BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat hidup seorang diri. Manusia pasti memerlukan kawan atau orang lain. Oleh karena
itu, manusia perlu saling hormat menghormati, tolong menolong dan saling
membantu dan tidak boleh saling menghina, menzalimi, dan merugikan orang lain.
Dalam upaya menanamkan kepekaan untuk saling tolong menolong, kita dapat membiasakan
diri dengan menginfakkan atau memberikan sebagian rezeki yang kita peroleh
meskipun sedikit, seperti memberikan santunan kepada fakir miskin, orang tua
dan jompo, mengangkat anak asuh, memberi bantuan kepada orang yang sedang
menuntut ilmu, membangun sarana umum (jalan), serta menjadi makhluk sosial yang
tidak lepas dari kita memerlukan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan hidup
kita sebagai mahluk sosial, dalam hal ini tidak di pungkiri manusia membutuhkan
manusia lain termasuk dalam jual beli.
Peristiwa jual beli merupakan bagian dari Hukum Islam dan Hukum Perdata
yang apabila terjadi suatu perkara merupakan hal yang dapat dituntut atau
diajukan tuntutannya di depan pengadilan. Peristiwa jual beli kerap kali kita
lakukan dalam kehidupan sehari-hari namun pada umumnya kita tidak benar-benar
menyadari bahwa apa yang kita lakukan adalah suatu perbuatan hukum yang dapat
menimbulkan suatu akibat hukum apabila terjadi kecurangan atau salah satu pihak
mengingkari adanya perjanjian tersebut. Jadi apapun yang kita lakukan dalam
suatu jual beli dapat kita pertanggungjawabkan di akhirat atau dapat dituntut
ke muka hukum apabila ada sebuah kecurangan didalamnya. Oleh karena itu, perlu
diketahuinya macam-macam mengenai jual beli dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
macam-macam jual beli dalam Hukum Islam?
2.
Bagaimana
macam-macam jual beli dalam Hukum Perdata?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui macam-macam jual beli dalam Hukum Islam.
2.
Untuk
mengetahui macam-macam jual beli dalam Hukum Perdata.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Macam-Macam
Jual beli dalam Hukum Islam
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi
hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal
menurut hukum, dari segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat
dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi menjadi
tiga bentuk:
“Jual beli itu ada tiga macam; 1) jual beli benda yang kelihatan 2)
jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji dan 3) jual beli benda
yang tidak ada”.[1]
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual
beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli,
hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak, seperti membeli beras di pasar dan
boleh dilakukan.
Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah
jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk
jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan
barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah
perjanjian sesuatu yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa
tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan keika akad.[2]
Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya
ialah:
1.
Ketika
melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh
pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar ditimbang maupun diukur.
2.
Dalam
akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi dan memperendah
harga barang itu, umpamanya benda tersebut berupa kapas, sebutkanlah jenis
kapas nomor satu, nomor dua dan seterusnya, kalau kain, maka disebutkan jenis
kainnya, pada intinya sebutkanlah semua identitasnya yang dikenal oleh
orang-orang yang ahli di bidang ini, yang menyangkut kualitas barang tersebut.
3.
Barang
yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang bisa didapatkan di pasar.
4.
Harga
hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung.[3]
Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual
beli yang dilarang oleh agama Islam, karena barangnya tidak tentu atau masih
gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang
titipan yang akibatnya dapatmenimbulkan kerugian salah satu pihak. Sedangkan
merugikan dan menghancurkan harta benda seseorang tidak diperbolehkan.
Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi tiga
bagian, dengan lisan, dengan perantara dan dengan perbuatan.
Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang
dilakukan oleh kebanyakan orang, bagi orang bisu diganti dengan isyarat,
isyarat merupakan pembawaan alami dalam menampakan kehendak, yang dipandang
dalam akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan
pernyataan.[4]
Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan atau
surat menyurat, jual beli seperti ini sama halnya dengan ijab kabul dengan
ucapan, misalnya via Pos dan Giro, jual beli ini dilakukan antara penjual dan
pembeli tidak berhadapan dalam satu majelis akad, tapi melalui Pos dan Giro,
jual beli seperti ini diperbolehkan menurut syara, dalam pemahaman sebagian
ulama, bentuk ini hampir sama dengan bentuk jual beli saham, hanya saja jual
beli saham antara penjual dan pembeli saling berhadapan dalam satu majelis
akad. Sedangkan dalam jual beli via Pos dan Giro antara penjual dan pembeli
tidak berada dalam satu majelis akad.[5]
Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan
istilah mu’atbab yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan
kabul, seperti seseorang mengambil rokok yang sudah bertuliskan label hanya
dibandrol oleh penjual dan kemudian diberikan uang pembayarannya kepada
penjual. Jual beli dengan cara demikian dilakukan tanpa sighat ijab kabul
antara penjual dan pembeli, menurut sebagian Syafi’iyah tentu hal ini dilarang,
sebab ijab kabul sebagai rukun jual beli. Tetapi menurut sebagian Syafi’iyah
lainnya, seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari
dengan cara yang demikian, yakni tanpa ijab kabul terlebih dahulu.[6]
Selain penjelasan mengenai jual beli di atas, jual beli juga ada
yang dibolehkan dan ada yang dilarang, jual beli yang dilarang juga ada yang
batal dan ada pula yang terlarang tapi sah. Jual beli yang dilarang dan batal
hukumnya adalah sebagai berikut:
1.
Barang
yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai dan
khamar, Rasulullah SAW bersabda:
“Dari Jahir
r.a, Rasulullah SAW bersabda; sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah
mengharamkan menjual arak, bangkai, babi, dan berhala” (Riwayat Bukhari dan
Muslim).
2.
Jual
beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan
betina, agar dapat memperoleh turunan, jual beli ini haram hukumnya karena
Rasulullah SAW, bersabda:
“Dari Ibnu Umar
r.a, berkata; Rasulullah SAW telah melarang menjual mani binatang” (Riwayat
Bukhari).
3.
Jual
beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya, jual beli seperti
ini dilarang, karena barangnya belum ada dan tidak tampak juga Rasulullah SAW,
bersabda:
“Dari Ibnu Umar
r.a, Rasulullah SAW telah melarang penjualan sesuatu yang masih dalam kandungan
induknya” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
4.
Jual
beli dengan mubaqallah, baqalah mempunyai arti tanah, sawah dan
kebun, maksud mubaqallah di sini ialah menjual tanam-tanaman yang masih
di ladang atau di sawah, hal ini dilarang agama, sebab ada persangkaan riba di
dalamnya.
5.
Jual
beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk
dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih
kecil-kecil dan lainnya. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih samar,
dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup angin kencang atau yang
lainnya, sebelum diambil oleh si pembelinya.
6.
Jual
beli dengan muammassab, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh,
misalkan seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya di waktu malam atau
siang hari, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut. Hal
ini dilarang karena mengandung tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan kerugian
bagi salah satu pihak.
7.
Jual
beli dengan munabadzab, yaitu jual beli secara lempar melempar, seperti
seseorang berkata, “lemparkanlah kepadaku apa yang ada padamu, nanti
kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku”, setelah terjadi lempar
melempar, maka terjadilah jual beli, hal ini dilarang karena mengandung tipuan
dan tidak ada ijab dan kabul.
8.
Jual
beli dengan Muzabanah yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang
kering, seperti menjual padi yang kering dengan bayaran padi yang basah,
sedangkan ukurannya dikilo, maka akan merugikan pemilik padi yang kering. Hal
ini dilarang oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya: “Dari Anas RA, ia berkata;
Rasulullah SAW melarang jual beli muhaqallah, mulammassah, munabazah, dan muzahannah”
(Riwayat Bukhari).
9.
Menentukan
dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan menurut Syafi’i penjualan
seperti ini mengandung dua arti, yang pertama seperti seseorang berkata;
“kujual buku ini seharga $10 dengancara
tunai atau $15 dengan cara hutang”. Arti kedua ialah seperti seseorang
berkata; “aku jual buku ini padamu dengan syarat kamu harus menjual tasmu kepadaku”. Rasulullah
bersabda: “Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda, barang siapa
yang menjual dengan dua harga dalam satu penjualan barang, maka baginya ada
kerugian atau riba” (Riwayat Abu Dawud)
10.
Jual
beli dengan syarat (Iwadb Mabjul) jual beli seperti ini hampir sama
dengan jual beli dengan menentukan dua harga, hanya saja di sini dianggap
sebagai syarat, seperti seseorang berkata; “aku jual rumahku yang butut ini
padamu dengan syarat kamu mau menjual mobilmu padaku”, lebih jelasnya jual beli
ini sama dengan jual beli dengan dua harga seperti arti kedua menurut Syafi’i.
11.
Jual
beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga kemungkinan ada
penipuan, seperti penjualan ikan yang masih di kolam atau menjual kacang tanah
yang atasnya kelihatan bagus tapi dibawahnya jelek. Penjualan seperti ini
dilarang, karena Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu membeli ikan di dalam
air karena jual beli seperti termasuk gharar , alias nipu” (Riwayat Ahmad)
12.
Jual
beli dengan mengecualikan sebagian dari benda yang dijual, seperti seseorang
menjual sesuatu dari benda itu ada yang dikecualikan salah satu harganya,
kecuali pohon pisang, maka jual beli ini sah,
sebab yang dikecualikan jelas. Tapi bila yang dikecualikan tidak jelas (majbul),
maka jual beli tersebut batal. Rasulullah SAW bersabda: “Rasulullah melarang
jual beli dengan muhaqallah, mudzahanah dan yang dikecualikan kecuali ditentukan”
(Riwayat Nasai).
13.
Larangan
menjuak makanan sehingga dua kali ditakar, hal ini menunjukkan kurang saling
mempercayainya antara penjual dan pembeli , jumhur ulama berpendapat bahwa
seseorang yang membeli sesuatu dengan ukuran dan telah diterimanya, kemudian ia
jual kembali, maka ia tidak boleh menyerahkan kepada pembeli kedua dengan
takaran yang pertama, sehingga ia harus menakarnya lagi untuk pembeli yang
kedua ini. Rasulullah SAW melarang jual beli makanan yang dua kali ditakar,
dengan takaran penjual dengan takaran pembeli (Riwayat Ibnu Majjah dan
Daruquthni).[7]
Ada
beberapa macam jual beli yang dilarang oleh agama tetapi sah hukumnya, Cuma
orang yang melakukannya mendapat dosa, jual beli tersebut antara lain:
1.
Menerima
orang-orang desa sebelum mereka masuk pasar
untuk membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya, sebelum
mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang
setinggi-tingginya, perbuatan ini sering terjadi di pasar-pasar yang berlokasi
di daerah perbatasan kota dan kampung. Tapi bila orang kampung sudah mengetahui
harga pasaran, jual beli seperti ini tidak apa-apa. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak
boleh menjualkan orang hadir (orang di kota) barang orang dusun (baru datang)”
(Riwayat Bukhari dan Muslim).
2.
Menawar
barang yang sedang ditawar oleh orang lain, seperti seseorang berkata,
“tolaklah harga tawarannya itu, nanti aku yang membeli dengan harga yang lebih
mahal”. Hal ini dilarang karena akan menyakitkan orang lain. Rasulullah SAW
bersabda: “Tidak boleh seseorang menawar
di atas tawaran saudaranya” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
3.
Jual
beli denga Najasyi, ialah seseorang menambah atau melebihi harga temannya,
dengan maksud memancing-mancing orang agar orang itu mau membeli barang
kawannya, hal ini dilarang agama. Rasulullah SAWA bersabda: “Rasulullah SAW
melarang melakukan jual beli dengan najasyi” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
4.
Menjual
diatas penjualan orang lain, umpamanya seseorang berkata: “Kembalikanlah saja
barang itu kepada penjualnya, nanti barangku saja kau beli dengan harga yang
lebih murah dari itu. Rasulullah SAW bersabda: “Rasulullah SAW bersabda;
seseorang tidak boleh menjual atas
penjualan orang lain” (Riwayat Bukhari dan Muslim).[8]
B.
Macam-Macam
Jual Beli dalam Hukum Perdata
Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya
undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara
khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual
berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak
sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.
Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, persetujuan jual
beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu:
1.
Kewajiban
pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2.
Kewajiban
pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.[9]
Menurut Salim H.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian
yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli.[10]
Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual
beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk
membayar harga dan berhak menerima objek tersebut. Unsur yang terkandung dalam
defenisi tersebut adalah:
a.
Adanya
subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli.
b.
Adanya
kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga.
c.
Adanya
hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga,
dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan
benda yang menjadi objek jual beli.Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir
apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat
konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang
berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika
setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang
ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”.[11]
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal
lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut,
jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi,
jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli
tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang
dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan
tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut
unsur naturalia.[12]
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan,
namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses
penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu:
1.
Benda
Bergerak
Penyerahan
benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
2.
Piutang
atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan akan
piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta
otentik atau akta di bawah tangan.
3.
Benda
tidak bergerak
Untuk benda
tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang
bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.[13]
Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual
beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa syarat dari
sahnya perjanjian adalah:
1.
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya.
Syarat
pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau
konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian
kehendak antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh
adanya unsur pemaksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat
juga dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah pihak sama-sama
setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang diadakan. Dalam
hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.
Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan:
a.
Bahasa
yang sempurna dan tertulis.
b.
Bahasa
yang sempurna secara lisan.
c.
Bahasa
yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. (Karena dalam
kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak
sempurna tetapi di mengerti oleh pihak lawannya.)
d.
Bahasa
isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya.
e.
Diam
atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.[14]
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya
kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis .Seseorang yang
melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta otentik
maupun akta di bawah tangan.Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh
para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta.Sedangkan akta
otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
Menurut pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat tidak
didasarkan atas kemauan bebas / tidak sempurna apabila didasarkan :
1.
Kekhilafan
(dwaling).
2.
Paksaan
(geveld).
3.
Penipuan
(bedrog)
Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan
mengikat bagi kedua belah pihak serta dapat dilaksanakan.
2.
Cakap
untuk membuat suatu perjanjian.
Cakap
artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam hal
ini adalah membuat suatu perjanjian.Perbuatan hukum adalah segala perbuatan
yang dapat menimbulkan akibat hukum.Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan
hukum adalah orang yang sudah dewasa.Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun
sesuai dengan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 1330
disebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
a.
Orang
yang belum dewasa.
b.
Orang
yang dibawah pengampuan.
c.
Seorang
istri. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah
Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi
digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan
hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
3.
Suatu
hal tertentu.
Suatu
hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian.Objek perjanjian harus jelas
dan ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang maupun jasa namun juga
dapat berupa tidak berbuat sesuatu.Objek Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi.
Prestasi terdiri atas:
a.
Memberikan
sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
b.
Berbuat
sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu
lukisan yang dipesan.
c.
Tidak
berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan,
perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.[15]
Prestasi dalam suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat:
1)
Suatu
prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat
ditentukan jenisnya. Misalnya : A menyerahkan beras kepada B 1 kwintal.
2)
Prestasi
harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang tidak
dapat mengadakan tuntutan. Misalnya Concurrentie Beding (syarat untuk
tidak bersaingan). Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan syarat bahwa B
tidak boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula. Karena A menderita
kerugian, maka pabrik sepatu diganti dengan produk lain. Dalam hal ini B boleh
mendirikan pabrik sepatu lagi, karena antara A dan B sekarang tidak ada
kepentingan lagi.
3)
Prestasi
harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
4)
Prestasi
harus mungkin dilaksanakan.
4.
Suatu
sebab yang halal.
Di
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak dijelaskan pengertian
sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bahwa isi
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat
pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek
perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena
berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan syarat kedua
tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya. Pihak yang
dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberikan ijinnya secara tidak bebas. Sedangkan apabila syarat ketiga dan
keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi
hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali
sehingga para pihak tidak dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di
kemudian hari.
C.
Perbedaan
Macam-Macam Jual Beli dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata
Jual beli
dalam Hukum Islam
|
Jual beli
dalam Hukum Perdata
|
1.
ditinjau
dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum
dan batal menurut hukum
|
Perjanjian
jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu
persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang /
benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji
untuk membayar harga
|
2.
segi
obyek jual beli dan segi pelaku jual beli
|
Unsur
yang terkandung dalam jual beli adalah barang dan harga
|
3.
segi
obyek jual beli dan segi pelaku jual beli
|
Jenis
benda dalam hukum perdata yang diperjual belikan: benda bergerak, piutang
atas nama dan benda tak bertubuh, benda tidak bergerak
|
4.
Ditinjau
dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi tiga bagian, dengan lisan,
dengan perantara dan dengan perbuatan
|
Syarat sah
dalam jual beli hukum perdata adalah: sepakat mereka yang mengikat dirinya,
cakap untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu, suatu sebab yang
halal.
|
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Macam-macam jual beli dalam Islam, Jual beli dalam Islam dapat
ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua
macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi
obyek jual beli dan segi pelau jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat
dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi menjadi
tiga bentuk:
“Jual beli itu ada tiga macam; 1) jual beli benda yang kelihatan 2)
jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji dan 3) jual beli benda
yang tidak ada”.
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual
berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak
sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Adapun macam-macam
jual beli dalam Hukum Perdata dapat disimpulkan oleh penulis kepada tiga bentuk
mengenai kewajiban, unsur-unsur dan syarat jual beli.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap,
Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni, 1986.
Miru,
Ahmad. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
Rasyid,
Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah, 1985.
Sabiq,
Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Salim
H.S. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika, 2003.
Subekti.
Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
Suhendi,
Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
[1]Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 75
[2]Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, hlm. 75-76.
[3]Sulaiman
Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1985), hlm. 178-179.
[4]Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), hlm. 127.
[6]Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, hlm. 77-78.
[7]Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, hlm. 78-82.
[8]Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, hlm. 82-83.
[9]Yahya Harahap, Segi-Segi
Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 181.
[10]Salim H.S., Hukum
Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2003), hlm. 49.
[11]Subekti, Aneka
Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 2.
[12]Ahmad Miru, Hukum
Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
hlm. 127.
[14]Salim H.S., Hukum
Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, hlm. 33.
[15]Ahmad Miru, Hukum
Kontrak dan Perancangan Kontrak, hlm. 69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar