Integrasi Agama dan Psikologi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menyaksikan pergumulan pemikiran tentang
pembaharuan Islam di Indonesia, nampaknya ada keinginan yang kuat dari para
pakar Islam, agar Islam tetap aktif memberikan warna dalam kemodernan. Usaha
ini nampak ketika Islam merespon ilmu pengetahuan modern dengan ide islamisasi
ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah perbincangan di seputar upaya membangun
sebuah konstruksi Psikologi Islam yang mempunyai corak dan warna tersendiri,
sekaligus sebagai psikologi alternatif. Sedang Psikologi umum telah terbukti
banyak mengalami kegagalan di dalam memahami berbagai kehidupan jiwa manusia.[1]
Dalam lintasan sejarah, psikologi
merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan berkembang dari peradaban Barat
yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa. Ketika menelaah
dimensi relegius dan spiritual, ia hanya menghasilkan interpretasi yang
mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan itu, kemunculan dan sekaligus
pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam
menjadi semacam kebutuhan. Islamisasi psikologi ini mengharuskan landasan,
tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus relevan dengan kebenaran yang
bersumber pada wahyu Allah.
Dari segi pemikiran Islam, istilah
Psikologi Islam memang baru muncul, tetapi secara substansinya telah ada dalam
pemikiran Islam klasik, baik dalam Ilmu Tafsir, Ilmu Kalam, terlebih Ilmu
Tasawuf. Hanya saja dalam pemikiran klasik tersebut diwarnai dengan pemikiran
filsafat.[2]
Sebagai mazhab baru dalam bidang
psikologi, Psikologi Islam mempunyai nilai tambah yang tidak dimiliki oleh
psikologi kontemporer lainnya. Namun sayangnya, di kalangan psikolog muslim
sendiri masih terdapat ketidakpercayaan mereka terhadap ilmu ini. Salah satu
sebabnya adalah karena mereka telah terlanjur mempercayai psikologi Barat
kontemporer, terutama metodologinya. Mereka juga belum memahami Metodologi
Psikologi Islam. Padahal prasyarat yang sangat penting bagi suatu pengetahuan
yang dapat dikategori dalam jajaran ilmu pengetahuan adalah keuniversalan
metodologinya. Hal ini berlaku pula dalam membangun Psikologi Islam sebagai
ilmu yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan alasan di atas, maka
pembahasan di seputar upaya integrasi Agama dan Psikologi khusunya Psikologi Islam
ini sangat penting. Tulisan ini pada garis besarnya berisi tentang Pengertian
Psikologi Agama, Psikologi dan Agama, konsep Metodologi Psikologi Islam,
pendekatan-pendekatan dalam Psikologi Islam.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Psikologi Agama?
2. Bagaimana
Integrasi Psikologi dan Agama?
3. Bagaimana
Psikologi dalam Al-Qur’an?
C.
Tujuan
Penelitian
1. Mengetahui
pengertian Psikologi Agama.
2. Mengetahui
Integrasi antara Psikologi dan Agama.
3. Mengetahui
Ilmu Psikologi dalam Al-Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Psikologi dan Agama
Kata “psikologi” berasal dari kata
Yunani psyche dan logos. Psyche berarti nafas, karena itu hidup (dikaitkan atau dicirikan
dengan nafas), asas yang menghidupkan dalam diri manusia serta makhluk hidup
lainnya, sumber segala aktifitas yang hidup, jiwa atau ruh atau asas yang
menghidupkan dalam keseluruhan alam semesta, ruh dunia atau animamundi. Sedangkan logos berarti kata atau bentuk yang
menampakkan asas itu. Dalam teologi, logos
bermakna Firman Tuhan. Jadi, Psikologi mulanya berarti kata atau bentuk yang
mengungkapkan asas kehidupan, jiwa atau ruh.[3]
Farank J. Bruno dalam Dictionary of Key Word in Psychology
membagi pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling
berhubungan. Pertama, psikologi
adalah studi (penyelidikan) mengenai ruh. Kedua,
psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental. Ketiga, psikologi adalah ilmu
pengetahuan mengenai tingkah laku organisme.[4]
Chaplin dalam Dictionary of Psyhcology mendefinisikan bahwa psikologi adalah ilmu
pengetahuan mengenai tingkah laku manusia dan hewan, studi mengenai organisme
dalam segala variasi dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam
sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan (sosial) yang mengubah
lingkungan.[5]
Dalam
bahasa Arab, psikologi sering disebut dengan ‘Ilmun-Nafs yang diartikan dalam bahasa Indonesia dengan “Ilmu
Jiwa”. Sedangkan kata nafs dalam
bahasa Arab, mengandung arti: jiwa, ruh, darah, jasad, orang, dan diri.[6]
Dalam
Ensiklopedia Indonesia Jilid Pertama
arti agama dibagi kelompok makna sebagai berikut:
a. Pertama,
dalam arti godsdienst atau religil dalam bahasa Belanda atau
religion dari bahasa Inggris, berarti pada umumnya hubungan antara manusia dan
sesuatu kekuasaan luar yang lain dan lebih daripada apa yang dialamai manusia.
b. Kedua,
dalam Hindu-Budha, agama adalah istilah untuk menyebutkan kelompok kepercayaan
berdasarkan wahyu Tuhan sebagaimana tercantum dalam kitab suci-Nya. Istilah
agama berasal dari bahasa sansekerta yang maksud dan pengertiannya terkandung
di dalamnya sama dengan agama dalam bahasa Indonesia.
c. Ketiga,
agama adalah: 1) kebiasaan-kebiasaan, tradisi berdasarkan ajaran kitab suci.
Himpunan peraturan keagamaan yang dipergunakan sebagai pedoman hidup dalam
masyarakat, berguna untuk meningkatkan keruhanian dan mencapai kesempurnaan; 2)
juga dipakai untuk menyebutkan nama sejenis kitab suci yang dianut oleg
golongan Syiwait; 3) diartikan sebagai satu sisitem yang dipergunakan untuk
memahami hakikat kebenaran (pramana).
d. Keempat,
agama adalah: 1) kepercayaan dan kesadaran manusia akan adanya Tuhan Yang Maha
Esa/Ida Sang Hyang Widhi serta kekuasaan-Nya melebihi segala yang ada; 2)
Sastra Bali: Hukum adat agama, terdiri dari ‘empat cakepan lontar’: agama,
adigama, purwagama, dan kutaragama. Isinya terdiri dari: hukum perkawinan,
pencurian, perkelahian, mencaci, dan sebagainya. Hukum adat ini berlaku di Bali
dari zaman Majapahit sampai dengan zaman penjajahan Belanda.
e. Kelima,
agama berasal dari Bahasa Sansekerta, akar katanya adalah GAM, artinya berjalan
atau pergi (kata GAM sama artinya dengan go dalam bahasa Inggris). Kata GAM
diberi awalan A dan akhiran A, menjadi AGAMA yang berarti jalan. Dalam Islam,
terdapat yang semakna, yaitu syarii’ah,
thariiqah, shiraatal mustaqiim (jalan lurus). Di Indonesia kata agama
merupakan terjemahan dari kata religion (istilah
Barat) dan kata ad-diin (istilah
al-Qur’an). Misalnya diinul Islaam diterjemahkan menjadi agama Islam.[7]
B.
Integrasi
Psikologi dan Agama
Psikologi Agama merupakan salah satu
bidang dalam psikologi modern yang khusus mengkaji fenomena-fenomena keagamaan
dari sudut pandang Psikologi. Lebih spesifik dapat didefinisikan bahwa
Psikologi Agama mempelajari perilaku orang yang beragama. Perilaku agama ini
dapat berupa perilaku yang tampak (overt
behaviour). Yang dapat di observasi. Misalnya respon-respon fisiologis
(detak jantung, pernafasan, gelombang otak, dan sebagainya) yang dialami oleh
orang yang melakukan ibadah, atau perilaku keagamaan dalam kehidupan
masyarakat. Perilaku agama juga dapat tidak tampak (overt beheviour). Misalnya sikap pasrah, perasaan tentram atau
konflik, dan keraguan keagamaan sampai dengan pengalaman-pengalaman spiritual
yang bersifat subyektif.[8]
Agama menimbulkan makna yang
berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, Agama adalah kegiatan
ritual. Sebagian yang lain, Agama adalah berkhidmat kepada sesama manusia. Bagi
yang lain, Agama adalah berperilaku yang baik. Psikologi adalah salah satu di
antara ilmu yang memusatkan perhatian pada ”perilaku manusia”, maka Psikologi seharusnya
berkepentingan dengan Agama, yang disepakati sangat mempengaruhi perilaku
manusia [9]
Menurut Prof. Dr. Zakiyah Darajat,
Psikologi Agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan
mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah
laku serta keadaan hidup pada umumnya. Disamping itu Psikologi Agama juga
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut. Kemudian beliau menyatakan
pula bahwa lapangan penelitian Psikologi Agama mencakup proses beragama,
perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang
dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Oleh karena itu menurut beliau, ruang
lingkup yang menjadi lapangan kajian Psikologi Agama meliputi kajian mengenai:
a. Bermacam-macam
emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama
orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tentram setelah selesai sembahyang,
rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci,
perasaan tenang, pasrah dan menyerah setelah berzikir dan ingat kepada Allah
ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
b. Bagaimana
perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya
rasa tentram dan kelegaan batin.
c. Mempelajari
meneliti, dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati
(akhirat) pada tipa-tiap orang.
d. Meneliti
dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang
berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi
pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
e. Meneliti
dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat
suci dan kelegaan batinnya.[10]
Dengan demikian Psikologi Agama
adalah ilmu yang mempelajari dan meneliti tentang pengaruh dan peran pengamalan
agama terhadap eksistensi diri seseorang berupa sikap, perilaku, tindakan,
penampilan yang muncul di permukaan aktifitas kehidupannya secara nyata.
C.
Konsep
Metodologi Psikologi Islam
Metodologi dalam pembahasan
filsafat disebut dengan logika material yang berarti cara menyusun pikiran
untuk memahami suatu hal atau keadaan.[11]
Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode disertai dengan
kelebihan dan kekurangan masing-masing metode, yang dalam.karya ilmiah akan
ditindaklanjuti dengan memilih dan menentukan metode yang digunakan.
Ada dua pendapat yang ditawarkan
oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama, Psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan
modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai
pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa metode,
bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua,
Psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains.
Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka Psikologi Islam harus
menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode ilmiah saja.[12]
Ketika kita membicarakan Metodologi
Psikologi Islam, ada dua hal penting yang harus diperhatikan Pertama, masalah yang bersifat
konseptual. Kedua, masalah yang
bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi, epistemologi dan
ontologi. Sedang masalah yang bersifat operasional adalah metode dalam
Psikologi Islam itu sendiri.
Menurut Noeng Muhadjir, Filsafat
Yunani kuno menekankan aspek ontologi dengan menggunakan nalar secara optimal
untuk memahami substansi yang menjadi objek pemikiran, baik yang ada dalam
kognisi maupun yang ada dalam realitas inderawi. Tradisi ini memunculkan
pengetahuan yang bersumber dari metode spekulatif. Sedang ilmu pengetahuan
Barat menekankan dimensi epistemologinya pada metode ilmiah sebagai alat untuk
mencari kebenaran. Asumsi dasarnya adalah bahwa kebenaran sangat tergantung
kepada metode ilmiah yang digunakan, sehingga metode yang digunakan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, kualitas metode
mencerminkan kualitas kebenaran yang diperoleh.[13]
Dalam konteks Islam, aksiologi
merupakan weltanschaung (pandangan hidup) yang berfungsi sebagai landasan di
dalam mengkonstruksi fakta. Dalam pandangan Islam, ilmu dan sistem nilai tidak
dapat dipisahkan, keduamya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan
fungsionalisasi ajaran wahyu. Secara aksiologi Psikologi Islam bersumber dari
al-Quran yang berbunyi:
!9# 4 ë=»tGÅ2 çm»oYø9tRr& y7øs9Î) ylÌ÷çGÏ9 }¨$¨Z9$# z`ÏB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ÈbøÎ*Î/ óOÎgÎn/u 4n<Î) ÅÞºuÅÀ ÍÍyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÊÈ
1.
Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan
izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha
Terpuji.
Dengan ayat di atas, maka nampaklah
bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui eksistensi
Allah, baik dalam keyakinan, maupun aplikasinya dalam konstruksi ilmu
pengetahuan. Islam menolak sains untuk sains (science for science), namun
menghendaki terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara
aksiologi Psikologi Islam dibangun dengan tujuan akhir untuk menghasilkan
kesejahteraan bagi seluruh umat (rahmat
li al-‘alamin).
Secara epistemologi, metodologi
Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran perihal substansi yang
ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan apa yang dapat diketahui dan
bagaimana cara mengetahuinya. Dalam masalah ini, pemaknaan aksiologik sangat
berperan di dalam menentukan kebenaran epistemologik.[14] Dengan
demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan intuisi.
Perlu diingat bahwa Psikologi Islam
adalah ilmu yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya,
ia memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya.
Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi
keilmiahannya bila kita mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan
epistemologi sendiri.
Adapun ontologi berfungsi
menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai dengan
sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling
dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan,
basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh
mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala. Dengan
alasan itu Noeng Muhajir menyatakan bahwa Psikologi Islam bermakna sebagai
Psikologi yang menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam.[15]
Psikologi Islam bagian dari Tasawuf
Islam, oleh karena itu metodologi tasawuf dapat pula dijadikan patokan untuk
menentukan Metodologi Psikologi Islam. Sebagai contoh metodologi secara
konseptual pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. Secara
aksiologi, tasawuf al-Ghazali bersumber dari wahyu, dasar epistemologinya
adalah nisbah akal dan intuisi, dan dasar ontologinya adalah terma-terma
seperti al-aql, al-nur dan etika/moral.[16]
Dalam pencarian kebenaran ilmu
pengetahuan, aliran positivisme hanya mengakui satu kebenaran yaitu kebenaran
inderawi atau kebenaran sensual yang dapat diamati dan dibuktikan oleh siapa
saja. Sedang hal-hal yang bersifat metaphisik dan transendental tidak diakui kebenarannya.
Sementara itu aliran rasionalisme mengakui tiga kebenaran, yaitu kebenaran
imperi-sensual, kebenaran imperi-logik dan kebenaran imperi-etik.
Dengan cara pandang terhadap
manusia seperti di atas, dapat kita bayangkan pecahnya kepribadian seseorang
yang di satu sisi mempelejari filsafat rasionalistik ataupun positivistik dan
di sisi lain diajarkan agama yang padat dengan kebenaran transendental,
paradigma semacam ini diyakini dapat mengerosikan keimanan.
Dalam perkembangan filsafat ilmu
sangatlah bijak cara yang ditempuh dengan membuka kesempatan yang
selebar-lebarnya untuk mengintegrasikan antara ilmu dan wahyu dalam kebenaran
yang bersifat monistik tanpa ada dikotomi di antara kedua kebenaran itu, sebab
keduanya sama-sama memberikan kontribusi kepada manusia di dalam mencari
kebenaran.
Kebenaran dalam Psikologi Islam
adalah integratif, tetapi juga masih bersifat probabalistik. Maksudnya,
walaupun usaha manusia mendapatkan kebenaran tercapai, namun pada hakikatnya
kebenaran itu hanya bersifat probabilistik, maka usaha manusia harus selalu
melewati proses yang panjang tanpa akhir untuk menuju kebenaran mutlak yang
hanya milik Allah semata. Apabila terjadi kebenaran yang dicapai manusia
berbeda dengan kebenaran mutlak Allah, maka kebenaran yang dicapai akal manusia
itu berarti belum mampu untuk mencapai kebenaran mutlak Allah. Dengan demikian,
maka pemahaman tentang jiwa manusia dengan melalui usaha-usaha ilmiah akan
selalu momot nilai benar dan momot nilai salah.
Tampilan kebenaran Psikologi Islam
bersifat aspektif atau menonjol pada dataran tertentu, namun pada kasus lain,
aspek yang tampil bisa saja berbeda. Keadan ini bukan berarti kebenaran
psikologik itu banyak. Untuk menyikapinya maka Noeng Muhadjir menawarkan konsep
monisme multifaset. Imperi, kebenaran dan realitas tingkah laku manusia itu
tunggal (monistik), menjadi beragam karena tampilan.[17]
Secara realitas tingkah laku
manusia itu beragam. Ada yang mudah dijelaskan secara empiri-sensual, ada yang
dapat dimengerti dengan penjelasan logik, ada yang memerlukan penjelasan etik.
Selain itu, kebenaran ilmu pengetahuan Islam tidak selamanya harus dicari,
karena ada hal-hal yang perlu disyukuri sebagai rahmat dan ada pula hal-hal
yang hanya dapat dihadapi dengan sabar dan dipahami dengan mengambil hikmahnya.
Cara pandang yang mengakui
bermacam-macam tampilan ini, membuat kita lebih arif di dalam menentukan
metodologi yang tepat dan sesuai dengan karakteristik dari tampilan objeknya.
Sebagai contoh, metodologi positivistik yang kuantitatif-statistik, sesuai
dengan karakter objek yang emperi-sensual. Metodologi rasionalistik dapat
digunakan untuk membangun konsep teoritik-logik. Metodologi realistik
metaphisik bila kita ingin melakukan studi keagamaan yang mengakui wahyu
al-Quran sebagai sumber kebenaran.
D.
Pendekatan
dalam Psikologi Islam
Beberapa pendekatan yang dilakukan
di dalam membangun Psikologi Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para
psikolog muslim di masa klasik adalah pendekatan skriptualis, pendekatan
falsafi/filosofis dan pendekatan tasawwufis/ sufistik.[18]
a. Pendekatan
skriptualis adalah pendekatan yang mengacu kepada wahyu. Pendekatan skriptualis
dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada teks-teks al-Quran atau Hadis
dengan lafal-lafal yang terkandung di dalamnya merupakan petunjuk (dilalah)
yang sudah dianggap jelas (sharih). Asumsi filosofisnya adalah bahwa Allah
mencipatakan nafs manusia dengan segala hukum psikologisnya. Sedang prosedur
metodologinya dapat ditempuh dengan empat cara yaitu Tafsir Maudhu’i (tematis),
Tahlili (analisis), Maqarin (perbandingan) dan Ijmali (global). Dalam
terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan skriptualis sama dengan aliran al-Manqul.
b. Pendekatan
falsafi/filosofis adalah pendekatan yang mengacu kepada akal (burhan).
Pendekatan falsafi dalam pengkajian Psikologi Agama ini didasarkan atas
prosedur berpikir spekulatif (sistematis, radikal dan universal yang didukung
akal sehat). Pendekatan ini mengutamakan akal tanpa meninggalkan nash, hanya
cara memahaminya dengan mengambil makna esensi yang tersirat di dalamnya. Jika
terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, berarti akal belum mampu menangkap
pesan nash tadi. Untuk itu diperlukan interpretasi filosofis (ta’wil) terhadap
lafal nash. Dalam terminologi Ilmu Tafsir pendekatan falsafi identik dengan
aliran Ma’qul.
c. Pendekatan
tasawwufis/sufistik adalah pendekatan yang mengacu kepada intuisi (irfan).
Pendekatan sufistik dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada prosedur
intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-cita (al-zauqiah) dengan cara menajamkan
struktur kalbu melalui proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs) untuk membuka
tabir (hijab) yang menjadi penghalang ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia,
hingga memperoleh ketersingkapan (al-kasyaf) dan mampu mengungkapkan hakikat
jiwa sesungguhnya. Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan sufistik disebut
juga dengan Itsari.
Menurut
William James, ada empat karakteristik yang dapat dipahami dalam pendekatan
sufitik ini, yaitu:
1)
Mereka mengutamakan perasaan
2)
Dalam kondisi neurotik (syatahat)
3)
Dalam kondisi puncak yang sementara tetapi mendalam
4)
Apa yang diperoleh merupakan anugerah yang tidak diusahakan.[19]
Ketiga pendekatan dapat digunakan
secara simultan walau ada di antaranya yang lebih dominan sesuai namanya.
E.
Metode-Metode
Psikologi Islam
Menurut Hanna Djumhana Bastaman,
metode ilmiah yang lazim dipergunakan dalam psikologi, baik kuantitatif dan
kualitatif dengan teknik-tekniknya seperti wawancara, tes, eksperimen, survei
bisa berlaku dalam Psikologi Islam, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan,
pertama, kesetaraan porsi dan fungsi antara metode kualitatif dan kuantitatif,
karena ada gejala dan perilaku manusia serta peristiwa khusus yang dialami
secara pribadi, seperti pengalaman keagamaan. Untuk itu metode fenomenologi
dapat dipergunakan. Kedua, selain menggunakan metode ilmiah, Psikologi Islam
mengakui adanya pengetahuan yang didapat melalui ilham dan intuisi dengan
melalui ibadah khusyuk seperti tafakkur, shalat Istikharah, shalat tahajjud dan
doa.[20] Selain
itu, bentuk penelitian ada yang dinamakan dengan library research (penelitian
kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan).
Ada
beberapa metode yang ditawarkan oleh para ahli dalam perumusan, penelitian dan
pengembangan Psikologi Islam, yaitu:
1. Metode-Metode
dalam Perumusan Psikologi Islam
Adapun metode-metode
dalam perumusan Psikologi Islam meliputi: metode keyakinan, metode
rasionalisasi, integrasi metode keyakinan dengan rasionalisasi, metode otoritas
dan metode instuisi.[21]
a.
Metode Keyakinan
Dalam metode keyakinan
seseorang meyakini betul tentang kebenaran sesuatu (tanpa keraguan) yang
bersumber dari al-Quran dan Hadis. Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta
kehidupan yang mengetahui seluk beluk dari makhluk ciptaan-Nya. Inilah ciri
khas Psikologi Islam yang menempatkan wahyu di atas rasio.
b.
Metode Rasional
Metode rasional
Psikologi Islam berpandangan bahwa manusia harus mempergunakan rasio secara
optimal dengan menyadari keterbatasannya. Penggunaan akal ini sesuai dengan
perintah Allah dalam al-Quran .
c.
Metode Integrasi
Metode keyakinan dengan
rasionalisasiMetode ini dapat digunakan untuk memahami al-Quran dan Hadis.
Metode yang dipergunakan oleh mufassirin dengan Tafsir bil Ra’yi dapat pula
dipergunakan pula oleh Psikolog Muslim. Contoh tafsir dari jenis ini adalah
Tafsir al-Azhar karya Hamka.
d.
Metode otoritas
Metode otoritas
menyandarkan kepercayaan kepada orang yang mempunyai banyak pengetahuan dalam
bidang tertentu seperti Tafsir bi al-Ma’tsur yang merujuk kepada penjelasan
Rasulullah dan para sahabat dekatnya. Dalam Psikologi Islam juga dapat
melakukan hal itu, termasuk penjelasan dari ulama yang mengetahui realitas di
balik alam nyata.
e.
Metode intuisi
Pendayagunaan kalbu
atau hati nurani dapat membantu seseorang melihat dengan mata batinnya
kenyataan yang dapat dilihat dan dirasakan oleh pancaindranya. Dan metode
eksperimen spritual adalah membuat perlakuan tertentu dengan secara rohani
mencoba untuk mengetahui dampaknya. Sebagai contoh membiasakan shalat malam,
lalu ia berusaha mengetahui bagaimana rasa hati terhadap Tuhan dengan kebiasaan
demikian.
2. Metode
Penelitian dan Pengembangan Psikologi Islam
Ada dua langkah dalam metode
penelitian dan pengembangan Psikologi Islam, yaitu: Metode Pragmatis dan Metode
Idealistik
a.
Metode Pragmatis
Metode pragmatis adalah
metode pengkajian dan pengembangan Psikologi Islam yang lebih mengutamakan
aspek praktis dan kegunaannya. Metode ini sebenarnya ditransfer dari kerangka
teori Barat kontemporer yang sudah mapan, teori tersebut dilegalisasi dan dijustifikasi
dengan nash, hingga bernuansa islami.[22]
Kelebihan
dari metode pragmatis ini adalah sifatnya yang responsif, akomodatif dan
toleran terhadap perkembangan psikologi serta sangat efektif dan efesien untuk
membangun disiplin baru dalam Psikologi Islam. Sedang kekurangannya terletak
pada kekhawatiran terseretnya Psikologi Islam kepada frame Barat sekuler yang
bertentangan dengan kode etik ilmiah-Qurani. Hal ini beralasan, karena
perbedaan paradigma dan proses penyeleksian yang kurang ketat dapat membawa
Psikologi Islam bercorak sekuler.
Kekhawatiran
ini diungkapkan oleh Malik B. Badri dalam bukunya The Dilemma of Muslim
Psychologits. Menurutnya ketidakselektifan psikolog muslim dapat menyebabkan
mereka mengikuti cara hidup dan cara pandang mereka (Yahudi dan Kristen),
meskipun cara itu berkualitas rendah dan tidak islami.[23]
Rasulullah dalam Hadis beliau bahkan meramalkan: …”bahkan jika mereka masuk ke
dalam lobang biawak pun , orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya.”[24]
Langkah-langkah operasional dalam
metode pragmatis adalah:
1) Penguasaan
disiplin ilmu modern dan penguraian kategori.
2) Survai
disiplin ilmu pengetahuan.
3) Penguasaan
khazanah Islam tahap analisis.
4) Penemuan
relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan.
5) Penilaian
kritis terhadap ilmu pengetahuan modern.
6) Penilaian
kritis terhadap khazanah Islam di masa kini.
7) Survai
pengetahuan yang dihadapi umat Islam.
8) Survai
pengetahuan yang dihadapi umat manusia.
9) Analisis,
kreatif dan sintesis.
10) Penuangan
kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam.
11) Penyebarluasan
ilmu-ilmu yang telah diislamisasi.[25]
b.
Metode Idealistik
Metode idealistik
adalah metode yang lebih mengutamakan penggalian Psikologi Islam dari ajaran
Islam. Metode ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor
sebagai postulasi yang digali dari nash dan dijadikan sebagai “kebenaran
universal” untuk menggali premis minornya.
Menurut
Sardar, ada sembilan konstruksi kerangka epistemologis di dalam menerapkan
metode idealistik, yaitu:
1) Didasarkan
pada kerangka pedoman mutlak dari Allah dan Rasul-Nya.
2) Bersifat
aktif.
3) Memandang
objektivitas sebagai masalah umum.
4) Sebagian
besar bersifat deduktif.
5) Memadukan
pengetahuan dengan nilai Islam.
6) Mengakui
pengetahuan bersifat inklusif, termasuk pengalaman pribadi.
7) Menyusun
dan mendorong pencarian pengalaman subjektif.
8) Memadukan
konsep dari tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subjektif.
9) Tidak
bertentangan dengan pandangan holistik, sehingga epistemologi Islam sesuai
dengan pengalaman pribadi dan pertumbuhan intelektual.[26]
Kedua kerangka di atas memberikan
tantangan kepada para peneliti, pengkaji dan pemerhati Psikologi Islam untuk
menggali khazanah yang dimilikinya. Dengan begitu Psikologi Islam dalam
membicarakan jiwa manusia sarat nilai. Ia tidak hanya berbicara apa adanya,
juga bagaimana seharusnya.
3. Metode
ilmiah dalam Psikologi Islam
Secara
operasional, metode ilmiah dalam Psikologi Islam terdiri dari metode deskriptif
dan metode eksperimental.
a.
Metoda deskriptif
Metode deskriptif yang
digunakan dalam metode ilmiah adalah observasi dan riset korelasi. Pada tingkat
intervensi pengamat, terdapat dua observasi. Pertama, obsevasi tanpa
intervensi. Kedua, observasi dengan intervensi.
Observasi
tanpa intervensi mirip dengan telaah naturalistik, di mana pengamat lebih
berperan sebagai pencatat pasif tentang rentetan peristiwa yang terjadi.
Observasi dengan intervensi adalah: pertama, observasi partisipan di mana
pengamat turut aktif berperan dalam situasi tingkah laku yang diamati, kedua,
observasi terstruktur di mana pengamat mengadakan intervensi dengan maksud
untuk melihat rentetan peristiwa yang terjadi kemudian, setelah ada intervensi,
eksprerimen lapangan, di mana pengamat memanipulasi satu atau beberapa variabel
dalam setting natural pada tingkah laku.
Adapun
observasi dengan intervensi memungkinkan pembauran dengan nuansa alamiah dengan
suatu intervensi dalam upaya menguji suatu teori. Adapun riset korelasi
digunakan bila peneliti bertujuan mengidenti-fikasi hubungan prediktif melalui
ukuran kovarian di antara berbagai variabel.
b.
Metode eksperimental
adalah metode ilmiah yang digunakan untuk melihat sebab akibat dengan prosedur
kerja yang berhubungan dengan variabel independen dan variabel dependen. Metode
observasi dan eksperimen pernah dilakukan oleh Malik B. Badri ketika melakukan
studi banding antara proses tafakur dengan hukum-hukum alam dalam buku beliau
Tafakur Perspektif Psikologi Islam.
4. Metode
Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh
Menurut
Elmira N. Sumintardja, objek formal dari Psikologi Islam adalah konsep manusia
berdasarkan al-Quran dan Hadis yang pemahaman interpretatifnya hanya dapat
diperoleh dengan metode Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh. Pertimbangan yang diambil
adalah bahwa manusia dapat menggunakan akal untuk proses pemahamannya.
Kebenaran substansi dapat dicapai bila manusia meyakini bahwa ilmu diberikan Allah
kepadanya (naqliyah) dan pengetahuan yang digali melalui akal sehatnya
(aqliyah).[27]
a. Metode
Ilmu Tafsir
Pendekatan
dalam Ilmu Tafsir dapat dilakukan untuk mengkaji masalah kejiwaan manusia.
Misalnya, Tafsir Maudhu’i/metode tematis berdasarkan tema tertentu dari
Al-Quran . Untuk mengkaji konsep-konsep penting yang berhubungan dengan
Psikologi Islam seperti insan, basyar, nas, Bani Adam, fithrah, ruh, nafs,
akal, qalb dan lain-lain metode itu sungguh tepat. Caranya ayat al-Quran atau
Hadis yang terkait dikumpulkan. Hasil inventarisasi dicarikan kaitannya agar
masing-masing dapat menjelas-kan, lalu disistematisasi menurut disiplin
psikologis, hingga didapatkan konklusi yang bernuansa psikologis pula.
Keunggulan
cara ini adalah selain dapat menampilkan nash secara integral dan komprehensif
juga dapat menghindari intervensi pemikiran manusia yang berlebihan. Sedang
kelemahannya adalah bahwa masing-masimg ayat atau hadis dilatar belakangi oleh
konteks dan kondisi yang berbeda.
Tafsir
Tahlili/Tafsir bil Ma’tsur (analisis) yang menafsirkan ayat dengan ayat,
riwayat nabi, sahabat dan tabi’in. Dengan metode ini dapat diketahui peristiwa
yang terjadi di seputar turunnya wahyu al-Quran dan bagaimana situasi
sosial-psikologis Rasul dan para sahabat sewaktu turunnya ayat itu.
Kelebihan
prosedur ini adalah pengkaji dapat memilih ayat atau Hadis tertentu yang
dianggap representatif saja, sehingga dapat mengkaji secara mendalam.[28] Kelemahannya
bisa terjadi bila pengkaji terlalu jauh dalam analisisnya sehingga keluar dari
konteks yang sesungguhnya.
Tafsir
Maqarin prosedur perbandingan yaitu memperbandingkan antara ayat satu dengan
ayat lain, ayat dengan Hadis, Hadis dengan ayat dan ayat dengan hadis. Pendapat
ulama salaf atau ulama khalaf. Dari sini dapat diketahui adanya ayat yang
terminologinya sama tetapi konteksnya berbeda.[29]
Misalnya kata nafs dalam QS. Ali Imran ayat 185 tentang setiap nafs yang
tenang.
Tafsir
Ijmali/prosedur global mengemukakan penjelasan mengenai ayat-ayat atau Hadis
yang berkaitan dengan psikologis secara global. Penjelasannya ringkas, bahasa
popular dan mudah dimengerti. Prosedur terakhir ini jarang digunakan karena
terwakili oleh ketiga prosedur tadi.
c.
Metode Ushul Fiqh
Sementara
itu metode Ushul Fiqh juga dapat digunakan. Metode ini berfungsi untuk
merumuskan kaidah keilmuan dari dalil-dalil al-Quran dan Hadis dengan
menggunakan penalaran akal yang logis dan rasional. Akal adalah sesuatu yang
abstrak dan merupakan aktivitas hati. Kalbu adalah pusat awal kegiatan akal,
karena itulah setiap perilaku manusia dihubungkan dengan niat sebagai kehendak
yang kuat dan motif yang berasal dari hati. Para sufi yang menekankan
pengendalian hati sebagai pemicu setiap perbuatan manusia memusatkan pembinaan
akhlak melalui pintu hati ini. Prinsip inilah yang digunakan para pakar hukum
Islam untuk mengukur keabsahan sesuatu tingkah laku secara hukum.[30]
Pada dasarnya, metode-metode yang
ditawarkan oleh para ahli di atas, tidak lepas dari pendekatan-pendekatan yang
pernah dilakukan oleh para pemikir Islam di dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman,
termasuk ilmu-ilmu tentang kejiwaan. Secara historis metode-metode yang
ditawarkan memiliki dasar yang kuat, baik secara konseptual maupun operasional.
F.
Psikologi
Dalam Al-Qur’an
Para psikolog memandang kepribadian
sebagai struktur dan proses psikologis yang tetap, yang menyusun
pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai tindakan dan respons
individu terhadap lingkungan tempat hidup.[31] Dalam masa pertumbuhannya, kepribadian bersifat
dinamis, berubah-ubah dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman hidup,
ataupun pendidikan. Kepribadian tidak terjadi secara serta merta, tetapi
terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Dengan demikian, apakah
kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab
sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perjalanan
kehidupan seseorang tersebut.[32]
Kepribadian merupakan “keniscayaan”,
suatu bagian dalam (interior) dari diri kita yang masih perlu digali dan
ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah diri kita yang sesungguhnya.
Dalam Al-Qur’an Allah telah menerangkan model kepribadian manusia yang memiliki
keistimewaan dibanding model kepribadian lainnya. Di antaranya adalah Surah
al-Baqarah [2] ayat 1-20. Rangkaian ayat ini menggambarkan tiga model
kepribadian manusia, yakni kepribadian orang beriman, kepribadian orang kafir,
dan kepribadian orang munafik.[33]
Berikut ini adalah sifat-sifat atau
ciri-ciri dari masing-masing tipe kepribadian berdasarkan apa yang dijelaskan
dalam rangkaian ayat tersebut.
1.
Kepribadian Orang Beriman (Mu’minun)
Dikatakan
beriman bila ia percaya pada rukun iman yang terdiri atas iman kepada Allah
swt., iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-Nya, iman kepada
para rasul-Nya, percaya pada Hari Akhir, dan percaya pada ketentuan Allah
(qadar/takdir). Rasa percaya yang kuat terhadap rukun iman tersebut akan
membentuk nilai-nilai yang melandasi seluruh aktivitasnya. Dengan nilai-nilai
itu, setiap individu seyogianya memiliki kepribadian yang lurus atau kepribadian
yang sehat. Orang yang memiliki kepribadian lurus dan sehat ini memiliki
ciri-ciri antara lain:
a. Akan bersikap moderat dalam segala
aspek kehidupan.
b. Rendah hati di hadapan Allah dan
juga terhadap sesama manusia.
c. Senang menuntut ilmu.
d. Sabar.
e. Jujur, dan lain-lain.[34]
Gambaran
manusia mukmin dengan segenap ciri yang terdapat dalam Al-Qur’an ini merupakan
gambaran manusia paripurna (insan kamil) dalam kehidupan ini, dalam batas yang
mungkin dicapai oleh manusia. Allah menghendaki kita untuk dapat berusaha
mewujudkannya dalam diri kita. Rasulullah saw. telah membina generasi pertama
kaum mukminin atas dasar ciri-ciri tersebut. Beliau berhasil mengubah
kepribadian mereka secara total serta membentuk mereka sebagai mukmin sejati
yang mampu mengubah wajah sejarah dengan kekuatan pribadi dan kemuliaan akhlak
mereka.[35]
Singkatnya, kepribadian orang beriman dapat menjadi teladan bagi orang lain.
2.
Kepribadian Orang Kafir (Kafirun)
Ciri-ciri orang kafir yang diungkapkan dalam Al-Qur’an
antara lain:
a. Suka putus asa.
b. Tidak menikmati kedamaian dan
ketenteraman dalam kehidupannya.
c. Tidak percaya pada rukun iman yang
selama ini menjadi pedoman keyakinan umat Islam.
d. Mereka tidak mau mendengar dan
berpikir tentang kebenaran yang diyakini kaum Muslim.
e. Mereka sering tidak setia pada
janji, bersikap sombong, suka dengki, cenderung memusuhi orang-orang beriman.
f. Mereka suka kehidupan hedonis,
kehidupan yang serba berlandaskan hal-hal yang bersifat material. Tujuan hidup
mereka hanya kesuksesan duniawi, sehingga sering kali berakibat
ketidakseimbangan pada kepribadian.
g. Mereka pun tertutup pada pengetahuan
ketauhidan, dan lain-lain.
Ciri-ciri
orang kafir sebagaimana yang tergambar dalam Al-Qur’an tersebut menyebabkan
mereka kehilangan keseimbangan kepribadian, yang akibatnya mereka mengalami
penyimpangan ke arah pemuasan syahwat serta kesenangan lahiriah dan duniawi.
Hal ini membuat mereka kehilangan satu tujuan tertentu dalam kehidupan, yaitu
beribadah kepada Allah dan mengharap rida-Nya untuk mengharap magfirah serta
pahala-Nya di dunia dan akhirat.[36]
3.
Kepribadian Orang Munafik (Munafiqun)
Munafik
adalah segolongan orang yang berkepribadian sangat lemah dan bimbang. Di antara
sifat atau watak orang munafik yang tergambar dalam Al-Qur’an antara lain:
a. Mereka “lupa” dan menuhankan sesuatu
atau seseorang selain Allah swt..
b. Dalam berbicara mereka suka berdusta.
c. Mereka menutup pendengaran,
penglihatan, dan perasaannya dari kebenaran.
d. Orang-orang munafik ialah kelompok
manusia dengan kepribadian yang lemah, peragu, dan tidak mempunyai sikap yang
tegas dalam masalah keimanan.
e. Mereka bersifat hipokrit, yakni
sombong, angkuh, dan cepat berputus asa.
Ciri
kepribadian orang munafik yang paling mendasar adalah kebimbangannya antara
keimanan dan kekafiran serta ketidakmampuannya membuat sikap yang tegas dan
jelas berkaitan dengan keyakinan bertauhid.
Dengan
demikian, umat Islam sangat beruntung mendapatkan rujukan yang paling benar
tentang kepribadian dibanding teori-teori lainnya, terutama diyakini rujukan
tersebut adalah wahyu dari Allah swt. yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
saw., manusia teladan kekasih Allah. Oleh karena itu pula, Nabi Muhammad saw.
diutus oleh Allah swt. ke muka bumi untuk memainkan peran sebagai model insan
kamil bagi umat manusia. Kepribadian dalam kehidupan sehari-hari mengandung
sifat-sifat manusiawi kita, alam pikiran, emosi, bagian interior kita yang
berkembang melalui interaksi indra-indra fisik dengan lingkungan. Namun lebih
dalam lagi, kepribadian sesungguhnya merupakan produk kondisi jiwa (nafs) kita
yang saling berhubungan. Atau, dapat dikatakan pula bahwa kepribadian seseorang
berbanding lurus dengan kondisi jiwanya (nafs).[37]
Berangkat dari teori kepribadian di
atas, maka kita dapat membagi kepribadian manusia menjadi dua macam, yaitu:
1) Kepribadian kemanusiaan (basyariyyah)
Kepribadian kemanusiaan di sini
mencakup kepribadian individu dan kepribadian ummah. Kepribadian individu di
antaranya melliputi ciri khas seseorang dalam bentuk sikap, tingkah laku, dan
intelektual yang dimiliki masing-masing secara khas sehingga ia berbeda dengan
orang lain. Dalam pandangan Islam, manusia memang mempunyai potensi yang
berbeda (al-farq al-fardiyyah) yang
meliputi aspek fisik dan psikis. Selanjutnya, kepribadian ummah meliputi ciri
khas kepribadian muslim sebagai suatu ummah (bangsa/negara) muslim yang
meliputi sikap dan tingkah laku ummah muslim yang berbeda dengan ummah lainnya,
mempunyai ciri khas kelompok dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan
identitas tersebut dari pengaruh luar, baik ideologi maupun lainnya yang dapat
memberikan dampak negatif.[38]
2) Kepribadian samawi (kewahyuan)
Yaitu, corak kepribadian yang
dibentuk melalui petunjuk wahyu dalam kitab suci Al-Qur’an, sebagaimana
termaktub dalam firman Allah sebagai berikut.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
.
Dan, bahwa (yang kami perintahkan
ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan
kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.
(Q.S. al-An’am [6]: 153)
Itulah beberapa gambaran mengenai
psikologi dan kepribadian manusia dalam Al-Qur’an. Tentu gambaran di atas belum
sepenuhnya berhasil meng-cover keseluruhan maksud Al-Qur’an mengenai manusia
dengan segala kepribadiannya yang sangat kompleks. Sebab, begitu luasnya aspek
kepribadian manusia sehingga usaha untuk mengungkap hakikat manusia merupakan
pekerjaan yang sukar.
Walaupun demikian, paling tidak
penjelasan di atas dapat memberikan gambaran bahwa manusia memiliki dua potensi
yang saling berlawanan, yaitu potensi baik dan potensi buruk. Dua potensi ini
lantas memilah manusia ke dalam tiga kategori, yaitu mukmin, kafir, dan
munafik. Pembinaan kepribadian manusia lewat pendidikan yang baik akan menuntun
manusia agar bisa memperkokoh potensi baiknya sehingga ia bisa memaksimalkan
tugas utamanya untuk beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah Allah di muka
bumi. Sebaliknya, pembinaan kepribadian manusia yang kurang maksimal akan
memerosokkan manusia ke dalam derajat yang sangat rendah, bahkan lebih rendah
dari binatang.[39]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Psikologi Agama merupakan salah
satu bidang dalam psikologi modern yang khusus mengkaji fenomena-fenomena
keagamaan dari sudut pandang Psikologi. Lebih spesifik dapat didefinisikan
bahwa Psikologi Agama mempelajari perilaku orang yang beragama. Perilaku agama
ini dapat berupa perilaku yang tampak (overt
behaviour). Yang dapat di observasi. Misalnya respon-respon fisiologis
(detak jantung, pernafasan, gelombang otak, dan sebagainya) yang dialami oleh
orang yang melakukan ibadah, atau perilaku keagamaan dalam kehidupan
masyarakat. Perilaku agama juga dapat tidak tampak (overt beheviour). Misalnya sikap pasrah, perasaan tentram atau
konflik, dan keraguan keagamaan sampai dengan pengalaman-pengalaman spiritual
yang bersifat subyektif.
Menurut Prof. Dr. Zakiyah Darajat,
Psikologi Agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan
mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah
laku serta keadaan hidup pada umumnya. Disamping itu Psikologi Agama juga
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut. Kemudian beliau menyatakan
pula bahwa lapangan penelitian Psikologi Agama mencakup proses beragama,
perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang
dirasakan sebagai hasil dari keyakinan.
Dari beberapa pamaparan di atas
peneliti mengambil kesimpulan bahwa Agama, Psikologi dan metodologi Psikologi
Islam berbicara lebih lanjut tentang apa yang dapat diketahui dan bagaimana
cara mengetahuinya. Dengan cara membicarakan metode penelitian baik melalui
pengkajian leteral maupun lapangan. Sebagai ilmu yang sarat nilai, Psikologi
Islam yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya,
jelas memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya.
Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi
keilmiahannya, jika kita mencoba mengkritisinya dengan berpedoman kepada
paradigma dan epistemologi sendiri.
Hal ini dikarenakan menurut
penulis, Agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi
sebagian orang, Agama adalah kegiatan ritual. Sebagian yang lain, Agama adalah
berkhidmat kepada sesama manusia. Bagi yang lain, Agama adalah berperilaku yang
baik. Psikologi adalah salah satu di antara ilmu yang memusatkan perhatian pada
”perilaku manusia”, maka Psikologi seharusnya berkepentingan dengan Agama, yang
disepakati sangat mempengaruhi perilaku manusia.
DAFTAR PUSTAKA
al-Faruqi,
Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan.
terj. Anas Wahyuni.Bandung: Pustaka, 1984.
Badri, Malik B. The Dilemma of MuslimPsychologist. terj.
Siti Zainab Luxfiati. Dilema Psikologi
Muslim. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami. Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996.
C.P, Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. terj. Kartini Kartono. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995.
Ensiklopedia Indonesia
Jilid I. Jakarta: Icthiar Baru Van Hoeve, t.th.
http://raudlatulmuhibbin.blogspot.com/2013/10/resensi-buku-psikologi-dalam-al-quran_10.html
Mudjib, Abdul dan Jusuf Mudzakir. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung,
Trigenda Karya, 1993.
Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia.
Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawir,
t.th.
Najati, Muhammad Utsman. Psikologi dalam Al-Qur’an. Bandung: CV
Pustaka Setia, 2005.
Nawawi,
Rif’at Syauqi. Metodologi Psikologi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Rakhmat,
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2002.
Rakhmat,
Jalaluddin. Psikologi Agama Sebuah
Pengantar. Cet. III ,Bandung :Mizan,2005.
Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem
Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Dewi, Rani Anggraeni. “Kepribadian (Psikologi Al-Qur’an)”.
dalam http://www.pusakahati.com di akses
31 Desember 2014.
Subandi,
Diktat Kuliah Psikologi Agama.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1999.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Syukur, M. Amin Abdullah dan
Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf,
Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
Wilcox, Lynn. Imu Jiwa Berjumpa Tasawuf. terj. Harimurti Bagoesoka. Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
[1]Malik B. Badri, The Dilemma of MuslimPsychologist, terj.
Siti Zainab Luxfiati, Dilema Psikologi
Muslim,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 1.
[2]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami, (Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar,
1996), h. 28.
[3]Lynn Wilcox, Imu Jiwa Berjumpa Tasawuf, terj.
Harimurti Bagoesoka, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 12.
[4]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 8.
[5]Chaplin C.P, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini
Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 398.
[6]Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia,
(Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawir,
t.th.), hlm 1545.
[8]Subandi, Diktat Kuliah Psikologi Agama,
(Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1999), hlm. 1.
[9]Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, (Cet. III
,Bandung :Mizan,2005), hlm. 8.
[10]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2002), hlm. 15-16.
[11]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 120.
[12]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami, (Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar,
1996), hlm. 9.
[13]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam, hlm. 105.
[14]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam, hlm.
106-107.
[15]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam, hlm.
110.
[16]M. Amin Abdullah Syukur
dan Masyharuddin, Intelektualisme
Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm. 170-209.
[17]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi
Psikologi Islam, hlm. 111.
[18]Abdul Mudjib dan Jusuf
Mudzakir, Pemikiran Pendidikan Islam,
(Bandung, Trigenda Karya, 1993), hlm. 15.
[19]William James, The Varieties of Relegious Exprence, (New
York: Collier Books, 1974), hlm. 22.
[21]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam, h. 111.
[22]Muhaimin dan Abdul Mujib,
Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung:
Trigenda Karya, 1993), hlm. 6.
[23]Malik B. Badri, The Dilemma of MuslimPsychologist, terj.
Siti Zainab Luxfiati Dilema Psikologi
Muslim, hlm. 1.
[24]Abu Husein Muslim ibn
al-Hajjaj ibn Muslim, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 219.
[25]Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas
Wahyuni, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 99-115.
[26]Abdul Mudjib dan Jusuf
Mudzakir, Pemikiran Pendidikan Islam,
h. 20-21.
[28]Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam
Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu
Al-Quran, 1983), hlm. 23.
[29]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam
Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, hlm. 38.
[30]Fuad Nashori, Psikologi Islam, Agenda Menuju Aksi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 150-151.
[33]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 381-382.
[34]Rani Anggraeni Dewi, “Kepribadian
(Psikologi Al-Qur’an)”, dalam http://www.pusakahati.com di akses 31 Desember 2014.
[35]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 384.
[36]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 387-389.
[37]Rani Anggraeni Dewi, “Kepribadian
(Psikologi Al-Qur’an)”.
[38]Ramayulis dan Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah
Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2009),
hlm. 263.
[39]M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 365.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar