Islam di Spanyol: Jembatan Peradaban Islam ke Benua
Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Renaissance
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setelah berakhirnya periode klasik
Islam, ketika Islam mulai memasuki masa kemunduran, Eropa bangkit dari
keterbelakangannya. Kebangkitan itu bukan saja terlihat dalam bidang politik
dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia
lainnya, tetapi terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan,
kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi itulah yang mendukung keberhasilan
politiknya. Kemajuan-kemajuan Eropa ini tidak dapat dipisahkan dari
pemerintahan Islam di Spanyol. Dari Islam Spanyol di Eropa banyak menimba Ilmu.
Pada periode klasik, ketika Islam mencapai masa keemasannya, Spanyol merupakan
pusat peradaban Islam yang sangat penting, menyaingi Baghdad di Timur. Ketika
itu, orang-orang Eropa Kristen banyak belajar di perguruan-perguruan
tinggi Islam di sana. Islam menjadi guru
bagi orang-orang Eropa. Karena itu,
kehadiran Islam di Spanyol banyak menarik perhatian pemakalah untuk mengetahui
lebih jauh tentang peradaban Islam di Spanyol.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
perkembangan peradaban Islam di Spanyol?
2. Bagaimana
pengaruh peradaban Islam terhadap benua Eropa?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui perkembangan dan peradaban Islam di Spanyol.
2. Untuk
mengetahui tentang pengaruh peradaban Islam terhadap benua Eropa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
MASUKNYA
ISLAM KE SPANYOL
Spanyol diduduki umat Islam pada zaman
Khalifah Al Walid (705-715 M), salah seorang khalifah dari Bani Umayah yang
berpusat di Damaskus. Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai
Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani
Umayah. Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman Khalifah
Abdul Malik (685-705 M). Khalifah Abd Al-Malik mengangkat Hasan ibn Nu’man
Al-Ghassani menjadi gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah Al-Walid, Hasan
ibn Nu’man sudah digantikan oleh Musa ibn Nushair. Di zaman Al-Walid itu, Musa
ibn Nushair memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan
Marokko. Selain itu, ia juga menyempurnakan penaklukan ke daerah-daerah bekas
kekuasaan bangsa Barbar di pegunungan-pegunungan , sehingga mereka menyatakan
setia dan berjanji tidak akan membuat kekacauan-kekacauan seperti yang pernah
mereka lakukan sebelumnya.
Penaklukan atas wilayah Afrika Utara itu
pertama kali dikalahkan sampai menjadi salah satu propinsi dari Khilafah Bani
Umayah memakan waktu selama 53 tahun, yaitu mulai tahun 30 H (masa pemerintahan
Muawiyah ibn Abi Sufyan) sampai tahun 83 H (masa Al-Walid).[1]
Sebelum dikalahkan dan kemudian dikuasai Islam, di kawasan ini terdapat
kantung-kantung yang menjadi basis kekuasaan kerajaan Romawi, yaitu kerajaan
Gothik. Kerajaan ini sering menghasut penduduk agar membuat kerusuhan dan
menentang kekuasaan Islam. Setelah kawasan ini betul-betul dapat dikuasai, umat
Islam memulai memusatkan perhatiannya untuk menaklukan Spanyol. Dengan
demikian, Afrika Utara menjadi batu loncatan bagi kaum Muslimin dalam
penaklukan wilayah Spanyol.
Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat
tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan
ke sana. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn
Nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi
selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan
perang, lima ratus orang di antaranya adalah tentara berkuda, mereka menaiki
empat buah kapal yang disediakan oleh Julian.[2]
Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan berarti. Ia menang dan
kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya.
Didorong oleh keberhasilan Tharif dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan
Visighotic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar
untuk memperoleh harta rampasan perang, Musa ibn Nushair pada tahun 711 M
mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn
Ziyad.[3]
Thariq ibn Ziyad lebih banyak dikenal
sebagai penakluk Spanyol, karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih
nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian besar suku Barbar yang didukung oleh
Musa ibn Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim Khalifah Al-Walid.
Pasukan itu kemudian menyeberangi Selat di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad.[4]
Sebuah gunung tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendarat dan menyiapkan
pasukannya, dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Dengan dikuasainya
daerah ini, maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki Spanyol. Dalam
pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja Rederick dapat
dikalahkan. Dari situ Thariq dan pasukannya terus menaklukan kota-kota penting,
seperti Cordova, Granada, dan Toledo (ibu kota kerajaan Goth saat itu).[5]
Sebelum Thariq menaklukan kota Toledo, ia meminta tambahan pasukan kepada Musa
ibn Nushair di Afrika Utara. Musa mengirimkan tambahan pasukan sebanyak 5000
personel, sehingga jumlah pasukan Thariq seluruhnya 12.000 orang. Jumlah ini
belum sebanding dengan pasukan Gothik yang jauh lebih besar, 100.000 orang.
Kemenangan pertama yang dicapai oleh
Thariq ibn Ziyad membuka jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi
untuk itu, Musa ibn Nushair merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang
pertempuran dengan maksud membantu perjuangan Thariq. Dengan suatu pasukan yang
besar, ia berangkat menyeberangi selat itu dan satu per satu kota yang
dilewatinya dapat ditaklukannya. Setelah Musa berhasil menaklukan Sidonia,
Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan serta mengalahkan penguasa
kerajaan Ghotic, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di Toledo.
Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol,
termasuk bagian utaranya, mulai dari Saragosa sampai Navarre.[6]
Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat
Islam nampak begitu mudah. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor
eksternal dan internal yang menguntungkan. Yang dimaksud dengan faktor
eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol sendiri.
Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik
dan ekonomi negeri yang berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik
wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi dalam beberapa negara kecil.
Bersamaan dengan itu, penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran
agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran monofisit, apalagi terhadap
penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian
terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang
tidak bersedia disiksa dan dibunuh secara brutal.[7]
Perpecahan dalam negeri Spanyol ini
banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun 711 M. Perpecahan itu
amat banyak coraknya dan sudah ada jauh sebelum kerjaan Gothic itu berdiri.
Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat Spanyol. Ketika Islam
masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu
Spanyol berada dibawah pemerintahan Romawi, berkat kesuburan tanahnya,
pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri, dan perdagangan
karena didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tatapi, setelah
Spanyol berada dalam kekuasaan kerajaan Goth perekonomian lumpuh dan
kesejahteraan rakyat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap,
beberapa pabrik ditutup, dan antara satu daerah dengan daerah lain sulit dilalui
akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan.[8]
Adapaun yang dimaksud dengan faktor
internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh
pejuang, dan prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada
khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak,
bersatu, dan penuh percaya diri.[9]
Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tak
kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukan pada tentara Islam, yaitu
toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan
persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum Muslimin itu menyebabkan penduduk
Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.[10]
B.
PERKEMBANGAN
ISLAM DI SPANYOL
Sejak pertama kali menginjakan kaki di
tanah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan
peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad.
Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi
enam periode, yaitu:
1.
Periode
Pertama (711-755 M)
Pada
periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh
Khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas
politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna,gangguan-gangguan masih
terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari dalam antara
lain berupa perselisihan di antara elit penguasa, terutama akibat perbedaan
etnis dan golongan. Di samping itu, terdapat perbedaan pandangan antara
Khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan.
Masing-masing mengaku bahwa, merekalah yang paling berhak menguasai daerah
Spanyol ini. Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali (gubernur)
Spanyol dalam waktu yang amat singkat. Perbedaan pandangan politik itu
menyebabkan sering terjadi perang saudara.[11]
Gangguan
dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam di Spanyol yang bertempat tinggal
di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah tunduk kepada pemerintahan
Islam. Gerakan ini terus memperkuat diri. Setelah berjuang lebih dari 500
tahun, akhirnya mereka mampu mengusir Islam dari bumi Spanyol.
2.
Periode
Kedua (755-912 M)
Pada
periode ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam
bidang politik maupun dalam bidang peradaban. Abd Al-Rahman Al-Dakhil
mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar di Spanyol.
Hisyam dikenal berjasa dalam penegakan hukum Islam dan Hakam dikenal sebagai
pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memperkasai tentara bayaran di
Spanyol. Sedangkan Abd Al-Rahman Al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta
ilmu.[12]
Sekalipun
demikian, berbagai ancaman dan kerusuhan terjadi. Pada pertengahan abad ke-9,
stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang
mencari Kesyahidan.[13]
Namun, Gereja Kristen lainnya diseluruh Spanyol tidak menaruh simpati pada
gerakan itu, karena pemerintah Islam mengembangkan kebebasan beragama. Penduduk
Kristen diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri berdasarkan hukum Kristen.
3.
Periode
Ketiga (912-1013 M)
Periode
ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abd Al- Rahman III yang bergelar
“An-Nasir sampai munculnya “raja-raja kelompok” yang dikenal dengan sebutan Muluk al-Thawaif. Pada periode ini, umat
Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan, menyaingi kejayaan daulat
Abbasiyah di Baghdad. Abd Al-Rahman Al- Nashir mendirikan Universitas Cordova.
Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang
kolektor buku dari pendiri perpustakaan. Pada masa ini, masyarakat dapat
menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Pembangunan kota berlangsung cepat.[14]
Awal
dari kehancuran Khalifah Bani Umayah di Spanyol adalah ketika Hisyam naik tahta
dalam usia sebelas tahun. Oleh karena itu, kekuasaan aktual berada pada tangan
para penjabat. Pada tahun 981 M, Khalifah menunjuk Ibn Abi’ Amir sebagai
pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius yang berhasil
menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam dengan
menyingkirkan saingan-saingan dan
rekan-rekannya. Atas keberhasilannya, ia mendapat gelar Al-Manshur Billah. Ia
wafat pada tahun 1002M dan digantikan oleh anaknya Al-Muzaffar, yang masih
dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah wafat pada tahun
1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan
itu. Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan
dan akhirnya kehancuran total. Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri.
Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup
memperbaiki keadaan. Akhirnya, pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah
Cordova menghapuskan jabatan Khalifah. Ketika itu, Spanyol sudah terpecah dalam
banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.[15]
4.
Periode
Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah
menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja
golongan yang berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, Toledo, dan
sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada peroide
ini umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya,
kalau terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu yang
meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang
menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada
periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun, kehidupan politik
tidak stabil, namun, kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini.
Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan
perlindungandari suatu istana ke istana lain.[16]
5.
Periode
Kelima (1086-1248 M)
Pada
periode ini, Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam beberapa negara,
tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan dinasti Murabithun
(1086-1143 M) dan dinasti Muwahiddun (1146- 1235 M). Dinasti Murabithun pada
mulanya adalah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika
Utara. Ia masuk ke Spanyol atas undangan penguasa-penguasa Islam pada saat itu
yang tengah memikul beban berat perjuangan mempertahankan negeri-negerinya dari
serangan orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya masuk ke Spanyol pada tahun
1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilla. Akan tetapi,
penguasa-penguasa sesudah ibn Tasyfin adalah raja-raja yang lemah. Pada tahun
1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir dan digantikan dengan dinasti
Muwahiddun, pada tahun 1146 M penguasa dinasti Muwahiddun yang berpusat di
Afrika Utara merebut daerah ini. Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah
pimpinan Abd Al Mun’im. Antara tahun 1114 dan 1154 M, kota-kota muslim penting,
Cordova, Almeria, Granada, jatuh kebawah kekuasaannya. Untuk jangka beberapa
dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat
dipukul mendur. Akan tetapi, tidak lama setelah itu, Muwahiddun mengalami
keambrukan.[17]
6.
Periode
Keenam (1248-1492 M)
Pada
periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah dinasti Bani
Ahmar (1232- 1492 M). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman
Abdurrahman An-Nasir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa
di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di
Spanyol ini berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam merebutkan
kekuasaan.[18]
Dan hal ini dapat di manfaatkan dengan baik oleh umat Kristen untuk kembali
merebut kekuasaan terakhir yang dimiliki oleh umat Islam, umat Islam setelah
itu dihadapkan pada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol.
Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah itu.[19]
C.
KEMAJUAN
PERADABAN
Dalam masa lebih dari tujuh abad,
kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam mencapai kejayaannya di sana. Banyak
prestasi yang mereka peroleh, bahkan, pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian
dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks.
1.
Kemajuan
Intelektual
Spanyol
adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang
tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir.
Masyarakat Spanyol
Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab
(Utara dan Selatan), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-
Shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi
tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara
bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab dan Kristen yang masih
menetang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir,
memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus
yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.[20]
Kemajuan
intelektual di Spanyol meliputi bidang keilmuan Filsafat, Sains, Fiqih, Musik
dan Kesenian, Bahasa dan Sastra.
a.
Filsafat
Tokoh
utama pertama dalam sejarah filsafat Arab Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn
Al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Tokoh utama kedua adalah Abu
Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asy. Ia banyak menulis masalah kedokteran,
astronomi, dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan.[21]
b.
Sains
Ilmu-ilmu
kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang
dengan baik. Abbas ibn Farnas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah
orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu.[22]
Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqashad terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat
menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia
juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata
surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas daro Cordova adalah ahli dalam bidang
obat-obatan. Umm Al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz
adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.[23]
c.
Fiqih
Dalam
bidang fiqih, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang
memperkenalkan mazhab ini di sana adalah Ziyad ibn Abd Al-Rahman. Perkembangan
selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam ibn Abd Al-Rahman. Ahli-ahli fiqih lainnya
di antaranya adalah Abu Bakr ibn Al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id Al-Baluthi, dan
Ibn Hazm yang terkenal.[24]
d.
Musik
dan kesenian
Dalam
bidang musik dan seni suara. Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan
tokohnya Al-Hasan ibn Nafi yang dijuluki Zaryab.
Setiap kali diselenggarakan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil
mempertunjukkannya kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu
yang dimilikinya itu diturunkan kepada anak-anaknya, baik pria maupun wanita,
dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.[25]
e.
Bahasa
dan Sastra
Bahasa
Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal
itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli
Spanyol menomor duakan bahasa asli mereka. Mereka itu antara lain: Ibn
Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah,
Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali Al-Isybili, Abu Al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu
Hayyan Al-Gharnathi.
Seiring
dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra banyak bermunculan, seperti
Al-‘Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirah fi Mahasin Ahl al-Jazirah
oleh Ibn Bassam, Kitab al-Qalaid buah karya Al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi
yang lain.[26]
2.
Kemegahan
Pembangunan Fisik
Aspek-aspek
pembangunan fisik yang mendapat perhatian umat Islam sangat banyak. Dalam
perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Demikian juga dibidang pertanian.
Umat Islam juga memperkenalkan sistem irigasi dalam pertanian yang sebelumnya
belum pernah dikenal. Disamping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan
pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun, dan taman-taman.
Industri
disamping pertanian dan perdagangan, juga merupakan tulang punggung ekonomi
Spanyol Islam. Di antaranya adalah tekstil, kayu, kulit, logam, dan industri
barang-barang tembikar.[27]
Namun
demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan
gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, mesjid, pemukiran, dan
taman-taman. Di antara pembangunan yang megah adalah mesjid Cordova, kota
Al-Zahra, Istana Ja’fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana Al-Makmun,
mesjid Seville, dan istana Al-Hamra di Granada.[28]
3.
Faktor-faktor
pendukung kemajuan
Spanyol
Islam, kemajuan sangat ditentukan oleh adanya peguasa-penguasa yang kuat dan
berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abd
Al-Rahman Al-Dakhil, Abd Al-Rahman, Al-Wasith dan Abd Al-Rahman Al-Nasir.
Keberhasilan
politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan
penguasa-penguasa lainnya yang mampu mempelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang
terpenting di antara penguasa dinasti Umayyah di Spanyol dalam hal ini adalah
Muhammad Ibn Abd Al-Rahman (852-886) dan Al-Hakam II Al-Muntashir (961-976).
Meskipun
ada persaingan antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, hubungan
budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke 11 M
dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah
Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini
menunjukan bahwa, meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik,
terdapat apa yang disebut kesatuan budaya dunia Islam.[29]
Perpecahan
politik pada masa Muluk Al-Thawa’if dan sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya
peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan,
kesenian dan kebudayaan Islam Spanyol. Setiap dinasti (raja) di Malaga, Toledo,
Seville, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Cordova. Kalau sebelumnya
Cordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Spanyol, Muluk
Al-Thawa’if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang di antaranya
justru lebih maju.[30]
D.
PENYEBAB
KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN
1.
Konflik
Islam dengan Kristen
Para
penguasa Muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa
puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen taklukannya dan
membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat mereka, termasuk posisi hirarki
tradisional, asal tidak ada perlawanan bersenjata. Oleh karena itu, secara
tidak langsung kehadiran orang Arab Islam di Spanyol telah membuat rasa
kebangsaan Spanyol Kristen meningkat. Dan ini menyebabkan sering terjadinya
pertentangan antara Islam dan Kristen. Sehinggan di abad ke 11 M umat Islam
mengalami kemunduran akan tetapi sebaliknya bagi umat Kristen yang mengalami
kemajuan pesat.
2.
Tidak
Adanya Ideologi Pemersatu
Kalau
di tempat-tempat lain, para mukallaf diperlakukan sebagai orang Islam yang
sederajat, di Spanyol, sebagaimana politik yang dijalankan Bani Umayyah di
Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang pribumi.
Setidak-tidaknya sampai abad 10 M, mereka masih memberi istilah ‘ibad dan
muwalladun kepada para mukallaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan.
Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada sering menggerogoti dan
merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampa besar terhadap sejarah
sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal ini menunjukan tidak ada ideologi yang dapat
memberikan makna pemersatu, di samping itu kurangnya figur yang dapat menjadi
personifikasi ideologi itu.
3.
Kesulitan
Ekonomi
Di
paruh kedua masa Islam di Spanyol, para penguasa membangun kota dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dengan sangat serius sehingga lalai membina perekonomian.
Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan mempengaruhi
kondisi politik dan militer.
4.
Tidak
Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Hal
ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli waris. Bahkan, karena inilah
kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Al-Thawaif muncul. Granada yang merupakan
pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke tangan Ferdinand dan
Isabella, di antaranya juga disebabkan permasalahan ini.
5.
Keterpencilan
Spanyol Islam bagaikan
terpencil dari dunia Islam yang lain, selalu berjuang sendirian, tanpa
mendapatkan bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada
kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen di sana.[31]
E.
PENGARUH
PERDABAN SPANYOL ISLAM DI EROPA
Kemajuan Eropa yang terus berkembang
hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam
yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban
Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang
penting adalah Spanyol Islam.
Spanyol
merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik
dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian, dan peradaban antar
negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada dibawah
kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama
dalam bidang pemikiran dan sains di sampin bangunan fisik.[32]
Yang terpenting di antaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198 M). Ia
melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berfikir. Ia mengulas
pemikiran Aristoteles dengan cara memikat minat semua orang yang berpikiran
bebas. Ia mengedepankan sunatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme
dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di
Eropa timbul gerakan Averroisme yang menuntut kebebasan berfikir. Pihak gereja
menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroisme ini.
Berawal dari gerakan Averroisme inilah
di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad
ke 17 M.[33]
Buku-buku Ibn Rusyd dicetak di Vinesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500
M. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya
juga diterbitkan pada abad ke 16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Atrasbourg,
dan di awal abad ke 17 M di Jenewa.[34]
Pengaruh peradaban Islam termasuk
didalamnya pemikiran Ibn Rusyd ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda
Kristen Eropa yang belajar di Universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti
universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di
Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan Islam. Pusat
penerjamahan iru sendiri berada di Toledo. Setelah pulan ke negerinya, mereka
mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas pertama di Eropa
adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M, tiga puluh tahun
setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18
buah universitas. Di dalam universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari
universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti,
dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak adalah pemikiran Al-Farabi,
Ibn Sina dan Ibn Rusyd.[35]
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas
Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke 12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan
kembali (renaissance) pusaka Yunani
di Eropa pada abad ke !4 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini
adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin.[36]
Walaupun Islam akhirnya terusir dari
negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani
gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan
kembali kebudayaan Yunani klasik (renaissance)
pada abad ke 14 M ysng bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke 16 M,
rasionalisme pada abad ke 17 M dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke 18 M.[37]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebelum Islam masuk ke Spanyol, banyak
terjadi kekacauan oleh kerajaan Gotic yang memaksa umat yahudi untuk di baptis.
Hal ini membawa dampak perpecahan yang sangat signifikan diantara bangsa
Spanyol itu sendiri. Keadaan ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh umat
Islam dalam penaklukannya ke Spanyol. Dengan datangnya Islam ke Spanyol dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat Spanyol karena Islam membebaskan mereka
untuk memeluk agama yang mereka yakini.
Masuknya Islam ke Spanyol diawali oleh
tiga pahlawan, mereka yaitu, Tharif, Thariq dan Musa yang melakukan ekspansi
dengan melakukan penyeberangan melalui selat diantara Maroko dan Eropa. Dan
mereka berhasil menguasai Spanyol, kemenangan-kemenangan yang dicapai umat
Islam nampak sangat begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari faktor
eksternal dan internal yang menguntungkan.
Masuknya Islam ke Eropa membawa dampak
kemajuan yang sangat pesat dalam peradaban, antara lain kemajuan intelektual
dan kemegahan bangunan. Banyak sekali manfaat yang didapat oleh peradaban Islam
di Spanyol pada masa itu. Orang-orang Arab banyak memperkenalkan hal-hal
tentang pembangunan baru yang belum mereka temui sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Zainal Abidin. Riwayat Hidup Ibn Rusyd.
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Arnold, W.
Thomas. Sejarah Da’wah Islam.
Jakarta: Wijaya, 1983.
Badi’, Luthfi Abd Al. Al-Islam fi Isbaniya. Kairo: Maktabah Al-Nahdhah Al-Mishriyah,
1969.
Bertens, K. Ringkasan
Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Brockelmaan,
Carl. History of the Islamic Peoples.
London: Rotledge & Kegan Paul, 1980.
Bury, J.
B. Sejarah Kemerdekaan Berfikir. Jakarta:
P.T Pembangunan, 1963.
Fakhri, Majid. Sejarah
Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
Hitti, K.
Philip. History of the Arabs. London:
Macmillan Press, 1970.
Imaduddin, S. M.
Muslim Spain: 711-1492 A. D.,.
Leiden: E. J. Brill, 1981.
Nasution, Harun. Islam
ditinjau dari berbagai aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.
Poeradisastra, S. I. Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern. Jakarta: P3M,
1986.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta:
Pustaka Alhusna, 1983.
Syalabi, Ahmad. Mausu’ah
al-Tarikh al-Islami wa al- Hadharah al-Islamiyah. Kairo: Maktabah
Al-Nahdhah Al-Mishriyah, 1978 M.
Wassenstein, David. Politics and Society in Islamic Spain: 1002-1086,. New Jersey:
Princeton University Press, 1985.
Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990.
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Zaidan, Jurji. Tarikh
al-Tamaddun al-Islami. Kairo: Dar Al-Hilal, t.th.
[1]A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II
(Cet. I, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), hlm. 154.
[4]Carl, Brockelmaan, History of the Islamic Peoples, (London:
Rotledge & Kegan Paul, 1980), hlm. 83.
[5]A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hlm. 161.
[7]Thomas W. Arnold, Sejarah Da’wah Islam, (Jakarta: Wijaya,
1983), hlm. 118
[8]S. M. Imaduddin, Muslim Spain: 711-1492 A. D., (Leiden:
E. J. Brill, 1981), hlm. 13.
[11]David Wassenstein, Politics and Society in Islamic Spain:
1002-1086, (New Jersey: Princeton University Press, 1985), hlm. 15-16.
[12]Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al- Hadharah
al-Islamiyah, Jilid IV, (Kairo: Maktabah Al-Nahdhah Al-Mishriyah, 1978 M),
hlm 41-50.
[13]Jurji Zaidan, Tarikh al-Tamaddun al-Islami, Juz III,
(Kairo: Dar Al-Hilal, t.th), hlm.200.
[14]Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
RajaGrafindo), hlm. 97.
[15]W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh
Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hlm. 217-218.
[19] Harun
Nasution, Islam ditinjau dari berbagai
aspeknya, Jilid II (Cet. V, Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 82.
[20]Luthfi Abd Al-Badi’, Al-Islam fi Isbaniya, (Kairo: Maktabah
Al-Nahdhah Al-Mishriyah, 1969), hlm. 38.
[24]Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 103.
[29]Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986), hlm. 356.
[33]S. I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban
Modern, cet II, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 67.
[35]Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), hlm. 148-149.
[36]K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, cet V
(Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 32.; J. B. Bury, Sejarah Kemerdekaan Berfikir, (Jakarta: P.T Pembangunan, 1963),
hlm. 63-82.
[37]S. I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban
Modern, cet II, hlm. 77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar