Sabtu, 13 Mei 2017

Pendekatan Studi Islam (Fenemenologi)

PHENOMENOLOGIS

  
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari periaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing, atau metode, teknik, dan peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, sehingga dimungkinkan ditemukannya segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu, juga “makna terdalam dan substansi sejati” ysng tersembunyi dibalik gejala tersebut. Hal ini sudah tentu berlaku juga untuk fenomena keberagaman (religious phenomenon) manusia.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenolgi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenolgi. Secara harfiah, fenomenologi fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suku melihat gejala tertentu dengan ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Salah seorang tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu, kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap objek memliki hakikat, dan itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistimology, antropologi dan studi-studi keagamaan  (kajian atas Kitab Suci).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Fenomenologi?
2.      Pengertian Fenomenologi Agama?
3.      Fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam?
4.      Kelebihan dan kekurangan Fenomenologi Agama?
5.      Problematika pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam?
6.      Kontribusi pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian Fenomenologi.
2.      Mengetahui Pengertian Fenomenologi Agama.
3.      Mengetahui Fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam.
4.      Mengetahui Kelebihan dan kekurangan Fenomenologi Agama.
5.      Mengetahui Problematika pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam.
6.      Mengetahui Kontribusi pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam.


7.       
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fenomenologi
Istilah Fenomenologi berasal dari bahsa Yunani phainomen dari phainestai/phainomai/phainein yang berarti menampakkan atau memperlihatkan.[1] Dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata iru terbentuk kinerja tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia sering dipakai dalam istilah gejala yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu,kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indra. Atau secara harfiah fenomena dapat di artikan sebagai suatu gejala atau sesuatu yang menampakkan. Menurut Hadiwijono, kata fenomena berarti penampakan seperti pilek, demam, dan meriang yang menunjukan fenomena gejala penyakit.[2]
Fenomenologi juga di artikan Ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari 2 sudut. Pertama, fenomena “selalu menunjuk keluar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena di pandang dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” atau ratio, sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki Ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman berbeda.
Fenomenologi merupakan salah satu pendekatan yang unik di antara banyak pendekatan dalam studi Islam. Namun sebenarnya ditinjau dari sisi sejarah, fenomenologi sebenarnya telah lama digunakan. Dalam catatan Muhadjir, istilah fenomenologi telah digunakan sejak Lambert yang sezaman dengan Immanuel Kant, juga Hegel, sampai Pierce. Penggunaan istilah fenomenologi dalam setiap masa ini memiliki arti yang berbeda-beda. Kant misalnya, membedakan antara phenomenon dan noumenon. Phenomenon adalah obyek yang kita alami, dan kejadian sebagaimana hal itu terjadi. Sedangkan Hegel memandang phenomenon sebagai tahapan untuk sampai ke neumenon. Pada medio abad XIX, arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta. Pierce berpendapat bahwa phenomenon itu bukan sekedar memberikan deskripsi obyek, melainkan telah masuk unsur ilusi, imajinasi, dan impian.[3] Beberapa pandangan tentang Fenomenologi, diantaranya:
1.      G.W.F. Hegel
Dalam bukunya The Phenomenologi of the Spiru yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa fenonmenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu pengetahuan menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya saat itu.
Proses tersebut mngantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenologi melalui sians dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut”. Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui peyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi (erschinugnen).
Hegel menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu berbeda.[4]
2.      Edmund Husserl
Edmund Husserl, seorang filusuf Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan landasan folisofis pendekatan intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa bukunya Logische Unterschungen, Ideen zu einer reinen Phanamenologi, Formale und transzedentale logic, dan Erfahrung und Urteil,  Husserl mengatakan rumusan tersebut berangkat dari mainstream pemikiran pada saat itu bahwa science alone is the ultimate court of appeal (sains adalah satu-satunya pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan mengesampingkan pengetahuan-pengetahuan yang lain. Husserl membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa pengalaman hidup Life experiences dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat bantu mengeksplorasi realitas.[5]
3.      Alfred Schutz
Tokoh lain yang ikut berperan mengembangkan fenomenologi sebagai metodelogi dalam sebuah penelitian adalah Alfred Schutz. Ia menjadikan fenomenologi sebagai landasan bagi sosiologi interpretative. Dalam kajiannya, dia melihat perilaku sosial sebagai perilaku yang berorientasi pada masa lampau, sekarang atau masa depan seseorang atau orang lain. Ia kemudian memunculkan istilah ‘the stream consiousness’ (arus kesadaran) bahwa lapisan terdalam dapat dijangkau dengan mereflesikan menemukan sumber tertinggi fenomena makna (sinn) dan pemahaman (verstehen).
Sejak zaman Edmund Husserl (1859-1938), arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir. Phenomenon bukan sekedar pengalaman langsung, melainkan pengalaman yang telah mengimplisitkan penafsiran dan klasifikasi. Mulai tahun 1970-an, fenomenologi mulai banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu sebagai pendekatan metodologik.[6]
Menurut Husserl, fenomenologi merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk pada objek-objek diluar darinya. Dari sana kemudian ia memunculkan istilah “reduksi fenomenologi”. Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan kepada obyek-obyek yang non eksis dan riil. Reduksi fenomenologis tidak menganggap bahwa suatu itu ada. Melainkan terdapat pengurangan sebuah kebenaran, yaitu dengan mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dan obyek yang dipikirkan.
Berangkat dari asumsi tersebut Husserl kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian menjadi landasan utama dalam kajian fenomenologi. Dua konsep tersebut adalah epoche dan eidetic vision. Epoche vision, kata epoche berasal dari bahasa Yunani berarti menunda semua penilaian atau pengurangan (bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Karena pada dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil penilaian. Eidetic vision berarti “yang melihat” atau pengandaian terhadap epoche yang merujuk pada pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu fenomena yang memungkinkan untuk mengenali fenomena tersebut.[7]
Melihat periode perkembangan pemikirannya, fenomenologi Husserl dapat dibagi menjadi empat periode. Pertama, ia berangkat dari matematika, dan ini disebut periode pra-fenomenologi. Kedua, awal fenomenologi sebagai korelasi subjektif atas logika murni sebagai tahapan usaha epistemologis yang terbatas. Ketiga, fenomenologi dianggap sebagai “the first philosophy”. Keempat, fenomenologi sebagai “pengatasan” idealisme.[8]
Selain Husserl, tokoh lain yang kuat mempengaruhi pendekatan fenomenologi adalah Alfred Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari Marx Weber yang memberi tekanan pada verstehen, yaitu pengertian, interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang atau objek yang sedang diteliti. Fenomenologi menekankan pada aspek subjektif. Artinya, mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual dari objek yang ditelitinya, sehingga peneliti mengerti tentang apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkannya di sekitar peristiwa atau objek penelitian dalam kehidupan sehari-hari. Para fenomenolog percaya bahwa pada objek penelitian natural dan kepustakaan memiliki sifat ganda. Artinya memiliki berbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman dan makna melalui interaksi dan orang lain. Dan pengalaman manusialah yang membentuk kenyataan.[9]

B.     Pengertian Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan dan pendekatan modern terhadap agama. Terkadang para ilmuan agama mengidentifikasi fenomenolgi agama dalam wilayah umum Religionswissenchaft (sains agama). Dalam hal ini, ada empat pengertian yang diberikan untuk mendefinisikan “fenomenologi agama”, seperti yang dikemukakan oleh Douglas Allen.
1.      Fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati.
2.      Fenomenologi diartikan sebagai sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda.
3.      Fenomenologi agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama.
4.      Fenomenologi agamanya dipengaruhi oleh fenomenologi filsafat.[10]
Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya masih bersifat umum, karena tidak memasukkan unsur-unsur khas pendekatan fenomenologi dalam kajian itu. Definisi yang tepat untuk menggambarkan fenomenologi agama adalah sebagai sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur epoche (penundaan penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetis (melihat ke dalam makna agama) dengan kajian terhadap beragam ekspresi simbolik yang di respons oleh orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat mereka.
Jika mengacu dari pengertian di atas, ada dua unsur pokok yang melekat dalam pendekatan fenomenologi, yaitu epoche, yang berarti “pengurungan semua anggapan dan penilaian sebelumnya”, dan eidetic intution yang mengandung arti “melihat ke dalam jantung makna agama”. Dengan kedua cara ini, fenomena agama dan pengalaman keberagamannya dapat diketahui struktur-struktur mendasarnya.
Menurut Neong Muhajir, secara ontology pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat kebenaran (sensual, logic, etik, transendental).[11] Hanya saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansinya.[12] Selain itu menurutnya, jika positivisme menekankan obyektivitas mengikuti metode-metode ilmu alam (natural science) dan bebas nilai (value free), maka fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai (value bound) seperti manusia dan keadilan.[13] Beberapa tokoh yang memiliki peranan besar mengembangkan pendekatan ini diantaranya:



a.       Piere Daniel Chantepie de la Sausseye
Saussaye menggunakan fenomenologi agama sebagai sebuah kajian kompratif dimana cara kajiannya adalah dengan mengklasifikasikan, menyusun tipe-tipe fenomena agama yang berbeda secara sistematis. Saussaye membagi agama dalam dua wilayah penelitian yaitu esensi dan manifestasi sebagaimana pemikiran Hegel. Dalam hal ini ia menggunakan sejarah agama untuk kemudian dianalisisa berdasarkan konsep-konsep filsafat. Namun Saussaye dikritik karena lebih menggunakan analisa historis dan hanya menitik beratkan pada ritual-ritual keagamaan serta tidak menggunakan pendekatan filosofis.[14]
b.      William Brede Kristenen
Dalam pandangan kristenen, fenomenologi agama merupakan cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama. Jika fenomenologi Saussaye lebih dipengaruhi oleh sejarah, Kristenen berpendapat bahwa sejarah agama dan filsafat saling berhubungan dan mempengaruhi sebagai pelengkap kajian fenomenologi. Sebagaimana Saussaye, Kristenen berpendapat bahwa tujuan utama fenomenologi agama adalah mencari ‘makna’ fenomena keagamaan. Hanya saja Kristenen menambahkan bahwa pencarian makna fenomena keagamaan tersebut adalah dalam konteks keimanan masing-masing orang. Kristenen juga berpendapat bahwa tidak cukup lama dengan mengelompokkan atau mengklasifikasikan fenomena sebagaimana dipahami oleh masing-masing tradisi keagamaan, akan tetapi juga dituangkan dalam sebuah pemahaman.[15]
c.       Gerardus Van der Leeuw
Dalam kritiknya terhadap Kristenen, Van der Leeuw melihat pemahaman sebagai aspek subjektif dalam fenomenologi yang secara inheren (menyatu) terjalin dari obyektifitas sebuah manifestasi. Van der Leeuw mengkorelasikan pengalaman subjektif, ekspresi dan pemahaman dengan tiga level objektif penampakan yaitu relatifitas penyembunyian, relatifitas transparansi dan secara berangsur-angsur (gradual) menuju manifestasi. Fenomenologi agama Van der Leew disadari tiga bagian fundamental yaitu: Tuhan - manusia – hubungan antara Tuhan dan manusia. Dalam hal ini hubungan antara Tuhan dan manusia merupakan isu sentral yang mendasari pemikiran Van der Leew.[16]
Menurut Van der Leeuw, fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga hal prinsip yang tercakup di dalamnya adalah:
1)      Sesuatu itu berwujud
2)      Sesuatu itu tampak
3)      Karena sesuatu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena.
Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat, tanpa melakukan modifikasi.[17] Membiarkan fenomena itu berbicara sendiri, sehingga menurut fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan ‘prinsip’ ilmu pengetahuan, sebagaimana yang dinyatakan J.B. Connant, bahwa: The scientific way of thingking requires the habit of facing reality quite unprejudiced by any earlier conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles.[18] (cara berfikir ilmiah menuntut kebiasaan menghadapi klenyataan dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Pengamatan yang cermat dan ketergantungan pada eksperimen adalah asas penuntun).
Dari pembicaraan beberapa tokoh yang telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam tiga arus besar yaitu:
a)      Fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investasi terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama nyang bisa diamati.
b)      Fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbdeda.
c)      Fenomenologi agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama.
Di sini pelu dipahami bahwa keterarahan subjek kepada objek hanya akan menghasilkan pengetahuan apabila subjek yaitu manusia memiliki kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain pengetahuan itu hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri memilki kesamaan dengan objek yang sebagai realitas di alam semesta.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya melalui dan berkat unsure jasmaninya manusia dapat mengetahui objek yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak mampu mengetahui dunia dan segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan manusia dianggap bersifat temporal, kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani, melainkan juga memiliki jiwa atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini berarti manusia berkat akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan yang kongkret yang ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek apa saja pada tempat dan waktu manapun.
C.    Fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam
Adapun fenomenologi agama dikembangkan oleh Max Scheller, Rudolf Otto, Jean Hearing, dan Gerardus van der Leeuw. Tujuannya adalah untuk memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi.
Orientasi fenomenologi adalah bahwa pengertian yang benar adalah pengertian yang asli dan bersih, yang ditempuh dengan jalan reduksi. Melalui reduksi dapat disingkirkan segala unsur tradisi dari pengertian. Yang ingin diselidiki ialah fenomin, yaitu data sederhana tanpa tambahan yang dapat diserap secara rohaniah melalui intuisi (keber-langsungan). Fenomin demikian adalah sejauh disadari dalam pemahaman.[19] Dengan model kinerja yang seperti ini, maka fenomenologi berlawanan dengan metode sains obyektif, logika formal dan metode dialektik yang mengatasi rintangan. Titik pijak fenomenologi dimulai dengan “orang mengetahui dan mengalami secara apa adanya”.
Fenomenologi ini dapat diaplikasikan dalam studi agama. Sifat pokok dari fenomenologi adalah membiarkan realitas atau fakta berbicara dalam suasana intention. Intensional memiliki dua arti: semantik dan ontologik. Arti semantik intensional adalah sesuatu bahasan dan juga logikanya. Sesuatu dikatakan ekstensional bila dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Dikatakan intensional bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Bahasa atau logika intesional menampilkan bahasa modalitas atau probabilitas, dengan penjelasan. Adapun arti secara ontologik adalah sesuatu dikatakan ekstensional bila kesamaan identitas antara dua sesuatu dapat dinyatakan sebagai dua yang equivalen, dua yang identik. Sedangkan sesuatu dikatakan intensional, bila kesamaan identitas tidak menjamin untuk dikatakan equivalen atau identik.[20]
Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama-agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok. Dalam fenomenologi, mempertimbangkan fenomena agama bukan hanya dalam konteks historis, melainkan juga hubungan struktural.
Pada intinya, ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yaitu: pertama, pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga, meneliti tingkah laku keagamaan.[21] Sedangkan bidang garap fenomenologi adalah: pertama, menerangkan apa yang sudah diketahui yang terdapat dalam sejarah agama, tetapi dengan caranya sendiri. Fenomenologi agama tidak membedakan dirinya dengan macam-macam agama. Kedua, fenomenologi berusaha menyusun bagian pokok agama atau sifat alamiah agama. Ketiga, fenomenologi tidak mempersoalkan apakah gejala keagamaan itu benar, apakah bernilai, dan bagaimana dapat menjadi demikian, atau menentukan lebih besar atau kecilnya nilai keagamaan mereka. Sekalipun ia berusaha untuk menentukan nilai keagamaannya, ini adalah nilai yang dimiliki oleh pemeluk-pemeluk agama itu sendiri, dan nilai semacam itu tidak pernah bersifat relatif, tetapi selalu absolut. Oleh karena itu, titik berat yang dibicarakannya adalah bagaimana kelihatannya, dan dengan cara apa (bagaimana) ia menampakkan diri kepada kita.[22]
Dengan melihat pada bidang garap sebagaimana diuraikan di atas, maka secara khusus dapat kita cermati bahwasanya yang menjadi fenomenologi adalah:
1.      Menemukan intisari.
2.      Menemukan struktur.
3.      Mencari inner meaning.
4.      Membuat klasifikasi, tipologi, dan penyisteman fenomena.
5.      Mencari motif dasar.
6.      Mencari alur perkembangan gejala dari waktu ke waktu.[23]
Tujuan fenomenologi agama adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia. Fokus utama fenomenologi adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti.
Pendekatan fenomenologi melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris, dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.[24]
D.    Kelebihan dan Kekurangan Fenomenologi Agama
Fenomena agama Islam merupakan sebuah gerakan pengembangan dalam pemikiran dan penelitian dimana peneliti mencoba memahami manusia dan mengklasifikasikan fenomena secara spesifik termasuk fenomena keagamaan. Beberapa poin yang dianggap sebagai sisi positif dari fenomenologi agama diantaranya:
1.      Fenomenologi agama berorientasi pada factual deskriptif, dimana tidak concern pada penelitian evaluative akan tetapi mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena keagamaan seperti ritual, symbol, ibadah (individual atau seremonial), teologi (lisan atau tulisan), personal yang dianggap suci dan sebagainya.
2.      Tidak berusaha menjelaskan fenomena yang dideskripsikan, terlebih membukukan hukum-hukum universal untuk memprediksikan persoalan-persoalan keagamaan dimasa depan, akan tetapi untuk mencari pemahaman yang memadai terhadap setiap persoalan keagamaan.
3.      Perbandingan dalam pengertian terbatas dimana mengkomparasikan berbagai tradisi keagamaan, namun fenomenologi tidak berusaha menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi keagamaan tertentu.
4.      Menghindari reduksionisme, dalam arti memahami fenomena keagamaan dalam term sosiologi, psikologi, antropologi dan ekonomi saja tanpa memperhatikan kompleksitas pengalaman manusia, memaksakan nilai-nilai sosial pada isu-isu trabscendental dan mengabaikan intensionalitas unik para pelaku tradisi keagamaan.
5.      Menunda pertanyaan tentang kebenaran, dalam hal ini untuk mengembangkan wawasan terhadap esensi terdalam suatu pengalaman keagamaan. Fenomenologi berupaya terlihat atau berpartisipasi langsung untuk memperoleh empati pemahaman yang asli.
6.      Terakhir mengembangkan struktur esensial dan makna sebuah pengalaman keagamaan.
Menurut Taufik Abdullah, setidaknya penelitian agama pada umumnya bermuara pada tiga poin utama, yaitu:
1.      Menempatkan agama sebagai doktrin yang berangkat dari keinginan mengetahui esensi ajaran dan kebenaran agama. Sebagaimana dilakukan para mujtahid dan pemikir agama. Dalam hal ini kajian didalamnya dalah ilmu-ilmu keagamaan atau juga perbandingan agama (religion wissenschaft)
2.      Memahami struktur dan dinamika masyarakat agama, dimana merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama dan memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang juga sama. Sehingga, meskipun berasal dari suatu ikatan spritual, para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dari komunitas kognitif lainnya (sosiologi, antropologi, sejarah dst)
3.      Mengungkapkan sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya (psikologi agama). Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran, kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah, kategori ketiga adalah usaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap symbol dan ajaran agama.[25]
Penelitian agama tidak cukup hanya bertumpu pada konsep agama (normatif) atau hanya menggunakan model ilmu-ilmu sosial, melainkan keduanya saling menopang. Peneliti yang sama sekali tidak memahami agama yang diteliti, akan mengalami kesulitan karena realitas harus dipahami berdasarkan konsep agama yang harus dipahami.[26]
Berangkat dari permasalahan tersebut, pendekatan-pendekatan metodologis dalam studi atau kajian tentang agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari para intelektual agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan disiplin-disiplin kelimuan tentang sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi termasuk juga fenomenologi. Pendekatan yang diupayakan untuk sekilas dibahas dalam tulisan ini adalah pendekatan fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah kajian yang dilakukan untuk memahami esensi dan atau melalui manifestasi fenomena keagamaan dari agama tertentu.
Terlepas dari beberapa kelebihan pendekatan fenomenologi, terdapat beberapa kesulitan untuk memahami esensi dari suatu pengalaman keagamaan dan manifestasi. Dalam hal ini beberapa kritik terhadap fenomenologi agama diantaranya:
1.      Peranan deskriptif, fenomenologi agama mengklaim pendekatannya deskriptif murni yang resistensi terhadap campur tangan peneliti, namun tidak mustahil seorang fenomenologi memiliki kepentingan maksud-maksud tertentu dan dalam mengontrol data dan metode yang digunakan. Dalam hal ini kurang tepat jika fenomenologi diklaim sebagai pendekatan deskriptif murni.
2.      Melihat peristiwa keagamaan tanpa melihat akar historisnya. Fenomenologi agama dinilai cenderung memperlakukan fenomena keagamaan dalam isolasi sejarah seolah-olah sejarah tidak diperlukan dalam menentukan relevansi fakta-fakta fenomena bagi praktisi agama. Dalam prakteknya seringkali fenomenologi agama tidak mampu mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena keagamaan yang dikaji.
3.      Peranan intuisi, kesulitan peneliti dalam hal ini adalah menentukan sisi yang besar dan dapat diterima. Term obyektif dan intuisi adalah sesuatu yang kontradiktif, terlebih ketika menggunakan data-data yang bersifat intuitif untuk de verivikasi dalam wilayah obyektif
4.      Persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi agama karena tuntutan berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual keagamaan.[27]

E.     Problematika Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam
Kesulitan pertama yang dihadapi dalam upaya membangun suatu pendekatan metodologis alternatif yang berakar pada ontologi Islami terletak pada penyingkiran wahyu Tuhan dari wilayah ilmu. Benar bahwa penyingkiran ini memiliki asal-usul dalam batasan tradisi ilmiah Barat sebagai akibat dari konflik internal antara ke agamaan Barat dengan komunitas ilmiah. Juga benar bahwa dalam tradisi Islam, wahyu dan ilmu tidak pernah dipahami sebagai dua hal yang eksklusif. Namun seorang sarjana muslim hampir tidak pernah dapat mengabaikan fakta bahwa wahyu ketuhanan berada di luar aktivitas ilmiah modern.[28]
Serangan gencar terhadap wahyu, yang membawa penyingkiran-nya dari upaya ilmiah Barat, terjadi melalui dua fase. Wahyu disamakan dengan metafisika yang tidak memiliki landasan dan menetapkannya sebagai suatu rival pengetahuan, dipertentangkan dengan pengetahuan yang dianggap benar oleh akal.[29]
Penyingkiran Barat modern terhadap wahyu dari wilayah ilmu tidak didasarkan pada penolakan atas kenyataan bahwa wahyu Tuhan membuat pernyataan yang tidak jelas tentang watak realitas. Penyingkiran itu lebih didasarkan pada pernyataan bahwa hanya realitas empiris yang dapat dipahami. Karena realitas non-empiris (metafisis) tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman, maka ia tidak dapat dimasukkan ke dalam wilayah ilmu.[30] Maka ditegaskan menurut Kant bahwa aktivitas ilmiah mesti dibatasi pada realitas empiris, karena akal manusia tidak dapat menentukan realitas absolut.
Argumen di atas adalah argumen yang sederhana dan keliru, karena ia mengabaikan dan mengaburkan sifat dari bukti wahyu dan bukti empiris . Pertama, pengetahuan tentang realitas empiris tidak didasarkan pada pengetahuan yang dipahami secara langsung dan empiris dari lingkungan, tetapi pada teori-teori yang mendeskripsikan struktur dasar realita. Struktur itu tidak segera dapat dipahami oleh indera. Di samping itu, struktur eksistens empiris diinferensiasikan melalui penggunaan kategori-kategori yang diabstraksikan dari hal yan terindera, dan dimediasikan melalui kategori-kategori dan pernyataan-pernyataan rasional murni. Dengan menggunakan terminologi Lock, kita dapat mengatakan bahwa teori-teori yang kita gunakan untuk mendeskripsikan realitas empiris terdiri dari proposisi-proposisi kompleks yang diperoleh dengan mengkombinasikan sejumlah proposisi-proposisi sederhana. Oleh karena itu pemahaman kita tentang hubungan antara bumi dan matahari dimediasikan oleh konstruk mental, dan oleh karenanya sama sekali berbeda dari kesan singkat yang dipahami oleh indera.[31]
Argumen di atas gagal melihat bahwa wahyu (paling tidak dalam bentuk final dan islami) mencari justifikasinya di dalam realitas empiris. Dari sudut pandang wahyu Tuhan, realitas empiris adalah manifestasi realitas transendental, dan oleh karenanya memiliki suatu makna hanya dalam kaitannya dengan yang transendental. Bahkan Alqur’an penuh dengan ayat-ayat (atau tanda) yang menyatakan kesalinghubungan antara yang empiris dan transendental.[32]
Yang paling penting, wahyu menggarisbawahi pentingnya fakta bahwa yang empiris tidak memiliki makna ketika ia dipisahkan dari totalitasnya, seperti yang ingin diakui oleh ilmu Barat, melampaui batas-batas realitas empiris.[33]
Dengan demikian, wahyu harus didekati bukan sebagai sejumlah pernyataan yang dapat diakses secara langsung, tetapi sebagai fenomena terberi yang terdiri dari tanda-tanda, dimana untuk memahaminya dibutuhkan interpretasi dan sistematiasasi yang konstan dan terus menerus. Bahkan Alqur’an menjelaskan dengan gamblang bahwa ia terdiri dari tanda (ayat) dimana pemahaman terhadapnya bergantung kepada proses pemikiran, kontemplasi dan penalaran.[34]
“Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi mereka yang mau berpikir (13:3).”
“Sesungguhnya Kami jelaskan beberapa ayat kepada mereka yang mengetahui (6:97).”
Penelitian di atas menggaris bawahi fakta bahwa untuk memahami kebenaran wahyu, orang harus mendekatinya dengan cara yang sama dengan pendekatan terhadap fenomena-fenomena sosial atau bahkan fenomena alam. Alasannya, kebenaran seluruh fenomena itu tergantung pada kemampuan teori-teori yang dibangun oleh para sarjana dan ilmuan berdasarkan data yang berasal dari fenomena itu dalam menghasilkan penjelasan yang memuaskan terhadap realitas yang dialami.[35]
Penempatan wahyu sebagai fenomena, dan oleh karenanya sebagai sumber pengetahuan dapat dibenarkan dengan mengutip alasan lain. Kualitas bukti yang digunakan untuk memahami realitas (yakni untuk menunjukkan secara objektif) yang dideskripsikan oleh teori-teori empiris, tidak memiliki mutu yang lebih tinggi dari bukti yang digunakan memahami realitas yang dideskripsikan oleh wahyu. Dalam kedua kasus tersebut, eksistensi fenomena yang dipahami secara bersamaan dilahirkan di dalam kesadaran berbagai individu yang memiliki kesempatan untuk mengalami elemen-elemen dasar fenomena dari dekat. Berarti, sebagaimana fenomena sosial atau fisik dapat dipahami oleh orang-orang yang telah mengalami berbagai elemen-elemen yang menyusunnya, maka wahyu Tuhan juga dapat dipahami oleh orang yang memiliki pengalaman tentang kebenaran berbagai tanda yang menyusunnya. Dalam kedua kasus kebenaran tentang sesuatu yang diperoleh dengan serta merta, dipahami secara intuitif. Satu-satunya perbedaan bahwa realitas empiris yang dialami melalui indera dipahami melalui intuisi empiris, sementara realitas transendental yang dialami melalui wahyu dipahami melalui intuisi murni.[36]
Benar, bahwa ilmu Barat, dimulai dari Kant membatasi intuisi kesatuan elemen-elemen yang dipahami dari suatu fenomena kepada intuisi empiris, dengan menolak bahwa elemen transendental dapat dipahami. Tetapi Kant, seperti telah kita lihat sebelumnya, mampu mencapai reduksi ini dengan menciptakan kebingungan tentang proses intuisi murni. Meskipun sekilas Kant tampak secara benar memahami intuisi sebagai “seluruh representasi … dimana tidak ada sesuatu apapun yang tergolong sebagai sensasi”, namun dia menegaskan bahwa penggunaan intuisi murni mesti dibatasi pada realitas empiris. Tetapi jika intuisi murni dipahami sebagai suatu hasil abstraksi berturut-turut dari representasi yang beragam yang diperoleh melalui intuisi empiris, membawa pada suatu intuisi tunggal, dimana seluruh konsep disatukan. Penolakan Kant untuk mengakui realitas transendental yang dipahami dengan intuisi murni adalah sesuatu yang arbitrer dan dogmatik.[37]

F.     Kontribusi Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam
Sebagaimana dinyatakan oleh Kuntowijoyo bahwa kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.[38] Yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Perubahan yang didasarkan pada tiga hal, yaitu cita-cita kemanusiaan, liberalisasi dan transendensi.
Namun untuk mencapai perubahan tersebut, tidak bisa hanya mengandalkan fenomenologi saja, tetapi harus dibarengi dengan disiplin keilmuan lainnya. Misalnya antropologi. Melalui antropologi fenomenologis ini maka akan dapat dilihat hubungan antara agama dan negara.[39]

G.    Contoh pendekatan fenomenologi
Para wali dan sunan dalam membentuk corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan. Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan, berziarah, sekatenan, dan grebeg mulud.
1.      Tahlilan
Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum atau almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000 hari kematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya.
2.      Ziarah
Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung ke makam atau kuburan untuk mendoakan almarhum/almarhumah agar iman Islamnya diterima oleh Sang Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya. Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh kehendak-kehendak lain yang tak ada hubunganya dalam konteks keislaman.
Tradisi berziarah Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenekmoyang atau arwah tokoh-tokoh penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal. Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang yang masih hidup, seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagai nyadran atau nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah yang paling kental dalam tradisi Islam sekarang.
Alkisah, pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk melakukan acara srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun sudah masuk agama Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam, upacara seperti ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam bahasa Jawa sekarang adalah nyadran dilakukan pada bulan arwah (Ruwah) atau disebut pula Syaban untuk menjemput datangnya bulan Ramadhan serta pada hari raya Idul-Fitri dan Idul Adha (Lebaran Haji). Para penziarah mulanya membacakan doa-doa dan Surat Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan berwarna-warni dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas tanah makam yang dimaksud.
3.      Sekatenan dan Grebeg Maulid
Upacara sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad Saw. yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka berada di jalan guna berebutan berkah yang berupa nasi dan laukpauk berikut sayur mayurnya untuk dinikmati.



Kesimpulan
Pendekatan fenomenologi agama adalah pendekatan pada aspek pengalaman keagamaan, dan dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan. Jelas bahwa fenomenologi agama merupakan cabang ilmu agama yang mengkaji fenomena keagamaan secara sistematis bukan histiris sebagaimana sejarah agama.
Posisi fenomenologi dalam kajian agama dan studi Islam adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.
Pendekatan-pendekatan metodologis dalam studi atau kajian tentang agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari para intelektual agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan disiplin-disiplin kelimuan tentang sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi termasuk juga fenomenologi. Pendekatan yang diupayakan untuk sekilas dibahas dalam tulisan ini adalah pendekatan fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah kajian yang dilakukan untuk memahami esensi dan atau melalui manifestasi fenomena keagamaan dari agama tertentu.
Fungsi dari fenomenologi adalah sebagai pembelajaran dalam keagamaan. Dengan memahami tentang fenomenologi, seseorang di mungkinkan dapat memahami hakikat keberagaman secara mendalam. Di karenakan, fenomenologi itu mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi terhadap keagamaan khususnya agama Islam.
Fenomenologi ini dapat diaplikasikan dalam studi agama. Sifat pokok dari fenomenologi adalah membiarkan realitas atau fakta berbicara dalam suasana intention. Intensional memiliki dua arti: semantik dan ontologik. Arti semantik intensional adalah sesuatu bahasan dan juga logikanya. Sesuatu dikatakan ekstensional bila dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Dikatakan intensional bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Bahasa atau logika intesional menampilkan bahasa modalitas atau probabilitas, dengan penjelasan. Adapun arti secara ontologik adalah sesuatu dikatakan ekstensional bila kesamaan identitas antara dua sesuatu dapat dinyatakan sebagai dua yang equivalen, dua yang identik. Sedangkan sesuatu dikatakan intensional, bila kesamaan identitas tidak menjamin untuk dikatakan equivalen atau identik.
Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama-agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok. Dalam fenomenologi, mempertimbangkan fenomena agama bukan hanya dalam konteks historis, melainkan juga hubungan struktural.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Metodelogi Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Allen, Douglas. The Routledge Companion to the Study of Religion, London and New York: Routledge, 2005.
Connant, James B. Modern Science and Modern Man. Garden city: Doubleday Co., 1954.
Dagun,Save M. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Erricker, Clive. Pendekatan Fenomenologis, Conolly,Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Lkis, 2009.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
http://en.wikipidia.org/phenomenology of religion, di kutip 13 Desember 214
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni, Yogyakarta: Paradigma, 2005.
Kristense, W.B. Arti dan Makna Agama, terj. Farichin Ch, Bandung: Unisba, 1986.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989.
Muhajir, Neong Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin, 1989.
Mulkhan, Abdur Munir. Paradigma Intelektual Muslim, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: SIPRESS, 1994.
Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.
Nata, Abuddin. Metodologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Safi, Lousy. Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri. Jakarta: PT Tiara Wacana Yoga, 2001.
Siswanto, Joko. Sistem-Sistem Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.th.
Waardenburg, Jacques. Classical Approach to the study of religion. Paris, Mouton: the haque, 1973.





[1]Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, (Cet I, Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 37.
[2]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 140.
[3]Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Cet. I, Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 106.
[4]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis  dalam Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam khoiri, (Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm. 110.
[5]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis  dalam Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam khoiri, hlm. 111.
[6]Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 81
[7]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis, Peter Conolly, Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri, hlm. 111.
[8]Joko Siswanto, Sistem-Sistem Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 97.
[9]Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni, (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hlm. 29.
[10]Douglas Allen, The Routledge Companion to the Study of Religion, (London and New York: Routledge, 2005), hlm. 187.
[11]Neong Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta, Rake Sarasin, 1989), hlm. 19.
[12]Neong Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 183-185.
[13]Neong Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 185
[14]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis, Peter Conolly, Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri, hlm. 113.
[15]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis, Peter Conolly, Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri, hlm. 114.
[16]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis, Peter Conolly, Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri, hlm. 115.
[17]Jacques Waardenburg, Classical Approach to the study of religion (Paris, Mouton: the haque, 1973), hlm. 412.
[18]James B. Connant, Modern Science and Modern Man, (Garden city: Doubleday Co., 1954), hlm. 19.
[19]Abdur Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Cet. II, Yogyakarta: SIPRESS, 1994), hlm. 189.
[20]Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, hlm. 82.
[21] Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, hlm. 110.
[22]W.B. Kristense, Arti dan Makna Agama, terj. Farichin Ch, (Bandung: Unisba, 1986), hlm. 2.
[23]Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 104.
[24]http://en.wikipidia.org/phenomenology of religion, di kutip 13 Desember 214.
[25]Taufik Abdullah, Metodelogi Penelitian Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. x-xii
[26]Taufik Abdullah, Metodelogi Penelitian Agama, hlm. 56.
[28]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri, (Jakarta: PT Tiara Wacana Yoga, 2001), hlm. 203.
[29]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri, hlm. 204
[30]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri, hlm. 209.
[31]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri, hlm. 210.
[32]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri, hlm. 210.
[33]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri, hlm. 210.
[34]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri, hlm. 211.
[35]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri, hlm. 211.
[36]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri, hlm. 212-213.
[37]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri, hlm. 212-213. 
[38]Abuddin Nata, Metodologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 55.
[39]Abuddin Nata, Metodologi Islam, hlm. 37. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Poligami dalam Islam

POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH MURSALAH A.     Latar Belakang Poligami merupakan masalah yang sering...