Rabu, 11 Oktober 2017

Hukum Perjanjian Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum Perjanjian Islam dirasakan penting oleh masyarakat Indonesia, khusunya umat Islam. Mengingat melalui sistem hukmu perjanjian Islam, akan melahirkan transaksi-transaki bisnis yang terbebas dari unsur-unsur yang dilarang berupa perjudian (maysir), ketidakjelasan (gharar), suap-menyuap (ryswah), bunga (riba) dan bathil. Dengan demikian melalui penerapan Hukum Perjanjian Islam diharapkan dapat lebih mendatangkan kemanfaatan bagi para pihak dan menjadikannya bebas dari unsur-unsur eksploitasi terhadap sesama.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Hukum Perjanjian Islam memegang peranan yang sangat penting dalam melaksanakan muamalah yang menyangkut ekonomi Islam, ini akan menjadi sangat penting mengingat perkembangan luar biasa di bidang ekonomi syariah yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah yang memilik produk berbasis syariah.
Dalam hal ini berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya khususnya dalam bidang muamalah, baik dalam bidang harta kekayaan maupun dalam bidang kekeluargaan. Hubungan antara sesama manusia, khususnya di bidang lapangan harta kekayaan, biasanya diwujudkan dalam bentuk perjanjian (akad). Dalam kontek Indonesia terdapat tiga macam sistem hukum yang mangatur masalah perjanjian ini, yaitu Hukum Adat, Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), dan Hukum Islam. Maka dari itu perlu bagi kita untuk mengetahui kedudukan hukum perjanjian Islam dalam tata hukum Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan hukum perjanjian Islam dalam tata hukum Indonesia?
2.      Bagaimana perbedaan antara hukum perjanjian Islam dengan tata hukum perjanjian yang juga berlaku di Indonesia?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui kedudukan hukum perjanjian Islam dalam tata hukum Indonesia.
2.      Mengetahui perbedaan antara hukum perjanjian Islam dengan tata hukum perjanjian yang juga berlaku di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Perjanjian Islam
Secara etimologis perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah Ittifa’ atau akad. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak, perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu perbuatan di mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.[1]
Dalam Al-Qur’an sendiri setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan perjanjian,[2] yaitu kata akad (al-‘aqadu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu), Al-Qur’an memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang kedua dalam Al-Qur’an berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian.
Dengan demikian istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis, sedangkan kata Al-‘ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan, sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 76.[3]
Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikat diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalam ijab dan qabul yang menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak syariat. Artinya bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua boleh pihak atau lebih baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dengan adanya ijab kabul yang didasarkan pada ketentuan syariat, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada obyek perikatan, yaitu terjadinya pemindahan kepemilikan atau pengalihan kemanfaatan dan seterusnya.
Dalam Islam ada pengertian lain yang memberikan gambaran lebih luas cakupannya dari pengertian yang tersebut di atas, yakni memasukkan pengertian akad sebagai tindakan orang yang berkehendak kuat dalam hati, meskipun dilakukan secara sepohak, seperti hibah, wasiat, wakaf dan sebagainya. Sehingga untuk kemudian dalam tulisan ini akad dibahas mengenai macam-macam akad baik yang bersifat timbal balik, maupun akad yang sifatnya sepihak.[4]
Sementara itu Ahmad Azhar Basyir, memberikan definisi akad sebagai berikut, akad adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syarak yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
Pengertian akad juga dapat dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 1 angka 13 undang-undang dimaksud menyebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS (Unit Usaha Syariah) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai Prinsip Syariah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akad adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban berprestasi pada salah satu pihak, dan hak bagi pihak yang lain atas prestasi tersebut, dengan atau tanpa melakukan kontraprestasi. Kewajiban bagi salah satu pihak merupakan hak bagi pihak lain, begitu sebaliknya.[5]
B.     Tinjauan Secara Umum Terhadap Hukum Perjanjian Yang Berlaku Di Indonesia
1.      Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata
Hukum perjanjian dalam kontek hukum barat diatur dalam ketentuan Buku III KUHPerdata terntang perikatan. Pasal 1313 KUHPerdata dibawah judul “Tentang Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian” menyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih”.[6]
Setiap perjanjian agar secara sah mengikat bagi para pihak-pihak yang mengadakan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yang mana ini tertuang dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu perlunya ada kesepakatan para pihak (asas konsensual), kecakapan bertindak dari para pihak, adanya obyek tertentu, dan mempunyai kausa yang halal.
Dianggap tidak ada kesepakatan kalau di dalamnya terdapat paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), maupun penipuan (bedrog). Dalam ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan mengenai siapa-siapa yang oleh hukum dianggap tidak cakap, yaitu: anak yang masih di bawah umur, orang yang hilang ingatan (ditaruh dibawah pengampuan), orang yang boros, dan Istri dari suami yang tunduk pada KUHPerdata. Mereka itu di dalam bertindak harus diwakili oleh orang tua, wali atau kuratornya. Sedangkan mengenai istri berdasarkan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung No. III Tahun 1963 sudah termasuk orang yang cakap melakukan perbuatan hukum secara mandiri.
Obyek perjanjian harus tertentu atau minimal dapat ditentukan. Selain itu segala sesuatu yang menjadi objek perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum yang berlaku di masyarakat. Kemudian bahwa suatu perjanjian yang dibuat dilarang tampa sebab, memuat sebab palsu, ataupun sebab yang dilarang.
Konsekuensi yuridis jika salah satu syarat tidak dapat dipenuhi adalah kebatalan dari perjanjian yang bersangkutan, baik dapat dibatalkan maupun batal demi hukum. Sedangkan konsekuensi yuridis dari perjanjian yang sah adalah mengikat bagi para pihak laksana undang-undang (vide Pasal 1338 KUHPerdata), di samping itu juga menjadikan para pihak wajib melaksanakannya dengan itikad baik dan tidak bisa memutuskan perjanjian tersebut secara sepihak.[7]
Konsep hukum perjanjian menurut KUHPerdata ini, menganut berbagai asas yang dapat disimpulkan dari ketentuan pasal-pasalnya, antara lain yaitu:[8]
a.      Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract principle/Laissez Faire)
Bahwa setiap orang bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan dengan siapa akan membuat perjanjian, bebas menentukan dengan siapa akan membuat perjanjian, bebas menentukan apa saja yang menjadi obyek perjanjian, serta bebas menentukan penyelesaian sengketa yang terjadi dikemudian hari. Tentu saja bebas aitu juga ada batasnya, dalam artian bahwa para pihak dilarang membuat perjanjian yang bertentangan dengan hukum, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum yang berlaku di masyarakat.
Asas kebebasan berkontrak ini tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Prof. Subekti menyimpulkan bahwa Pasal 1338 ini mengandung suatu asas dalam membuat perjanjian (kebebasan berkontrak) atau menganut sistem terbuka (open system).[9] Dengan menekankan pada perkataan “semua” maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat tentang diperbolehkannya membuat perjanjian apa saja (asalkan dibuat secara sah) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang.
Dalam kontek KUHPerdata hukum perjanjian adalah hukum pelengkap (aanvulend recht) yang dapat disimpulkan dari Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”[10]
b.      Asas Kepribadian (Privity of Contract)
Asas kepribadian ini mencakup ruang lingkup dari berlakunya suatu perjanjian, yakni bahwa suatu perjanjian mempunyai ruang lingkup berlaku hanya terbatas pada para pihak dalam perjanjian itu saja. Dengan demikian pihak ketiga (pihak di luar perjanjian) tidak dapat ikut menuntut suatu hak berdasarkan perjanjian itu. Dalam kontek KUHPerdata mengenai asas kepribadian ini tercantum dalam ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata.
Asas kepribadian sebagai salah satu asas dalam suatu perjanjian mempunyai pengecualian sebagaimana tertulis dalam ketentuan Pasal 1317 KUHPerdata, yaitu bahwa janji untuk kepentingan pihak ketiga, sebenarnya adalah memberikan atau menyerahkan haknya kepada pihak ketiga. Jadi pihak ketiga di sini hanyalah mendapatkan hak dari perjanjian yang sudah ada dan karena hak itu sudah ditentukan dalam perjanjian, maka ia berhak untuk menuntut dilaksanakannya perjanjian itu.
c.       Asas Itikad Baik (Good Faith Principle)
Mengenai asas itikad baik ini tercantum dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, yang intinya menyatakan bahwa setiap perjanjian yang sah wajib dilaksanakan oleh pihak-pihak yang mengadakannya dengan itikad baik. Doktrin tentang itikad baik ini, merupakan doktrin yang esensial dari suatu perjanjian yang sudah dikenal sejak lama dengan asas Pacta Sunt Servanda.
Bahwa obyek dari suatu perjanjian intinya berupa prestasi baik berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, ataupun tidak berbuat sesuatu. Pihak yang berhak atas prestasi disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi prestasi adalah debitur.
Dalam suatu perjanjian terkadang pihak debitur melakukan wanprestasi, yaitu tidak berhasil memenuhi prestasi sesuai dengan yang diperjanjikan. Mengenai wanprestasi ini Prof. Subekti mengklasifikasikan menjadi empat macam yaitu:[11]
1)      Tidak berprestasi sama sekali.
2)      Berprestasi tetapi terlambat atau tidak tepat waktu.
3)      Berprestasi secara tidak sempurna.
4)      Melakukan sesuatu yang dilarang dalam perjanjian.
Ujung-ujung dari wanprestasi ini adalah ganti kerugian berupa biaya, rugi ataupun bunga, atau juga bisa berupa pemutusan kontrak. Sehingga variasi akibat adanya wanprestasi ini terdiri dari tiga macam, yaitu:
1)      Pemenuhan perjanjian secara murni, atau
2)      Pemenuhan perjanjian dengan disertai tuntutan ganti rugi,
3)      Pembatalan perjanjian saja, atau
4)      Pembatalan perjanjian dengan disertai tuntutan ganti rugi.
Keempat hal diatas merupakan ketentuan di dalam Pasal 1267 KUHPerdata yang diperuntukkan dalam perjanjian timbal balik. Dalam hal perjanjian yang dibuat adalah perjanjian yang sepihak (unilateral), atau yang sifatnya cuma-cuma maka kreditur tidak perlu, serta tidak dapat menuntut pembatalan tetapi cukup menuntut pemenuhan perjanjian secara murni atau pemenuhan perjanjian secara penggantian biaya, rugi dan bunga.[12]
Wanprestasi merupakan suatu hal dimana pihak debitur tidak berhasil memenuhi prestasinya dengan semestinya karena adanya unsur kesalahan di dalamnya baik berupa kesengajaan maupun kelalaian. Dalam praktiknya kadangkala pihak debitur tidak berhasil memenuhi perjanjian, karena adanya suatu keadaan atau kondisi yang terletak diluar kemampuan manusia. Hal ini dikenal dengan istilah force majeur yang mengakibatkan adanya risiko, berupa siapa yang akan bertanggungjawab terhadap risiko yang menimpa obyek perjanjian.
2.      Perjanjian Menurut Hukum Adat
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa di Indonesia tidak hanya berlaku satu macam hukum, di samping hukum perdata barat (KUHPerdata), disebagian besar wilayah Indonesia masih memberlakukan adanya hukum daerah masing-masing atau yang lebih dikenal dengan hukum Adat. Berbeda dengan hukum barat yang lebih bersifat abstrak, hukum adat lebih bersifat konkrit, dalam artian bahwa untuk terjadinya perjanjian tidak cukup hanya dilakukan dengan kata sepakat, melainkan apa yang menjadi obuek perjanjian harus secara nyata telah tersedia (asas riil). Di samping itu hukum Adat juga bersifat terang dan tunai.[13]
Terkait dengan perjanjian menurut hukum Adat, Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa Hukum Perjanjian Adat meliputi uraian tentang, hukum perhutangan (schuldenrecht) termasuk soal transaksi-transaksi tanah (grondtransakties) dan transaksi-transaksi yang menyangkut tanah (transakties waarbijgrondbetroken is), sepanjang hal itu ada hubungannya dengan masalah perjanjian menurut hukum adat.[14]
Perbedaan mendasar antara hukum perjanjian adat dengan hukum perjanjian menurut KUHPerdata adalah bahwa hukum perjanjian KUHPerdata bertitik tolak pada dasar kejiwaan kepentingan perseorangan dan bersifat kebendaan, sedangkan hukum perjanjian adat bertitik tolak pada dasar kejiwaan kekeluargaan dan kerukunan dan bersifat tolong menolong. Perjanjian menurut hukum barat menerbitkan perikatan, sedangkan menurut hukum adat untuk mengikatnya perjanjian harus ada tanda pengikat. Kemudian perjanjian menurut hukum adat tidak selamanya menyangkut hubungan hukum mengenai harta benda, tetapi juga termasuk perjanjian yang tidak berwujud seperti perbuatan karya budi.[15]
Dalam hukum perjanjian Adat dikenal adanya tanda jadi atau tepatnya “tanda akan jadi” yaitu tanda pengikat dari suatu perjanjian yang telah disepakati oleh kedua pihak, dimana kedua pihak berkewajiban memenuhi perjanjian yang telah disepakati itu. Tanda jadi ini dikenal dengan istilah panjer (jawa), yang banyak dipakai dalm perjanjian kebendaan berupa perjanjian jual beli.[16] Berbeda dengan uang muka yang pada pelaksanaannya diperhitungkan dengan harga pokok, maka tanda jadi dalam hukum perjanjian adat tidak diperhitungkan dengan harga pokok. Ia hanya bersifat sebagai tanda pengikat, sehingga apabila jual beli tidak jadi dilakukan maka uang (tanda jadi) tersebut akan hilang dan menjadi hak dari penjual, maka uang panjer/tanda jadi wajib dikembalikan.
Secara umum, macam-macam hukum perjanjian di bidang kebendaan menurut hukum Adat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:[17]
a.      Hukum Perjanjian dengan obyeknya berupa tanah.
Perjanjian jenis ini merupakan perjanjian antara dua belah pihak yang menyangkut peralihan tanah sebagai obyek dari perjanjian. Jenis perjanjian ini terdiri dari perjanjian jual lepas, jual gadai, dan jual tahunan.
b.      Hukum Perjanjian menyangkut tanah
Perjanjian yang menyangkut tanah dimaksudkan sebagai perjanjian yang obyeknya bukan tanah, melainkan sebagai tempat atau sesuatu yang terlibat oleh perjanjian itu. Jenis perjanjian ini terdiri dari perjanjian bagi hasil, perjanjian sewa, perjanjian berganda, perjanjian pinjam uang dengan jaminan tanah, dan perjanjian semu (simulatio).
Mengenai perjanjian bagi hasil yang berlaku dalam hukum adat, telah mendapatkan pengaturannya dalam bentuk undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Pasal 3 dari Undang-Undang Bagi Hasil menyebutkan bahwa perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis dihadapan kepala desa yang disyahkan oleh camat, dan menurut Pasal 4 perjanjian bagi hasil untuk sawah sekurang-kurangnya dalam jangka waktu tiga tahun dan tanah kering sekurang-kurangnya lima tahun, kemudian Pasal 8 menyebutkan bahwa dilarang adanya pembayaran uang atau pemberian benda apapun kepada pemilik tanah untuk memperoleh hak mengusahakan tanah.
Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan di atas, terlihat bahwa keabsahan dari perjanjian bagi hasil selain harus melalui kata sepakat dari para pihak, juga harus dibuat dalam bentuk tertulis di hadapa kepala desa dan disahkan oleh camat. Di samping itu juga ditentukan adanya jangka waktu minimal dari perjanjian bagi hasil serta adanya larangan pemberian sesuatu kepada pemilik tanah. Akan tetapi dalam praktiknya ketentuan yang tercantum di dalam hukum positif ini kurang dapat diaplikasikan, sehingga tepat jika dikatakan bahwa UU Bagi Hasil merupakan salah satu undang-undang yang tidak dapat diterapkan dengan efektif. Masyarakat adat lebih suka melakukan perjanjian dengan prinsip kepercayaan, sehingga menutut mereka cukup dengan kata sepakat saja.
Dengan demikian hukum adat terbukti sebagai hukum yang hidup (living law), karena meskipun bentuknya tidak tertulis, tetapi dalam praktiknya banyak ditaati oleh masyarakat adat dan lebih bersifat fleksibel sehingga dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Hukum adat juga merupakan sumber dari pembangunan hukum nasional di Indonesia selain hukum barat dan hukum Islam.[18]
3.      Hukum Perjanjian Islam
Dalam sejarah hukum di Indonesia antara Hukum Islam dengan Hukum Adat terdapat keterkaitan yang sangat erat. Hal ini dapat kita lihat dalam berbagai teori hukum yang menyangkut masalah berlakunya Hukum Islam di Indonesia. Terdapat tiga macam teori hukum mengenai hal ini, yaitu:[19]
a.      Teori Receptio in Complexu
Teori ini menyatakan bahwa hukum Islam telah diterima secara menyeluruh dan dijadikan acuan bagi persoalan-persoalan hukum yang dihadapi masyarakat Islam. Kendatipun demikian hukum Islam yang berlaku di Indonesia didominasi oleh fikih Syafi’iah. Alasan mengapa fikih dari Mazhab Syafi’i mendominasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, menurut Rachmat Djatnika disebabkan karena fikih Syafi’iah lebih banyak memiliki kesesuaian dan dekat kepada kepribadian masyarakat Indonesia.
b.      Teori Receptie
Teori ini diperkenalkan oleh Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) dan dikembangkan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan Anak Negeri Jajahan. Inti dari teori ini adalah bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing, dan hukum Islam baru berlaku apabila telah diresepsi atau diterima oleh hukum Adat. Jadi dengan demikian maka hukum adatlah yang menentukan berlakunya Hukum Islam.
Teori yang dikemukakan ini secara logis mempunyai misi tertentu yaitu untuk menghambat dan menghentikan meluasnya hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung politik devide et impera (politik pecah belah) dari Pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai contoh keberhasilan dari misi ini adalah terjadinya konfrontasi antara ulama dan uleebalang di Aceh. Sehingga tepat apabila Hazairin menyebut teori ini dengan teori Iblis, karena dimotivasi oleh keinginan untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia.
c.       Teori Receptie a Contrario
Teori ini diperkenalkan oleh Sajuti Thalib (murid Hazairin). Ia melihat bahwa pengaruh teori resepsi masih menguasai pikiran orang Indonesia hingga masa-masa menjelang diundangkannya UUD 1945, bahkan sampai dekade 1990-an.
Adanya teori yang ketiga ini merupakan bantahan terhadap teori yang kedua, bahwa dalam praktiknya bukan hukum Adat yang menjadi dasar berlakunya hukum Islam. Walaupun dalam praktiknya hukum adat masih diberlakukan di kalangan umat Islam, itu lebih disebabkan bahwa hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam, dan termasuk urf yang merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh Islam.
Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa ternyata antara Hukum Adat dengan Hukum Islam mempunyai keterkaitan yang erat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, lebih mencerminkan berlakunya hukum Islam yang telah disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya yang berlaku di Indonesia. Seperti kita ketahui bahwa adat/urf yang baik merupakan (Al-Adatu Muhakamah), maka menurut hemat penulis hukum adat yang tidak  bertentangan dengan syariat Islam dapat dijadikan sebagai acuan dalam menjalani kehidupan seorang muslim di lapangan muamalah.[20]
Adapun aspek yang memegang peranan penting di dalam pelaksanaan hukum privat adalah hukum perjanjian. Jadi dengan demikian hukum Perdata Islam yang sangat besar peluangnya untuk dapat diterapkan di Negara Indonesia adalah hukum perjanjian.[21] Asas-asas yang terkandung di dalam konsep Hukum Perdata Islam, memang sesuai benar dengan budaya masyarakat Indonesia. Menurut Prof. Mohammad Daud Ali, ada beberapa asas-asas hukum yang terkandung di dalam Hukum Perdata Islam yang menjadi tumpuan atau landasan untuk melindungi kepentingan pribadi seseorang, yaitu:[22]
a.       Asas kebolehan atau mubah
b.      Asas kemaslahatan hidup
c.       Asas kebebasan dan kesukarelaan
d.      Asas menolah mudharat dan mengambil manfaat
e.       Asas kebajikan (kebaikan)
f.       Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat
g.      Asas adil dan berimbang
h.      Asas yang mendahulukan kewajiban daripada hak
i.        Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
j.        Asas kemampuan berbuat dan bertindak
k.      Asas kebebasan berusaha
l.        Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa
m.    Asas perlindungan hak
n.      Asas hak milik berfungsi sosial
o.      Asas yang beritikad baik harus dilindungi
p.      Asas resiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerja
q.      Asas mengatur dan memberi petunjuk
r.        Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi
Dengan demikian di dalam melakukan hubungan keperdataan, termasuk dalam hal ini dalam pembuatan perjanjian atau akad harus mendasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Asas-asas sebagaimana dimaksud beberapa mempunyai kesamaan dengan asas-asas hukum yang berlaku dalam KUHPerdata dan Hukum Adat.
C.    Perbedaan Pokok antara Hukum Perjanjian Islam, Hukum Perjanjian Barat, dan Hukum Perjanjian Adat
Perbedaan pokok antara Hukum Perikatan Islam, Hukum Perikatan Perdata Barat, Hukum Perikatan Adat dalam beberapa aspek dapat digambarkan pada tabel berikut ini:[23]
Perbedaan
Perikatan Islam
Perikatan Barat
Perikatan Adat
Landasan filosofis
Religius Transdental (ada nilai agama, berasal dari ketentuan Allah)
Sekuler (tidak ada nilai agama)
Religo-magis (ada nilai kepercayaan yang dituangkan dalam simbol-simbol)
Sifat
Individual Proposional
Individual/liberal
Komunal
Ruang lingkup (Substansi)
Hubungan bidimensional manusia dengan Allah (vertikal), manusia dengan manusia, benda, dan lingkungan (horizontal)
Hanya hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda. (horizontal)
Hubungan horizontal saja
Proses terbentuknya
Adanya pengertian al-Ahdu (perjanjian) persetujuan , al-akdu (perikatan) (QS. 3:76 QS: 5:1)
Adanya pengertian perjanjian dan perikatan (1313 dan 1233 BW)
Perjanjian, persetujuan, perbuatan simbolis, perikatan.
Sahnya perikatan
1.      Halal
2.      Sepakat
3.      Cakap
4.      Tanpa paksaan
5.      Ijab dan kabul
1.      Sepakat
2.      Cakap
3.      Hal tertentu
4.      Halal (1320 BW)
1.      Terang
2.      Tunai
Sumber
1.      Sikap tindak yang didasarkan syariat
2.      Persetujuan yang tidak melanggar syariat
1.      Persetujuam
2.      Undang-undang (1233 BW)
1.      Perjanjian
2.      Sikap tindak tertentu (tolong menolong)





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan dari hukum perjanjian Islam itu sendiri ialah akad perjanjian yang menimbulkan kewajiban berprestasi pada salah satu pihak, dan hak bagi pihak yang lain atas prestasi tersebut, dengan atau tanpa melakukan kontraprestasi. Kewajiban bagi salah satu pihak merupakan hak bagi pihak lain, begitu sebaliknya.
Secara umum hukum perjanjian Islam yang di berlaku di dalam tata hukum Indonesia yaitu hukum Perjanjian menurut KUHPerdata, hukum perjanjian Islam, dan hukum perjanjian adat. Mengenai hukum perjanjian menurut KUHPerdata menganut beberapa asas yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan pasalnya, yaitu: Pertama asas kebebasan berkontrak, kedua, asas kepribadian. Ketiga, asas itikad baik.
Perbedaan pokok antara Hukum Perikatan Islam, Hukum Perikatan Perdata Barat, Hukum Perikatan Adat dalam beberapa aspek yaitu, dilihat dari segi aspek landasan folosofisnya, dari segi sifatnya, ruang lingkupnya, proses terbentuknya, sahnya perikatan, sumber dari hukum perjanjian tersebut.
Dengan demikian di dalam melakukan hubungan keperdataan, termasuk dalam hal ini dalam pembuatan perjanjian atau akad harus mendasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Asas-asas sebagaimana dimaksud beberapa mempunyai kesamaan dengan asas-asas hukum yang berlaku dalam KUHPerdata dan Hukum Adat.



DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1991.
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.
Badrulzaman, Mariam Daus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
Dewi, Gemala. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Djamil, Fathurahman. Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perjanjian Adat. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1994.
Lubis, Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Rofiq, Ahmad. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta: Sinar Harapan, 1996.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1996.
Widjaja, Kartini Muljadi dan Gunawan. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004.





[1]Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 1.
[2]Mariam Daus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 247.
[3]Fathurahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 248.
[4]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm. 23.
[5]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 24.
[6]Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hlm. 7.
[7]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 7-8.
[8]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 8
[9]Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hlm. 37.
[10]Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, hlm. 37.
[11]Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1996), hlm. 45.
[12]Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 45.
[13]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 11.
[14]Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 2.
[15]Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, hlm. 4.
[16]Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, hlm. 95.
[17]Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, hlm. 140.
[18]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 13-14.
[19]Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. x.
[20]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 16.
[21]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, hlm. 18.
[22]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1991), hlm. 119.
[23]Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 23. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Poligami dalam Islam

POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH MURSALAH A.     Latar Belakang Poligami merupakan masalah yang sering...