Kamis, 10 Agustus 2017

Politik Hukum Islam (Agama dan Negara)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama merupakan bagian dari realitas kehidupan manusia sebagai kholifah di muka bumi ini yang berbangsa dan bernegara. Agama yang menjadikan manusia bisa terintegrasi karenanya dan begitu pula sebaliknya, yaitu dengan agama pula manusia berada dalam pertikaian atau karena agama maka kemudian terjadi ketegangan yang kemudia berujung dengan konflik antar pemeluk agama yang tak jarang pula kemudian berujung dengan peperangan atau pembunuhan. Hal ini menujukan kepada kita bahwa agama  selain mempunyai peran atau fungsi sebagai integrator agama juga menjadikan disentegrasi sosial masyarakat.
Setiap  agama  yang ada di seluruh negara dan bangsa di dunia ini pasti dan sudah dapat dipastikan bahwa semuanya mengajarkan pada kebaikan kepada pemeluk agama itu sendiri, yang tentunya untuk kebaikan dunia dan tak kalah pentingnya juga untuk kebaikan akhirat. Untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat tentunya setiap pemeluk agama harus patut dan tunduk pada ajarannya masing-masing. Orang yang beragama islam tentunya  harus patuh dan tunduk kepada setiap ajaran allah yang terkandung dalam al-qur’an dan sunnah nabi yang terdapat dalam hadist-hadistnya, begitu pula dengan pemeluk agama-agama yang lain kristen, katolik, hindu dan sebagainya. Jalan menuju kebaikan tersebut tidaklah mudah sebagai mana membolakkan telapak tangan kita, karena untuk mencapai ketarap kebaikan dunia dan akhirat itu perlu dan butuh perjuangan dan juga pengurbanan yang dalam hal ini tidak sedikit dari kita atau saudara-saudara kita yang kemudian tidak mampu mengikuti setiap rambu-rambu yang ditetapkan dalam agama. Sehingga mereka melanggar rambu-rambu tersebut dan kemudian sangat jauh sekali dari ajaran agamanya sendiri.
Agama dan negara merupakan dua institusi yang berbeda yang sama-sama kuatnya. Agama mempengaruhi eksistensi negara juga mempengaruhi keberlangsungan umat beragama. Dalam suatu negera tertentu agama kemudian menjadi dasar bernegaranya dalam artian agama yang mengatur mekanisme suatu negara tersebut termasuk hukum-hukum yang diberlakukan di dalamnya. Tetapi pada negara yang lain cenderung untuk memisahkan agama dengan negaranya,  agama baginya adalah urusan keyakinan dan hal itu adalah urusan individu sehingga negara tidak berhak untuk mengurus wargaya untuk memeluk agama tertentu. Lagi pula agama merupakan urusan akhirat sedangkan negara adalah urusan dunia.  Jadi bagi negara-negara yang sekuler seperti ini mereka tidak mau mencampur adukkan antara agama yang ukhrawi dan negara yang bersifat duniawi.
Tidak bisa dinafikan bahwa hubungan antara agama dan negara menjadi perbincangan yang selalu hangat. Hal ini disebabkan karena kedua lembaga ini sama-sama kuatnya dalam memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia. Dengan agama mereka rela berkorban dan syahid karenanya atau atas nama negara mereka berani mengorbankan jiwa dan raganya sehingga menjadi pahlawan bangsa disebabkannya. Dalam konteks  penulis ingin mencoba mengungkapkan bagaimana hubungan agama dan negara? bagaimana pengaruh agama terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dan bagaimana pengaruh negara terhadap keberlangsungan kehidupan beragama ?
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi agama dan negara?
2.      Bagaimana hubungan antara agama dan negara?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Negara
Negara adalah sekumpulan masyarakat yang memfungsikan diri pada satu identitas (bangsa) yang bersepakat membangun pemerintahan agar terjamin mendapatkan kehidupan yang layak dari kehidupan sebelumnya (di masa sebelum memfusikan diri).[1]
Sebelum mengenal negara (pemerintahan) masyarakat primitif atau tradisional menemui kondisi ketidaknyamanan sebagai bentuk dari akibat pertikaian dan keberutalan perilaku manusia di masa prmitif di mana masyarakat masih hidup secara berkelompok saling menunjuk eksistensi dan identitas diri di antara mereka yang berpikir superior akhirnya melalui proses yang panjang setelah mengalami pencerahan berpikir melalui pengaruh dari kalangan intelektual di masanya. Dengan semakin meluasnya pencerahan yang di berikan oleh kalangan intelektual kepada manusia di masanya berakibat pada meningkatnya pemahaman kerangka berpikir manusia menjadi lebih beradab dan logis.
Pergeseran kerangka berpikir manusia di masa primitif ke masa pencerahan tidak berdiri tegak dalam waktu yang singkat melainkan adanya proses demi proses pembaharuan dalam pemaknaan suatu realitas kehidupan. Tidak dapat di pungkiri pengaruh akal pikiran pada manusia bergerak menuju pada hal-hal yang baru atau belum terpikirkan oleh manusia secara umum. Sifat manusia yang tidak pernah merasa puas membawa manusia pada satu realitas ke realitas lainnya dan pada perjalanan realitas tersebut manusia tidak jarang menemukan makna atau pemahaman baru di balik realitas atau secara empirik. Pada dimensi lain pencerahan yang diberikan oleh para Rasul sebagai utusan Tuhan Yang Maha Esa di setiap masa menambah percepatan pencerahan bagi fungsi kerja akal.pikiran manusia dan akhirnya secara bersamaan pengaruh kebaikan dalam ajaran agama menjadikan penawar bagi penyakit kebiadaban manusia yang hadir di masa demi manusia.[2]
Kerinduan, keinginan dan sebagai suatu keharusan untuk dapat hidup berdampingan secara damai, aman dan sejahtera maka di kondisi seperti ini masyarakat pada masa lalu berpikir dan mulai menciptakan sebuah identitas yang terorganisasi secara besar dan disebut sebagai “Negara”.
B.     Definisi Negara
1.      Menurut Roger H. Soltau
Negara adalah agen (agency) atau kewenangan (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.
2.      Menurut Harold J. Laski
Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk memenuhi terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi –asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.
3.      Menurut Max Weber
Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
4.      Menurut Robert M. Maclver
Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.[3]
Agar dapat diterima eksistensi sebuah wilayah untuk dapat dikatakan sebagai negara setidaknya harus memiliki wilayah dengan batas-batasnya, penduduk, pemerintah yang diakui secara kolektif dan pengakuan kedaulatan sebagai negara dari negara lain.
Negara tidak berbentuk dengan sendirinya atau tiba-tiba muncul, melainkan adanya rangkaian usaha secara sadar melewati proses demi proses yang mengorbankan waktu, energi dan nyawa manusia yang tidak sedikit. Dengan memahami hakekat tujuan negara dalam pengaruh dimensi pandangan klasik latar belakang yang dipenuhi rasa tidak nyaman dan ketidak-amanan menyebabkan diciptakannya negara dengan tujuan menghilangkan rasa ketidak nyamanan dan ketidak amanan dalam kehidupan sosial masyarakat. Ketidak nyamanan dimaksudkan sebagai keadaan kelaparan dan ketidak amanan dimaksudkan sebagai keadaan pertikaian.
C.    Agama, Din, dan Religion
Ada beberapa istilah yang perlu diperhatikan yaitu agama, din, religion. Agama yang semula berasal dari suatu konsep yang konotasinya lebih dekat kepada Hindu dan Budha. Tetapi, penggunaan istilah itu dalam masyarakat Indonesia sudah berkembang dan digunakan sebagai suatu istilah umum yaitu untuk berbagai agama sekedar memudahkan orang untuk berkomunikasi. Namun, perlu ditegaskan apabila digunakan istilah agama Islam maka yang dimaksud di sini adalah al-din al-Islami yaitu suatu konsep agama Islam sebagaimana di maksudkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Istilah din (a religion) atau adyan (religion) dapat diterjemahkan sebagai agama (tunggal) atau agama-agama (jamak). Namun, perlu dibedakan konsep din (agama pada umumnya) dengan al-din (the religion) yang dapat dipahami hanya mempunyai konotasi dengan agama Islam sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an: Surat Ali Imran/3:19, dan al-Maidah/5:3. Juga dalam Hadist Nabi: “al-din al-siyasah”. Artinya , “agama Islam itu (mencakup) politik”. Di depan perkataan din, ada definite article “al” atau “the”, yang konotasinya dikaitkan dengan agama Islam.
Istilah religion yang digunakan dalam bahasa Inggris menurut pemahaman umum di Barat adalah “ikatan manusia dengan Tuhan atau Tuhan-tuhan saja”.[4]
D.    Teori dan Konsep Hubungan antara Agama dan Negara
Bagi kaum muslimin dewasa ini Islam merupakan jalan hidup yang merupakan aspek-aspek fisik, politik dan spiritual. Syariah Islam itu meliputi perundang-undangan hukum, politik, upacara agama, dan moral. Hukum islam atau fiqih tidak terbatas hanya pada masalah-masalah sipil dan kriminal, juga mengatur berbagai urusan politik, ekonomi, sosial, nasional dan internasional. Oleh karena itu, tentu saja bisa berbeda dengan agama lainnya, Islam tidak memisahkan agama dari politik (Negara).
Dalam memahami hubungan agama dengan Negara ini, ada beberapa konsep atau teori, di antaranya:
1.      Teokrasi
Dalam teori ini hubungan agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat bangsa dan Negara dilakukan atas titah Tuhan. Kerajaan Belanda dapat dijadikan contoh model paham ini, yang dalam sejarahnya, raja yakin sebagai pengemban tugas dan amanat suci dari Tuhan untuk memakmurkan rakyatnya.
2.      Sekuler
Dalam teori ini agama dan Negara terpisah, artinya tidak ada hubungannya antara sistem kenegaraan dengan agama. Negara adalah urusan manusia yang bersifat duniawi, dan agama adalah urusan manusia dengan Tuhan.
Sekularisme adalah satu paham yang ingin memisahkan atau menetralisir semua bidang kehidupan seperti politik dan kenegaraan, ekonomi, hukum, sosial-budaya dan ilmu pengetahuan tekhnologi dari pengaruh agama atau hal-hal yang ghaib.[5]
3.      Komunis
Sedangkan teori ini mengandung arti bahwa hubungan agama dengan Negara bedasarkan pada filosofi matrealisme-dealektis dan matrealisme-historis. Agama dipandang sebagai candu masyarakat, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Sedangka agama dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah manusia itu sendiri kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Nilai tertinggi dalam Negara adalah materi, karena manusia sendiri pada hakekatnya adalah materi.

E.     Hubungan Agama dan Negara
Dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini, hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara), dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara). Bentuk hubungan antara agama dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan sekularismenya atau pemisahan antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-prinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial.
Pemisahan agama dan negara tersebut memerlukan proses yang disebut sekularisasi, yang pengertian nya cukup bervariasi, termasuk pengertian yang sudah ditinjau kembali. Menurut Peter L. Berger berarti “sebuah proses di mana sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan”. Proses sekularisasi yang berimplikasi pada marjinalisasi agama ini bisa berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, yang terutama dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan sejarah masing-masing masyarakatnya. Negara-negara yang mendasarkan diri pada sekularisme memang telah melakukan pemisahan ini, meski bentuk pemisahan itu bervariasi.
Penerapan sekularisme secara ketat terdapat di Perancis dan Amerika Serikat, sementara di negara-negara Eropa selain Perancis penerapannya tidak terlalu ketat, sehingga keterlibatan negara dalam urusan agama dalam hal-hal tertentu masih sangat jelas,seperti hari libur agama yang dijadikan sebagai libur nasional, pendidikan agama di sekolah, pendanaan negara untuk agama, keberadaan partai agama, pajak gereja, dan sebagainya. Bahkan, sebagaimana dikatakan Alfred Stepan, kini masih ada sejumlah negara Eropa yang tetap mengakui secara resmi lembaga gereja (established church) dalam kehidupan bernegara, seperti Inggris, Yunani, dan negara-negara Skandinavia (Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Swedia).[6]
Mengenai hubungan antara agama dan negara tidak begitu menarik perhatian lagi bagi para pemikir di negeri Barat, karena memang pendirian yang dianut oleh pemikir kenegaraan dalam hukum di sana boleh dikatakan telah memperoleh kesepakatan bahwa antara agama dan negara terjadi pemisahan total. Namun diskusi atau “polemik” tentang hal ini di kalangan cendekiawan muslim sendiri masih merupakan topik pembicaraan terutama di tahun tujuh puluhan. Misalnya, di Indonesia dengan munculnya dua pandangan atau pendapat dari dua orang sarjana muslim yaitu Nurcholish Madjid dan H. Moh. Sjafa’at Mintaredja.[7] Madjid ketika itu mencoba mengemukakan gagasan “pembaharuan” dan mengecam dengan keras konsep negara Islam sebagai berikut:
“Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “Negara Islam” adalah suatu distorsi hubungan proposional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spritual dan pribadi”.[8]
Pandangan Nurcholish ini jelas telah memisahlan antara kehidupan agama dan negara. Seorang intelektual muslim terkemuka, H. M. Rasjidi yang pernah menjabat Menteri Agama dan Duta Besar RI di Mesir dan Pakistan, serta Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan telah menulis suatu buku dengan judul Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Majid tentang Sekularisasi.[9] Kritik beliau yang sangat tepat terhadap pandangan Nurcholish Madjid sengaja penulis kutip secara lengkap agar dapat diperoleh suatu pemahaman yang benar tentang bagaimana sesungguhnya hubungan agama (dalam hal ini Islam) dengan negara:
“Kata-kata tersebut bukan kata-kata yang percaya kepada Qur’an, akan tetapi merupakan kata orang yang hanya pernah membaca Injil: Dalam Mattius 22:21:
“Berikanlah kepada penguasa duniawi hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi, dan serahkanlah kepada Tuhan segala yang berurusan dengan Tuhan.”
Beliau mengkritisi, kalau Drs. Nurcholis mengatakan bahwa konsep negara Islam adalah distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara, maka sudah terang bahwa ia belum mempelajari al-Qur’an, dan dengan mohon maaf sebesar-besarnya kepada para pembaca, saya terpaksa mengatakan bahwa distorsi itu adalah bikinan Drs.Nurcholish sendiri.
Drs. Nurcholish mengatakan bahwa: “Memang antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan, yaitu melalui individu warga negara terdapat pertalian tak terpisahkan antara motivasi atau sikap batin bernegara dan kegiatan atau sikap lahir bernegara. Namun, antara keduanya tetap harus dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya. Karena suatu negara tidak mungkin menempuh dimensi spritual guna mengurus dan mengawasi sikap batin warga negara, maka tak mungkin pula memberikan predikat keagamaan dan negara tersebut”.[10]
Pandangan ini menunjukkan dengan jelas kekacauan pikiran Drs. Nurcholish. Ia mengatakan, bahwa negara tak mungkin menempuh dimensi spritual untuk mengawasi batin warga negaranya. Jadi, segala heboh distorsi hubungan proposional antara agama dan negara mempunyai titik tolak berpikir yang sangat naif. Ia menggambarkan polisi rahasia yang menyelidiki batin dan jiwa tiap-tiap warga negara, sebagai yang pernah terjadi di Kerajaan Paus abad 11-13, dengan inquissi dan alat-alat paksaan, sehingga menimbulkan agama Protestan.
Rupanya Nurcholish selama ini tidak mengingat prinsip-prinsip kenegaraan dalam Islam seperti musyawarat, rule of law, persamaan hak penduduk walaupun dari agama lain, prinsip kemerdekaan beragama, prinsip kerjasama internasional, meratakan kekayaan di antara para warga negara, hukuman berat bagi pelanggar kesusilaan baik berupa pencurian harta (orang atau negara) atau gangguan terhadap kehormatan (sex). Yang digambarkan sebagai distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama adalah Paus di Roma pada abad pertengahan. Dengan begitu maka Drs. Nurcholish tidak mengerti sejarah Nabi Muhammad, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab, atau mengerti, akan tetapi mendistorsikan sejarah tersebut kepada pengikut-pengikutnya yang belum sempat memperdalam pengetahuan tentang Islam.[11]  
Konklusi bahwa “tak mungkin pula memberi predikat keagamaan pada negara tersebut” adalah bukti yang nyata bahwa tujuan Drs. Nurcholish dengan gerakan pembaharuannya adalah sekularisasi dan sekularisme disulap menjadi pembahasan tambahan, tetapi akhirnya nampak juga tujuan semula itu.[12]
Setelah membandingkan dua pandangan yang berbeda secara prinsipil antara Nurcholish Madjid dan H. M. Rasjidi, maka dapat disimpulkan pendapat Nurcholish itu berbeda dengan pendekatan Islam menurut al-Qur’an dan Sunnah Rasul tentang konsep negara dalam Islam. Mungkin sekali kekagumannya pada kemajuan Barat yang menganut paham sekuler telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan seperti itu tanpa memperhitungkan reaksi keras dari kalangan Islam sendiri. Apapun motif yang ia jadikan alasan, secara obyektif perlu dikritik bahwa pandangan Nurcholish tentang hubungan agama dan negara dari sudut Islam sangat keliru.[13]
Pendekatan Nurcholish tentang negara dari sudut Islam yang mengikuti jalan pikiran sekularisme telah menjebaknya bukan hanya ke dalam pemikiran yang rancu, sebagaimana ia dikritik oleh Rasjidi, juga secara sadar atau tidak, ke alam pikiran yang cenderung berbeda dengan Pancasila, sebagai dasar negara Republik Indonesia dan pandangan hidup Bangsa Indonesia, karena sila ketuhanan Yang Maha Esa “menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain”, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Bung Hatta. Penafisran Bung Hatta ini, apabila ditilik dari sudut Islam, maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa tiada lain identik dengan prinsip tauhid yang berhubungan secara organik dengan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan dan musyawarah.[14]
Karena itu, Nurcholish dengan gagasan pembaharuannya yang mengarah kepada sekularisasi terhadap Islam, kecuali telah mengecewakan pemimpin dan umat Islam di Indonesia, ia juga tidak berhasil memahami bagaimana sesungguhnya hubungan antara agama Islam dengan kehidupan kenegaraan dan masyarakat.[15]
Pandangan yang hampir mirip dengan Nurcholish ialah pemikiran yang pernah dikedepankan oleh H. Moh. Sjafa’at Mintaredja dalam bukunya Islam dan Politic: Islam dan Negara Indonesia. Mintaredja mempertegas pandanganannya itu dengan menggunakan kalimat dalam bahasa Inggris: there is somewhat (rather) disestablishment/separation/parting between religion and state in the Islam, artinya: ada sesuatu yang terpisah antara agama dan negara di dalam Islam. Dengan demikian, menurut Minteredja, dalam batas tertentu ada juga pemisahan antara negara dan agama. Argumen yang ia gunakan untuk memperkuat pendapatnya itu ialah sebuah hadits Rasulullah yang ia pahami bahwa “kamu lebih mengetahui urusan duniamu/keduniaanmu”,[16] tanpa menjelaskan latar belakang lahirnya hadist itu.
Dengan konklusi bahwa dalam batas tertentu, dalam Islam ada juga pemisahan antara agama dan negara, Minteradja telah pula terjebak ke alam pikiran yang yang rancu, karena menurutnya, Islam dapat diartikan baik sebagai agama dalam arti yang sempit, maupun sebagai agama dalam arti yang sangat luas.[17] Dengan demikian, konklusi Minteradja, sesungguhnya kontradiktif dengan jalan pikirannya sendiri. Kalau Islam dalam arti yang luas ia tafsirkan sebagai way of life now in the earth and in the heaven after death,[18] konsekuensi logis dari penafsiran itu seharusnya ialah Islam merupakan suatu totalitas yang komprehensif dan karena itu tidak mengenal pemisahan antara kehidupan agama dan negara.[19]
Masih ada satu hal lagi yang perlu ditinjau dalam hubungan dengan pandangan Minteradja itu, yaitu tentang hadits Rasulullah yang ia gunakan sebagai argumennya. Ternyata Minteradja sama sekali tidak menyebutkan dalam konteks apa hadits tersebut pernah diucapkan oleh Nabi. Sesungguhnya hadits itu adalah dalam konteks pertanian, ketika Nabi menegur seseorang yang melakukan penyilangan pohon kurma. Jadi, hadits yang dikutip Mintaredja itu sama sekali tidak ada relevansinya dengan masalah kenegaraan.
Pendekatan Nurcholish dan Mintaredja seperti telah dijelaskan di atas pernah digunakan oleh seorang sarjana Mesir, Ali Abdu Razik, yang menulis buku dengan judul al-Islam wa usul al-Hukm. Abdu Razik juga sampai pada konklusi yang sama bahwa dalam Islam terdapat pemisahan antara agama dan negara. Namun, pandangan mereka itu tidak memperoleh sambutan di kalangan umat Islam. Cara berpikir mereka dinilai sekuler dan sebagaimana ditegaskan H. M. Rasjidi: “Segala persoalan sekularisasi adalah dalam konteks kebudayaan Barat atau Christendom (alam Kristen)”. Dengan demikian sekularisasi dan paham sekularisme tidak dikenal dalam Islam.[20]
Tidaklah dapat disangkal bahwa berdasarkan fakta otentik, baik yang tercantum dalam al-Qur’an maupun melalui Sunnah Rasul, kehidupan agama (dalam hal ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Salah satu doktrin al-Qur’an yang memperkuat pendirian ini ialah hablun min Allah wa hablun min al-nas (QS. Ali Imran 3:112), artinya “hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia” yang merupakan satu kesatuan. Dalam konteks inilah sesungguhnya masalah hubungan agama (Islam) dan negara harus ditempatkan.
Dalam Islam agama dan negara mempunyai pertalian yang erat, didukung pula oleh fakta sejarah selama masa Rasulullah dan Khulafa Rasyidin selama periode Negara Madinah merupakan bukti-bukti yang kuat, bahwa agama Islam sejak lahirnya selalu berkaitan dengan aspek-aspek kenegaraan dan kemasyarakatan. Keadaan ini diakui oleh banyak sarjana muslim, antara lain sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dan bahkan juga sarjana Barat yang non muslim seperti Bernard Lewis dan Montgomery.[21]
F.     Hubungan Agama dan Negara menurut Islam
Dalam Islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini di antara para ahli. Bahkan, menurut Azyumardi Azra, perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini.[22]
Menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan negara. Dalam bahasa lain, hubungan antara agama dan politik di kalangan umat Islam, terlebih-lebih di kalangan Sunni yang banyak diatur oleh masyarakat Indonesia, pada dasarnya bersifat ambigous atau ambivalen. Hal demikian itu, karena ulama Sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebab seperti yang dilihat terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik.
Sumber dari hubungan yang canggung di atas, kitab, berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam pengertian terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan bidang-bidang ilahiah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan pada umumnya merupakan bidang prafon atau keduniaan.
Selain hal-hal yang disebutkan di atas, kitab suci al-Qur’an dan hadis tampaknya juga merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.[23]
Banyak para ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan dimana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini, maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Akhirnya ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara. Antara lain :
1.      Paradigma integralistik.
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam Syi’ah.
2.      Paradigma Simbiotik.
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
3.      Paradigma sekularistik.
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Mengenai hubungan Islam dan negara di Indonesia secara umum dapat digolongkan ke dalam dua bagian yakni :
a.       Hubungan yang bersifat antagonistik. Hubungan antagonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama.
b.      Hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan akomodatif lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi, bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama adalah bersumber pada wahyu Tuhan yang sifatnya mutlak, sedangkan Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara. Sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran/ paham, antara lain :
1.      Paham teokrasi.
Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua      hal yang tidak dapat dipisahkan.
2.      Paham sekuler.
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam paham ini, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama.
3.      Paham komunis.
Menurut paham komunis, agama dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu agama harus ditekan, bahkan dilarang.
Banyak para ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan, dimana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini, maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Akhirnya ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara. Antara lain :
a.       Paradigma integralistik.
konsep hubungan agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
b.      Paradigma Simbiotik.
Hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya.
c.       Paradigma sekularistik.
Ada pemisahan (disparitas) antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur tangan).




DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks Modernisasi Politik di Era Reformasi, Jurnal Ahkam, 2 (July 2013).
Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum. Jakarta: Kencana, 2004.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam : Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme. Jakarta : Paramadina, 1996.
IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani. Jakarta, 2000.
Maarif, Ahmad Syafii Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1985.
Mintaredja, H. M. S. Sebuah Renungan Pembaharuan dan Pemikiran Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Rasjidi, H. M. Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi. Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Sinaga, Rudi Salam. Pengantar Ilmu Politik.



[1]Rudi Salam Sinaga, Pengantar Ilmu Politik, hlm. 11
[2]Rudi Salam Sinaga, Pengantar Ilmu Politik, hlm. 11-12.
[3]Rudi Salam Sinaga, Pengantar Ilmu Politik, hlm. 12-13
[4]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 18-19.
[5]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 19.
[6]Masykuri Abdillah, Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks Modernisasi Politik di Era Reformasi, Jurnal Ahkam, 2 (July 2013), hlm. 248.
[7]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 49-50.
[8]H. M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 55 dan 109.
[9]H. M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi, hlm. 8.
[10]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 51-52
[11]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 52
[12]H. M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi, hlm. 82-83.
[13]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 53.
[14]Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 152.
[15]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 56-57.
[16]H. M. S. Mintaredja, Sebuah Renungan Pembaharuan dan Pemikiran Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 89-91.
[17]H. M. S. Mintaredja, Sebuah Renungan Pembaharuan dan Pemikiran Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, hlm. 91.
[18]H. M. S. Mintaredja, Sebuah Renungan Pembaharuan dan Pemikiran Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, hlm. 90.
[19]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 57. 
[20]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 57-58. 
[21]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 58-59.
[22]Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam : Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme, (Jakarta : Paramadina, 1996), hlm 1.
[23]IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, (Jakarta, 2000), hlm. 127-129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Poligami dalam Islam

POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH MURSALAH A.     Latar Belakang Poligami merupakan masalah yang sering...