PHENOMENOLOGIS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mengkaji fenomena keagamaan berarti
mempelajari periaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan
sosial dengan caranya masing-masing, atau metode, teknik, dan peralatannya,
dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, sehingga dimungkinkan
ditemukannya segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu, juga
“makna terdalam dan substansi sejati” ysng tersembunyi dibalik gejala tersebut.
Hal ini sudah tentu berlaku juga untuk fenomena keberagaman (religious
phenomenon) manusia.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam
bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu
fenomenolgi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik, yaitu
ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenolgi. Secara harfiah, fenomenologi
fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme
(gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suku
melihat gejala tertentu dengan ahli ilmu positif yang mengumpulkan data,
mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Salah seorang
tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya
mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu,
kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang
dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap objek memliki hakikat, dan itu
berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita
terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistimology, antropologi dan
studi-studi keagamaan (kajian atas Kitab
Suci).
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Fenomenologi?
2. Pengertian
Fenomenologi Agama?
3. Fenomenologi
dalam kajian Agama dan Studi Islam?
4. Kelebihan
dan kekurangan Fenomenologi Agama?
5. Problematika
pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam?
6. Kontribusi
pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
Pengertian Fenomenologi.
2. Mengetahui
Pengertian Fenomenologi Agama.
3. Mengetahui
Fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam.
4. Mengetahui
Kelebihan dan kekurangan Fenomenologi Agama.
5. Mengetahui
Problematika pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam.
6. Mengetahui
Kontribusi pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam.
7.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Fenomenologi
Istilah Fenomenologi berasal dari bahsa
Yunani phainomen dari phainestai/phainomai/phainein yang berarti menampakkan
atau memperlihatkan.[1]
Dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom dan fosfor yang artinya sinar atau
cahaya. Dari kata iru terbentuk kinerja tampak, terlihat karena bercahaya.
Dalam bahasa Indonesia sering dipakai dalam istilah gejala yaitu suatu hal yang
tidak nyata dan semu,kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan
kejadian yang dapat diamati lewat indra. Atau secara harfiah fenomena dapat di
artikan sebagai suatu gejala atau sesuatu yang menampakkan. Menurut Hadiwijono,
kata fenomena berarti penampakan seperti pilek, demam, dan meriang yang
menunjukan fenomena gejala penyakit.[2]
Fenomenologi juga di artikan Ilmu
pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari 2 sudut. Pertama, fenomena “selalu
menunjuk keluar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena
di pandang dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran
kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan”
atau ratio, sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki
Ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu
tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman berbeda.
Fenomenologi merupakan salah satu
pendekatan yang unik di antara banyak pendekatan dalam studi Islam. Namun
sebenarnya ditinjau dari sisi sejarah, fenomenologi sebenarnya telah lama
digunakan. Dalam catatan Muhadjir, istilah fenomenologi telah digunakan sejak
Lambert yang sezaman dengan Immanuel Kant, juga Hegel, sampai Pierce.
Penggunaan istilah fenomenologi dalam setiap masa ini memiliki arti yang
berbeda-beda. Kant misalnya, membedakan antara phenomenon dan noumenon.
Phenomenon adalah obyek yang kita alami, dan kejadian sebagaimana hal itu
terjadi. Sedangkan Hegel memandang phenomenon sebagai tahapan untuk sampai ke
neumenon. Pada medio abad XIX, arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta.
Pierce berpendapat bahwa phenomenon itu bukan sekedar memberikan deskripsi
obyek, melainkan telah masuk unsur ilusi, imajinasi, dan impian.[3] Beberapa
pandangan tentang Fenomenologi, diantaranya:
1. G.W.F.
Hegel
Dalam bukunya The
Phenomenologi of the Spiru yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa
fenonmenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran,
sebuah ilmu pengetahuan menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui
oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya saat itu.
Proses tersebut
mngantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenologi melalui sians dan filsafat
“menuju pengetahuan yang absolut”. Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi
(wesen) dipahami melalui peyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan
atau manifestasi (erschinugnen).
Hegel menunjukkan
bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam
keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit).
Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa
agama dan keagamaan merupakan sesuatu berbeda.[4]
2. Edmund
Husserl
Edmund Husserl, seorang
filusuf Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan landasan folisofis
pendekatan intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa bukunya
Logische Unterschungen, Ideen zu einer reinen Phanamenologi, Formale und
transzedentale logic, dan Erfahrung und Urteil,
Husserl mengatakan rumusan tersebut berangkat dari mainstream pemikiran
pada saat itu bahwa science alone is the ultimate court of appeal (sains adalah
satu-satunya pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan bahwa metode ilmiah
adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan mengesampingkan
pengetahuan-pengetahuan yang lain. Husserl membantah pendapat tersebut dengan
mengatakan bahwa pengalaman hidup Life experiences dapat dipertimbangkan untuk
digunakan sebagai alat bantu mengeksplorasi realitas.[5]
3. Alfred
Schutz
Tokoh lain yang ikut
berperan mengembangkan fenomenologi sebagai metodelogi dalam sebuah penelitian
adalah Alfred Schutz. Ia menjadikan fenomenologi sebagai landasan bagi
sosiologi interpretative. Dalam kajiannya, dia melihat perilaku sosial sebagai
perilaku yang berorientasi pada masa lampau, sekarang atau masa depan seseorang
atau orang lain. Ia kemudian memunculkan istilah ‘the stream consiousness’ (arus kesadaran) bahwa lapisan terdalam
dapat dijangkau dengan mereflesikan menemukan sumber tertinggi fenomena makna (sinn) dan pemahaman (verstehen).
Sejak zaman Edmund Husserl (1859-1938),
arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir.
Phenomenon bukan sekedar pengalaman langsung, melainkan pengalaman yang telah
mengimplisitkan penafsiran dan klasifikasi. Mulai tahun 1970-an, fenomenologi
mulai banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu sebagai pendekatan
metodologik.[6]
Menurut Husserl, fenomenologi merupakan
sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran
tersebut menunjuk pada objek-objek diluar darinya. Dari sana kemudian ia
memunculkan istilah “reduksi fenomenologi”. Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan
kepada obyek-obyek yang non eksis dan riil. Reduksi fenomenologis tidak
menganggap bahwa suatu itu ada. Melainkan terdapat pengurangan sebuah
kebenaran, yaitu dengan mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil
dan obyek yang dipikirkan.
Berangkat dari asumsi tersebut Husserl
kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian menjadi landasan utama dalam
kajian fenomenologi. Dua konsep tersebut adalah epoche dan eidetic vision.
Epoche vision, kata epoche berasal dari bahasa Yunani berarti menunda semua
penilaian atau pengurangan (bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang
tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh
presupposisi pengamat. Karena pada dasarnya membawa konsep-konsep dan
konstruk-konstruk pandangan adalah sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil
penilaian. Eidetic vision berarti “yang melihat” atau pengandaian terhadap
epoche yang merujuk pada pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, ciri-ciri
yang penting dan tidak berubah dari satu fenomena yang memungkinkan untuk
mengenali fenomena tersebut.[7]
Melihat periode perkembangan
pemikirannya, fenomenologi Husserl dapat dibagi menjadi empat periode. Pertama, ia berangkat dari matematika,
dan ini disebut periode pra-fenomenologi. Kedua,
awal fenomenologi sebagai korelasi subjektif atas logika murni sebagai tahapan
usaha epistemologis yang terbatas. Ketiga,
fenomenologi dianggap sebagai “the first
philosophy”. Keempat,
fenomenologi sebagai “pengatasan” idealisme.[8]
Selain Husserl, tokoh lain yang kuat
mempengaruhi pendekatan fenomenologi adalah Alfred Schultz. Pengaruh lainnya
berasal dari Marx Weber yang memberi tekanan pada verstehen, yaitu pengertian, interpretatif terhadap pemahaman
manusia. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu
bagi orang-orang atau objek yang sedang diteliti. Fenomenologi menekankan pada
aspek subjektif. Artinya, mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual dari
objek yang ditelitinya, sehingga peneliti mengerti tentang apa dan bagaimana
suatu pengertian yang dikembangkannya di sekitar peristiwa atau objek
penelitian dalam kehidupan sehari-hari. Para fenomenolog percaya bahwa pada
objek penelitian natural dan kepustakaan memiliki sifat ganda. Artinya memiliki
berbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman dan makna melalui interaksi
dan orang lain. Dan pengalaman manusialah yang membentuk kenyataan.[9]
B.
Pengertian
Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama muncul sebagai salah
satu disiplin keilmuan dan pendekatan modern terhadap agama. Terkadang para
ilmuan agama mengidentifikasi fenomenolgi agama dalam wilayah umum
Religionswissenchaft (sains agama). Dalam hal ini, ada empat pengertian yang
diberikan untuk mendefinisikan “fenomenologi agama”, seperti yang dikemukakan
oleh Douglas Allen.
1. Fenomenologi
agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena atau objek-objek,
fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati.
2. Fenomenologi
diartikan sebagai sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena
agama yang berbeda.
3. Fenomenologi
agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian
agama.
4. Fenomenologi
agamanya dipengaruhi oleh fenomenologi filsafat.[10]
Pengertian-pengertian di atas pada
dasarnya masih bersifat umum, karena tidak memasukkan unsur-unsur khas
pendekatan fenomenologi dalam kajian itu. Definisi yang tepat untuk
menggambarkan fenomenologi agama adalah sebagai sebuah metode yang menyesuaikan
prosedur-prosedur epoche (penundaan
penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetis
(melihat ke dalam makna agama) dengan kajian terhadap beragam ekspresi simbolik
yang di respons oleh orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat mereka.
Jika mengacu dari pengertian di
atas, ada dua unsur pokok yang melekat dalam pendekatan fenomenologi, yaitu epoche, yang berarti “pengurungan semua
anggapan dan penilaian sebelumnya”, dan eidetic
intution yang mengandung arti “melihat ke dalam jantung makna agama”.
Dengan kedua cara ini, fenomena agama dan pengalaman keberagamannya dapat
diketahui struktur-struktur mendasarnya.
Menurut Neong Muhajir, secara
ontology pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat
kebenaran (sensual, logic, etik, transendental).[11] Hanya
saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran
ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan
maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansinya.[12] Selain
itu menurutnya, jika positivisme menekankan obyektivitas mengikuti
metode-metode ilmu alam (natural science) dan bebas nilai (value free), maka
fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai (value bound)
seperti manusia dan keadilan.[13] Beberapa
tokoh yang memiliki peranan besar mengembangkan pendekatan ini diantaranya:
a. Piere
Daniel Chantepie de la Sausseye
Saussaye menggunakan
fenomenologi agama sebagai sebuah kajian kompratif dimana cara kajiannya adalah
dengan mengklasifikasikan, menyusun tipe-tipe fenomena agama yang berbeda
secara sistematis. Saussaye membagi agama dalam dua wilayah penelitian yaitu
esensi dan manifestasi sebagaimana pemikiran Hegel. Dalam hal ini ia
menggunakan sejarah agama untuk kemudian dianalisisa berdasarkan konsep-konsep
filsafat. Namun Saussaye dikritik karena lebih menggunakan analisa historis dan
hanya menitik beratkan pada ritual-ritual keagamaan serta tidak menggunakan
pendekatan filosofis.[14]
b. William
Brede Kristenen
Dalam
pandangan kristenen, fenomenologi agama merupakan cabang, disiplin atau metode
khusus dalam kajian-kajian agama. Jika fenomenologi Saussaye lebih dipengaruhi
oleh sejarah, Kristenen berpendapat bahwa sejarah agama dan filsafat saling
berhubungan dan mempengaruhi sebagai pelengkap kajian fenomenologi. Sebagaimana
Saussaye, Kristenen berpendapat bahwa tujuan utama fenomenologi agama adalah
mencari ‘makna’ fenomena keagamaan. Hanya saja Kristenen menambahkan bahwa
pencarian makna fenomena keagamaan tersebut adalah dalam konteks keimanan
masing-masing orang. Kristenen juga berpendapat bahwa tidak cukup lama dengan
mengelompokkan atau mengklasifikasikan fenomena sebagaimana dipahami oleh
masing-masing tradisi keagamaan, akan tetapi juga dituangkan dalam sebuah
pemahaman.[15]
c. Gerardus
Van der Leeuw
Dalam
kritiknya terhadap Kristenen, Van der Leeuw melihat pemahaman sebagai aspek
subjektif dalam fenomenologi yang secara inheren (menyatu) terjalin dari
obyektifitas sebuah manifestasi. Van der Leeuw mengkorelasikan pengalaman
subjektif, ekspresi dan pemahaman dengan tiga level objektif penampakan yaitu
relatifitas penyembunyian, relatifitas transparansi dan secara berangsur-angsur
(gradual) menuju manifestasi. Fenomenologi agama Van der Leew disadari tiga
bagian fundamental yaitu: Tuhan - manusia – hubungan antara Tuhan dan manusia.
Dalam hal ini hubungan antara Tuhan dan manusia merupakan isu sentral yang
mendasari pemikiran Van der Leew.[16]
Menurut Van der Leeuw, fenomenologi
mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga
hal prinsip yang tercakup di dalamnya adalah:
1) Sesuatu
itu berwujud
2) Sesuatu
itu tampak
3) Karena
sesuatu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena.
Penampakan itu menunjukkan kesamaan
antara yang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat, tanpa melakukan
modifikasi.[17]
Membiarkan fenomena itu berbicara sendiri, sehingga menurut fenomenolog,
fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini
tampaknya sejalan dengan ‘prinsip’ ilmu pengetahuan, sebagaimana yang
dinyatakan J.B. Connant, bahwa: The scientific way of thingking requires the
habit of facing reality quite unprejudiced by any earlier conceptions. Accurate
observation and dependence upon experiments are guiding principles.[18]
(cara berfikir ilmiah menuntut kebiasaan menghadapi klenyataan dengan tidak
berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Pengamatan yang cermat
dan ketergantungan pada eksperimen adalah asas penuntun).
Dari pembicaraan beberapa tokoh
yang telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan
dalam tiga arus besar yaitu:
a) Fenomenologi
agama diartikan sebagai sebuah investasi terhadap fenomena-fenomena atau
objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama nyang bisa diamati.
b) Fenomenologi
diartikan sebagai sebuah kajian komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena
agama yang berbdeda.
c) Fenomenologi
agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian
agama.
Di sini pelu dipahami bahwa
keterarahan subjek kepada objek hanya akan menghasilkan pengetahuan apabila
subjek yaitu manusia memiliki kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati.
Kalau tidak, objek tidak mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu
saja. Dengan kata lain pengetahuan itu hanya mungkin terwujud apabila manusia
itu sendiri memilki kesamaan dengan objek yang sebagai realitas di alam
semesta.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa hanya melalui dan berkat unsure jasmaninya manusia dapat mengetahui objek
yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak mampu mengetahui dunia dan
segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan manusia dianggap bersifat temporal,
kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani,
melainkan juga memiliki jiwa atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu
mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini
berarti manusia berkat akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan
yang kongkret yang ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai
pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek apa saja
pada tempat dan waktu manapun.
C.
Fenomenologi
dalam kajian Agama dan Studi Islam
Adapun fenomenologi agama dikembangkan
oleh Max Scheller, Rudolf Otto, Jean Hearing, dan Gerardus van der Leeuw.
Tujuannya adalah untuk memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga
keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika,
ataupun psikologi.
Orientasi fenomenologi adalah bahwa
pengertian yang benar adalah pengertian yang asli dan bersih, yang ditempuh
dengan jalan reduksi. Melalui reduksi dapat disingkirkan segala unsur tradisi
dari pengertian. Yang ingin diselidiki ialah fenomin, yaitu data sederhana
tanpa tambahan yang dapat diserap secara rohaniah melalui intuisi
(keber-langsungan). Fenomin demikian adalah sejauh disadari dalam pemahaman.[19]
Dengan model kinerja yang seperti ini, maka fenomenologi berlawanan dengan
metode sains obyektif, logika formal dan metode dialektik yang mengatasi
rintangan. Titik pijak fenomenologi dimulai dengan “orang mengetahui dan
mengalami secara apa adanya”.
Fenomenologi ini dapat diaplikasikan
dalam studi agama. Sifat pokok dari fenomenologi adalah membiarkan realitas
atau fakta berbicara dalam suasana intention.
Intensional memiliki dua arti: semantik dan ontologik. Arti semantik
intensional adalah sesuatu bahasan dan juga logikanya. Sesuatu dikatakan
ekstensional bila dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Dikatakan intensional
bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Bahasa atau logika
intesional menampilkan bahasa modalitas atau probabilitas, dengan penjelasan.
Adapun arti secara ontologik adalah sesuatu dikatakan ekstensional bila
kesamaan identitas antara dua sesuatu dapat dinyatakan sebagai dua yang
equivalen, dua yang identik. Sedangkan sesuatu dikatakan intensional, bila
kesamaan identitas tidak menjamin untuk dikatakan equivalen atau identik.[20]
Dalam konteks studi agama, pendekatan
fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan
besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam
agama-agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok. Dalam
fenomenologi, mempertimbangkan fenomena agama bukan hanya dalam konteks
historis, melainkan juga hubungan struktural.
Pada intinya, ada tiga tugas yang harus
dipikul oleh fenomenologi agama, yaitu: pertama,
pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua,
menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga,
meneliti tingkah laku keagamaan.[21] Sedangkan
bidang garap fenomenologi adalah: pertama,
menerangkan apa yang sudah diketahui yang terdapat dalam sejarah agama, tetapi
dengan caranya sendiri. Fenomenologi agama tidak membedakan dirinya dengan
macam-macam agama. Kedua,
fenomenologi berusaha menyusun bagian pokok agama atau sifat alamiah agama. Ketiga, fenomenologi tidak mempersoalkan
apakah gejala keagamaan itu benar, apakah bernilai, dan bagaimana dapat menjadi
demikian, atau menentukan lebih besar atau kecilnya nilai keagamaan mereka.
Sekalipun ia berusaha untuk menentukan nilai keagamaannya, ini adalah nilai
yang dimiliki oleh pemeluk-pemeluk agama itu sendiri, dan nilai semacam itu
tidak pernah bersifat relatif, tetapi selalu absolut. Oleh karena itu, titik
berat yang dibicarakannya adalah bagaimana kelihatannya, dan dengan cara apa
(bagaimana) ia menampakkan diri kepada kita.[22]
Dengan melihat pada bidang garap
sebagaimana diuraikan di atas, maka secara khusus dapat kita cermati bahwasanya
yang menjadi fenomenologi adalah:
1. Menemukan
intisari.
2. Menemukan
struktur.
3. Mencari
inner meaning.
4. Membuat
klasifikasi, tipologi, dan penyisteman fenomena.
5. Mencari
motif dasar.
6. Mencari
alur perkembangan gejala dari waktu ke waktu.[23]
Tujuan fenomenologi agama adalah
mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur agama atau menemukan esensi
agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik
pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan
budaya manusia. Fokus utama fenomenologi adalah aspek pengalaman keagamaan,
dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten
dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti.
Pendekatan fenomenologi melihat
agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan
sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi
agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit,
etnosentris, dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman
agama dengan akurat.[24]
D.
Kelebihan
dan Kekurangan Fenomenologi Agama
Fenomena agama Islam merupakan sebuah
gerakan pengembangan dalam pemikiran dan penelitian dimana peneliti mencoba
memahami manusia dan mengklasifikasikan fenomena secara spesifik termasuk
fenomena keagamaan. Beberapa poin yang dianggap sebagai sisi positif dari
fenomenologi agama diantaranya:
1. Fenomenologi
agama berorientasi pada factual deskriptif, dimana tidak concern pada
penelitian evaluative akan tetapi mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu
fenomena keagamaan seperti ritual, symbol, ibadah (individual atau seremonial),
teologi (lisan atau tulisan), personal yang dianggap suci dan sebagainya.
2. Tidak
berusaha menjelaskan fenomena yang dideskripsikan, terlebih membukukan hukum-hukum
universal untuk memprediksikan persoalan-persoalan keagamaan dimasa depan, akan
tetapi untuk mencari pemahaman yang memadai terhadap setiap persoalan
keagamaan.
3. Perbandingan
dalam pengertian terbatas dimana mengkomparasikan berbagai tradisi keagamaan, namun
fenomenologi tidak berusaha menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi
keagamaan tertentu.
4. Menghindari
reduksionisme, dalam arti memahami fenomena keagamaan dalam term sosiologi,
psikologi, antropologi dan ekonomi saja tanpa memperhatikan kompleksitas
pengalaman manusia, memaksakan nilai-nilai sosial pada isu-isu trabscendental
dan mengabaikan intensionalitas unik para pelaku tradisi keagamaan.
5. Menunda
pertanyaan tentang kebenaran, dalam hal ini untuk mengembangkan wawasan
terhadap esensi terdalam suatu pengalaman keagamaan. Fenomenologi berupaya
terlihat atau berpartisipasi langsung untuk memperoleh empati pemahaman yang
asli.
6. Terakhir
mengembangkan struktur esensial dan makna sebuah pengalaman keagamaan.
Menurut Taufik
Abdullah, setidaknya penelitian agama pada umumnya bermuara pada tiga poin
utama, yaitu:
1. Menempatkan
agama sebagai doktrin yang berangkat dari keinginan mengetahui esensi ajaran
dan kebenaran agama. Sebagaimana dilakukan para mujtahid dan pemikir agama.
Dalam hal ini kajian didalamnya dalah ilmu-ilmu keagamaan atau juga
perbandingan agama (religion wissenschaft)
2. Memahami
struktur dan dinamika masyarakat agama, dimana merupakan awal dari terbentuknya
suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki
yang sama dan memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang juga sama.
Sehingga, meskipun berasal dari suatu ikatan spritual, para pemeluk agama
membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dari komunitas kognitif lainnya
(sosiologi, antropologi, sejarah dst)
3. Mengungkapkan
sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya (psikologi agama). Jika
kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran dengan segala refleksi
pemikiran terhadap ajaran, kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial
dan dinamika sejarah, kategori ketiga adalah usaha untuk mengetahui corak
penghadapan masyarakat terhadap symbol dan ajaran agama.[25]
Penelitian agama tidak cukup hanya
bertumpu pada konsep agama (normatif) atau hanya menggunakan model ilmu-ilmu
sosial, melainkan keduanya saling menopang. Peneliti yang sama sekali tidak
memahami agama yang diteliti, akan mengalami kesulitan karena realitas harus
dipahami berdasarkan konsep agama yang harus dipahami.[26]
Berangkat dari permasalahan tersebut,
pendekatan-pendekatan metodologis dalam studi atau kajian tentang agama secara
terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari para intelektual agama. Dalam
perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang diadopsi atau
berdasarkan disiplin-disiplin kelimuan tentang sejarah, filsafat, psikologi,
antropologi, sosiologi termasuk juga fenomenologi. Pendekatan yang diupayakan
untuk sekilas dibahas dalam tulisan ini adalah pendekatan fenomenologi agama,
dalam pengertian sebuah kajian yang dilakukan untuk memahami esensi dan atau
melalui manifestasi fenomena keagamaan dari agama tertentu.
Terlepas dari beberapa kelebihan
pendekatan fenomenologi, terdapat beberapa kesulitan untuk memahami esensi dari
suatu pengalaman keagamaan dan manifestasi. Dalam hal ini beberapa kritik
terhadap fenomenologi agama diantaranya:
1. Peranan
deskriptif, fenomenologi agama mengklaim pendekatannya deskriptif murni yang
resistensi terhadap campur tangan peneliti, namun tidak mustahil seorang
fenomenologi memiliki kepentingan maksud-maksud tertentu dan dalam mengontrol
data dan metode yang digunakan. Dalam hal ini kurang tepat jika fenomenologi
diklaim sebagai pendekatan deskriptif murni.
2. Melihat
peristiwa keagamaan tanpa melihat akar historisnya. Fenomenologi agama dinilai
cenderung memperlakukan fenomena keagamaan dalam isolasi sejarah seolah-olah
sejarah tidak diperlukan dalam menentukan relevansi fakta-fakta fenomena bagi
praktisi agama. Dalam prakteknya seringkali fenomenologi agama tidak mampu
mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena keagamaan yang dikaji.
3. Peranan
intuisi, kesulitan peneliti dalam hal ini adalah menentukan sisi yang besar dan
dapat diterima. Term obyektif dan intuisi adalah sesuatu yang kontradiktif,
terlebih ketika menggunakan data-data yang bersifat intuitif untuk de verivikasi
dalam wilayah obyektif
4. Persoalan
empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi agama karena tuntutan
berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual keagamaan.[27]
E.
Problematika
Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam
Kesulitan pertama yang dihadapi dalam
upaya membangun suatu pendekatan metodologis alternatif yang berakar pada
ontologi Islami terletak pada penyingkiran wahyu Tuhan dari wilayah ilmu. Benar
bahwa penyingkiran ini memiliki asal-usul dalam batasan tradisi ilmiah Barat
sebagai akibat dari konflik internal antara ke agamaan Barat dengan komunitas
ilmiah. Juga benar bahwa dalam tradisi Islam, wahyu dan ilmu tidak pernah
dipahami sebagai dua hal yang eksklusif. Namun seorang sarjana muslim hampir
tidak pernah dapat mengabaikan fakta bahwa wahyu ketuhanan berada di luar
aktivitas ilmiah modern.[28]
Serangan gencar terhadap wahyu, yang
membawa penyingkiran-nya dari upaya ilmiah Barat, terjadi melalui dua fase.
Wahyu disamakan dengan metafisika yang tidak memiliki landasan dan
menetapkannya sebagai suatu rival pengetahuan, dipertentangkan dengan
pengetahuan yang dianggap benar oleh akal.[29]
Penyingkiran Barat modern terhadap wahyu
dari wilayah ilmu tidak didasarkan pada penolakan atas kenyataan bahwa wahyu
Tuhan membuat pernyataan yang tidak jelas tentang watak realitas. Penyingkiran
itu lebih didasarkan pada pernyataan bahwa hanya realitas empiris yang dapat
dipahami. Karena realitas non-empiris (metafisis) tidak dapat diverifikasi
melalui pengalaman, maka ia tidak dapat dimasukkan ke dalam wilayah ilmu.[30]
Maka ditegaskan menurut Kant bahwa aktivitas ilmiah mesti dibatasi pada
realitas empiris, karena akal manusia tidak dapat menentukan realitas absolut.
Argumen di atas adalah argumen yang
sederhana dan keliru, karena ia mengabaikan dan mengaburkan sifat dari bukti
wahyu dan bukti empiris . Pertama, pengetahuan tentang realitas empiris tidak
didasarkan pada pengetahuan yang dipahami secara langsung dan empiris dari
lingkungan, tetapi pada teori-teori yang mendeskripsikan struktur dasar realita.
Struktur itu tidak segera dapat dipahami oleh indera. Di samping itu, struktur
eksistens empiris diinferensiasikan melalui penggunaan kategori-kategori yang
diabstraksikan dari hal yan terindera, dan dimediasikan melalui
kategori-kategori dan pernyataan-pernyataan rasional murni. Dengan menggunakan
terminologi Lock, kita dapat mengatakan bahwa teori-teori yang kita gunakan
untuk mendeskripsikan realitas empiris terdiri dari proposisi-proposisi
kompleks yang diperoleh dengan mengkombinasikan sejumlah proposisi-proposisi
sederhana. Oleh karena itu pemahaman kita tentang hubungan antara bumi dan
matahari dimediasikan oleh konstruk mental, dan oleh karenanya sama sekali
berbeda dari kesan singkat yang dipahami oleh indera.[31]
Argumen di atas gagal melihat bahwa
wahyu (paling tidak dalam bentuk final dan islami) mencari justifikasinya di
dalam realitas empiris. Dari sudut pandang wahyu Tuhan, realitas empiris adalah
manifestasi realitas transendental, dan oleh karenanya memiliki suatu makna
hanya dalam kaitannya dengan yang transendental. Bahkan Alqur’an penuh dengan
ayat-ayat (atau tanda) yang menyatakan kesalinghubungan antara yang empiris dan
transendental.[32]
Yang paling penting, wahyu
menggarisbawahi pentingnya fakta bahwa yang empiris tidak memiliki makna ketika
ia dipisahkan dari totalitasnya, seperti yang ingin diakui oleh ilmu Barat,
melampaui batas-batas realitas empiris.[33]
Dengan demikian, wahyu harus didekati
bukan sebagai sejumlah pernyataan yang dapat diakses secara langsung, tetapi
sebagai fenomena terberi yang terdiri dari tanda-tanda, dimana untuk
memahaminya dibutuhkan interpretasi dan sistematiasasi yang konstan dan terus
menerus. Bahkan Alqur’an menjelaskan dengan gamblang bahwa ia terdiri dari
tanda (ayat) dimana pemahaman terhadapnya bergantung kepada proses pemikiran,
kontemplasi dan penalaran.[34]
“Sesungguhnya pada yang demikian itu
menjadi tanda-tanda bagi mereka yang mau berpikir (13:3).”
“Sesungguhnya Kami jelaskan beberapa
ayat kepada mereka yang mengetahui (6:97).”
Penelitian di atas menggaris bawahi
fakta bahwa untuk memahami kebenaran wahyu, orang harus mendekatinya dengan
cara yang sama dengan pendekatan terhadap fenomena-fenomena sosial atau bahkan
fenomena alam. Alasannya, kebenaran seluruh fenomena itu tergantung pada
kemampuan teori-teori yang dibangun oleh para sarjana dan ilmuan berdasarkan
data yang berasal dari fenomena itu dalam menghasilkan penjelasan yang
memuaskan terhadap realitas yang dialami.[35]
Penempatan wahyu sebagai fenomena, dan
oleh karenanya sebagai sumber pengetahuan dapat dibenarkan dengan mengutip
alasan lain. Kualitas bukti yang digunakan untuk memahami realitas (yakni untuk
menunjukkan secara objektif) yang dideskripsikan oleh teori-teori empiris,
tidak memiliki mutu yang lebih tinggi dari bukti yang digunakan memahami
realitas yang dideskripsikan oleh wahyu. Dalam kedua kasus tersebut, eksistensi
fenomena yang dipahami secara bersamaan dilahirkan di dalam kesadaran berbagai
individu yang memiliki kesempatan untuk mengalami elemen-elemen dasar fenomena
dari dekat. Berarti, sebagaimana fenomena sosial atau fisik dapat dipahami oleh
orang-orang yang telah mengalami berbagai elemen-elemen yang menyusunnya, maka
wahyu Tuhan juga dapat dipahami oleh orang yang memiliki pengalaman tentang
kebenaran berbagai tanda yang menyusunnya. Dalam kedua kasus kebenaran tentang
sesuatu yang diperoleh dengan serta merta, dipahami secara intuitif.
Satu-satunya perbedaan bahwa realitas empiris yang dialami melalui indera
dipahami melalui intuisi empiris, sementara realitas transendental yang dialami
melalui wahyu dipahami melalui intuisi murni.[36]
Benar, bahwa ilmu Barat, dimulai dari
Kant membatasi intuisi kesatuan elemen-elemen yang dipahami dari suatu fenomena
kepada intuisi empiris, dengan menolak bahwa elemen transendental dapat dipahami.
Tetapi Kant, seperti telah kita lihat sebelumnya, mampu mencapai reduksi ini
dengan menciptakan kebingungan tentang proses intuisi murni. Meskipun sekilas
Kant tampak secara benar memahami intuisi sebagai “seluruh representasi …
dimana tidak ada sesuatu apapun yang tergolong sebagai sensasi”, namun dia
menegaskan bahwa penggunaan intuisi murni mesti dibatasi pada realitas empiris.
Tetapi jika intuisi murni dipahami sebagai suatu hasil abstraksi berturut-turut
dari representasi yang beragam yang diperoleh melalui intuisi empiris, membawa
pada suatu intuisi tunggal, dimana seluruh konsep disatukan. Penolakan Kant
untuk mengakui realitas transendental yang dipahami dengan intuisi murni adalah
sesuatu yang arbitrer dan dogmatik.[37]
F.
Kontribusi
Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam
Sebagaimana dinyatakan oleh Kuntowijoyo
bahwa kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya
menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah
mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.[38]
Yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan
profetik tertentu. Perubahan yang didasarkan pada tiga hal, yaitu cita-cita
kemanusiaan, liberalisasi dan transendensi.
Namun untuk mencapai perubahan tersebut,
tidak bisa hanya mengandalkan fenomenologi saja, tetapi harus dibarengi dengan
disiplin keilmuan lainnya. Misalnya antropologi. Melalui antropologi
fenomenologis ini maka akan dapat dilihat hubungan antara agama dan negara.[39]
G.
Contoh
pendekatan fenomenologi
Para
wali dan sunan dalam membentuk corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan
dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan
demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan.
Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya
acara tahlilan, berziarah, sekatenan, dan grebeg mulud.
1. Tahlilan
Tahlilan
adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal,
yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang
yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan
meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam
pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin dari
ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum atau almarhumah
diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam)
terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para
pengikutnya.
Acara tahlilan ini
lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Setelah itu,
diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000 hari kematian
almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia
pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha.
Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan
secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian,
7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000
hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam.
Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal,
melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan
diterima keimanan Islamnya.
2. Ziarah
Dalam
agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung ke makam atau kuburan
untuk mendoakan almarhum/almarhumah agar iman Islamnya diterima oleh Sang
Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya.
Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh
kehendak-kehendak lain yang tak ada hubunganya dalam konteks keislaman.
Tradisi
berziarah Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh
nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah
bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di
antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenekmoyang atau arwah tokoh-tokoh
penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh
mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal.
Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak memiliki
kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang yang masih hidup,
seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang
lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagai nyadran atau
nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah yang paling kental
dalam tradisi Islam sekarang.
Alkisah,
pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk melakukan acara
srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi penghormatan terhadap roh
nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun sudah masuk agama
Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam, upacara seperti ini tidak hilang
malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam bahasa Jawa sekarang
adalah nyadran dilakukan pada bulan arwah (Ruwah) atau disebut pula Syaban
untuk menjemput datangnya bulan Ramadhan serta pada hari raya Idul-Fitri dan
Idul Adha (Lebaran Haji). Para penziarah mulanya membacakan doa-doa dan Surat
Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan berwarna-warni
dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas tanah makam yang
dimaksud.
3. Sekatenan
dan Grebeg Maulid
Upacara
sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi
Muhammad Saw. yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan
merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan Bonang, seperti Sunan
Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan
wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan
syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi
sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem
istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka berada di jalan guna
berebutan berkah yang berupa nasi dan laukpauk berikut sayur mayurnya untuk
dinikmati.
Kesimpulan
Pendekatan fenomenologi agama adalah
pendekatan pada aspek pengalaman keagamaan, dan dengan mendeskripsikan atau
menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau
kepercayaan. Jelas bahwa fenomenologi agama merupakan cabang ilmu agama yang
mengkaji fenomena keagamaan secara sistematis bukan histiris sebagaimana
sejarah agama.
Posisi fenomenologi dalam kajian agama
dan studi Islam adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur agama
atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami
sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan
agama dalam sejarah dan budaya manusia.
Pendekatan-pendekatan metodologis dalam
studi atau kajian tentang agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup
besar dari para intelektual agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan
berbagai pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan disiplin-disiplin kelimuan
tentang sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi termasuk juga
fenomenologi. Pendekatan yang diupayakan untuk sekilas dibahas dalam tulisan
ini adalah pendekatan fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah kajian yang
dilakukan untuk memahami esensi dan atau melalui manifestasi fenomena keagamaan
dari agama tertentu.
Fungsi dari fenomenologi adalah sebagai
pembelajaran dalam keagamaan. Dengan memahami tentang fenomenologi, seseorang
di mungkinkan dapat memahami hakikat keberagaman secara mendalam. Di karenakan,
fenomenologi itu mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi terhadap
keagamaan khususnya agama Islam.
Fenomenologi ini dapat diaplikasikan
dalam studi agama. Sifat pokok dari fenomenologi adalah membiarkan realitas
atau fakta berbicara dalam suasana intention.
Intensional memiliki dua arti: semantik dan ontologik. Arti semantik
intensional adalah sesuatu bahasan dan juga logikanya. Sesuatu dikatakan
ekstensional bila dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Dikatakan intensional
bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Bahasa atau logika
intesional menampilkan bahasa modalitas atau probabilitas, dengan penjelasan.
Adapun arti secara ontologik adalah sesuatu dikatakan ekstensional bila
kesamaan identitas antara dua sesuatu dapat dinyatakan sebagai dua yang
equivalen, dua yang identik. Sedangkan sesuatu dikatakan intensional, bila
kesamaan identitas tidak menjamin untuk dikatakan equivalen atau identik.
Dalam konteks studi agama, pendekatan
fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai
satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang
dijumpai dalam agama-agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per
kelompok. Dalam fenomenologi, mempertimbangkan fenomena agama bukan hanya dalam
konteks historis, melainkan juga hubungan struktural.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Metodelogi Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Allen,
Douglas. The Routledge Companion to the
Study of Religion, London and New York: Routledge, 2005.
Connant,
James B. Modern Science and Modern Man.
Garden city: Doubleday Co., 1954.
Dagun,Save
M. Filsafat Eksistensialisme,
Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Erricker,
Clive. Pendekatan Fenomenologis,
Conolly,Peter. Aneka Pendekatan Studi
Agama terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Lkis, 2009.
Hadiwijono,
Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
http://en.wikipidia.org/phenomenology
of religion, di kutip 13 Desember 214
http://pendekatan-fenomenologis-dalam-kajian-islam.html
di kutip 14 Desember 2014.
Kaelan,
Metode Penelitian Kualitatif Bidang
Filsafat, Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang
Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni, Yogyakarta:
Paradigma, 2005.
Kristense,
W.B. Arti dan Makna Agama, terj.
Farichin Ch, Bandung: Unisba, 1986.
Muhadjir,
Noeng. Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis
Fungsional Komparatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989.
Muhajir,
Neong Metodologi Penelitian Kualitatif,
Yogyakarta, Rake Sarasin, 1989.
Mulkhan,
Abdur Munir. Paradigma Intelektual
Muslim, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta:
SIPRESS, 1994.
Naim,
Ngainun. Pengantar Studi Islam,
Yogyakarta: Teras, 2009.
Nata,
Abuddin. Metodologi Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001.
Romdon,
Metodologi Ilmu Perbandingan Agama,
Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Safi, Lousy. Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan
Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri. Jakarta: PT Tiara Wacana Yoga,
2001.
Siswanto,
Joko. Sistem-Sistem Filsafat Barat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.th.
Waardenburg,
Jacques. Classical Approach to the study
of religion. Paris, Mouton: the haque, 1973.
[1]Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, (Cet I,
Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 37.
[2]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 140.
[3]Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Cet. I,
Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 106.
[4]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis dalam Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam khoiri, (Yogyakarta: Lkis,
2009), hlm. 110.
[5]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis dalam Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam khoiri, hlm. 111.
[6]Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional
Komparatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 81
[7]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis, Peter Conolly,
Aneka Pendekatan Studi Agama terj.
Imam Khoiri, hlm. 111.
[9]Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang
Filsafat, Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang
Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni, (Yogyakarta:
Paradigma, 2005), hlm. 29.
[10]Douglas Allen, The Routledge Companion to the Study of
Religion, (London and New York: Routledge, 2005), hlm. 187.
[11]Neong Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Yogyakarta, Rake Sarasin, 1989), hlm. 19.
[12]Neong Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm.
183-185.
[13]Neong Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm.
185
[14]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis, Peter Conolly,
Aneka Pendekatan Studi Agama terj.
Imam Khoiri, hlm. 113.
[15]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis, Peter Conolly,
Aneka Pendekatan Studi Agama terj.
Imam Khoiri, hlm. 114.
[16]Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis, Peter Conolly,
Aneka Pendekatan Studi Agama terj.
Imam Khoiri, hlm. 115.
[17]Jacques Waardenburg, Classical Approach to the study of religion
(Paris, Mouton: the haque, 1973), hlm. 412.
[18]James B. Connant, Modern Science and Modern Man, (Garden
city: Doubleday Co., 1954), hlm. 19.
[19]Abdur Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Cet. II, Yogyakarta: SIPRESS, 1994),
hlm. 189.
[20]Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional
Komparatif, hlm. 82.
[22]W.B. Kristense, Arti dan Makna Agama, terj. Farichin Ch,
(Bandung: Unisba, 1986), hlm. 2.
[23]Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama,
(Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 104.
[25]Taufik Abdullah, Metodelogi Penelitian Agama,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. x-xii
[26]Taufik Abdullah, Metodelogi Penelitian Agama, hlm. 56.
[28]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam
Khoiri, (Jakarta: PT Tiara Wacana Yoga, 2001), hlm. 203.
[29]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam
Khoiri, hlm. 204
[30]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam
Khoiri, hlm. 209.
[31]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam
Khoiri, hlm. 210.
[32]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam
Khoiri, hlm. 210.
[33]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam
Khoiri, hlm. 210.
[34]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam
Khoiri, hlm. 211.
[35]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam
Khoiri, hlm. 211.
[36]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam
Khoiri, hlm. 212-213.
[37]Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam
Khoiri, hlm. 212-213.
[39]Abuddin Nata, Metodologi Islam, hlm. 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar