Rabu, 11 Oktober 2017

Hukum Perikatan Islam (macam-macam jual beli dalam Islam)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat hidup seorang diri. Manusia pasti memerlukan kawan atau orang lain. Oleh karena itu, manusia perlu saling hormat menghormati, tolong menolong dan saling membantu dan tidak boleh saling menghina, menzalimi, dan merugikan orang lain.
Dalam upaya menanamkan kepekaan untuk saling tolong menolong, kita dapat membiasakan diri dengan menginfakkan atau memberikan sebagian rezeki yang kita peroleh meskipun sedikit, seperti memberikan santunan kepada fakir miskin, orang tua dan jompo, mengangkat anak asuh, memberi bantuan kepada orang yang sedang menuntut ilmu, membangun sarana umum (jalan), serta menjadi makhluk sosial yang tidak lepas dari kita memerlukan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sebagai mahluk sosial, dalam hal ini tidak di pungkiri manusia membutuhkan manusia lain termasuk dalam jual beli.
Peristiwa jual beli merupakan bagian dari Hukum Islam dan Hukum Perdata yang apabila terjadi suatu perkara merupakan hal yang dapat dituntut atau diajukan tuntutannya di depan pengadilan. Peristiwa jual beli kerap kali kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari namun pada umumnya kita tidak benar-benar menyadari bahwa apa yang kita lakukan adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum apabila terjadi kecurangan atau salah satu pihak mengingkari adanya perjanjian tersebut. Jadi apapun yang kita lakukan dalam suatu jual beli dapat kita pertanggungjawabkan di akhirat atau dapat dituntut ke muka hukum apabila ada sebuah kecurangan didalamnya. Oleh karena itu, perlu diketahuinya macam-macam mengenai jual beli dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata



B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana macam-macam jual beli dalam Hukum Islam?
2.      Bagaimana macam-macam jual beli dalam Hukum Perdata?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui macam-macam jual beli dalam Hukum Islam.
2.      Untuk mengetahui macam-macam jual beli dalam Hukum Perdata.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Macam-Macam Jual beli dalam Hukum Islam
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi menjadi tiga bentuk:
“Jual beli itu ada tiga macam; 1) jual beli benda yang kelihatan 2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji dan 3) jual beli benda yang tidak ada”.[1]
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli, hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak, seperti membeli beras di pasar dan boleh dilakukan.
Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan keika akad.[2]
Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya ialah:
1.      Ketika melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar ditimbang maupun diukur.
2.      Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi dan memperendah harga barang itu, umpamanya benda tersebut berupa kapas, sebutkanlah jenis kapas nomor satu, nomor dua dan seterusnya, kalau kain, maka disebutkan jenis kainnya, pada intinya sebutkanlah semua identitasnya yang dikenal oleh orang-orang yang ahli di bidang ini, yang menyangkut kualitas barang tersebut.
3.      Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang bisa didapatkan di pasar.
4.      Harga hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung.[3]

Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang oleh agama Islam, karena barangnya tidak tentu atau masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapatmenimbulkan kerugian salah satu pihak. Sedangkan merugikan dan menghancurkan harta benda seseorang tidak diperbolehkan.
Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi tiga bagian, dengan lisan, dengan perantara dan dengan perbuatan.
Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang, bagi orang bisu diganti dengan isyarat, isyarat merupakan pembawaan alami dalam menampakan kehendak, yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.[4]
Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan atau surat menyurat, jual beli seperti ini sama halnya dengan ijab kabul dengan ucapan, misalnya via Pos dan Giro, jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majelis akad, tapi melalui Pos dan Giro, jual beli seperti ini diperbolehkan menurut syara, dalam pemahaman sebagian ulama, bentuk ini hampir sama dengan bentuk jual beli saham, hanya saja jual beli saham antara penjual dan pembeli saling berhadapan dalam satu majelis akad. Sedangkan dalam jual beli via Pos dan Giro antara penjual dan pembeli tidak berada dalam satu majelis akad.[5]
Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah mu’atbab yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan kabul, seperti seseorang mengambil rokok yang sudah bertuliskan label hanya dibandrol oleh penjual dan kemudian diberikan uang pembayarannya kepada penjual. Jual beli dengan cara demikian dilakukan tanpa sighat ijab kabul antara penjual dan pembeli, menurut sebagian Syafi’iyah tentu hal ini dilarang, sebab ijab kabul sebagai rukun jual beli. Tetapi menurut sebagian Syafi’iyah lainnya, seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara yang demikian, yakni tanpa ijab kabul terlebih dahulu.[6]
Selain penjelasan mengenai jual beli di atas, jual beli juga ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang, jual beli yang dilarang juga ada yang batal dan ada pula yang terlarang tapi sah. Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:
1.      Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai dan khamar, Rasulullah SAW bersabda:
“Dari Jahir r.a, Rasulullah SAW bersabda; sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi, dan berhala” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
2.      Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina, agar dapat memperoleh turunan, jual beli ini haram hukumnya karena Rasulullah SAW, bersabda:
“Dari Ibnu Umar r.a, berkata; Rasulullah SAW telah melarang menjual mani binatang” (Riwayat Bukhari).
3.      Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya, jual beli seperti ini dilarang, karena barangnya belum ada dan tidak tampak juga Rasulullah SAW, bersabda:
“Dari Ibnu Umar r.a, Rasulullah SAW telah melarang penjualan sesuatu yang masih dalam kandungan induknya” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
4.      Jual beli dengan mubaqallah, baqalah mempunyai arti tanah, sawah dan kebun, maksud mubaqallah di sini ialah menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah, hal ini dilarang agama, sebab ada persangkaan riba di dalamnya.
5.      Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil dan lainnya. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih samar, dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup angin kencang atau yang lainnya, sebelum diambil oleh si pembelinya.
6.      Jual beli dengan muammassab, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh, misalkan seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
7.      Jual beli dengan munabadzab, yaitu jual beli secara lempar melempar, seperti seseorang berkata, “lemparkanlah kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku”, setelah terjadi lempar melempar, maka terjadilah jual beli, hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab dan kabul.
8.      Jual beli dengan Muzabanah yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual padi yang kering dengan bayaran padi yang basah, sedangkan ukurannya dikilo, maka akan merugikan pemilik padi yang kering. Hal ini dilarang oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya: “Dari Anas RA, ia berkata; Rasulullah SAW melarang jual beli muhaqallah, mulammassah, munabazah, dan muzahannah” (Riwayat Bukhari).
9.      Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan menurut Syafi’i penjualan seperti ini mengandung dua arti, yang pertama seperti seseorang berkata; “kujual buku ini seharga $10 dengancara  tunai atau $15 dengan cara hutang”. Arti kedua ialah seperti seseorang berkata; “aku jual buku ini padamu dengan syarat kamu  harus menjual tasmu kepadaku”. Rasulullah bersabda: “Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda, barang siapa yang menjual dengan dua harga dalam satu penjualan barang, maka baginya ada kerugian atau riba” (Riwayat Abu Dawud)
10.  Jual beli dengan syarat (Iwadb Mabjul) jual beli seperti ini hampir sama dengan jual beli dengan menentukan dua harga, hanya saja di sini dianggap sebagai syarat, seperti seseorang berkata; “aku jual rumahku yang butut ini padamu dengan syarat kamu mau menjual mobilmu padaku”, lebih jelasnya jual beli ini sama dengan jual beli dengan dua harga seperti arti kedua menurut Syafi’i.
11.  Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga kemungkinan ada penipuan, seperti penjualan ikan yang masih di kolam atau menjual kacang tanah yang atasnya kelihatan bagus tapi dibawahnya jelek. Penjualan seperti ini dilarang, karena Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena jual beli seperti termasuk gharar , alias nipu” (Riwayat Ahmad)
12.  Jual beli dengan mengecualikan sebagian dari benda yang dijual, seperti seseorang menjual sesuatu dari benda itu ada yang dikecualikan salah satu harganya, kecuali pohon pisang, maka jual beli ini sah,  sebab yang dikecualikan jelas. Tapi bila yang dikecualikan tidak jelas (majbul), maka jual beli tersebut batal. Rasulullah SAW bersabda: “Rasulullah melarang jual beli dengan muhaqallah, mudzahanah dan yang dikecualikan kecuali ditentukan” (Riwayat Nasai).
13.  Larangan menjuak makanan sehingga dua kali ditakar, hal ini menunjukkan kurang saling mempercayainya antara penjual dan pembeli , jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang yang membeli sesuatu dengan ukuran dan telah diterimanya, kemudian ia jual kembali, maka ia tidak boleh menyerahkan kepada pembeli kedua dengan takaran yang pertama, sehingga ia harus menakarnya lagi untuk pembeli yang kedua ini. Rasulullah SAW melarang jual beli makanan yang dua kali ditakar, dengan takaran penjual dengan takaran pembeli (Riwayat Ibnu Majjah dan Daruquthni).[7]
Ada beberapa macam jual beli yang dilarang oleh agama tetapi sah hukumnya, Cuma orang yang melakukannya mendapat dosa, jual beli tersebut antara lain:
1.      Menerima orang-orang desa sebelum mereka masuk pasar  untuk membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya, perbuatan ini sering terjadi di pasar-pasar yang berlokasi di daerah perbatasan kota dan kampung. Tapi bila orang kampung sudah mengetahui harga pasaran, jual beli seperti ini tidak apa-apa. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh menjualkan orang hadir (orang di kota) barang orang dusun (baru datang)” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
2.      Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain, seperti seseorang berkata, “tolaklah harga tawarannya itu, nanti aku yang membeli dengan harga yang lebih mahal”. Hal ini dilarang karena akan menyakitkan orang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh seseorang  menawar di atas tawaran saudaranya” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
3.      Jual beli denga Najasyi, ialah seseorang menambah atau melebihi harga temannya, dengan maksud memancing-mancing orang agar orang itu mau membeli barang kawannya, hal ini dilarang agama. Rasulullah SAWA bersabda: “Rasulullah SAW melarang melakukan jual beli dengan najasyi” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
4.      Menjual diatas penjualan orang lain, umpamanya seseorang berkata: “Kembalikanlah saja barang itu kepada penjualnya, nanti barangku saja kau beli dengan harga yang lebih murah dari itu. Rasulullah SAW bersabda: “Rasulullah SAW bersabda; seseorang  tidak boleh menjual atas penjualan orang lain” (Riwayat Bukhari dan Muslim).[8]
B.     Macam-Macam Jual Beli dalam Hukum Perdata
Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.
Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu:
1.      Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2.      Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.[9]
Menurut Salim H.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli.[10] Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut. Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah:
a.       Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli.
b.      Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga.
c.       Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli.Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”.[11]
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.[12]
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu:
1.      Benda Bergerak
Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
2.      Piutang atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
3.      Benda tidak bergerak
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.[13]
Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa syarat dari sahnya perjanjian adalah:
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat juga dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah pihak sama-sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan:
a.       Bahasa yang sempurna dan tertulis.
b.      Bahasa yang sempurna secara lisan.
c.       Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. (Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi di mengerti oleh pihak lawannya.)
d.      Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya.
e.       Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.[14]
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis .Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan.Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta.Sedangkan akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Menurut pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan bebas / tidak sempurna apabila didasarkan :
1.      Kekhilafan (dwaling).
2.      Paksaan (geveld).
3.      Penipuan (bedrog)
Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan mengikat bagi kedua belah pihak serta dapat dilaksanakan.
2.      Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian.Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum.Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa.Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 1330 disebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
a.       Orang yang belum dewasa.
b.      Orang yang dibawah pengampuan.
c.       Seorang istri. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
3.      Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian.Objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu.Objek Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas:
a.       Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
b.      Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.
c.       Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.[15]
Prestasi dalam suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat:
1)      Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan jenisnya. Misalnya : A menyerahkan beras kepada B 1 kwintal.
2)      Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan. Misalnya Concurrentie Beding (syarat untuk tidak bersaingan). Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan syarat bahwa B tidak boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula. Karena A menderita kerugian, maka pabrik sepatu diganti dengan produk lain. Dalam hal ini B boleh mendirikan pabrik sepatu lagi, karena antara A dan B sekarang tidak ada kepentingan lagi.
3)      Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
4)      Prestasi harus mungkin dilaksanakan.
4.      Suatu sebab yang halal.
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas. Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di kemudian hari.



C.    Perbedaan Macam-Macam Jual Beli dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata
Jual beli dalam Hukum Islam
Jual beli dalam Hukum Perdata
1.      ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga

2.      segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli
Unsur yang terkandung dalam jual beli adalah barang dan harga

3.      segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli
Jenis benda dalam hukum perdata yang diperjual belikan: benda bergerak, piutang atas nama dan benda tak bertubuh, benda tidak bergerak

4.      Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi tiga bagian, dengan lisan, dengan perantara dan dengan perbuatan
Syarat sah dalam jual beli hukum perdata adalah: sepakat mereka yang mengikat dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Macam-macam jual beli dalam Islam, Jual beli dalam Islam dapat ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi obyek jual beli dan segi pelau jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi menjadi tiga bentuk:
“Jual beli itu ada tiga macam; 1) jual beli benda yang kelihatan 2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji dan 3) jual beli benda yang tidak ada”.
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Adapun macam-macam jual beli dalam Hukum Perdata dapat disimpulkan oleh penulis kepada tiga bentuk mengenai kewajiban, unsur-unsur dan syarat jual beli.





DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni, 1986.
Miru, Ahmad. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah, 1985.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Salim H.S. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

  



[1]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 75
[2]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 75-76.
[3]Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1985), hlm. 178-179.
[4]Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), hlm. 127.
[5]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 77.
[6]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 77-78.
[7]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 78-82. 
[8]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 82-83.
[9]Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 181.
[10]Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 49.
[11]Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 2.
[12]Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 127.
[13]Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, hlm. 49.
[14]Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, hlm. 33. 
[15]Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, hlm. 69. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Poligami dalam Islam

POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH MURSALAH A.     Latar Belakang Poligami merupakan masalah yang sering...