penerapannya.”[6]
Contoh yang jelas untuk hal ini adalah terjadinya keraguan setelah bersuci (taharah), apakah telah hadats atau belum. Menurut jumhur ulama (hanafiyah, syafi’iyah, hanabilah, dan dhahiriyah), boleh memegang asal (taharah) dan membuang keraguan (hadats) serta melaksanakan shalat dalam kondisi seperti ini, karena taharah yang diyakini dan hadats yang diragukan. Penjelasannya sebagai berikut:
1.      Dalam kitab al-Asybab wa al-Nadhair Ibnu Nujaim dijelaskan sebagai berikut: “Siapa yang meyakin taharah, kemudian timbul keraguan, apakah ia telah hadats, maka ia tetap dalam keadaaan taharah. Siapa yang meyakini hadats, kemudian timbul keraguan apakah ia telah taharah, maka ia tetap dalam keadaan hadats.”[7] Menurut Ibnu ‘Abidin, apabila seorang yakin bahwa ia telah bersuci, kemudian timbul keraguan, apabila ia telah hadats, atau sebaliknya, maka ia (boleh) memegang keyakinan (taharah).[8]
2.      Al-Nawawi (w.676 H) dalam kitabnya al-Raudhah menyatakan sebagai berikut: “Di antara kaidah yang telah membangun banyak hukum (fiqh) adalah kaidah yang menetapkan keyakinan dan membuang keraguan. Apabila seorang yakin bahwa ia telah bersuci, kemudian timbul keraguan, apakah ia telah hadats, atau sebaliknya, maka ia (boleh) memegang (mengamalkan) keyakinannya.”[9]
3.      Dalam kitab Kasysyaf al-Qina’ dinyatakan sebagai berikut: “Siapa yang yakin bahwa ia telah bersuci, kemudian timbul keraguan, apakah ia telah hadats, atau sebaliknya, siapa yang yakin ia berhadats, kemudian timbul keraguan, apakah ia telah bersuci, maka ia (boleh) memegang keyakinan, yaitu taharah.”[10] Abu Daud menyatakan, saya mendengar Ahmad bin Hanbal ditanya tentang seseorang yang ragu-ragu dalam wudhunya. Kemudian Ahmad bin Hanbal menjawab: “Apabila ia telah berwudhu, maka ia tetap dalam wudhunya, sehingga yakin bahwa ia telah berhadats; apabila ia telah hadats setelah berwudhu, maka ia tetap dalam keadaan hadats, sehingga yakin bahwa ia telah berwudhu.”[11]
4.      Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla menyatakan sebagai berikut: “Siapa yang yakin bahwa ia telah berwudhu dan mandi besar (gusl), kemudia timbul keraguan, apabila ia telah hadats atau telah terjadi sesuatu yang mengharuskannya mandi besar, maka ia (dianggap) tetap dalam keadaan taharah (suci). Ia tidak perlu memperbaharui (mengulangi) kembali mandi besar dan wudhunya tersebut.
Mazhab Maliki tidak sepakat dengan Mazhab Jumhur Ulama, karena mereka melarang seseorang mengerjakan shalat yang disertai keraguan dalam taharahnya (kesucian dari hadats). Menurut mereka, yang menjadi asal adalah adanya kewajiban shalat, padahal tidak mungkin melepaskan diri dari kewajiban dan tanggung jawab tersebut kecuali dengan taharah yang meyakinkan.
Menurut Abu al-Abbas al-Qarafi (w.684 H), kewajiban shalat adalah yakin, yang membutuhkan sebab (yang meyakinan) pula untuk kebebasannya. Keraguan dalam syarat membawa keraguan terhadap yang disyaratkan (masyrut), sehingga timbul keraguan dalam shalat yang dikerjakan dengan taharah yang diragukan. Padahal, taharah adalah sebab yang membebaskan (seseorang dari kewajiban shalat), sehingga apabila taharah yang menjadi sebab kebebasan dari kewajiban shalat diragukan, maka kewajiban shalatpun tentu (masih ada).[12]
Sebagian ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa keraguan dapat membatalkan wudhu, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Syarh al-Hattab berikut ini: “Keraguan dalam hadats menuntut kewajiban wudhu, karena kewajiban shalat adalah yakin dan tidak akan terbebas darinya kecuali dengan taharah yang yakin. Taharah adalah syarat sah shalat. Dengan demikian, keraguan dalam syarat (dalam hal ini taharah) membawa keraguan pula terhadap yang disyaratkan (masyrut), yaitu shalat.[13]
Pendapat Mazhab Maliki ini diperjelas dan diperinci oleh Abu al-Barakat al-Dardiri. Menurut al-Dardiri, keraguan dapat membatalkan (wudhu), karena kewajiban tidak dapat bebas kecuali dengan sesuatu yang meyakinkan; bukan keyakinan yang disertai keraguan. Keyakinan mencakup sesuatu yang masih dugaan kuat (dhann). Keraguan yang menuntut kewajiban wdhu ada tiga bentuk, yaitu (1) keraguan yang timbul setelah yakin bahwa sebelumnya ia mempunyai wudhu, apakah ia telah hadats atau ada sebab lain yang membatalkan wudhunya. (2) keraguan yang timbul setelah yakin bahwa sebelumnya ia mempunyai hadats, apakah ia telah berwudhu atau belum. (3) seseorang meyakini keduanya, yaitu taharah dan hadats, tetapi ragu manakah dari keduanya yang paling dahulu.
Namun demikian, perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan Mazhab Maliki terletak pada pandangannya, manakah yang menjadi asal, apakah taharah (suci) atau baraah al-zimmah (bebas tanggung jawab). Jumhur ulama memandang bahwa yang menjadi asal adalah taharah, sehingga orang yang shalat dalam kondisi seperti ini dapa menggugurkan kewajiban. Mazhab Maliki mewajibkan wudhu jika ada keraguan, karena mengamalkan asal lain, yaitu kewajiban shalat yang masih ada dalam tanggung jawab seseorang kecuali dengan taharah yang meyakinkan.
Perbedaan pendapat mereka tidak membatalkan penggunaan kaidah ini, karena perbedaan tersebut hanya berpangkal pada perbedaan pandangan mereka dalam hal menentukan manakah yang menjadi asal, bukan pada penggunaan asal. Pada dasarnya, mereka sepakat mengamalkan sesuatu yang menjadi asal, tetapi kadang-kadang tidak sepakat dalam hal cara (kaifiyat) penggunaannya terhadap masalah furu’.[14]
B.     Dasar Kaidah
Hadist riwayat Muslim (w.265) H dari Abu Hurairah ra yang berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا وجد أحدكم في بطنه شيئا فأشكل عليه, أخرج منه شيئ أم لا  ؟ فلا يخرجن من المسجد حتى يسىمع صوتاأو يجد ريحا(رواه مسلم )
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu menemukan sesuatu dalam perutnya, kemudian sesuatu itu membingungkannya, apakah dari perutnya keluar sesuatu atau tidak? Maka, janganlah orang tersebut keluar dari masjid (membatalkan shalat) sebelum mendengar suara atau mencium bau (kentut)” (HR. Muslim)
Dari Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda,
إذا شك أحدكم في صلاته فلم يدركم صلى أثلاثا أم أربعا فليطرح الشك واليبن على ماا ستيقن(رواه مسلم)
Artinya: “apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya, apabila ia telah mengerjakan tiga atau empat raka’at, maka buanglah keraguan dan peganglah apa yang meyakinkan”
C.    Uraian Kaidah
Dari kaidah yang merupakan garis besar ini dapat dibentuk kaidah-kaidah yang lebih khusus yang pada dasarnya tidak menyimpang dari kaidah pokok ini, kaidah- kaidah itu antara lain ialah:
1.      الأصل بقاءما كان على ما كان
Yang menjadi asal adalah sesuatu yang ditetapkan pada asalnya.
Contoh: Apabila seseorang merasa yakin bahwa dalam pakaiannya terdapat najis, tetapi ia tidak mengetahui di mana letak najis tersebut, maka ia harus membasuh seluruh pakaiannya. Hal ini karena keraguan (syakk) tidak dapat menghilangkan sesuatu yang diyakini sebelumnya.[15]
2.      الأصل براءةالذمة
Yang menjadi asal adalah bebas dari tanggung jawab.
Contoh: apabila seseorang membeli pakaian baru, kemudain merasa ragu apakah pakaiannya itu suci atau najis, maka yang ia pegang adalah sucinya pakaian tersebut dan tidak wajib membasuhnya.[16]
3.      من شك أفعل شيئا أم لا فالأصل أنه لم ينفعله
Siapa yang merasa ragu, apakah ia telah mengerjakan sesuatu atau belum, maka yang menjadi asal adalah belum mengerjakan sesuatu.
Contoh: Apabila seseorang terkena basah (balal), dan tidak mengetahui apakah basahnya itu suci atau najis, maka ia tidak wajib menelitinya. Begitu juga, ia tidak harus bertanya kepada orang yang menyiramnya tersebut, apakah airnya suci atau najis. Dengan demikian, apabila pada malam atau siang hari sandal seseorang terkena basah, maka ia tidak seharusnya mencium bau sandalnya tersebut atau menelitinya; ia hanya mengamalkan apa yang diyakininya.[17]
4.      من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل لأنه المتيقن
Siapa yang yakin bahwa ia telah mengerjakan (sesuatu), tetapi merasa ragu, apakah pekerjaannya itu sedikit atau banyak, maka peganglah yang sedikit karena itu meyakinkan.
Contoh: apabila seseorang ragu, apakah air (yang suci) itu terkena najis atau tidak? Maka ia harus berpegang kepada keyakinannya, yaitu sucinya air tersebut. Apabila ia yakin bahwa air tersebut terkena najis, lalu timbul keraguan, apakah kenajisannya itu telah hilang atau belum? Maka ia harus memegang keyakinannya, yaitu najisnya air tersebut.[18]
5.      الأصل العدم
Yang menjadi asal adalah ketiadaan perbuatan.
Contoh: apabila seseorang melihat sebuah batu, kemudian timbul keraguan tentang musta’mal atau tidaknya batu tersebut, maka ia boleh menggunakannya, karena yang menjadi asal adalah suci. Namun, ia sunnah meninggalkan atau membasuh batu tersebut.[19]
6.      الأصل كل حادث تقديره بأقرب زمن
Yang menjadi asal dalam setiap kejadian adalah memperkirakannya dengan waktu yang paling dekat dengannya.
Contoh: apabila orang yang berpuasa merasa ragu mengenai terbenamnya matahari, maka ia tidak boleh membuka puasanya, karena berpegang kepada asal adalah tetapnya siang. Sebaliknya apabila seseorang merasa ragu mengenai terbitnya fajar, maka ia boleh makan, karena yang menjadi asal tetaplah malam.[20]
7.      الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Segala sesuatu pada dasarnya boleh, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya.
Ini menurut madzhab Syafii, sedangkan menurut madzhab Hanafi sebaliknya yakni:   الأصل في الأشياء التحتى يدلالدليل على الإبحة
Segala sesuatu itu pada dasarnya haram, kecuali bila ada dalil yang memperbolehkannya.
Contoh: ada seekor binatang yang kita belum dapat mengetahui tenteng halal atau haramnya. Menurut Imam Syafii halal sedangkan menurut Imam Hanafi mengharamkannya.[21]
8.         الأصل في الكلام الحقيقة
Yang menjadi asal dalam pembicaraan adalah yang haqiqah/ sebenarnya (bukan yang kiasan)
Contoh: apabila seseorang yakin bahwa ia telah mengerjakan sesuatu, tetapi merasa ragu, apakah pekerjaannya itu sedikit atau banyak, maka ia harus memegang yang maka ia harus memegang yang sedikit karena itulah yang diyakini. Hal ini seseorang merasa ragu apakah ia telah mentalaq satu atau dua, maka ia harus memegang yang satu.[22]

D.    Macam – macam Syakk
Menurut Asy-Syaikh Al-Imam Abu Hamid Al-Asfirayiniy, syak (keraguan) itu ada tiga macam yaitu:
1.      Syak atas asal yang haram.
Misalnya: Ada seekor kambing di sembelih di daerah yang berpenduduk campuran antara Muslimin dan Majusi. Kambing tersebut hukumnya tidak halal, sebab asalnya haram.
2.      Syak atas asal yang mubah.
Misalnya: Ada air berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkin pula karena terlalu lama tergenang. Menurut hukum, air tersebut dapat digunakan, sebab asalnya memang air itu suci.
3.      Syak atas seuatu yang tidak diketahui asalnya.
Misalnya: A berhubungan kerja dengan orang yang sebagian besar uangnya adalah uang haram. Hukumnya boleh, sebab tidak diketahui dari mana uang itu (yang digunakan untuk muamalah) berasal.[23]
Sebagai catatan, Syak (ragu) dan Dhan (sangkaan) itu pengaruhnya dalam hukum sama, misalnya: seseorang bertamu ke rumah temannya. Sampai disana rumahnya tertutup, lalu timbul dalam fikirannya “teman ini, boleh jadi pergi, dan mungkin malahan sedang tidur”, ini namanya Syak, “tetapi kemungkinan besar masih berada di rumah sebab kendaraannya ada”. Ini namanya Dhan.
Kaidah اليقين لايزال بالشك mempunyai bandingan, yakni الميقن قد يزال بالشك . “yakin itu terkadang bisa hilang sebab bimbang.” Akan tetapi kaidah ini hanya berlaku pada beberapa masalah bahkan Syaikh Abul ‘Abas Ahmad bin Al-Qash membatasi kaidah ini hanya pada sebelas masalah, sedang Imam Nawawiy menambahnya dengan beberapa masalah, begitu pula Imam Subkiy. Contoh: orang-orang akan melakukan shalat Jum’at, tetapi mereka merasa ragu, apakah waktu Jum’atan masih ataukah sudah habis?. Maka berdasar kaidah ini, mereka harus shalat dhuhur saja.[24]
E.     Aplikasi Kaidah Terhadap Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah
1.      Wali Nikah Dalam Perkawinan
Pengertian Wali Nikah, Kata wali dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai pengasuh, orang tua atau pembimbing terhadap orang atau barang.[25]  Perwalian dari bahasa Arab adalah Al Walayah atau Al Wilayah yaitu hak yang diberikan oleh syariat yang membuat si wali mengambil dan melakukan sesuatu, kalau perlu secara paksa diluar kerelaan dan persetujuan dari orang yang di perwalikan.
Menurut Amin perwalian dalam literatur fikih Islam disebut dengan Al-Walayah atau Al-Wilayah seperti kata ad-dalalah yang juga disebut ad-dilalah. Secara etimologis mengandung beberapa arti yaitu cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) atau bisa juga berarti kekuasaan atau otoritas.Seperti dalam ungkapan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengurus sesuatu.[26]
Perwalian dalam istilah fikih disebut wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan.Yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.[27]  Dalam fikih sunnah dijelaskan bahwa wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat di paksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, wali ada yang khusus dan ada yang umum. Wali khusus adalah yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.[28]
Dalam literature – literature fiqih klasik dan kontemporer, kata al- wilayah dugunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali bagi anak yatim. Dan orang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah al-wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita dimana hak itu dipegang oleh wali nikah.[29]
Adapun yang dimaksud dengan perwalian disini adalah perwalian terhadap jiwa seseorang wanita dalam hal perkawinannya.
Masalah perwalian dalam arti perkawinan, mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita itu tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan tidak pula mengawinkan wanita lainnya karena akad perkawinan tidak di anggap sah apabila tanpa seorang wali,[30]  pendapat ini dikemukakan oleh Imam Maliki dan Imam Syafi’i bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya pernikahan.[31] 
Menurut madzhab Hanafi, wali tidak merupakan syarat sahnya untuk suatu pernikahan, tetapi sunnah saja hukumnya boleh ada wali boleh tidak ada wali, yang terpenting adalah harus ada izin dari orang tua pada saat akan menikah baik pria maupun wanita.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak jelas mengatur tentang wali nikah, tetapi disyaratkan harus ada izin dari orang tua bagi yang akan melangsungkan pernikahan dan apabila belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun disebutkan bahwa : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.[32]
2.      Kawin Hamil
Yang dimaksud dengan “kawih hamil” di sini ialah kawin dengan seseorang wanita yang hamil di luar nikah baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang menghamilinya.
Ketentuan tentang kawin hamil atau peristiwa perkawinan yang telah didahului kehamilan calon istri diatur dalam pasal 53 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
a.       Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b.      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c.       Dengan dilangsungkan perkawinannya pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.[33]
Ketentuan ini menarik untuk diperbandingkan dengan pemikiran ulama dalam kitab-kitab fikih. Ketentuan ini bermakna positif sebagai perlindungan hukum bagi anak yang tidak berdosa yang ada dalam kandungan si wanita. Dengan kawin hamil ia memiliki nasab yang jelas.
Allah berfirman dalam QS An Nur : 3
ÎT#¨9$# Ÿw ßxÅ3Ztƒ žwÎ) ºpuŠÏR#y ÷rr& Zpx.ÎŽô³ãB èpuÏR#¨9$#ur Ÿw !$ygßsÅ3Ztƒ žwÎ) Ab#y ÷rr& Ô8ÎŽô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºsŒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ  
Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.[34]

Hukum kawin dengan wanita yang hamil di luar nikah para ulama berpendapat, sebagai berikut:
a.         Para ulama Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i berpendapat bahawa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan, pria itu yang menghamilinya dan kemudian ia mengawininya.
b.      Ibnu Hazm berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan bolehpula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalanihukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina.[35]
Selanjutnya mengenai pria  yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para Ulama:
1)      Abu Yusuf, mengharamkan yakni tidak membolehkan mengawini wanita hamil akibat zina, karena hamil akibat zina mencegah persetujuan, maka mencegah akadnya juga. Seperti pencegahan terhadap nasab.[36] Dan bila dikawinkan maka perkawinannya batal.
2)      Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahui berbuat zina dengan orang lain, kcuali dengan 2 Syarat:
a)        Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
b)        Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk) terlebih dahulu, apakah ia hamil atau tidak.
c)        Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.[37]
d)       Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah. Karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada massa iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu.
Dengan demikian status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini ibunya itu adalah pria yang menghamilinya maka terjadi perbedaan pendapat:
1.      Bayi itu termasuk anak Zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi itu adalah anak suaminya yang sah.
2.      Bayi itu termasuk anak Zina. Karena anak itu adalah anak diluar Nikah walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya karena hasil dari sperma dan ovum bapak dan ibunya itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan wali nikah adalah orang yang mewakili perempuan dalam hal melakukan akad pernikahan, karena ada anggapan bahwa perempuan tersebut tidak mampu melaksanakan akadnya sendiri karena dipandang kurang cakap dalam mengungkapkan keingnannya sehingga dibutuhkan seorang wali untuk melakukan akad nikah dalam pernikahan.

F.     Aplikasi Kaidah dalam bidang Al-ahwal Al-Syakhsiyyah
Salah satu pendapat yang sudah dijelaskan di atas, Bayi itu termasuk anak Zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi itu adalah anak suaminya yang sah. Dan Bayi itu termasuk anak Zina. Karena anak itu adalah anak diluar Nikah walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya karena hasil dari sperma dan ovum bapak dan ibunya itu.
Melihat apa yang sudah dijelaskan di atas, banyaknya perkawinan yang sudah didahului oleh hamilnya mempelai perempuan yang mengakibatkan status dari sah/ tidak sahnya anak tersebut. Aplikasi kaidah ini dalam bidang al-ahwal al-syakhsiyah, salah satunya dalam urusan wali nikah. Melihat kasus yang sudah dijelaskan di atas, dapat kita pahami adalah apabila seorang ayah/ bapak merasa yakin bahwa anak yang lahir dari kandungan istrinya adalah anak yang sah, anak dari hasil pernikahan yang sah, maka anak tersebut adalah anak sah dan ayah/ bapak tersebut berhak menjadi wali bagi anak perempuannya tesebut.
Dan apabila ayah/ bapaknya tersebut meyakini bahwa anak tersebut adalah anak tidak sah, anak dari hasil di luar pernikahan, maka ayah/ bapaknya tersebut tidak sah menjadi wali bagi anak perempuan tersebut. Kaidah ini menjadi penting dalam kasus seperti ini, hal ini dikarenakan dapat menyebabkan sah/tidak sahnya perkawinan anaknya tersebut.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa rasa yakin akan mengarahkan manusia menuju kunci kesuksesan dan keberhasilan dalam menggapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Keyakinan merupakan sugesti yang sangat kuat mempengaruhi dalam setiap lagkah yang akan dilalui oleh manusia. Dalam pembahasan diatas telah di bahas bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak bisa di pengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian.
Yang di maksud yakin dalam hal ini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu objek hukum yang telah di kerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau hanya persepsi yang kuat (dhann). Terlepas dari kaidah-kaidah yang telah di bahas sebelumnya bahwa sejarah telah menjadi saksi bagaimana para filosof, pemikir, cendekiawan dan lain sebagainya tentunya mempunyai keyakinan yang kuat dalam setiap apa yang mereka lakukan serta mempunyai landasan pijak sebagai penyangga atas keilmuan yang mereka miliki.
Dan aplikasi kaidah ini dalam bidang al-ahwal al-syaksiyyah menjadi penting akan kemantapan hati seorang ayah dalam membuktikan bahwa anak perempuannya tersebut adalah anak yang sah, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah sehinggan ayah/bapaknya berhak menjadi wali bagi anak perempuannya tersebut setelah ia dewasa dan ingin melangsungkan pernikahan.



DAFTAR PUSTAKA
‘Abd Al-Salam ,‘Izzuddin. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Juz I. Mesir: Dar al-     Ma’arif, t.th.
‘Abidin, Ibnu. Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar. Jilid III. Cet. II. Beirut: Dar al Fikr, t.th.
Abidin, Slamet – Aminudin. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
al-Bakri, Badruddin. Al-I’tina’ fi al-Farq wa al-Istitsna’. Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-   ‘Ilmiyyah, 1991 M.
al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Bada’i al-Fawaid. Jilid III. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.th.
Al-Nawawi. Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab. Jilid I. Mesir: Mathba’ah al-Imam, t.th.
Al-Nawawi. Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab. Juz II. Mesir: Mathba’ah al-Imam, t.th.
Al-Subki. Al-Asybah wa al-Nadhair. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991 M.
Al-Syathibi. Al-Muwafaqat fi Al-Ahkam. Juz II. Beirut: Dar Al-Rasyad Al-Haditsah, t.th.
Al-Syuthi. Al Asybab wa al-Nadhair. Semarang: Toha Putra, t.th.
Al-Zarkasyi. Al-Mantsur fi al-Qawa’id. Juz I. Kuwait: Muassasah al-Khalij, 1982 M.
Al-Zinjani. Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1984 M.
Bisri, Adib. Al Faraidul Bahiyyah. Kudus: Menara, t.th.
Departemen Agama RI.  Alqur’an dan Terjemahannya. Surabaya: Mekar Surabaya, 2004.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Junaidi, Dedy. Bimbingan Perkawinan. Jakarta: Akademi pressindo, 2003.
Muchtar, Kamal. Asas-Asas  Hukum Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Nujaim, Ibnu. Al-Asyabah wa al-Nadhair. Cet. I. Damaskus: Dar al-Fikr, 1983 M/1403 H.
Porwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Ramulyo, M. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama, dan menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika,2006.
Rohayana, Ade Dedi. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah 7. Bandung:  Al-Ma’arif, 1997/
Suma, Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Tim Citra Umbara, UU No.1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara,2009.
Zuhaili, Wahbah. Al fiqh Al Islami wa Adillatuh. Juz IX, Dar Al Fikr, 1997.
                                      






[1] Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Al-Ahkam, Juz II Tahqiq Muhammad Khadar Husen (Beirut: Dar Al-Rasyad Al-Haditsah, t.th.), hlm. 31.
[2] Al-Syuthi, Al Asybab wa al-Nadhair (Semarang: Toha Putra, t.th.), hlm. 6 dan 45.
[3] ‘Izzuddin bin ‘Abd Al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th.), hlm. 4-5.
[4] ‘Izzuddin bin ‘Abd Al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II hlm. 5-7.
[5] Al-Suyuthi, Al Asybab wa al-Nadhair, hlm. 5.
[6] Al-Suyuthi, Al Asybab wa al-Nadhair, hlm. 109.
[7] Al-Suyuthi, Al Asybab wa al-Nadhair, hlm. 111.
[8] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hlm. 233-234.
[9] Al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadhair (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991 M), hlm. 11.
[10] Badruddin al-Bakri, Al-I’tina’ fi al-Farq wa al-Istitsna’ (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991 M), hlm. 8-9.
[11] Al-Zarkasyi. Al-Zarkasyi, Al-Mantsur fi al-Qawa’id, Juz I (Kuwait: Muassasah al-Khalij, 1982 M), hlm. 66.
[12] Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab,  Juz II (Mesir: Mathba’ah al-Imam, t.th.), hlm. 64.
[13] Al-Zinjani, Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1984 M), hlm. 102-103 dan 449.
[14] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, hlm. 236
[15] Ibnu Nujaim, Al-Asyabah wa al-Nadhair, Tahqiq Muhammad Muthi’ al-Hafidz (Cet. I, Damaskus: Dar al-Fikr, 1983 M/1403 H), hlm. 60.
[16] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bada’i al-Fawaid, Jilid III (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.th.), hlm. 273-274
[17] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bada’i al-Fawaid, hlm. 274.
[18] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bada’i al-Fawaid, hlm. 273.
[19] Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I (Mesir: Mathba’ah al-Imam, t.th.), hlm. 132.
[20] Ibnu Nujaim, Al-Asyabah wa al-Nadhair, hlm. 63.; Al-Suyuthi, Al Asybab wa al-Nadhair, hlm. 52.; Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bada’i al-Fawaid, hlm. 272.
[21] Moh. Adib Bisri, Al Faraidul Bahiyyah, (Kudus: Menara, t.th.), hlm. 11-12.
[22] Al-Zarkasyi, Al-Mantsur fi al-Qawa’id, hlm. 275.; Ibnu ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, Jilid III (Cet. II; Beirut: Dar al Fikr, t.th.), hlm. 283.
[23]Moh. Adib Bisri, Al Faraidul Bahiyyah, hlm. 16.
[24]Moh. Adib Bisri, Al Faraidul Bahiyyah, hlm. 16-17.
[25]Porwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 92.
[26]Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm. 134.
[27]Kamal Muchtar, Asas-Asas  Hukum Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 89.
[28]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7( Bandung:  Al-Ma’arif, 1997), hlm. 11.  
[29]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 35
[30]Dedy Junaidi, Bimbingan Perkawinan, (Jakarta: Akademi pressindo, 2003), hlm. 104
[31]Slamet Abidin – Aminudin, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 82
[32]M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama, dan menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 12.
[33]Tim Citra Umbara, UU No.1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara,2009)
[34] Departemen Agama RI,  Alqur’an dan Terjemahannya  (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004)
[35] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 124-125.
[36] Dr Wahbah Zuhaili Al fiqh Al Islami wa Adillatuh, (Juz IX, Dar Al Fikr, 1997), h. 2649
[37] Abdul Rahman GHozali, Fiqh Munakahat, h. 127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Poligami dalam Islam

POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH MURSALAH A.     Latar Belakang Poligami merupakan masalah yang sering...