Sabtu, 13 Mei 2017

Filsafat Ilmu (Integrasi Agama dan Psikologi)

Integrasi Agama dan Psikologi


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menyaksikan pergumulan pemikiran tentang pembaharuan Islam di Indonesia, nampaknya ada keinginan yang kuat dari para pakar Islam, agar Islam tetap aktif memberikan warna dalam kemodernan. Usaha ini nampak ketika Islam merespon ilmu pengetahuan modern dengan ide islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah perbincangan di seputar upaya membangun sebuah konstruksi Psikologi Islam yang mempunyai corak dan warna tersendiri, sekaligus sebagai psikologi alternatif. Sedang Psikologi umum telah terbukti banyak mengalami kegagalan di dalam memahami berbagai kehidupan jiwa manusia.[1]
Dalam lintasan sejarah, psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan berkembang dari peradaban Barat yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa. Ketika menelaah dimensi relegius dan spiritual, ia hanya menghasilkan interpretasi yang mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan itu, kemunculan dan sekaligus pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam menjadi semacam kebutuhan. Islamisasi psikologi ini mengharuskan landasan, tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus relevan dengan kebenaran yang bersumber pada wahyu Allah.
Dari segi pemikiran Islam, istilah Psikologi Islam memang baru muncul, tetapi secara substansinya telah ada dalam pemikiran Islam klasik, baik dalam Ilmu Tafsir, Ilmu Kalam, terlebih Ilmu Tasawuf. Hanya saja dalam pemikiran klasik tersebut diwarnai dengan pemikiran filsafat.[2]
Sebagai mazhab baru dalam bidang psikologi, Psikologi Islam mempunyai nilai tambah yang tidak dimiliki oleh psikologi kontemporer lainnya. Namun sayangnya, di kalangan psikolog muslim sendiri masih terdapat ketidakpercayaan mereka terhadap ilmu ini. Salah satu sebabnya adalah karena mereka telah terlanjur mempercayai psikologi Barat kontemporer, terutama metodologinya. Mereka juga belum memahami Metodologi Psikologi Islam. Padahal prasyarat yang sangat penting bagi suatu pengetahuan yang dapat dikategori dalam jajaran ilmu pengetahuan adalah keuniversalan metodologinya. Hal ini berlaku pula dalam membangun Psikologi Islam sebagai ilmu yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan alasan di atas, maka pembahasan di seputar upaya integrasi Agama dan Psikologi khusunya Psikologi Islam ini sangat penting. Tulisan ini pada garis besarnya berisi tentang Pengertian Psikologi Agama, Psikologi dan Agama, konsep Metodologi Psikologi Islam, pendekatan-pendekatan dalam Psikologi Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Psikologi Agama?
2.      Bagaimana Integrasi Psikologi dan Agama?
3.      Bagaimana Psikologi dalam Al-Qur’an?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui pengertian Psikologi Agama.
2.      Mengetahui Integrasi antara Psikologi dan Agama.
3.      Mengetahui Ilmu Psikologi dalam Al-Qur’an.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Psikologi dan Agama
Kata “psikologi” berasal dari kata Yunani psyche dan logos. Psyche berarti nafas, karena itu hidup (dikaitkan atau dicirikan dengan nafas), asas yang menghidupkan dalam diri manusia serta makhluk hidup lainnya, sumber segala aktifitas yang hidup, jiwa atau ruh atau asas yang menghidupkan dalam keseluruhan alam semesta, ruh dunia atau animamundi. Sedangkan logos berarti kata atau bentuk yang menampakkan asas itu. Dalam teologi, logos bermakna Firman Tuhan. Jadi, Psikologi mulanya berarti kata atau bentuk yang mengungkapkan asas kehidupan, jiwa atau ruh.[3]
Farank J. Bruno dalam Dictionary of Key Word in Psychology membagi pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan. Pertama, psikologi adalah studi (penyelidikan) mengenai ruh. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku organisme.[4]
Chaplin dalam Dictionary of Psyhcology mendefinisikan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku manusia dan hewan, studi mengenai organisme dalam segala variasi dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan (sosial) yang mengubah lingkungan.[5]
Dalam bahasa Arab, psikologi sering disebut dengan ‘Ilmun-Nafs yang diartikan dalam bahasa Indonesia dengan “Ilmu Jiwa”. Sedangkan kata nafs dalam bahasa Arab, mengandung arti: jiwa, ruh, darah, jasad, orang, dan diri.[6]
Dalam Ensiklopedia Indonesia Jilid Pertama arti agama dibagi kelompok makna sebagai berikut:
a.       Pertama, dalam arti godsdienst atau religil dalam bahasa Belanda atau religion dari bahasa Inggris, berarti pada umumnya hubungan antara manusia dan sesuatu kekuasaan luar yang lain dan lebih daripada apa yang dialamai manusia.
b.      Kedua, dalam Hindu-Budha, agama adalah istilah untuk menyebutkan kelompok kepercayaan berdasarkan wahyu Tuhan sebagaimana tercantum dalam kitab suci-Nya. Istilah agama berasal dari bahasa sansekerta yang maksud dan pengertiannya terkandung di dalamnya sama dengan agama dalam bahasa Indonesia.
c.       Ketiga, agama adalah: 1) kebiasaan-kebiasaan, tradisi berdasarkan ajaran kitab suci. Himpunan peraturan keagamaan yang dipergunakan sebagai pedoman hidup dalam masyarakat, berguna untuk meningkatkan keruhanian dan mencapai kesempurnaan; 2) juga dipakai untuk menyebutkan nama sejenis kitab suci yang dianut oleg golongan Syiwait; 3) diartikan sebagai satu sisitem yang dipergunakan untuk memahami hakikat kebenaran (pramana).
d.      Keempat, agama adalah: 1) kepercayaan dan kesadaran manusia akan adanya Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi serta kekuasaan-Nya melebihi segala yang ada; 2) Sastra Bali: Hukum adat agama, terdiri dari ‘empat cakepan lontar’: agama, adigama, purwagama, dan kutaragama. Isinya terdiri dari: hukum perkawinan, pencurian, perkelahian, mencaci, dan sebagainya. Hukum adat ini berlaku di Bali dari zaman Majapahit sampai dengan zaman penjajahan Belanda.
e.       Kelima, agama berasal dari Bahasa Sansekerta, akar katanya adalah GAM, artinya berjalan atau pergi (kata GAM sama artinya dengan go dalam bahasa Inggris). Kata GAM diberi awalan A dan akhiran A, menjadi AGAMA yang berarti jalan. Dalam Islam, terdapat yang semakna, yaitu syarii’ah, thariiqah, shiraatal mustaqiim (jalan lurus). Di Indonesia kata agama merupakan terjemahan dari kata religion (istilah Barat) dan kata ad-diin (istilah al-Qur’an). Misalnya diinul Islaam diterjemahkan menjadi agama Islam.[7]
B.     Integrasi Psikologi dan Agama
Psikologi Agama merupakan salah satu bidang dalam psikologi modern yang khusus mengkaji fenomena-fenomena keagamaan dari sudut pandang Psikologi. Lebih spesifik dapat didefinisikan bahwa Psikologi Agama mempelajari perilaku orang yang beragama. Perilaku agama ini dapat berupa perilaku yang tampak (overt behaviour). Yang dapat di observasi. Misalnya respon-respon fisiologis (detak jantung, pernafasan, gelombang otak, dan sebagainya) yang dialami oleh orang yang melakukan ibadah, atau perilaku keagamaan dalam kehidupan masyarakat. Perilaku agama juga dapat tidak tampak (overt beheviour). Misalnya sikap pasrah, perasaan tentram atau konflik, dan keraguan keagamaan sampai dengan pengalaman-pengalaman spiritual yang bersifat subyektif.[8]
Agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, Agama adalah kegiatan ritual. Sebagian yang lain, Agama adalah berkhidmat kepada sesama manusia. Bagi yang lain, Agama adalah berperilaku yang baik. Psikologi adalah salah satu di antara ilmu yang memusatkan perhatian pada ”perilaku manusia”, maka Psikologi seharusnya berkepentingan dengan Agama, yang disepakati sangat mempengaruhi perilaku manusia [9]
Menurut Prof. Dr. Zakiyah Darajat, Psikologi Agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Disamping itu Psikologi Agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut. Kemudian beliau menyatakan pula bahwa lapangan penelitian Psikologi Agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Oleh karena itu menurut beliau, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian Psikologi Agama meliputi kajian mengenai:
a.       Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tentram setelah selesai sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang, pasrah dan menyerah setelah berzikir dan ingat kepada Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
b.      Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya rasa tentram dan kelegaan batin.
c.       Mempelajari meneliti, dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tipa-tiap orang.
d.      Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
e.       Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci dan kelegaan batinnya.[10]
Dengan demikian Psikologi Agama adalah ilmu yang mempelajari dan meneliti tentang pengaruh dan peran pengamalan agama terhadap eksistensi diri seseorang berupa sikap, perilaku, tindakan, penampilan yang muncul di permukaan aktifitas kehidupannya secara nyata.
C.    Konsep Metodologi Psikologi Islam
Metodologi dalam pembahasan filsafat disebut dengan logika material yang berarti cara menyusun pikiran untuk memahami suatu hal atau keadaan.[11] Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode disertai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode, yang dalam.karya ilmiah akan ditindaklanjuti dengan memilih dan menentukan metode yang digunakan.
Ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama, Psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa metode, bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua, Psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka Psikologi Islam harus menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode ilmiah saja.[12]
Ketika kita membicarakan Metodologi Psikologi Islam, ada dua hal penting yang harus diperhatikan Pertama, masalah yang bersifat konseptual. Kedua, masalah yang bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi, epistemologi dan ontologi. Sedang masalah yang bersifat operasional adalah metode dalam Psikologi Islam itu sendiri.
Menurut Noeng Muhadjir, Filsafat Yunani kuno menekankan aspek ontologi dengan menggunakan nalar secara optimal untuk memahami substansi yang menjadi objek pemikiran, baik yang ada dalam kognisi maupun yang ada dalam realitas inderawi. Tradisi ini memunculkan pengetahuan yang bersumber dari metode spekulatif. Sedang ilmu pengetahuan Barat menekankan dimensi epistemologinya pada metode ilmiah sebagai alat untuk mencari kebenaran. Asumsi dasarnya adalah bahwa kebenaran sangat tergantung kepada metode ilmiah yang digunakan, sehingga metode yang digunakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, kualitas metode mencerminkan kualitas kebenaran yang diperoleh.[13]
Dalam konteks Islam, aksiologi merupakan weltanschaung (pandangan hidup) yang berfungsi sebagai landasan di dalam mengkonstruksi fakta. Dalam pandangan Islam, ilmu dan sistem nilai tidak dapat dipisahkan, keduamya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi ajaran wahyu. Secara aksiologi Psikologi Islam bersumber dari al-Quran yang berbunyi:
!9# 4 ë=»tGÅ2 çm»oYø9tRr& y7øs9Î) yl̍÷çGÏ9 }¨$¨Z9$# z`ÏB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ÈbøŒÎ*Î/ óOÎgÎn/u 4n<Î) ÅÞºuŽÅÀ ̓Íyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÊÈ  
1. Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
Dengan ayat di atas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui eksistensi Allah, baik dalam keyakinan, maupun aplikasinya dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Islam menolak sains untuk sains (science for science), namun menghendaki terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara aksiologi Psikologi Islam dibangun dengan tujuan akhir untuk menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh umat (rahmat li al-‘alamin).
Secara epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran perihal substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam masalah ini, pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam menentukan kebenaran epistemologik.[14] Dengan demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan intuisi.
Perlu diingat bahwa Psikologi Islam adalah ilmu yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, ia memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.
Adapun ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala. Dengan alasan itu Noeng Muhajir menyatakan bahwa Psikologi Islam bermakna sebagai Psikologi yang menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam.[15]
Psikologi Islam bagian dari Tasawuf Islam, oleh karena itu metodologi tasawuf dapat pula dijadikan patokan untuk menentukan Metodologi Psikologi Islam. Sebagai contoh metodologi secara konseptual pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. Secara aksiologi, tasawuf al-Ghazali bersumber dari wahyu, dasar epistemologinya adalah nisbah akal dan intuisi, dan dasar ontologinya adalah terma-terma seperti al-aql, al-nur dan etika/moral.[16]
Dalam pencarian kebenaran ilmu pengetahuan, aliran positivisme hanya mengakui satu kebenaran yaitu kebenaran inderawi atau kebenaran sensual yang dapat diamati dan dibuktikan oleh siapa saja. Sedang hal-hal yang bersifat metaphisik dan transendental tidak diakui kebenarannya. Sementara itu aliran rasionalisme mengakui tiga kebenaran, yaitu kebenaran imperi-sensual, kebenaran imperi-logik dan kebenaran imperi-etik.
Dengan cara pandang terhadap manusia seperti di atas, dapat kita bayangkan pecahnya kepribadian seseorang yang di satu sisi mempelejari filsafat rasionalistik ataupun positivistik dan di sisi lain diajarkan agama yang padat dengan kebenaran transendental, paradigma semacam ini diyakini dapat mengerosikan keimanan.
Dalam perkembangan filsafat ilmu sangatlah bijak cara yang ditempuh dengan membuka kesempatan yang selebar-lebarnya untuk mengintegrasikan antara ilmu dan wahyu dalam kebenaran yang bersifat monistik tanpa ada dikotomi di antara kedua kebenaran itu, sebab keduanya sama-sama memberikan kontribusi kepada manusia di dalam mencari kebenaran.
Kebenaran dalam Psikologi Islam adalah integratif, tetapi juga masih bersifat probabalistik. Maksudnya, walaupun usaha manusia mendapatkan kebenaran tercapai, namun pada hakikatnya kebenaran itu hanya bersifat probabilistik, maka usaha manusia harus selalu melewati proses yang panjang tanpa akhir untuk menuju kebenaran mutlak yang hanya milik Allah semata. Apabila terjadi kebenaran yang dicapai manusia berbeda dengan kebenaran mutlak Allah, maka kebenaran yang dicapai akal manusia itu berarti belum mampu untuk mencapai kebenaran mutlak Allah. Dengan demikian, maka pemahaman tentang jiwa manusia dengan melalui usaha-usaha ilmiah akan selalu momot nilai benar dan momot nilai salah.
Tampilan kebenaran Psikologi Islam bersifat aspektif atau menonjol pada dataran tertentu, namun pada kasus lain, aspek yang tampil bisa saja berbeda. Keadan ini bukan berarti kebenaran psikologik itu banyak. Untuk menyikapinya maka Noeng Muhadjir menawarkan konsep monisme multifaset. Imperi, kebenaran dan realitas tingkah laku manusia itu tunggal (monistik), menjadi beragam karena tampilan.[17]
Secara realitas tingkah laku manusia itu beragam. Ada yang mudah dijelaskan secara empiri-sensual, ada yang dapat dimengerti dengan penjelasan logik, ada yang memerlukan penjelasan etik. Selain itu, kebenaran ilmu pengetahuan Islam tidak selamanya harus dicari, karena ada hal-hal yang perlu disyukuri sebagai rahmat dan ada pula hal-hal yang hanya dapat dihadapi dengan sabar dan dipahami dengan mengambil hikmahnya.
Cara pandang yang mengakui bermacam-macam tampilan ini, membuat kita lebih arif di dalam menentukan metodologi yang tepat dan sesuai dengan karakteristik dari tampilan objeknya. Sebagai contoh, metodologi positivistik yang kuantitatif-statistik, sesuai dengan karakter objek yang emperi-sensual. Metodologi rasionalistik dapat digunakan untuk membangun konsep teoritik-logik. Metodologi realistik metaphisik bila kita ingin melakukan studi keagamaan yang mengakui wahyu al-Quran sebagai sumber kebenaran.
D.    Pendekatan dalam Psikologi Islam
Beberapa pendekatan yang dilakukan di dalam membangun Psikologi Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para psikolog muslim di masa klasik adalah pendekatan skriptualis, pendekatan falsafi/filosofis dan pendekatan tasawwufis/ sufistik.[18]
a.       Pendekatan skriptualis adalah pendekatan yang mengacu kepada wahyu. Pendekatan skriptualis dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada teks-teks al-Quran atau Hadis dengan lafal-lafal yang terkandung di dalamnya merupakan petunjuk (dilalah) yang sudah dianggap jelas (sharih). Asumsi filosofisnya adalah bahwa Allah mencipatakan nafs manusia dengan segala hukum psikologisnya. Sedang prosedur metodologinya dapat ditempuh dengan empat cara yaitu Tafsir Maudhu’i (tematis), Tahlili (analisis), Maqarin (perbandingan) dan Ijmali (global). Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan skriptualis sama dengan aliran al-Manqul.
b.      Pendekatan falsafi/filosofis adalah pendekatan yang mengacu kepada akal (burhan). Pendekatan falsafi dalam pengkajian Psikologi Agama ini didasarkan atas prosedur berpikir spekulatif (sistematis, radikal dan universal yang didukung akal sehat). Pendekatan ini mengutamakan akal tanpa meninggalkan nash, hanya cara memahaminya dengan mengambil makna esensi yang tersirat di dalamnya. Jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, berarti akal belum mampu menangkap pesan nash tadi. Untuk itu diperlukan interpretasi filosofis (ta’wil) terhadap lafal nash. Dalam terminologi Ilmu Tafsir pendekatan falsafi identik dengan aliran Ma’qul.
c.       Pendekatan tasawwufis/sufistik adalah pendekatan yang mengacu kepada intuisi (irfan). Pendekatan sufistik dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada prosedur intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-cita (al-zauqiah) dengan cara menajamkan struktur kalbu melalui proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs) untuk membuka tabir (hijab) yang menjadi penghalang ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia, hingga memperoleh ketersingkapan (al-kasyaf) dan mampu mengungkapkan hakikat jiwa sesungguhnya. Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan sufistik disebut juga dengan Itsari.
Menurut William James, ada empat karakteristik yang dapat dipahami dalam pendekatan sufitik ini, yaitu:
1) Mereka mengutamakan perasaan
2) Dalam kondisi neurotik (syatahat)
3) Dalam kondisi puncak yang sementara tetapi mendalam
4) Apa yang diperoleh merupakan anugerah yang tidak diusahakan.[19]
Ketiga pendekatan dapat digunakan secara simultan walau ada di antaranya yang lebih dominan sesuai namanya.
E.     Metode-Metode Psikologi Islam
Menurut Hanna Djumhana Bastaman, metode ilmiah yang lazim dipergunakan dalam psikologi, baik kuantitatif dan kualitatif dengan teknik-tekniknya seperti wawancara, tes, eksperimen, survei bisa berlaku dalam Psikologi Islam, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, kesetaraan porsi dan fungsi antara metode kualitatif dan kuantitatif, karena ada gejala dan perilaku manusia serta peristiwa khusus yang dialami secara pribadi, seperti pengalaman keagamaan. Untuk itu metode fenomenologi dapat dipergunakan. Kedua, selain menggunakan metode ilmiah, Psikologi Islam mengakui adanya pengetahuan yang didapat melalui ilham dan intuisi dengan melalui ibadah khusyuk seperti tafakkur, shalat Istikharah, shalat tahajjud dan doa.[20] Selain itu, bentuk penelitian ada yang dinamakan dengan library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan).
Ada beberapa metode yang ditawarkan oleh para ahli dalam perumusan, penelitian dan pengembangan Psikologi Islam, yaitu:
1.      Metode-Metode dalam Perumusan Psikologi Islam
Adapun metode-metode dalam perumusan Psikologi Islam meliputi: metode keyakinan, metode rasionalisasi, integrasi metode keyakinan dengan rasionalisasi, metode otoritas dan metode instuisi.[21]
a.         Metode Keyakinan
Dalam metode keyakinan seseorang meyakini betul tentang kebenaran sesuatu (tanpa keraguan) yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta kehidupan yang mengetahui seluk beluk dari makhluk ciptaan-Nya. Inilah ciri khas Psikologi Islam yang menempatkan wahyu di atas rasio.
b.        Metode Rasional
Metode rasional Psikologi Islam berpandangan bahwa manusia harus mempergunakan rasio secara optimal dengan menyadari keterbatasannya. Penggunaan akal ini sesuai dengan perintah Allah dalam al-Quran .
c.         Metode Integrasi
Metode keyakinan dengan rasionalisasiMetode ini dapat digunakan untuk memahami al-Quran dan Hadis. Metode yang dipergunakan oleh mufassirin dengan Tafsir bil Ra’yi dapat pula dipergunakan pula oleh Psikolog Muslim. Contoh tafsir dari jenis ini adalah Tafsir al-Azhar karya Hamka.
d.        Metode otoritas
Metode otoritas menyandarkan kepercayaan kepada orang yang mempunyai banyak pengetahuan dalam bidang tertentu seperti Tafsir bi al-Ma’tsur yang merujuk kepada penjelasan Rasulullah dan para sahabat dekatnya. Dalam Psikologi Islam juga dapat melakukan hal itu, termasuk penjelasan dari ulama yang mengetahui realitas di balik alam nyata.
e.         Metode intuisi
Pendayagunaan kalbu atau hati nurani dapat membantu seseorang melihat dengan mata batinnya kenyataan yang dapat dilihat dan dirasakan oleh pancaindranya. Dan metode eksperimen spritual adalah membuat perlakuan tertentu dengan secara rohani mencoba untuk mengetahui dampaknya. Sebagai contoh membiasakan shalat malam, lalu ia berusaha mengetahui bagaimana rasa hati terhadap Tuhan dengan kebiasaan demikian.

2.      Metode Penelitian dan Pengembangan Psikologi Islam
Ada dua langkah dalam metode penelitian dan pengembangan Psikologi Islam, yaitu: Metode Pragmatis dan Metode Idealistik
a.         Metode Pragmatis
Metode pragmatis adalah metode pengkajian dan pengembangan Psikologi Islam yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Metode ini sebenarnya ditransfer dari kerangka teori Barat kontemporer yang sudah mapan, teori tersebut dilegalisasi dan dijustifikasi dengan nash, hingga bernuansa islami.[22]
Kelebihan dari metode pragmatis ini adalah sifatnya yang responsif, akomodatif dan toleran terhadap perkembangan psikologi serta sangat efektif dan efesien untuk membangun disiplin baru dalam Psikologi Islam. Sedang kekurangannya terletak pada kekhawatiran terseretnya Psikologi Islam kepada frame Barat sekuler yang bertentangan dengan kode etik ilmiah-Qurani. Hal ini beralasan, karena perbedaan paradigma dan proses penyeleksian yang kurang ketat dapat membawa Psikologi Islam bercorak sekuler.
Kekhawatiran ini diungkapkan oleh Malik B. Badri dalam bukunya The Dilemma of Muslim Psychologits. Menurutnya ketidakselektifan psikolog muslim dapat menyebabkan mereka mengikuti cara hidup dan cara pandang mereka (Yahudi dan Kristen), meskipun cara itu berkualitas rendah dan tidak islami.[23] Rasulullah dalam Hadis beliau bahkan meramalkan: …”bahkan jika mereka masuk ke dalam lobang biawak pun , orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya.”[24]
Langkah-langkah operasional dalam metode pragmatis adalah:
1)      Penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian kategori.
2)      Survai disiplin ilmu pengetahuan.
3)      Penguasaan khazanah Islam tahap analisis.
4)      Penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan.
5)      Penilaian kritis terhadap ilmu pengetahuan modern.
6)      Penilaian kritis terhadap khazanah Islam di masa kini.
7)      Survai pengetahuan yang dihadapi umat Islam.
8)      Survai pengetahuan yang dihadapi umat manusia.
9)      Analisis, kreatif dan sintesis.
10)  Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam.
11)  Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasi.[25]
b.        Metode Idealistik
Metode idealistik adalah metode yang lebih mengutamakan penggalian Psikologi Islam dari ajaran Islam. Metode ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor sebagai postulasi yang digali dari nash dan dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk menggali premis minornya.
Menurut Sardar, ada sembilan konstruksi kerangka epistemologis di dalam menerapkan metode idealistik, yaitu:
1)      Didasarkan pada kerangka pedoman mutlak dari Allah dan Rasul-Nya.
2)      Bersifat aktif.
3)      Memandang objektivitas sebagai masalah umum.
4)      Sebagian besar bersifat deduktif.
5)      Memadukan pengetahuan dengan nilai Islam.
6)      Mengakui pengetahuan bersifat inklusif, termasuk pengalaman pribadi.
7)      Menyusun dan mendorong pencarian pengalaman subjektif.
8)      Memadukan konsep dari tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subjektif.
9)      Tidak bertentangan dengan pandangan holistik, sehingga epistemologi Islam sesuai dengan pengalaman pribadi dan pertumbuhan intelektual.[26]
Kedua kerangka di atas memberikan tantangan kepada para peneliti, pengkaji dan pemerhati Psikologi Islam untuk menggali khazanah yang dimilikinya. Dengan begitu Psikologi Islam dalam membicarakan jiwa manusia sarat nilai. Ia tidak hanya berbicara apa adanya, juga bagaimana seharusnya.
3.      Metode ilmiah dalam Psikologi Islam
Secara operasional, metode ilmiah dalam Psikologi Islam terdiri dari metode deskriptif dan metode eksperimental.
a.         Metoda deskriptif
Metode deskriptif yang digunakan dalam metode ilmiah adalah observasi dan riset korelasi. Pada tingkat intervensi pengamat, terdapat dua observasi. Pertama, obsevasi tanpa intervensi. Kedua, observasi dengan intervensi.
Observasi tanpa intervensi mirip dengan telaah naturalistik, di mana pengamat lebih berperan sebagai pencatat pasif tentang rentetan peristiwa yang terjadi. Observasi dengan intervensi adalah: pertama, observasi partisipan di mana pengamat turut aktif berperan dalam situasi tingkah laku yang diamati, kedua, observasi terstruktur di mana pengamat mengadakan intervensi dengan maksud untuk melihat rentetan peristiwa yang terjadi kemudian, setelah ada intervensi, eksprerimen lapangan, di mana pengamat memanipulasi satu atau beberapa variabel dalam setting natural pada tingkah laku.
Adapun observasi dengan intervensi memungkinkan pembauran dengan nuansa alamiah dengan suatu intervensi dalam upaya menguji suatu teori. Adapun riset korelasi digunakan bila peneliti bertujuan mengidenti-fikasi hubungan prediktif melalui ukuran kovarian di antara berbagai variabel.
b.        Metode eksperimental adalah metode ilmiah yang digunakan untuk melihat sebab akibat dengan prosedur kerja yang berhubungan dengan variabel independen dan variabel dependen. Metode observasi dan eksperimen pernah dilakukan oleh Malik B. Badri ketika melakukan studi banding antara proses tafakur dengan hukum-hukum alam dalam buku beliau Tafakur Perspektif Psikologi Islam.

4.      Metode Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh
Menurut Elmira N. Sumintardja, objek formal dari Psikologi Islam adalah konsep manusia berdasarkan al-Quran dan Hadis yang pemahaman interpretatifnya hanya dapat diperoleh dengan metode Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh. Pertimbangan yang diambil adalah bahwa manusia dapat menggunakan akal untuk proses pemahamannya. Kebenaran substansi dapat dicapai bila manusia meyakini bahwa ilmu diberikan Allah kepadanya (naqliyah) dan pengetahuan yang digali melalui akal sehatnya (aqliyah).[27]
a.       Metode Ilmu Tafsir
Pendekatan dalam Ilmu Tafsir dapat dilakukan untuk mengkaji masalah kejiwaan manusia. Misalnya, Tafsir Maudhu’i/metode tematis berdasarkan tema tertentu dari Al-Quran . Untuk mengkaji konsep-konsep penting yang berhubungan dengan Psikologi Islam seperti insan, basyar, nas, Bani Adam, fithrah, ruh, nafs, akal, qalb dan lain-lain metode itu sungguh tepat. Caranya ayat al-Quran atau Hadis yang terkait dikumpulkan. Hasil inventarisasi dicarikan kaitannya agar masing-masing dapat menjelas-kan, lalu disistematisasi menurut disiplin psikologis, hingga didapatkan konklusi yang bernuansa psikologis pula.
Keunggulan cara ini adalah selain dapat menampilkan nash secara integral dan komprehensif juga dapat menghindari intervensi pemikiran manusia yang berlebihan. Sedang kelemahannya adalah bahwa masing-masimg ayat atau hadis dilatar belakangi oleh konteks dan kondisi yang berbeda.
Tafsir Tahlili/Tafsir bil Ma’tsur (analisis) yang menafsirkan ayat dengan ayat, riwayat nabi, sahabat dan tabi’in. Dengan metode ini dapat diketahui peristiwa yang terjadi di seputar turunnya wahyu al-Quran dan bagaimana situasi sosial-psikologis Rasul dan para sahabat sewaktu turunnya ayat itu.
Kelebihan prosedur ini adalah pengkaji dapat memilih ayat atau Hadis tertentu yang dianggap representatif saja, sehingga dapat mengkaji secara mendalam.[28] Kelemahannya bisa terjadi bila pengkaji terlalu jauh dalam analisisnya sehingga keluar dari konteks yang sesungguhnya.
Tafsir Maqarin prosedur perbandingan yaitu memperbandingkan antara ayat satu dengan ayat lain, ayat dengan Hadis, Hadis dengan ayat dan ayat dengan hadis. Pendapat ulama salaf atau ulama khalaf. Dari sini dapat diketahui adanya ayat yang terminologinya sama tetapi konteksnya berbeda.[29] Misalnya kata nafs dalam QS. Ali Imran ayat 185 tentang setiap nafs yang tenang.
Tafsir Ijmali/prosedur global mengemukakan penjelasan mengenai ayat-ayat atau Hadis yang berkaitan dengan psikologis secara global. Penjelasannya ringkas, bahasa popular dan mudah dimengerti. Prosedur terakhir ini jarang digunakan karena terwakili oleh ketiga prosedur tadi.
c.         Metode Ushul Fiqh
Sementara itu metode Ushul Fiqh juga dapat digunakan. Metode ini berfungsi untuk merumuskan kaidah keilmuan dari dalil-dalil al-Quran dan Hadis dengan menggunakan penalaran akal yang logis dan rasional. Akal adalah sesuatu yang abstrak dan merupakan aktivitas hati. Kalbu adalah pusat awal kegiatan akal, karena itulah setiap perilaku manusia dihubungkan dengan niat sebagai kehendak yang kuat dan motif yang berasal dari hati. Para sufi yang menekankan pengendalian hati sebagai pemicu setiap perbuatan manusia memusatkan pembinaan akhlak melalui pintu hati ini. Prinsip inilah yang digunakan para pakar hukum Islam untuk mengukur keabsahan sesuatu tingkah laku secara hukum.[30]
Pada dasarnya, metode-metode yang ditawarkan oleh para ahli di atas, tidak lepas dari pendekatan-pendekatan yang pernah dilakukan oleh para pemikir Islam di dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman, termasuk ilmu-ilmu tentang kejiwaan. Secara historis metode-metode yang ditawarkan memiliki dasar yang kuat, baik secara konseptual maupun operasional.
F.     Psikologi Dalam Al-Qur’an
Para psikolog memandang kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis yang tetap, yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat hidup.[31] Dalam masa pertumbuhannya, kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, ataupun pendidikan. Kepribadian tidak terjadi secara serta merta, tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Dengan demikian, apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perjalanan kehidupan seseorang tersebut.[32]
Kepribadian merupakan “keniscayaan”, suatu bagian dalam (interior) dari diri kita yang masih perlu digali dan ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah diri kita yang sesungguhnya. Dalam Al-Qur’an Allah telah menerangkan model kepribadian manusia yang memiliki keistimewaan dibanding model kepribadian lainnya. Di antaranya adalah Surah al-Baqarah [2] ayat 1-20. Rangkaian ayat ini menggambarkan tiga model kepribadian manusia, yakni kepribadian orang beriman, kepribadian orang kafir, dan kepribadian orang munafik.[33]
Berikut ini adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari masing-masing tipe kepribadian berdasarkan apa yang dijelaskan dalam rangkaian ayat tersebut.
1.      Kepribadian Orang Beriman (Mu’minun)
Dikatakan beriman bila ia percaya pada rukun iman yang terdiri atas iman kepada Allah swt., iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya, percaya pada Hari Akhir, dan percaya pada ketentuan Allah (qadar/takdir). Rasa percaya yang kuat terhadap rukun iman tersebut akan membentuk nilai-nilai yang melandasi seluruh aktivitasnya. Dengan nilai-nilai itu, setiap individu seyogianya memiliki kepribadian yang lurus atau kepribadian yang sehat. Orang yang memiliki kepribadian lurus dan sehat ini memiliki ciri-ciri antara lain:
a.       Akan bersikap moderat dalam segala aspek kehidupan.
b.      Rendah hati di hadapan Allah dan juga terhadap sesama manusia.
c.       Senang menuntut ilmu.
d.      Sabar.
e.       Jujur, dan lain-lain.[34]
Gambaran manusia mukmin dengan segenap ciri yang terdapat dalam Al-Qur’an ini merupakan gambaran manusia paripurna (insan kamil) dalam kehidupan ini, dalam batas yang mungkin dicapai oleh manusia. Allah menghendaki kita untuk dapat berusaha mewujudkannya dalam diri kita. Rasulullah saw. telah membina generasi pertama kaum mukminin atas dasar ciri-ciri tersebut. Beliau berhasil mengubah kepribadian mereka secara total serta membentuk mereka sebagai mukmin sejati yang mampu mengubah wajah sejarah dengan kekuatan pribadi dan kemuliaan akhlak mereka.[35] Singkatnya, kepribadian orang beriman dapat menjadi teladan bagi orang lain.
2.      Kepribadian Orang Kafir (Kafirun)
Ciri-ciri orang kafir yang diungkapkan dalam Al-Qur’an antara lain:
a.       Suka putus asa.
b.      Tidak menikmati kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupannya.
c.       Tidak percaya pada rukun iman yang selama ini menjadi pedoman keyakinan umat Islam.
d.      Mereka tidak mau mendengar dan berpikir tentang kebenaran yang diyakini kaum Muslim.
e.       Mereka sering tidak setia pada janji, bersikap sombong, suka dengki, cenderung memusuhi orang-orang beriman.
f.       Mereka suka kehidupan hedonis, kehidupan yang serba berlandaskan hal-hal yang bersifat material. Tujuan hidup mereka hanya kesuksesan duniawi, sehingga sering kali berakibat ketidakseimbangan pada kepribadian.
g.      Mereka pun tertutup pada pengetahuan ketauhidan, dan lain-lain.
Ciri-ciri orang kafir sebagaimana yang tergambar dalam Al-Qur’an tersebut menyebabkan mereka kehilangan keseimbangan kepribadian, yang akibatnya mereka mengalami penyimpangan ke arah pemuasan syahwat serta kesenangan lahiriah dan duniawi. Hal ini membuat mereka kehilangan satu tujuan tertentu dalam kehidupan, yaitu beribadah kepada Allah dan mengharap rida-Nya untuk mengharap magfirah serta pahala-Nya di dunia dan akhirat.[36]
3.      Kepribadian Orang Munafik (Munafiqun)
Munafik adalah segolongan orang yang berkepribadian sangat lemah dan bimbang. Di antara sifat atau watak orang munafik yang tergambar dalam Al-Qur’an antara lain:
a.       Mereka “lupa” dan menuhankan sesuatu atau seseorang selain Allah swt..
b.      Dalam berbicara mereka suka berdusta.
c.       Mereka menutup pendengaran, penglihatan, dan perasaannya dari kebenaran.
d.      Orang-orang munafik ialah kelompok manusia dengan kepribadian yang lemah, peragu, dan tidak mempunyai sikap yang tegas dalam masalah keimanan.
e.       Mereka bersifat hipokrit, yakni sombong, angkuh, dan cepat berputus asa.
Ciri kepribadian orang munafik yang paling mendasar adalah kebimbangannya antara keimanan dan kekafiran serta ketidakmampuannya membuat sikap yang tegas dan jelas berkaitan dengan keyakinan bertauhid.
Dengan demikian, umat Islam sangat beruntung mendapatkan rujukan yang paling benar tentang kepribadian dibanding teori-teori lainnya, terutama diyakini rujukan tersebut adalah wahyu dari Allah swt. yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., manusia teladan kekasih Allah. Oleh karena itu pula, Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. ke muka bumi untuk memainkan peran sebagai model insan kamil bagi umat manusia. Kepribadian dalam kehidupan sehari-hari mengandung sifat-sifat manusiawi kita, alam pikiran, emosi, bagian interior kita yang berkembang melalui interaksi indra-indra fisik dengan lingkungan. Namun lebih dalam lagi, kepribadian sesungguhnya merupakan produk kondisi jiwa (nafs) kita yang saling berhubungan. Atau, dapat dikatakan pula bahwa kepribadian seseorang berbanding lurus dengan kondisi jiwanya (nafs).[37]
Berangkat dari teori kepribadian di atas, maka kita dapat membagi kepribadian manusia menjadi dua macam, yaitu:
1)      Kepribadian kemanusiaan (basyariyyah)
Kepribadian kemanusiaan di sini mencakup kepribadian individu dan kepribadian ummah. Kepribadian individu di antaranya melliputi ciri khas seseorang dalam bentuk sikap, tingkah laku, dan intelektual yang dimiliki masing-masing secara khas sehingga ia berbeda dengan orang lain. Dalam pandangan Islam, manusia memang mempunyai potensi yang berbeda (al-farq al-fardiyyah) yang meliputi aspek fisik dan psikis. Selanjutnya, kepribadian ummah meliputi ciri khas kepribadian muslim sebagai suatu ummah (bangsa/negara) muslim yang meliputi sikap dan tingkah laku ummah muslim yang berbeda dengan ummah lainnya, mempunyai ciri khas kelompok dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan identitas tersebut dari pengaruh luar, baik ideologi maupun lainnya yang dapat memberikan dampak negatif.[38]
2)      Kepribadian samawi (kewahyuan)
Yaitu, corak kepribadian yang dibentuk melalui petunjuk wahyu dalam kitab suci Al-Qur’an, sebagaimana termaktub dalam firman Allah sebagai berikut.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  .
Dan, bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Q.S. al-An’am [6]: 153)
Itulah beberapa gambaran mengenai psikologi dan kepribadian manusia dalam Al-Qur’an. Tentu gambaran di atas belum sepenuhnya berhasil meng-cover keseluruhan maksud Al-Qur’an mengenai manusia dengan segala kepribadiannya yang sangat kompleks. Sebab, begitu luasnya aspek kepribadian manusia sehingga usaha untuk mengungkap hakikat manusia merupakan pekerjaan yang sukar.
Walaupun demikian, paling tidak penjelasan di atas dapat memberikan gambaran bahwa manusia memiliki dua potensi yang saling berlawanan, yaitu potensi baik dan potensi buruk. Dua potensi ini lantas memilah manusia ke dalam tiga kategori, yaitu mukmin, kafir, dan munafik. Pembinaan kepribadian manusia lewat pendidikan yang baik akan menuntun manusia agar bisa memperkokoh potensi baiknya sehingga ia bisa memaksimalkan tugas utamanya untuk beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah Allah di muka bumi. Sebaliknya, pembinaan kepribadian manusia yang kurang maksimal akan memerosokkan manusia ke dalam derajat yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari binatang.[39]





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Psikologi Agama merupakan salah satu bidang dalam psikologi modern yang khusus mengkaji fenomena-fenomena keagamaan dari sudut pandang Psikologi. Lebih spesifik dapat didefinisikan bahwa Psikologi Agama mempelajari perilaku orang yang beragama. Perilaku agama ini dapat berupa perilaku yang tampak (overt behaviour). Yang dapat di observasi. Misalnya respon-respon fisiologis (detak jantung, pernafasan, gelombang otak, dan sebagainya) yang dialami oleh orang yang melakukan ibadah, atau perilaku keagamaan dalam kehidupan masyarakat. Perilaku agama juga dapat tidak tampak (overt beheviour). Misalnya sikap pasrah, perasaan tentram atau konflik, dan keraguan keagamaan sampai dengan pengalaman-pengalaman spiritual yang bersifat subyektif.
Menurut Prof. Dr. Zakiyah Darajat, Psikologi Agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Disamping itu Psikologi Agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut. Kemudian beliau menyatakan pula bahwa lapangan penelitian Psikologi Agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan.
Dari beberapa pamaparan di atas peneliti mengambil kesimpulan bahwa Agama, Psikologi dan metodologi Psikologi Islam berbicara lebih lanjut tentang apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dengan cara membicarakan metode penelitian baik melalui pengkajian leteral maupun lapangan. Sebagai ilmu yang sarat nilai, Psikologi Islam yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, jelas memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya, jika kita mencoba mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.
Hal ini dikarenakan menurut penulis, Agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, Agama adalah kegiatan ritual. Sebagian yang lain, Agama adalah berkhidmat kepada sesama manusia. Bagi yang lain, Agama adalah berperilaku yang baik. Psikologi adalah salah satu di antara ilmu yang memusatkan perhatian pada ”perilaku manusia”, maka Psikologi seharusnya berkepentingan dengan Agama, yang disepakati sangat mempengaruhi perilaku manusia.





DAFTAR PUSTAKA
al-Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan. terj. Anas Wahyuni.Bandung: Pustaka, 1984.
Badri, Malik B. The Dilemma of MuslimPsychologist. terj. Siti Zainab Luxfiati. Dilema Psikologi Muslim. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996.
C.P, Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. terj. Kartini Kartono. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Ensiklopedia Indonesia Jilid I. Jakarta: Icthiar Baru Van Hoeve, t.th.
http://raudlatulmuhibbin.blogspot.com/2013/10/resensi-buku-psikologi-dalam-al-quran_10.html
Mudjib, Abdul dan Jusuf Mudzakir. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung, Trigenda Karya, 1993.
Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawir, t.th.
Najati, Muhammad Utsman. Psikologi dalam Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia, 2005.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Metodologi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Cet. III ,Bandung :Mizan,2005.
Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Dewi, Rani Anggraeni. “Kepribadian (Psikologi Al-Qur’an)”. dalam http://www.pusakahati.com  di akses 31 Desember 2014.
Subandi, Diktat Kuliah Psikologi Agama. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1999.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Syukur, M. Amin Abdullah dan Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Wilcox, Lynn. Imu Jiwa Berjumpa Tasawuf. terj. Harimurti Bagoesoka. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.





[1]Malik B. Badri, The Dilemma of MuslimPsychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati, Dilema Psikologi Muslim,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 1. 
[2]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), h. 28.
[3]Lynn Wilcox, Imu Jiwa Berjumpa Tasawuf, terj. Harimurti Bagoesoka, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 12.
[4]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 8.
[5]Chaplin C.P, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 398.
[6]Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawir, t.th.), hlm 1545.
[7]Ensiklopedia Indonesia Jilid I, (Jakarta: Icthiar Baru Van Hoeve, t.th.), hlm. 104-105.
[8]Subandi, Diktat Kuliah Psikologi Agama, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1999), hlm. 1.
[9]Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, (Cet. III ,Bandung :Mizan,2005), hlm. 8.
[10]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), hlm. 15-16.
[11]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 120.
[12]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 9.
[13]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam, hlm. 105. 
[14]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam, hlm. 106-107.  
[15]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam, hlm. 110. 
[16]M. Amin Abdullah Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 170-209.
[17]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam, hlm. 111.  
[18]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung, Trigenda Karya, 1993), hlm. 15.
[19]William James, The Varieties of Relegious Exprence, (New York: Collier Books, 1974), hlm. 22.
[20]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, hlm. 10.
[21]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam,  h. 111.
[22]Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 6.
 
[23]Malik B. Badri, The Dilemma of MuslimPsychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati Dilema Psikologi Muslim,  hlm. 1.
[24]Abu Husein Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 219. 
[25]Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuni, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 99-115.
[26]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 20-21.
[27]Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam,  hlm.  138-139
[28]Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, 1983), hlm. 23.
[29]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, hlm. 38.
[30]Fuad Nashori, Psikologi Islam, Agenda Menuju Aksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 150-151.
[31]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), hlm. 359.
[32]Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 186.
[33]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 381-382.
[34]Rani Anggraeni Dewi,  “Kepribadian (Psikologi Al-Qur’an)”, dalam http://www.pusakahati.com  di akses 31 Desember 2014.
[35]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 384.
[36]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 387-389.
[37]Rani Anggraeni Dewi,  “Kepribadian (Psikologi Al-Qur’an)”.
[38]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 263.
[39]M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 365. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Poligami dalam Islam

POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH MURSALAH A.     Latar Belakang Poligami merupakan masalah yang sering...