BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Agama merupakan bagian dari realitas kehidupan manusia sebagai kholifah di
muka bumi ini yang berbangsa dan bernegara. Agama yang menjadikan manusia bisa
terintegrasi karenanya dan begitu pula sebaliknya, yaitu dengan agama pula
manusia berada dalam pertikaian atau karena agama maka kemudian terjadi
ketegangan yang kemudia berujung dengan konflik antar pemeluk agama yang tak
jarang pula kemudian berujung dengan peperangan atau pembunuhan. Hal ini
menujukan kepada kita bahwa agama selain mempunyai peran atau fungsi
sebagai integrator agama juga menjadikan disentegrasi sosial masyarakat.
Setiap agama yang ada di seluruh negara dan bangsa di
dunia ini pasti dan sudah dapat dipastikan bahwa semuanya mengajarkan pada
kebaikan kepada pemeluk agama itu sendiri, yang tentunya untuk kebaikan dunia
dan tak kalah pentingnya juga untuk kebaikan akhirat. Untuk memperoleh kebaikan
dunia dan akhirat tentunya setiap pemeluk agama harus patut dan tunduk pada
ajarannya masing-masing. Orang yang beragama islam tentunya harus
patuh dan tunduk kepada setiap ajaran allah yang terkandung dalam al-qur’an dan
sunnah nabi yang terdapat dalam hadist-hadistnya, begitu pula dengan pemeluk
agama-agama yang lain kristen, katolik, hindu dan sebagainya. Jalan menuju
kebaikan tersebut tidaklah mudah sebagai mana membolakkan telapak tangan kita,
karena untuk mencapai ketarap kebaikan dunia dan akhirat itu perlu dan butuh
perjuangan dan juga pengurbanan yang dalam hal ini tidak sedikit dari kita atau
saudara-saudara kita yang kemudian tidak mampu mengikuti setiap rambu-rambu
yang ditetapkan dalam agama. Sehingga mereka melanggar rambu-rambu tersebut dan
kemudian sangat jauh sekali dari ajaran agamanya sendiri.
Agama dan negara merupakan dua institusi yang berbeda yang sama-sama
kuatnya. Agama mempengaruhi eksistensi negara juga mempengaruhi keberlangsungan
umat beragama. Dalam suatu negera tertentu agama kemudian menjadi dasar
bernegaranya dalam artian agama yang mengatur mekanisme suatu negara tersebut termasuk
hukum-hukum yang diberlakukan di dalamnya. Tetapi pada negara yang lain
cenderung untuk memisahkan agama dengan negaranya, agama baginya
adalah urusan keyakinan dan hal itu adalah urusan individu sehingga negara
tidak berhak untuk mengurus wargaya untuk memeluk agama tertentu. Lagi pula
agama merupakan urusan akhirat sedangkan negara adalah urusan
dunia. Jadi bagi negara-negara yang sekuler seperti ini mereka tidak
mau mencampur adukkan antara agama yang ukhrawi dan negara yang bersifat duniawi.
Tidak bisa dinafikan bahwa hubungan antara agama dan negara menjadi perbincangan yang selalu hangat. Hal ini disebabkan karena kedua
lembaga ini sama-sama kuatnya dalam memberikan pengaruh terhadap kehidupan
manusia. Dengan agama mereka rela berkorban dan syahid karenanya atau atas nama
negara mereka berani mengorbankan jiwa dan raganya sehingga menjadi pahlawan
bangsa disebabkannya. Dalam konteks penulis ingin mencoba
mengungkapkan bagaimana hubungan agama dan negara? bagaimana pengaruh agama terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara dan bagaimana pengaruh negara terhadap
keberlangsungan kehidupan beragama ?
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
definisi agama dan negara?
2.
Bagaimana
hubungan antara agama dan negara?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Negara
Negara adalah
sekumpulan masyarakat yang memfungsikan diri pada satu identitas (bangsa) yang
bersepakat membangun pemerintahan agar terjamin mendapatkan kehidupan yang
layak dari kehidupan sebelumnya (di masa sebelum memfusikan diri).[1]
Sebelum
mengenal negara (pemerintahan) masyarakat primitif atau tradisional menemui
kondisi ketidaknyamanan sebagai bentuk dari akibat pertikaian dan keberutalan
perilaku manusia di masa prmitif di mana masyarakat masih hidup secara
berkelompok saling menunjuk eksistensi dan identitas diri di antara mereka yang
berpikir superior akhirnya melalui proses yang panjang setelah mengalami
pencerahan berpikir melalui pengaruh dari kalangan intelektual di masanya.
Dengan semakin meluasnya pencerahan yang di berikan oleh kalangan intelektual
kepada manusia di masanya berakibat pada meningkatnya pemahaman kerangka
berpikir manusia menjadi lebih beradab dan logis.
Pergeseran
kerangka berpikir manusia di masa primitif ke masa pencerahan tidak berdiri
tegak dalam waktu yang singkat melainkan adanya proses demi proses pembaharuan
dalam pemaknaan suatu realitas kehidupan. Tidak dapat di pungkiri pengaruh akal
pikiran pada manusia bergerak menuju pada hal-hal yang baru atau belum
terpikirkan oleh manusia secara umum. Sifat manusia yang tidak pernah merasa
puas membawa manusia pada satu realitas ke realitas lainnya dan pada perjalanan
realitas tersebut manusia tidak jarang menemukan makna atau pemahaman baru di
balik realitas atau secara empirik. Pada dimensi lain pencerahan yang diberikan
oleh para Rasul sebagai utusan Tuhan Yang Maha Esa di setiap masa menambah
percepatan pencerahan bagi fungsi kerja akal.pikiran manusia dan akhirnya
secara bersamaan pengaruh kebaikan dalam ajaran agama menjadikan penawar bagi
penyakit kebiadaban manusia yang hadir di masa demi manusia.[2]
Kerinduan,
keinginan dan sebagai suatu keharusan untuk dapat hidup berdampingan secara
damai, aman dan sejahtera maka di kondisi seperti ini masyarakat pada masa lalu
berpikir dan mulai menciptakan sebuah identitas yang terorganisasi secara besar
dan disebut sebagai “Negara”.
B.
Definisi
Negara
1.
Menurut
Roger H. Soltau
Negara adalah agen (agency) atau kewenangan (authority) yang
mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.
2.
Menurut
Harold J. Laski
Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai
wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada
individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat adalah
suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk memenuhi terkabulnya
keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara
hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi –asosiasi
ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.
3.
Menurut
Max Weber
Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam
penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
4.
Menurut
Robert M. Maclver
Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam
suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang
diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang maksud tersebut diberi kekuasaan
memaksa.[3]
Agar dapat
diterima eksistensi sebuah wilayah untuk dapat dikatakan sebagai negara
setidaknya harus memiliki wilayah dengan batas-batasnya, penduduk, pemerintah
yang diakui secara kolektif dan pengakuan kedaulatan sebagai negara dari negara
lain.
Negara tidak
berbentuk dengan sendirinya atau tiba-tiba muncul, melainkan adanya rangkaian
usaha secara sadar melewati proses demi proses yang mengorbankan waktu, energi
dan nyawa manusia yang tidak sedikit. Dengan memahami hakekat tujuan negara
dalam pengaruh dimensi pandangan klasik latar belakang yang dipenuhi rasa tidak
nyaman dan ketidak-amanan menyebabkan diciptakannya negara dengan tujuan
menghilangkan rasa ketidak nyamanan dan ketidak amanan dalam kehidupan sosial
masyarakat. Ketidak nyamanan dimaksudkan sebagai keadaan kelaparan dan ketidak
amanan dimaksudkan sebagai keadaan pertikaian.
C.
Agama,
Din, dan Religion
Ada beberapa
istilah yang perlu diperhatikan yaitu agama, din, religion. Agama yang semula
berasal dari suatu konsep yang konotasinya lebih dekat kepada Hindu dan Budha.
Tetapi, penggunaan istilah itu dalam masyarakat Indonesia sudah berkembang dan
digunakan sebagai suatu istilah umum yaitu untuk berbagai agama sekedar
memudahkan orang untuk berkomunikasi. Namun, perlu ditegaskan apabila digunakan
istilah agama Islam maka yang dimaksud di sini adalah al-din al-Islami yaitu
suatu konsep agama Islam sebagaimana di maksudkan oleh al-Qur’an dan Sunnah
Rasul.
Istilah din
(a religion) atau adyan (religion) dapat diterjemahkan sebagai
agama (tunggal) atau agama-agama (jamak). Namun, perlu dibedakan konsep din
(agama pada umumnya) dengan al-din (the religion) yang dapat dipahami
hanya mempunyai konotasi dengan agama Islam sebagaimana ditegaskan dalam
al-Qur’an: Surat Ali Imran/3:19, dan al-Maidah/5:3. Juga dalam Hadist Nabi:
“al-din al-siyasah”. Artinya , “agama Islam itu (mencakup) politik”. Di depan
perkataan din, ada definite article “al” atau “the”, yang konotasinya
dikaitkan dengan agama Islam.
Istilah
religion yang digunakan dalam bahasa Inggris menurut pemahaman umum di Barat
adalah “ikatan manusia dengan Tuhan atau Tuhan-tuhan saja”.[4]
D.
Teori
dan Konsep Hubungan antara Agama dan Negara
Bagi kaum
muslimin dewasa ini Islam merupakan jalan hidup yang merupakan aspek-aspek
fisik, politik dan spiritual. Syariah Islam itu meliputi perundang-undangan
hukum, politik, upacara agama, dan moral. Hukum islam atau fiqih tidak terbatas
hanya pada masalah-masalah sipil dan kriminal, juga mengatur berbagai urusan
politik, ekonomi, sosial, nasional dan internasional. Oleh karena itu, tentu
saja bisa berbeda dengan agama lainnya, Islam tidak memisahkan agama dari
politik (Negara).
Dalam memahami
hubungan agama dengan Negara ini, ada beberapa konsep atau teori, di antaranya:
1.
Teokrasi
Dalam teori ini hubungan agama digambarkan sebagai dua hal yang
tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama karena pemerintahan dijalankan
berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat bangsa
dan Negara dilakukan atas titah Tuhan. Kerajaan Belanda dapat dijadikan contoh
model paham ini, yang dalam sejarahnya, raja yakin sebagai pengemban tugas dan
amanat suci dari Tuhan untuk memakmurkan rakyatnya.
2.
Sekuler
Dalam teori ini agama dan Negara terpisah, artinya tidak ada
hubungannya antara sistem kenegaraan dengan agama. Negara adalah urusan manusia
yang bersifat duniawi, dan agama adalah urusan manusia dengan Tuhan.
Sekularisme adalah satu paham yang ingin memisahkan atau
menetralisir semua bidang kehidupan seperti politik dan kenegaraan, ekonomi,
hukum, sosial-budaya dan ilmu pengetahuan tekhnologi dari pengaruh agama atau
hal-hal yang ghaib.[5]
3.
Komunis
Sedangkan teori ini mengandung arti bahwa hubungan agama dengan
Negara bedasarkan pada filosofi matrealisme-dealektis dan matrealisme-historis.
Agama dipandang sebagai candu masyarakat, manusia ditentukan oleh dirinya
sendiri. Sedangka agama dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia
sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah manusia itu sendiri
kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Nilai tertinggi dalam Negara adalah
materi, karena manusia sendiri pada hakekatnya adalah materi.
E.
Hubungan
Agama dan Negara
Dalam praktik
kehidupan kenegaraan masa kini, hubungan antara agama dan negara dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan agama
dan negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara), dan
sekularistik (pemisahan antara agama dan negara). Bentuk hubungan antara agama
dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan sekularismenya
atau pemisahan antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia
of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya dengan sadar
mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan untuk itu,
dengan mendukung prinsip-prinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi
moralitas pribadi dan organisasi sosial.
Pemisahan agama
dan negara tersebut memerlukan proses yang disebut sekularisasi, yang
pengertian nya cukup bervariasi, termasuk pengertian yang sudah ditinjau
kembali. Menurut Peter L. Berger berarti “sebuah proses di mana sektor-sektor
kehidupan dalam masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga
dan simbol-simbol keagamaan”. Proses sekularisasi yang berimplikasi pada
marjinalisasi agama ini bisa berbeda antara satu negara dengan negara lainnya,
yang terutama dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan sejarah masing-masing
masyarakatnya. Negara-negara yang mendasarkan diri pada sekularisme memang
telah melakukan pemisahan ini, meski bentuk pemisahan itu bervariasi.
Penerapan
sekularisme secara ketat terdapat di Perancis dan Amerika Serikat, sementara di
negara-negara Eropa selain Perancis penerapannya tidak terlalu ketat, sehingga
keterlibatan negara dalam urusan agama dalam hal-hal tertentu masih sangat
jelas,seperti hari libur agama yang dijadikan sebagai libur nasional,
pendidikan agama di sekolah, pendanaan negara untuk agama, keberadaan partai
agama, pajak gereja, dan sebagainya. Bahkan, sebagaimana dikatakan Alfred
Stepan, kini masih ada sejumlah negara Eropa yang tetap mengakui secara resmi
lembaga gereja (established church) dalam kehidupan bernegara, seperti
Inggris, Yunani, dan negara-negara Skandinavia (Norwegia, Denmark, Finlandia,
dan Swedia).[6]
Mengenai
hubungan antara agama dan negara tidak begitu menarik perhatian lagi bagi para
pemikir di negeri Barat, karena memang pendirian yang dianut oleh pemikir
kenegaraan dalam hukum di sana boleh dikatakan telah memperoleh kesepakatan
bahwa antara agama dan negara terjadi pemisahan total. Namun diskusi atau
“polemik” tentang hal ini di kalangan cendekiawan muslim sendiri masih
merupakan topik pembicaraan terutama di tahun tujuh puluhan. Misalnya, di
Indonesia dengan munculnya dua pandangan atau pendapat dari dua orang sarjana
muslim yaitu Nurcholish Madjid dan H. Moh. Sjafa’at Mintaredja.[7]
Madjid ketika itu mencoba mengemukakan gagasan “pembaharuan” dan mengecam
dengan keras konsep negara Islam sebagai berikut:
“Dari tinjauan
yang lebih prinsipil, konsep “Negara Islam” adalah suatu distorsi hubungan
proposional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan
duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah
aspek kehidupan yang dimensinya adalah spritual dan pribadi”.[8]
Pandangan
Nurcholish ini jelas telah memisahlan antara kehidupan agama dan negara.
Seorang intelektual muslim terkemuka, H. M. Rasjidi yang pernah menjabat
Menteri Agama dan Duta Besar RI di Mesir dan Pakistan, serta Guru Besar Hukum
Islam dan Lembaga-Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan
telah menulis suatu buku dengan judul Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Majid
tentang Sekularisasi.[9]
Kritik beliau yang sangat tepat terhadap pandangan Nurcholish Madjid sengaja
penulis kutip secara lengkap agar dapat diperoleh suatu pemahaman yang benar
tentang bagaimana sesungguhnya hubungan agama (dalam hal ini Islam) dengan
negara:
“Kata-kata
tersebut bukan kata-kata yang percaya kepada Qur’an, akan tetapi merupakan kata
orang yang hanya pernah membaca Injil: Dalam Mattius 22:21:
“Berikanlah kepada penguasa duniawi
hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi, dan serahkanlah kepada Tuhan
segala yang berurusan dengan Tuhan.”
Beliau
mengkritisi, kalau Drs. Nurcholis mengatakan bahwa konsep negara Islam adalah
distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara, maka sudah terang bahwa
ia belum mempelajari al-Qur’an, dan dengan mohon maaf sebesar-besarnya kepada
para pembaca, saya terpaksa mengatakan bahwa distorsi itu adalah bikinan
Drs.Nurcholish sendiri.
Drs. Nurcholish
mengatakan bahwa: “Memang antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan, yaitu
melalui individu warga negara terdapat pertalian tak terpisahkan antara
motivasi atau sikap batin bernegara dan kegiatan atau sikap lahir bernegara.
Namun, antara keduanya tetap harus dibedakan dalam dimensi dan cara
pendekatannya. Karena suatu negara tidak mungkin menempuh dimensi spritual guna
mengurus dan mengawasi sikap batin warga negara, maka tak mungkin pula memberikan
predikat keagamaan dan negara tersebut”.[10]
Pandangan ini
menunjukkan dengan jelas kekacauan pikiran Drs. Nurcholish. Ia mengatakan,
bahwa negara tak mungkin menempuh dimensi spritual untuk mengawasi batin warga
negaranya. Jadi, segala heboh distorsi hubungan proposional antara agama dan
negara mempunyai titik tolak berpikir yang sangat naif. Ia menggambarkan polisi
rahasia yang menyelidiki batin dan jiwa tiap-tiap warga negara, sebagai yang
pernah terjadi di Kerajaan Paus abad 11-13, dengan inquissi dan alat-alat
paksaan, sehingga menimbulkan agama Protestan.
Rupanya
Nurcholish selama ini tidak mengingat prinsip-prinsip kenegaraan dalam Islam
seperti musyawarat, rule of law, persamaan hak penduduk walaupun dari
agama lain, prinsip kemerdekaan beragama, prinsip kerjasama internasional,
meratakan kekayaan di antara para warga negara, hukuman berat bagi pelanggar
kesusilaan baik berupa pencurian harta (orang atau negara) atau gangguan
terhadap kehormatan (sex). Yang digambarkan sebagai distorsi hubungan proporsional
antara negara dan agama adalah Paus di Roma pada abad pertengahan. Dengan
begitu maka Drs. Nurcholish tidak mengerti sejarah Nabi Muhammad, Abu Bakar,
dan Umar bin Khattab, atau mengerti, akan tetapi mendistorsikan sejarah
tersebut kepada pengikut-pengikutnya yang belum sempat memperdalam pengetahuan
tentang Islam.[11]
Konklusi bahwa
“tak mungkin pula memberi predikat keagamaan pada negara tersebut” adalah bukti
yang nyata bahwa tujuan Drs. Nurcholish dengan gerakan pembaharuannya adalah sekularisasi
dan sekularisme disulap menjadi pembahasan tambahan, tetapi akhirnya nampak
juga tujuan semula itu.[12]
Setelah
membandingkan dua pandangan yang berbeda secara prinsipil antara Nurcholish
Madjid dan H. M. Rasjidi, maka dapat disimpulkan pendapat Nurcholish itu
berbeda dengan pendekatan Islam menurut al-Qur’an dan Sunnah Rasul tentang
konsep negara dalam Islam. Mungkin sekali kekagumannya pada kemajuan Barat yang
menganut paham sekuler telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan seperti itu
tanpa memperhitungkan reaksi keras dari kalangan Islam sendiri. Apapun motif
yang ia jadikan alasan, secara obyektif perlu dikritik bahwa pandangan
Nurcholish tentang hubungan agama dan negara dari sudut Islam sangat keliru.[13]
Pendekatan
Nurcholish tentang negara dari sudut Islam yang mengikuti jalan pikiran
sekularisme telah menjebaknya bukan hanya ke dalam pemikiran yang rancu,
sebagaimana ia dikritik oleh Rasjidi, juga secara sadar atau tidak, ke alam
pikiran yang cenderung berbeda dengan Pancasila, sebagai dasar negara Republik
Indonesia dan pandangan hidup Bangsa Indonesia, karena sila ketuhanan Yang Maha
Esa “menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain”, sebagaimana yang
ditafsirkan oleh Bung Hatta. Penafisran Bung Hatta ini, apabila ditilik dari
sudut Islam, maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa tiada lain identik dengan
prinsip tauhid yang berhubungan secara organik dengan prinsip-prinsip keadilan,
persamaan, kebebasan, persaudaraan dan musyawarah.[14]
Karena itu,
Nurcholish dengan gagasan pembaharuannya yang mengarah kepada sekularisasi
terhadap Islam, kecuali telah mengecewakan pemimpin dan umat Islam di
Indonesia, ia juga tidak berhasil memahami bagaimana sesungguhnya hubungan
antara agama Islam dengan kehidupan kenegaraan dan masyarakat.[15]
Pandangan yang
hampir mirip dengan Nurcholish ialah pemikiran yang pernah dikedepankan oleh H.
Moh. Sjafa’at Mintaredja dalam bukunya Islam dan Politic: Islam dan Negara
Indonesia. Mintaredja mempertegas pandanganannya itu dengan menggunakan
kalimat dalam bahasa Inggris: there is somewhat (rather)
disestablishment/separation/parting between religion and state in the Islam,
artinya: ada sesuatu yang terpisah antara agama dan negara di dalam Islam.
Dengan demikian, menurut Minteredja, dalam batas tertentu ada juga pemisahan antara
negara dan agama. Argumen yang ia gunakan untuk memperkuat pendapatnya itu
ialah sebuah hadits Rasulullah yang ia pahami bahwa “kamu lebih mengetahui
urusan duniamu/keduniaanmu”,[16]
tanpa menjelaskan latar belakang lahirnya hadist itu.
Dengan konklusi
bahwa dalam batas tertentu, dalam Islam ada juga pemisahan antara agama dan
negara, Minteradja telah pula terjebak ke alam pikiran yang yang rancu, karena
menurutnya, Islam dapat diartikan baik sebagai agama dalam arti yang sempit,
maupun sebagai agama dalam arti yang sangat luas.[17]
Dengan demikian, konklusi Minteradja, sesungguhnya kontradiktif dengan jalan
pikirannya sendiri. Kalau Islam dalam arti yang luas ia tafsirkan sebagai way
of life now in the earth and in the heaven after death,[18]
konsekuensi logis dari penafsiran itu seharusnya ialah Islam merupakan suatu
totalitas yang komprehensif dan karena itu tidak mengenal pemisahan antara
kehidupan agama dan negara.[19]
Masih ada satu
hal lagi yang perlu ditinjau dalam hubungan dengan pandangan Minteradja itu, yaitu
tentang hadits Rasulullah yang ia gunakan sebagai argumennya. Ternyata
Minteradja sama sekali tidak menyebutkan dalam konteks apa hadits tersebut
pernah diucapkan oleh Nabi. Sesungguhnya hadits itu adalah dalam konteks
pertanian, ketika Nabi menegur seseorang yang melakukan penyilangan pohon
kurma. Jadi, hadits yang dikutip Mintaredja itu sama sekali tidak ada
relevansinya dengan masalah kenegaraan.
Pendekatan
Nurcholish dan Mintaredja seperti telah dijelaskan di atas pernah digunakan
oleh seorang sarjana Mesir, Ali Abdu Razik, yang menulis buku dengan judul al-Islam
wa usul al-Hukm. Abdu Razik juga sampai pada konklusi yang sama bahwa dalam
Islam terdapat pemisahan antara agama dan negara. Namun, pandangan mereka itu
tidak memperoleh sambutan di kalangan umat Islam. Cara berpikir mereka dinilai
sekuler dan sebagaimana ditegaskan H. M. Rasjidi: “Segala persoalan
sekularisasi adalah dalam konteks kebudayaan Barat atau Christendom (alam
Kristen)”. Dengan demikian sekularisasi dan paham sekularisme tidak dikenal
dalam Islam.[20]
Tidaklah dapat
disangkal bahwa berdasarkan fakta otentik, baik yang tercantum dalam al-Qur’an
maupun melalui Sunnah Rasul, kehidupan agama (dalam hal ini Islam) dengan
kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang
sangat erat. Salah satu doktrin al-Qur’an yang memperkuat pendirian ini ialah hablun
min Allah wa hablun min al-nas (QS. Ali Imran 3:112), artinya “hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia” yang merupakan satu
kesatuan. Dalam konteks inilah sesungguhnya masalah hubungan agama (Islam) dan
negara harus ditempatkan.
Dalam Islam
agama dan negara mempunyai pertalian yang erat, didukung pula oleh fakta
sejarah selama masa Rasulullah dan Khulafa Rasyidin selama periode Negara Madinah
merupakan bukti-bukti yang kuat, bahwa agama Islam sejak lahirnya selalu
berkaitan dengan aspek-aspek kenegaraan dan kemasyarakatan. Keadaan ini diakui
oleh banyak sarjana muslim, antara lain sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, dan bahkan juga sarjana Barat yang non muslim seperti Bernard Lewis dan
Montgomery.[21]
F.
Hubungan
Agama dan Negara menurut Islam
Dalam Islam,
hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini
di antara para ahli. Bahkan, menurut Azyumardi Azra, perdebatan itu telah
berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini.[22]
Menurut
Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami
oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan negara. Dalam
bahasa lain, hubungan antara agama dan politik di kalangan umat Islam,
terlebih-lebih di kalangan Sunni yang banyak diatur oleh masyarakat Indonesia,
pada dasarnya bersifat ambigous atau ambivalen. Hal demikian itu, karena ulama
Sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan
antara agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran
konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebab seperti yang dilihat
terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik.
Sumber dari
hubungan yang canggung di atas, kitab, berkaitan dengan kenyataan bahwa din
dalam pengertian terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan bidang-bidang
ilahiah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan pada umumnya
merupakan bidang prafon atau keduniaan.
Selain hal-hal
yang disebutkan di atas, kitab suci al-Qur’an dan hadis tampaknya juga
merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci
sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama.
Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau
agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.[23]
Banyak para
ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan
dimana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan
dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang
ini, maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan
politik. Akhirnya ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep
hubungan agama dan negara. Antara lain :
1.
Paradigma
integralistik.
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua
lembaga yang menyatu. Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu
lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam
tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Paradigma
integralistik ini dianut oleh kelompok Islam Syi’ah.
2.
Paradigma
Simbiotik.
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami
saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya,
negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan
moral, etika, dan spiritualitas.
3.
Paradigma
sekularistik.
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara
agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu
sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya
harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Mengenai
hubungan Islam dan negara di Indonesia secara umum dapat digolongkan ke dalam
dua bagian yakni :
a.
Hubungan
yang bersifat antagonistik. Hubungan antagonistik merupakan sifat hubungan yang
mencirikan adanya ketegangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama.
b.
Hubungan
yang bersifat akomodatif. Hubungan akomodatif lebih dipahami sebagai sifat
hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi, bahkan ada
kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama adalah
bersumber pada wahyu Tuhan yang sifatnya mutlak, sedangkan Negara adalah
merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu, sifat
dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara. Sehingga negara
sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan dengan
manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam memahami
hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep hubungan agama dan negara
menurut beberapa aliran/ paham, antara lain :
1.
Paham
teokrasi.
Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai
dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
2.
Paham
sekuler.
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara.
Dalam paham ini, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama.
3.
Paham
komunis.
Menurut paham komunis, agama dianggap sebagai suatu kesadaran diri
bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah dunia
manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. agama
merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu agama harus ditekan,
bahkan dilarang.
Banyak para
ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan,
dimana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan
dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang
ini, maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan
politik. Akhirnya ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep
hubungan agama dan negara. Antara lain :
a.
Paradigma
integralistik.
konsep hubungan
agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini memberikan pengertian
bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
b.
Paradigma
Simbiotik.
Hubungan agama
dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama
membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan
agama. Begitu juga sebaliknya.
c.
Paradigma
sekularistik.
Ada pemisahan
(disparitas) antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk
yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan
intervensi (campur tangan).
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. Hubungan Agama
dan Negara dalam Konteks Modernisasi Politik di Era Reformasi, Jurnal Ahkam,
2 (July 2013).
Azhary, Muhammad Tahir. Negara
Hukum. Jakarta: Kencana, 2004.
Azra, Azyumardi. Pergolakan
Politik Islam : Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme. Jakarta
: Paramadina, 1996.
IAIN Syarif Hidayatullah,
Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani. Jakarta,
2000.
Maarif, Ahmad Syafii Islam dan
Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta:
LP3ES, 1985.
Mintaredja, H. M. S. Sebuah
Renungan Pembaharuan dan Pemikiran Islam dan Politik Islam dan Negara di
Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Rasjidi, H. M. Koreksi Terhadap
Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi. Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Sinaga, Rudi Salam. Pengantar
Ilmu Politik.
[1]Rudi Salam Sinaga,
Pengantar Ilmu Politik, hlm. 11
[2]Rudi Salam
Sinaga, Pengantar Ilmu Politik, hlm. 11-12.
[3]Rudi Salam Sinaga,
Pengantar Ilmu Politik, hlm. 12-13
[6]Masykuri Abdillah,
Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks Modernisasi Politik di Era Reformasi,
Jurnal Ahkam, 2 (July 2013), hlm. 248.
[7]Muhammad Tahir Azhary, Negara
Hukum, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 49-50.
[8]H. M. Rasjidi, Koreksi
Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972), hlm. 55 dan 109.
[10]Muhammad Tahir
Azhary, Negara Hukum, hlm. 51-52
[11]Muhammad Tahir
Azhary, Negara Hukum, hlm. 52
[12]H. M. Rasjidi, Koreksi
Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi, hlm. 82-83.
[13]Muhammad Tahir Azhary, Negara
Hukum, hlm. 53.
[14]Ahmad Syafii Maarif, Islam
dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
(Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 152.
[16]H. M. S. Mintaredja, Sebuah
Renungan Pembaharuan dan Pemikiran Islam dan Politik Islam dan Negara di
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 89-91.
[17]H. M. S. Mintaredja, Sebuah
Renungan Pembaharuan dan Pemikiran Islam dan Politik Islam dan Negara di
Indonesia, hlm. 91.
[18]H. M. S. Mintaredja, Sebuah
Renungan Pembaharuan dan Pemikiran Islam dan Politik Islam dan Negara di
Indonesia, hlm. 90.
[19]Muhammad Tahir Azhary, Negara
Hukum, hlm. 57.
[20]Muhammad Tahir Azhary, Negara
Hukum, hlm. 57-58.
[21]Muhammad Tahir Azhary, Negara
Hukum, hlm. 58-59.
[22]Azyumardi Azra, Pergolakan
Politik Islam : Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme,
(Jakarta : Paramadina, 1996), hlm 1.
[23]IAIN Syarif Hidayatullah,
Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, (Jakarta,
2000), hlm. 127-129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar