BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum
Perjanjian Islam dirasakan penting oleh masyarakat Indonesia, khusunya umat
Islam. Mengingat melalui sistem hukmu perjanjian Islam, akan melahirkan
transaksi-transaki bisnis yang terbebas dari unsur-unsur yang dilarang berupa
perjudian (maysir), ketidakjelasan (gharar), suap-menyuap (ryswah),
bunga (riba) dan bathil. Dengan demikian melalui penerapan Hukum
Perjanjian Islam diharapkan dapat lebih mendatangkan kemanfaatan bagi para
pihak dan menjadikannya bebas dari unsur-unsur eksploitasi terhadap sesama.
Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa Hukum Perjanjian Islam memegang peranan yang sangat
penting dalam melaksanakan muamalah yang menyangkut ekonomi Islam, ini akan
menjadi sangat penting mengingat perkembangan luar biasa di bidang ekonomi
syariah yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah yang
memilik produk berbasis syariah.
Dalam hal ini
berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya khususnya dalam
bidang muamalah, baik dalam bidang harta kekayaan maupun dalam bidang
kekeluargaan. Hubungan antara sesama manusia, khususnya di bidang lapangan
harta kekayaan, biasanya diwujudkan dalam bentuk perjanjian (akad). Dalam
kontek Indonesia terdapat tiga macam sistem hukum yang mangatur masalah
perjanjian ini, yaitu Hukum Adat, Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), dan Hukum
Islam. Maka dari itu perlu bagi kita untuk mengetahui kedudukan hukum
perjanjian Islam dalam tata hukum Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kedudukan hukum perjanjian Islam dalam tata hukum Indonesia?
2.
Bagaimana
perbedaan antara hukum perjanjian Islam dengan tata hukum perjanjian yang juga
berlaku di Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
kedudukan hukum perjanjian Islam dalam tata hukum Indonesia.
2.
Mengetahui
perbedaan antara hukum perjanjian Islam dengan tata hukum perjanjian yang juga
berlaku di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Perjanjian Islam
Secara
etimologis perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah
Ittifa’ atau akad. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak,
perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu perbuatan di mana
seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.[1]
Dalam Al-Qur’an
sendiri setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan perjanjian,[2]
yaitu kata akad (al-‘aqadu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu), Al-Qur’an
memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang
kedua dalam Al-Qur’an berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau
perjanjian.
Dengan demikian
istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis,
sedangkan kata Al-‘ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian
atau overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari
seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada
sangkut-pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji hanya mengikat bagi orang yang
bersangkutan, sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surat Ali
Imran ayat 76.[3]
Rumusan akad di
atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah
pihak yang bertujuan untuk saling mengikat diri tentang perbuatan yang akan
dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai
diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalam ijab dan qabul
yang menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap perikatan
yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak
syariat. Artinya bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua boleh pihak
atau lebih baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan
dengan syariat Islam. Dengan adanya ijab kabul yang didasarkan pada ketentuan
syariat, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada obyek perikatan,
yaitu terjadinya pemindahan kepemilikan atau pengalihan kemanfaatan dan
seterusnya.
Dalam Islam ada
pengertian lain yang memberikan gambaran lebih luas cakupannya dari pengertian
yang tersebut di atas, yakni memasukkan pengertian akad sebagai tindakan orang
yang berkehendak kuat dalam hati, meskipun dilakukan secara sepohak, seperti
hibah, wasiat, wakaf dan sebagainya. Sehingga untuk kemudian dalam tulisan ini
akad dibahas mengenai macam-macam akad baik yang bersifat timbal balik, maupun
akad yang sifatnya sepihak.[4]
Sementara itu
Ahmad Azhar Basyir, memberikan definisi akad sebagai berikut, akad adalah suatu
perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan
syarak yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab
adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang kabul
adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
Pengertian akad
juga dapat dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Pasal 1 angka 13 undang-undang dimaksud menyebutkan bahwa akad adalah
kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS (Unit Usaha Syariah) dan
pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai
Prinsip Syariah.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa akad adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
berprestasi pada salah satu pihak, dan hak bagi pihak yang lain atas prestasi
tersebut, dengan atau tanpa melakukan kontraprestasi. Kewajiban bagi salah satu
pihak merupakan hak bagi pihak lain, begitu sebaliknya.[5]
B.
Tinjauan
Secara Umum Terhadap Hukum Perjanjian Yang Berlaku Di Indonesia
1.
Hukum
Perjanjian menurut KUHPerdata
Hukum perjanjian dalam kontek hukum barat diatur dalam ketentuan
Buku III KUHPerdata terntang perikatan. Pasal 1313 KUHPerdata dibawah judul
“Tentang Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”
menyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih”.[6]
Setiap perjanjian agar secara sah mengikat bagi para pihak-pihak
yang mengadakan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yang mana ini tertuang
dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu perlunya ada kesepakatan para
pihak (asas konsensual), kecakapan bertindak dari para pihak, adanya obyek
tertentu, dan mempunyai kausa yang halal.
Dianggap tidak ada kesepakatan kalau di dalamnya terdapat paksaan (dwang),
kekhilafan (dwaling), maupun penipuan (bedrog). Dalam ketentuan
Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan mengenai siapa-siapa yang oleh hukum dianggap
tidak cakap, yaitu: anak yang masih di bawah umur, orang yang hilang ingatan
(ditaruh dibawah pengampuan), orang yang boros, dan Istri dari suami yang
tunduk pada KUHPerdata. Mereka itu di dalam bertindak harus diwakili oleh orang
tua, wali atau kuratornya. Sedangkan mengenai istri berdasarkan ketentuan Surat
Edaran Mahkamah Agung No. III Tahun 1963 sudah termasuk orang yang cakap melakukan
perbuatan hukum secara mandiri.
Obyek perjanjian harus tertentu atau minimal dapat ditentukan.
Selain itu segala sesuatu yang menjadi objek perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum yang
berlaku di masyarakat. Kemudian bahwa suatu perjanjian yang dibuat dilarang
tampa sebab, memuat sebab palsu, ataupun sebab yang dilarang.
Konsekuensi yuridis jika salah satu syarat tidak dapat dipenuhi
adalah kebatalan dari perjanjian yang bersangkutan, baik dapat dibatalkan
maupun batal demi hukum. Sedangkan konsekuensi yuridis dari perjanjian yang sah
adalah mengikat bagi para pihak laksana undang-undang (vide Pasal 1338
KUHPerdata), di samping itu juga menjadikan para pihak wajib melaksanakannya
dengan itikad baik dan tidak bisa memutuskan perjanjian tersebut secara
sepihak.[7]
Konsep hukum perjanjian menurut KUHPerdata ini, menganut berbagai
asas yang dapat disimpulkan dari ketentuan pasal-pasalnya, antara lain yaitu:[8]
a.
Asas
kebebasan berkontrak (freedom of contract principle/Laissez Faire)
Bahwa setiap orang bebas untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian, bebas menentukan dengan siapa akan membuat perjanjian, bebas
menentukan dengan siapa akan membuat perjanjian, bebas menentukan apa saja yang
menjadi obyek perjanjian, serta bebas menentukan penyelesaian sengketa yang
terjadi dikemudian hari. Tentu saja bebas aitu juga ada batasnya, dalam artian
bahwa para pihak dilarang membuat perjanjian yang bertentangan dengan hukum,
agama, kesusilaan, dan ketertiban umum yang berlaku di masyarakat.
Asas kebebasan berkontrak ini tersimpul dari ketentuan Pasal 1338
KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Prof. Subekti
menyimpulkan bahwa Pasal 1338 ini mengandung suatu asas dalam membuat
perjanjian (kebebasan berkontrak) atau menganut sistem terbuka (open system).[9] Dengan
menekankan pada perkataan “semua” maka pasal tersebut seolah-olah berisikan
suatu pernyataan kepada masyarakat tentang diperbolehkannya membuat perjanjian
apa saja (asalkan dibuat secara sah) dan perjanjian itu akan mengikat mereka
yang membuatnya seperti undang-undang.
Dalam kontek KUHPerdata hukum perjanjian adalah hukum pelengkap (aanvulend
recht) yang dapat disimpulkan dari Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”[10]
b.
Asas
Kepribadian (Privity of Contract)
Asas kepribadian ini mencakup ruang lingkup dari berlakunya suatu
perjanjian, yakni bahwa suatu perjanjian mempunyai ruang lingkup berlaku hanya
terbatas pada para pihak dalam perjanjian itu saja. Dengan demikian pihak
ketiga (pihak di luar perjanjian) tidak dapat ikut menuntut suatu hak
berdasarkan perjanjian itu. Dalam kontek KUHPerdata mengenai asas kepribadian
ini tercantum dalam ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata.
Asas kepribadian sebagai salah satu asas dalam suatu perjanjian
mempunyai pengecualian sebagaimana tertulis dalam ketentuan Pasal 1317
KUHPerdata, yaitu bahwa janji untuk kepentingan pihak ketiga, sebenarnya adalah
memberikan atau menyerahkan haknya kepada pihak ketiga. Jadi pihak ketiga di
sini hanyalah mendapatkan hak dari perjanjian yang sudah ada dan karena hak itu
sudah ditentukan dalam perjanjian, maka ia berhak untuk menuntut
dilaksanakannya perjanjian itu.
c.
Asas
Itikad Baik (Good Faith Principle)
Mengenai asas itikad baik ini tercantum dalam ketentuan Pasal 1338
KUHPerdata, yang intinya menyatakan bahwa setiap perjanjian yang sah wajib
dilaksanakan oleh pihak-pihak yang mengadakannya dengan itikad baik. Doktrin
tentang itikad baik ini, merupakan doktrin yang esensial dari suatu perjanjian
yang sudah dikenal sejak lama dengan asas Pacta Sunt Servanda.
Bahwa obyek dari suatu perjanjian intinya berupa prestasi baik
berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, ataupun tidak berbuat sesuatu.
Pihak yang berhak atas prestasi disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib
memenuhi prestasi adalah debitur.
Dalam suatu perjanjian terkadang pihak debitur melakukan
wanprestasi, yaitu tidak berhasil memenuhi prestasi sesuai dengan yang
diperjanjikan. Mengenai wanprestasi ini Prof. Subekti mengklasifikasikan
menjadi empat macam yaitu:[11]
1)
Tidak
berprestasi sama sekali.
2)
Berprestasi
tetapi terlambat atau tidak tepat waktu.
3)
Berprestasi
secara tidak sempurna.
4)
Melakukan
sesuatu yang dilarang dalam perjanjian.
Ujung-ujung
dari wanprestasi ini adalah ganti kerugian berupa biaya, rugi ataupun bunga,
atau juga bisa berupa pemutusan kontrak. Sehingga variasi akibat adanya
wanprestasi ini terdiri dari tiga macam, yaitu:
1)
Pemenuhan
perjanjian secara murni, atau
2)
Pemenuhan
perjanjian dengan disertai tuntutan ganti rugi,
3)
Pembatalan
perjanjian saja, atau
4)
Pembatalan
perjanjian dengan disertai tuntutan ganti rugi.
Keempat hal
diatas merupakan ketentuan di dalam Pasal 1267 KUHPerdata yang diperuntukkan
dalam perjanjian timbal balik. Dalam hal perjanjian yang dibuat adalah perjanjian
yang sepihak (unilateral), atau yang sifatnya cuma-cuma maka kreditur
tidak perlu, serta tidak dapat menuntut pembatalan tetapi cukup menuntut
pemenuhan perjanjian secara murni atau pemenuhan perjanjian secara penggantian
biaya, rugi dan bunga.[12]
Wanprestasi
merupakan suatu hal dimana pihak debitur tidak berhasil memenuhi prestasinya
dengan semestinya karena adanya unsur kesalahan di dalamnya baik berupa
kesengajaan maupun kelalaian. Dalam praktiknya kadangkala pihak debitur tidak
berhasil memenuhi perjanjian, karena adanya suatu keadaan atau kondisi yang
terletak diluar kemampuan manusia. Hal ini dikenal dengan istilah force
majeur yang mengakibatkan adanya risiko, berupa siapa yang akan
bertanggungjawab terhadap risiko yang menimpa obyek perjanjian.
2.
Perjanjian
Menurut Hukum Adat
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa di Indonesia tidak hanya
berlaku satu macam hukum, di samping hukum perdata barat (KUHPerdata),
disebagian besar wilayah Indonesia masih memberlakukan adanya hukum daerah
masing-masing atau yang lebih dikenal dengan hukum Adat. Berbeda dengan hukum
barat yang lebih bersifat abstrak, hukum adat lebih bersifat konkrit, dalam
artian bahwa untuk terjadinya perjanjian tidak cukup hanya dilakukan dengan
kata sepakat, melainkan apa yang menjadi obuek perjanjian harus secara nyata
telah tersedia (asas riil). Di samping itu hukum Adat juga bersifat terang dan
tunai.[13]
Terkait dengan perjanjian menurut hukum Adat, Hilman Hadikusuma
menyatakan bahwa Hukum Perjanjian Adat meliputi uraian tentang, hukum
perhutangan (schuldenrecht) termasuk soal transaksi-transaksi tanah (grondtransakties)
dan transaksi-transaksi yang menyangkut tanah (transakties
waarbijgrondbetroken is), sepanjang hal itu ada hubungannya dengan masalah
perjanjian menurut hukum adat.[14]
Perbedaan mendasar antara hukum perjanjian adat dengan hukum
perjanjian menurut KUHPerdata adalah bahwa hukum perjanjian KUHPerdata bertitik
tolak pada dasar kejiwaan kepentingan perseorangan dan bersifat kebendaan,
sedangkan hukum perjanjian adat bertitik tolak pada dasar kejiwaan kekeluargaan
dan kerukunan dan bersifat tolong menolong. Perjanjian menurut hukum barat
menerbitkan perikatan, sedangkan menurut hukum adat untuk mengikatnya
perjanjian harus ada tanda pengikat. Kemudian perjanjian menurut hukum adat
tidak selamanya menyangkut hubungan hukum mengenai harta benda, tetapi juga
termasuk perjanjian yang tidak berwujud seperti perbuatan karya budi.[15]
Dalam hukum perjanjian Adat dikenal adanya tanda jadi atau tepatnya
“tanda akan jadi” yaitu tanda pengikat dari suatu perjanjian yang telah
disepakati oleh kedua pihak, dimana kedua pihak berkewajiban memenuhi
perjanjian yang telah disepakati itu. Tanda jadi ini dikenal dengan istilah panjer
(jawa), yang banyak dipakai dalm perjanjian kebendaan berupa perjanjian
jual beli.[16] Berbeda dengan
uang muka yang pada pelaksanaannya diperhitungkan dengan harga pokok, maka
tanda jadi dalam hukum perjanjian adat tidak diperhitungkan dengan harga pokok.
Ia hanya bersifat sebagai tanda pengikat, sehingga apabila jual beli tidak jadi
dilakukan maka uang (tanda jadi) tersebut akan hilang dan menjadi hak dari
penjual, maka uang panjer/tanda jadi wajib dikembalikan.
Secara umum, macam-macam hukum perjanjian di bidang kebendaan
menurut hukum Adat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:[17]
a.
Hukum
Perjanjian dengan obyeknya berupa tanah.
Perjanjian
jenis ini merupakan perjanjian antara dua belah pihak yang menyangkut peralihan
tanah sebagai obyek dari perjanjian. Jenis perjanjian ini terdiri dari
perjanjian jual lepas, jual gadai, dan jual tahunan.
b.
Hukum
Perjanjian menyangkut tanah
Perjanjian
yang menyangkut tanah dimaksudkan sebagai perjanjian yang obyeknya bukan tanah,
melainkan sebagai tempat atau sesuatu yang terlibat oleh perjanjian itu. Jenis
perjanjian ini terdiri dari perjanjian bagi hasil, perjanjian sewa, perjanjian
berganda, perjanjian pinjam uang dengan jaminan tanah, dan perjanjian semu (simulatio).
Mengenai perjanjian bagi hasil yang berlaku dalam hukum adat, telah
mendapatkan pengaturannya dalam bentuk undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor
2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Pasal 3 dari Undang-Undang Bagi
Hasil menyebutkan bahwa perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis
dihadapan kepala desa yang disyahkan oleh camat, dan menurut Pasal 4 perjanjian
bagi hasil untuk sawah sekurang-kurangnya dalam jangka waktu tiga tahun dan
tanah kering sekurang-kurangnya lima tahun, kemudian Pasal 8 menyebutkan bahwa
dilarang adanya pembayaran uang atau pemberian benda apapun kepada pemilik
tanah untuk memperoleh hak mengusahakan tanah.
Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan di atas, terlihat bahwa
keabsahan dari perjanjian bagi hasil selain harus melalui kata sepakat dari
para pihak, juga harus dibuat dalam bentuk tertulis di hadapa kepala desa dan
disahkan oleh camat. Di samping itu juga ditentukan adanya jangka waktu minimal
dari perjanjian bagi hasil serta adanya larangan pemberian sesuatu kepada
pemilik tanah. Akan tetapi dalam praktiknya ketentuan yang tercantum di dalam
hukum positif ini kurang dapat diaplikasikan, sehingga tepat jika dikatakan
bahwa UU Bagi Hasil merupakan salah satu undang-undang yang tidak dapat
diterapkan dengan efektif. Masyarakat adat lebih suka melakukan perjanjian
dengan prinsip kepercayaan, sehingga menutut mereka cukup dengan kata sepakat
saja.
Dengan demikian hukum adat terbukti sebagai hukum yang hidup
(living law), karena meskipun bentuknya tidak tertulis, tetapi dalam praktiknya
banyak ditaati oleh masyarakat adat dan lebih bersifat fleksibel sehingga dapat
mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Hukum adat juga merupakan sumber
dari pembangunan hukum nasional di Indonesia selain hukum barat dan hukum
Islam.[18]
3.
Hukum
Perjanjian Islam
Dalam sejarah hukum di Indonesia antara Hukum Islam dengan Hukum
Adat terdapat keterkaitan yang sangat erat. Hal ini dapat kita lihat dalam berbagai
teori hukum yang menyangkut masalah berlakunya Hukum Islam di Indonesia.
Terdapat tiga macam teori hukum mengenai hal ini, yaitu:[19]
a.
Teori
Receptio in Complexu
Teori
ini menyatakan bahwa hukum Islam telah diterima secara menyeluruh dan dijadikan
acuan bagi persoalan-persoalan hukum yang dihadapi masyarakat Islam. Kendatipun
demikian hukum Islam yang berlaku di Indonesia didominasi oleh fikih Syafi’iah.
Alasan mengapa fikih dari Mazhab Syafi’i mendominasi Hukum Islam yang berlaku
di Indonesia, menurut Rachmat Djatnika disebabkan karena fikih Syafi’iah
lebih banyak memiliki kesesuaian dan dekat kepada kepribadian masyarakat
Indonesia.
b.
Teori
Receptie
Teori
ini diperkenalkan oleh Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) dan dikembangkan
oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) seorang penasihat pemerintah Hindia
Belanda tentang soal-soal Islam dan Anak Negeri Jajahan. Inti dari teori ini
adalah bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka
masing-masing, dan hukum Islam baru berlaku apabila telah diresepsi atau
diterima oleh hukum Adat. Jadi dengan demikian maka hukum adatlah yang
menentukan berlakunya Hukum Islam.
Teori
yang dikemukakan ini secara logis mempunyai misi tertentu yaitu untuk
menghambat dan menghentikan meluasnya hukum Islam dan membentuk konsep hukum
tandingan yang mendukung politik devide et impera (politik pecah belah)
dari Pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai contoh keberhasilan dari misi ini
adalah terjadinya konfrontasi antara ulama dan uleebalang di Aceh. Sehingga
tepat apabila Hazairin menyebut teori ini dengan teori Iblis, karena dimotivasi
oleh keinginan untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia.
c.
Teori
Receptie a Contrario
Teori
ini diperkenalkan oleh Sajuti Thalib (murid Hazairin). Ia melihat bahwa
pengaruh teori resepsi masih menguasai pikiran orang Indonesia hingga masa-masa
menjelang diundangkannya UUD 1945, bahkan sampai dekade 1990-an.
Adanya teori
yang ketiga ini merupakan bantahan terhadap teori yang kedua, bahwa dalam
praktiknya bukan hukum Adat yang menjadi dasar berlakunya hukum Islam. Walaupun
dalam praktiknya hukum adat masih diberlakukan di kalangan umat Islam, itu
lebih disebabkan bahwa hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan hukum
Islam, dan termasuk urf yang merupakan salah satu sumber hukum yang
diakui oleh Islam.
Dengan demikian
dapat ditarik benang merah bahwa ternyata antara Hukum Adat dengan Hukum Islam
mempunyai keterkaitan yang erat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
pokok-pokok Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang tertuang
dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, lebih mencerminkan berlakunya
hukum Islam yang telah disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya yang
berlaku di Indonesia. Seperti kita ketahui bahwa adat/urf yang baik merupakan (Al-Adatu
Muhakamah), maka menurut hemat penulis hukum adat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dapat
dijadikan sebagai acuan dalam menjalani kehidupan seorang muslim di lapangan
muamalah.[20]
Adapun aspek
yang memegang peranan penting di dalam pelaksanaan hukum privat adalah hukum
perjanjian. Jadi dengan demikian hukum Perdata Islam yang sangat besar
peluangnya untuk dapat diterapkan di Negara Indonesia adalah hukum perjanjian.[21]
Asas-asas yang terkandung di dalam konsep Hukum Perdata Islam, memang sesuai
benar dengan budaya masyarakat Indonesia. Menurut Prof. Mohammad Daud Ali, ada
beberapa asas-asas hukum yang terkandung di dalam Hukum Perdata Islam yang
menjadi tumpuan atau landasan untuk melindungi kepentingan pribadi seseorang,
yaitu:[22]
a.
Asas
kebolehan atau mubah
b.
Asas
kemaslahatan hidup
c.
Asas
kebebasan dan kesukarelaan
d.
Asas
menolah mudharat dan mengambil manfaat
e.
Asas
kebajikan (kebaikan)
f.
Asas
kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat
g.
Asas
adil dan berimbang
h.
Asas
yang mendahulukan kewajiban daripada hak
i.
Asas
larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
j.
Asas
kemampuan berbuat dan bertindak
k.
Asas
kebebasan berusaha
l.
Asas
mendapatkan hak karena usaha dan jasa
m.
Asas
perlindungan hak
n.
Asas
hak milik berfungsi sosial
o.
Asas
yang beritikad baik harus dilindungi
p.
Asas
resiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerja
q.
Asas
mengatur dan memberi petunjuk
r.
Asas
tertulis atau diucapkan di depan saksi
Dengan demikian
di dalam melakukan hubungan keperdataan, termasuk dalam hal ini dalam pembuatan
perjanjian atau akad harus mendasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Islam
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Asas-asas sebagaimana dimaksud
beberapa mempunyai kesamaan dengan asas-asas hukum yang berlaku dalam
KUHPerdata dan Hukum Adat.
C.
Perbedaan
Pokok antara Hukum Perjanjian Islam, Hukum Perjanjian Barat, dan Hukum
Perjanjian Adat
Perbedaan pokok
antara Hukum Perikatan Islam, Hukum Perikatan Perdata Barat, Hukum Perikatan
Adat dalam beberapa aspek dapat digambarkan pada tabel berikut ini:[23]
Perbedaan
|
Perikatan Islam
|
Perikatan Barat
|
Perikatan Adat
|
Landasan filosofis
|
Religius Transdental (ada nilai agama, berasal dari
ketentuan Allah)
|
Sekuler
(tidak ada nilai agama)
|
Religo-magis (ada nilai kepercayaan yang dituangkan dalam
simbol-simbol)
|
Sifat
|
Individual Proposional
|
Individual/liberal
|
Komunal
|
Ruang lingkup (Substansi)
|
Hubungan bidimensional manusia dengan Allah (vertikal), manusia
dengan manusia, benda, dan lingkungan (horizontal)
|
Hanya hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda.
(horizontal)
|
Hubungan horizontal saja
|
Proses terbentuknya
|
Adanya pengertian al-Ahdu (perjanjian) persetujuan , al-akdu
(perikatan) (QS. 3:76 QS: 5:1)
|
Adanya pengertian perjanjian dan perikatan (1313 dan 1233 BW)
|
Perjanjian, persetujuan, perbuatan simbolis, perikatan.
|
Sahnya perikatan
|
1.
Halal
2.
Sepakat
3.
Cakap
4.
Tanpa
paksaan
5.
Ijab
dan kabul
|
1.
Sepakat
2.
Cakap
3.
Hal
tertentu
4.
Halal
(1320 BW)
|
1.
Terang
2.
Tunai
|
Sumber
|
1.
Sikap
tindak yang didasarkan syariat
2.
Persetujuan
yang tidak melanggar syariat
|
1.
Persetujuam
2.
Undang-undang
(1233 BW)
|
1.
Perjanjian
2.
Sikap
tindak tertentu (tolong menolong)
|
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan dari hukum perjanjian Islam itu sendiri ialah akad
perjanjian yang menimbulkan kewajiban berprestasi pada salah satu pihak, dan
hak bagi pihak yang lain atas prestasi tersebut, dengan atau tanpa melakukan
kontraprestasi. Kewajiban bagi salah satu pihak merupakan hak bagi pihak lain,
begitu sebaliknya.
Secara umum hukum perjanjian Islam yang di berlaku di dalam tata
hukum Indonesia yaitu hukum Perjanjian menurut KUHPerdata, hukum perjanjian
Islam, dan hukum perjanjian adat. Mengenai hukum perjanjian menurut KUHPerdata
menganut beberapa asas yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan
pasalnya, yaitu: Pertama asas kebebasan berkontrak, kedua, asas kepribadian.
Ketiga, asas itikad baik.
Perbedaan pokok antara Hukum Perikatan Islam, Hukum Perikatan
Perdata Barat, Hukum Perikatan Adat dalam beberapa aspek yaitu, dilihat dari
segi aspek landasan folosofisnya, dari segi sifatnya, ruang lingkupnya, proses
terbentuknya, sahnya perikatan, sumber dari hukum perjanjian tersebut.
Dengan demikian di dalam melakukan hubungan keperdataan, termasuk
dalam hal ini dalam pembuatan perjanjian atau akad harus mendasarkan pada
asas-asas Hukum Perdata Islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Asas-asas
sebagaimana dimaksud beberapa mempunyai kesamaan dengan asas-asas hukum yang
berlaku dalam KUHPerdata dan Hukum Adat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1991.
Anshori,
Abdul Ghofur. Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2010.
Badrulzaman,
Mariam Daus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2001.
Dewi,
Gemala. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Djamil,
Fathurahman. Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
Hadikusuma,
Hilman. Hukum Perjanjian Adat. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1994.
Lubis,
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta:
Sinar Grafika, 2004.
Rofiq,
Ahmad. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media,
2001.
Rusli,
Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta: Sinar
Harapan, 1996.
Subekti.
Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1996.
Widjaja,
Kartini Muljadi dan Gunawan. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2004.
[1]Chairuman
Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), hlm. 1.
[2]Mariam Daus
Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2001), hlm. 247.
[3]Fathurahman
Djamil, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 248.
[4]Abdul Ghofur
Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2010), hlm. 23.
[5]Abdul Ghofur
Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 24.
[6]Kartini Muljadi
dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2004), hlm. 7.
[7]Abdul Ghofur
Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 7-8.
[8]Abdul Ghofur
Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 8
[9]Hardijan Rusli,
Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Sinar Harapan,
1996), hlm. 37.
[11]Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1996), hlm. 45.
[13]Abdul Ghofur
Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 11.
[14]Hilman
Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,
1994), hlm. 2.
[15]Hilman
Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, hlm. 4.
[16]Hilman
Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, hlm. 95.
[18]Abdul Ghofur
Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 13-14.
[19]Ahmad Rofiq, Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. x.
[20]Abdul Ghofur
Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 16.
[21]Abdul Ghofur
Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 18.
[22]Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1991), hlm. 119.
[23]Gemala Dewi, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar