Kajian Hadis Dalam Pandangan Sunni
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia dalam hidupnya membutuhkan
berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam
yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli
ini merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh
manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya.
Dan sumber yang sangat otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Al-Qur’an
dan Hadits Rasulullah S.A.W.
Allah telah memberikan kepada umat kita
para pendahulu yang selalu menjaga Al-Qur’an dan hadits Nabi. Mereka adalah
orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka
mencurahkan perhatiannya terhadap Al-Qur’an dan ilmunya yaitu para mufassir.
Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadist Nabi dan ilmunya,
mereka adalah para ahli hadis.
Hadis merupakan salah satu sumber
tasyri’ yang sangat penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui
fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an.
Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat penting untuk
menjaga dan mengawal pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke generasi. Mereka
misalnya menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar sebuah hadis dapat
diterima (dengan derajat shahih ataupun hasan). Setelah meneliti dan
membuktikan keabsahan sebuah hadist secara sanad, mereka tidak cukup berhenti
hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya; apakah ia
tidak syadz atau mansukh. Demikianlah seterusnya, hingga mereka dapat menyimpulkan
dan mendapatkan hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh karena itu,
tentu perlu untuk mengetahui lebih jauh tentang
hadist menurut Ahl-Sunnah secara umum.
B.
Rumusan
Masalah
1. Pengertian
dan klasifikasi hadis di kalangan Sunni?
2. Penulisan
dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni?
3. Adalat
al-shahabah di kalangan Sunni?
4. Penggunaan
hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni?
5. Literatur
hadis Sunni?
C.
Tujuan
Penelitian
1. Untuk
mengetahui pengertian dan klasifikasi hadis di kalangan Sunni
2. Untuk
mengetahui penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni
3. Untuk
mengetahui adalat al-shahabah di kalangan Sunni
4. Untuk
mengetahui penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni
5. Untuk
mengetahui literatur hadis Sunni
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadis di Kalangan Sunni
Dalam tradisi Sunni, yang menjadi esensi
dari hadis itu sendiri ialah segala berita yang berkenan dengan: sabda,
perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW. Yang
dimaksud hal ihwal di sini adalah segala sifat dan keadaan pribadi Nabi SAW.[1] Dengan
demikian, menurut umumnya jumhur ulama hadis, bentuk-bentuk hadist ialah segala
berita berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir,
dan hal ihwal Nabi Muhammad saw.
Ulama hadis melihat Rasulullah sebagai
manusia yang sempurna (insan kamil)
atau pribadi pilihan Allah yang tidak saja perkataan, perbuatan atau ketetapan
beliau dapat dicontoh, aka tetapi seluruh perilaku dan perjalanan hidup beliau
adalah pantas untuk dijadikan teladan utama. Rasulullah adalah figur sentral
dan model terbaik (uswah hasanah) yang
harus diteladani oleh setiap umat Islam. Karena itu, dalam kerangka menjadikan
nabi sebagai uswah hasanah ini, muhadditsun
juga mengikutkan segala perilaku Muhammad SAW, sejak sebelum beliau diangkat
menjadi Nabi/ Rasul. Oleh karena itu, ulama hadits berusaha meliput sebanyak
mungkin riwayat yang berkenan dengan Rasulullah, tidak saja berkenaan dengan
aspek hukum, akan tetapi juga menceritakan keadaan beliau, sifat-sifat dan
kebiasaan, bahkan hingga gambaran dan performa fisik beliau sekalipun.[2]
Adapun beberapa contoh dari sabda,
perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad saw,
diantaranya:
Contoh perkataan Nabi adalah sabda
beliau,
إِنّمَاَ الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا
لِكُلٍّ امْرئٍ مَا نَوَى
“Perbuatan
itu dengan niat, dan setiap orang bergantung pada niatnya”.[3]
Sabda beliau juga,
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ وَ الحِلُّ مَيْتَتُهُ
“(Laut
itu) suci airnya dan halal bangkainya”.[4]
Contoh perbuatan Nabi adalah cara wudhu,
sholat, manasik haji, dan lain sebagainya yang beliau kerjakan.
Contoh penetapan (taqrir) Nabi adalah sikap diam beliau dan tidak mengingkari
terhadap suatu perbuatan, atau persetujuan beliau terhadapnya. Misalnya:
عن خلد بن الو
ليد قال أتي النبي صلى الله عليه وسلم بضب مشوي فأهوي إليه ليأ كل فقيل له إنه ضب
فأ مسك يده فقل خالد أحرام هو ؟ قال(لاولكنه لا يكون بأرض قومى فأجد نى أعا فه)
فأكل خلد ورسو ل الله عليه وسلم ين ظر
Diriwayatkan
dari Khalid ibn walid, Katanya: “Nabi saw pernah disuguhi hidangan berupa
daging biawak. Beliau menjulurkan tangan untuk mengambilnya, tiba-tiba ada yang
memberitahu bahwa hidangan itu adalah daging biawak sehingga beliau
mengurungkan kembali tangannya. Khalid bertanya: ”Apakah daging ini haram?
beliau menjawab: “tidak, hanya saja tidak ada di tempatku. Khalid trus
memakannya, sementara beliau memandangku (H.R Bukhari).
Dari definisi hadis yang ditetapkan
Sunni di atas, memberikan batasan tentang segala sesuatu yang berasal dari Nabi
Muhammad s.a.w., sekaligus adanya anggapan bahwa wahyu telah terhenti setelah
wafatnya Nabi Muhammad. Dengan demikian apapun yang bersumber dari Nabi dapat
dijadikan dasar hukum dan sekaligus sumber ajaran Islam. Sebaliknya apapun yang
tidak bersumber langsung dari Nabi bukan termasuk hadis, dan karenanya tidak
wajib diikuti dan tidak dapat dijadikan dasar hukum apalagi dijadikan sebagai
sumber ajaran Islam. Dengan demikian sumber utama yang dapat mengeluarkan hadis
menurut Sunni hanya Nabi Muhammad SAW.
B.
Klasifikasi
Hadis di Kalangan Sunni
1.
Hadis
ditinjau dari jumlah perawinya
Dalam
menyampaikan sebuah hadis terkadang Nabi berhadapan dengan sahabat yang banyak
jumlahnya, terkadang hanya beberapa sahabat, bahkan terkadang hanya satu atau
dua orang saja. Begitu seterusnya sampai
dengan generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai kitab. Sudah pasti informasi yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan dibanding
informasi yang dibawa oleh hanya satu atau dua orang saja. Dengan demikian,
maka menurut pembagian hadis dari aspek kuantitas periwayat adalah sebagai
berikut. Ulama ahli hadis membaginya kepada dua bagian, yaitu
hadis mutawatir dan hadis ahad.[5]
a. Hadis Mutawatir
Mutawatir
menurut etimologi berarti “beriring-iringan.” Sedangkan hadis mutawatir menurut
terminologi ialah hadis yang diriwayatkan oleh segolongan rawi banyak, dimana
materi hadis tersebut bersifat inderawi, yang menurut pertimbangan rasio,
mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan, dan adanya segolongan rawi
banyak itu terdapat di dalam semua thabaqahnya, jika terdiri dari beberapa
thabaqah.
Berdasarkan
definisi di atas, maka hadis mutawatir itu harus memenuhi empat syarat yaitu:
1)
Rawi-rawi hadisnya terdiri dari
segolongan orang banyak.
2)
Menurut pertimbangan rasio, mereka
mustahil melakukan konspirasi kebohongan, atau mengadakan suatu perkumpulan
untuk berdusta, atau dipaksa oleh penguasa untuk berdusta, karena rawi-rawi itu
orang banyak yang berbeda-beda dari berbagai kalangan dan profesi.
3)
Rawi yang banyak itu meriwayatkan
dari rawi yang banyak pula, mulai dari permulaan sampai pada akhir sanadnya.
4)
Sandaran akhir (hadis yang
diriwayat) dari rawi-rawi itu sesuatu inderawi (diterima melalui indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa).[6]
Jika keempat syarat tersebut terpenuhi, maka sudah
tentu akan diperoleh pengetahuan adanya kepastian kebenaran hadis itu, dan
keempat syarat itu tidak akan terpenuhi jika kita belum memperoleh pengetahuan
adanya kepastian kebenarannya. Hadis mutawatir itu merupakan ilmu dharuri,
yaitu ilmu yang tidak memerlukan observasi karena sudah jelas dan didukung oleh
keyakinan yang kuat.[7]
Hadis
mutawatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a) Mutawatir lafdzi
Yaitu
mutawatir dalam satu masalah yang diriwayatkan dengan menggunakan lafadz satu
atau lebih namun satu makna, atau menggunakan susunan kata yang berbeda-beda tetapi
pengertiannya sama, yaitu tetap dalam konteks masalah itu, seperti hadis:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“barang
siapa yang berbuat dusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah dia menempati
tempat duduknya di neraka.”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh
segolongan banyak sahabat. Menurut sebagian orang yang hafal hadis, hadis
tersebut diriwayatkan dari Nabi SAW oleh enam puluh dua sahabat, dan di antara
mereka terdapat sepuluh orang sahabat yag sudah diakui Nabi SAW masuk surga.
Menurut Ibnu Al-Shalah, bahwa hadis mutawatir lafdzi itu langkah.[8]
b) Mutawatir maknawi
Mutawatir
maknawi ialah maknanya yang mutawatir sedangkan lafadznya tidak. Misalnya,
hadis-hadis tentang mengangkat tangan dalam berdoa. Hadis ini telah diriwayatkan
dari Nabi sekitar 100 macam hadis tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Dan
setiap hadis tersebut berbeda kasusnya dari hadis yang lain. Sedangkan setiap
kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena
adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadis-hadis tersebut yaitu tentang
mengangkat tangan ketika berdoa.[9]
b. Hadis Ahad
Ahad menurut
bahasa mempunyai arti satu. Dan khabarul
wahid adalah yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan hadits ahad
menurut istilah adalah hadis yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir. Hadis
ahad terbagi menjadi 3 macam yaitu: Masyhur,
‘Aziz, dan Gharib.[10]
1) Hadis Masyhur
Masyhur
menurut bahasa nampak. Sedangkan menurut istilah adalah yang diriwayatkan oleh
tiga perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai
batas mutawatir.
Hadis masyhur di luar istilah
tersebut dapat terbagi menjadi beberapa macam yang meliputi: mempunyai satu sanad,
mempunyai beberapa sanad, dan tidak ada sanad sama sekali.[11]
Dengan demikian, berdasarkan pada segi lingkungan, popularitas dan
penyebarannya maupun dari segi frekuensi penggunannya, hadis masyhur ini juga
sangat beragam,[12]
yaitu:
a)
Hadis masyhur di kalangan
muhadditsun
عَنْ أَنَسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
بَعْدَ الرُّكُوْعِ شَهْرًا يَدْعُوْ عَلَى رِعْلٍ وَ ذَكْوَانَ. (رواه البخاري)
b)
Hadis masyhur di kalangan muhadditsun
dan ulama lain
عَنْ عَبْدِ
الله بنْ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ قَالَ المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ
وَ المُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ (رواه البخاري)
c)
Hadis masyhur di kalangan fuqaha’
ابن عمر عَنِ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الحَلاَلِ إِلَى
اللهِ الطَّلاَقُ (رواه أبو داود)
d)
Hadis masyhur di kalangan ahli ushul
fiqh
عن أبي هريرة
قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ
فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. (رواه
البخاري)
e)
Hadis masyhur di kalangan ahli
bahasa Arab
عن عمر قال : نعم العبد صهيب لو لم يخف الله لم
يعصه
f)
Hadis masyhur di kalangan ahli
pendidikan
"ادبنى ربى فاحسن تأديبي"
g)
Hadis masyhur di kalangan umum
"العجلة من الشيطان" (اخرجه الترمذي و حسنه)
2) Hadis ‘Aziz
‘Aziz
artinya: yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat.
‘Aziz menurut istilah ilmu hadis,
ialah: satu hadis yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan
rawinya.
Contohnya: Nabi SAW bersabda, “Tidak (sesungguhnya) beriman salah seorang
dari kamu, sehingga adalah aku (Nabi) lebih tercinta kepadanya daripada ia
(mencintai) bapaknya dan anaknya serta semua orang.”
Keterangan: hadis tersebut
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan Anas. Dan diriwayatkan juga
oleh Bukhari dari jalan Abu Hurairah. Susunan sanad dari dua jalan itu adalah
yang meriwayatkan dari Anas: Qatadah dan Abdulaziz bin Shuhaib. Yang
meriwayatkan dari Abdulaziz: Ismail bin ‘Illiyyah dan Abdul warits.[13]
3) Hadis Gharib
Gharib
secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan hadis gharib secara
istilah adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara
sendiri. Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam
setiap tingkatan periwayatan, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan
atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lainnya jumlahnya lebih dari satu,
maka itu tidak mengubah statusnya sebagai hadis gharib. Sebagian ulama juga
menyebutkan jenis hadis ini dengan nama lain yaitu al-fard. Hadis gharib dilihat dari segi letak sendiriannya dapat
terbagi menjadi dua macam,[14]
yaitu:
a)
Gharib mutlak yaitu bilamana
kesendirian (gharabah) periwayatan
terdapat pada asal sanadnya (sahabat). Contohnya adalah hadis tentang niat yang
diriwayatkan secara menyendiri oleh Umar kemudian diriwayatkan oleh Alqamah,
Yahya bin Sa’id dan terakhir oleh banyak perawi.[15]
لغة : هو صفة
مشبهة من "عز يعز" واصطلاحا : ان لا يقال رواته عن اثنين في جميع طبقات
السند
حدثنا الحميدي
عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصري قال أخبرني
محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي
الله عنه على المنبر قال سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ إِنّمَاَ
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلٍّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَجَرَ إِلَيْهِ. (رواه البخاري)
“bahwa setiap perbuatan itu
bergantung dengan niatnya.”
b)
Gharib nisbi yaitu hadis yang keghariban
sanadnya terjadi pada tengah sanad, bukan pada asal sanad sebagaimana hadis
gharib mutlak. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan
al-Zuhri secara menyendiri.[16]
2. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitasnya
Klasifikasi
ini lebih mengacu kepada jajaran hadis ahad yang mencakup hadis masyhur, ‘aziz,
dan gharib, karena ulama tampak telah sepakat bahwa hadis mutawatir seluruhnya
bernilai shahih. Dalam hal ini, ulama membagi kualitas hadis pada tiga bagian,
yakni shahih, hasan, dan dha’if.[17]
a. Hadis shahih
Hadis shahih
adalah hadis musnad, yakni hadis yang bersambung sanadnya, yang dinukil dari
perawi yang adil dan dhabit mulai dari awal hingga akhir sanad sampai kepada
Rasulullah SAW, dari sahabat atau lainnya, tanpa adanya syadz dan ‘illat.[18]
Dari definisi tersebut jelaslah bahwa bisa disebut hadis shahih apabila sudah
memenuhi syarat- syarat ini, yaitu: rawinya bersifat ‘adil, rawinya
sempurna ingatan atau dhabith, sanad-nya bersambung, matan-nya
marfu, tidak ada ‘illat, tidak janggal (syadz).
1)
Keadilan Rawi
Menurut
Ar-Razi, keadilan ialah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertakwa,
menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan
meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah,
seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang
bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebih-lebihan.
Menurut Ibn
As-Sam’ani, keadilan harus memenuhi syarat:
a)
Selalu memelihara perbuatan taat dan
menjauhi perbuatan maksiat.
b)
Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat
menodai agama dan sopan santun.
c)
Tidak melakukan perkara-perkara mubah
yang dapat menggurgurkan iman dan mengakibatkan penyesalan.
d)
Tidak mengikuti pendapat salah satu
mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
Menurut Muhyi Ad-Din ‘Abd Al-Hamid, syarat keadilan
rawi itu adalah:
a)
Islam, maka periwayatan yang kafir
tidak diterima.
b)
Mukallaf, maka
periwayatan anak yang belum dewasa menurut pendapat yang lebih shahih, tidak
diterima.
c)
Selamat dari sebab-sebab yang
menjadikan seorang fasik dan memiliki cacat pribadi.
Pengertian dan ketentuan adil dalam periwayatan
berbeda dengan adil dalam kesaksian. Dalam persaksian (syahadah),
dikatakan adil jika terdiri atas dua orang laki-laki yang merdeka. Adapun dalam
periwayatan, dapat dikatakan adil cukup seorang saja, baik orang perempuan,
budak, merdeka.
2)
Kedhabitan Rawi
Dhabith ialah orang
yang terpelihara, kuat ingatannya, ingatannya lebih banyak daripada
kesalahannya. Dhabith ada dua macam:
a)
Dhabith ash-Shadri, yakni
seorang yang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya paham yang
tinggi, sejak menerima sampai menyampaikan pada orang lain dan ingatannya itu
sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja dikehendakinya.
b)
Dhabith al-kitab, yakni
seseorang yang dhabith atau cermat memelihara catatan atau buku yang ia
terima.
Unsur-unsur dhabith adalah:
a)
Tidak pelupa.
b)
Hafal terhadap apa yang didiktekan
kepada muridnya apabila ia memberikan hadis dengan hafalan, dan terjaga
kitabnya dari kelemahan apabila ia meriwayatkan hadis dan kitabnya, dan
c)
Menguasai apa yang diriwayatkan,
memahami maksudnya, dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud apabila
ia meriwayatkan hadis menurut maknanya saja. Rawi yang adil dan dhabith
disebut tsiqat.
3)
Musnad
Musnad yaitu muttashil-nya
sanad dan marfu’-nya matan. Arti muttashil atau bersambung
atau tidak putusnya sanad, yakni selamat dari keguguran, tiap-tiap rawi
saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya (mengajarinya). Matan
yang marfu’, artinya idhafah kepada Nabi SAW.
4)
Tanpa ‘Illat
‘Illat hadis ialah
suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan hadis, misalnya:
meriwayatkan hadis secara muttashil terhadap hadis mursal atau hadis munqathi’,
atau berupa sisipan yang terdapat pada matan hadis.
5)
Tidak ada kejanggalan
Kejanggalan
hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan
dengan kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi
tarjih yang lain.
Jadi hadis shahih
adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabit-anya, sanad-nya
muttashil dan tidak cacat, matan-nya marfu’, tidak cacat,
dan tidak janggal.
Derajat dan
kekuatan hadis sahih bisa berlebih dan berkurang karena berlebih berkurangnya
sifat ke-dhabit-an dan keadilan rawi serta sanad-nya. Urutan-urutan hadis sahih
menurut derajatnya mulai yang tertinggi adalah sebagai berikut:
a)
Hadis sahih yang ber-sanad ashah
al-asanaid
Ashal al-asanid ialah sanad
yang paling tinggi martabatnya karena rangkaian rawi dalam sanad suatu
hadis terdiri atas rawi-rawi yang paling tinggi derajat adil dan dhabit-nya,
antara lain:
a)
Malik, Nafi’, ‘Abdullah ibn ‘Umar,
b)
Ibn Syihab Az-Zuhri, Salim,
‘Abdullah ibn ‘Umar,
c)
Zain AL-‘Abidin, Hasan, ‘Ali ibn Abu
Thalib.
b)
Hadis yang muttafaq ‘alai
atau muttafaq ‘alaihi sihhatihi, yaitu hadis sahih yang sanad mudwwin-nya
adalah Bukhari dan Muslim atau sanad-nya telah disepakati oleh Bukhari
dan Muslim.
c)
Hadis yang diriwayatkan (di-takhrij-kan)
oleh Bukhari sendiri, sedangkan Muslim tidak meriwayatkannya. Untuk itu,
disebut infarada bih al-bukhari.
d)
Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
sendiri, sedangkan Bukhari tidak meriwayatkannya. Hadis yang hanya diriwayatkan
Muslim dan tidak diriwayatkan Bukhari tetap disebut infarada bihi muslim,
walaupun hadis tersebut diriwayatkan pen-takhrij lain seperti Abu Dawud,
An-Nasa’i, Ibn Majah, dan begitu sebaliknya dengan infarada bihi al-bukhari.
e)
Hadis sahih yang diriwayatkan
menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim. Hadis demikian disebut dengan Shahihun
‘ala syarthi al-bukhari wa muslim, artinya bahwa rawi-rawi hadis yang
dikemukakan itu terdapat di dalam kedua kitab hadis, yaitu Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim, walaupun kedua imam hadis tersebut tidak men-takhrij-nya.
f)
Hadis sahih yang menurut syarat
Bukhari, sedang Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya, disebut shahih
‘ala syarthi al-bukhari.
g)
Hadis sahih menurut syarat Muslim,
sedangkan Muslim sendiri tidak men-takhrij-nya, disebut shahih ‘ala
syarthi muslim.[19]
Jika salah satu dari lima syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka ia tidak dapat dinamakan dengan hadis shahih.
b. Hadis Hasan
Hadis hasan
adalah yang sanadnya bersambung, dinukil oleh periwayat yang adil namun tidak
terlalu dhabit (kuat ingatannya) serta terhindar dari syadz dan ‘illat.[20]
Perbedaan prinsip antara hadis shaihi dan hasan terletak pada keadaan perawinya.
Pada hadis shahih perawinya sempeurna dhabitnya, sedangkan pada hadis hasan,
kedhabitan perawinya kurang sempurna. Oleh karena itu maka hadis hasan
diposisikan di bawah hadis shahih. Hadis hasan di bagi menjadi dua yaitu hasan
lidzatih dan hasan lighairih. Jika pada hasan lidzatih ingatan perawinya
setingkat di bawah perawi hadis shahih dengan memunculkan aspek kehasanannya, sedangkan
pada hasan lighayrih dalam rangkaian sanadnya terdapat orang yang tidak
diketahui kelayakan atau ketidaklayakannya untuk diterima riwayat hadisnya,
tetapi ia juga bukan orang yang lengah dan suka berbuat dusta dan salah.[21]
Di antara contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tarmidzi
tentang pintu surga di bawah kilatan pedang sebagai berikut:
عَنْ أَبِي
بَكْر بْنِ أَبِي مُوْسَى الأَشْعَرِيّ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العُدُوِّ
يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم إِنَّ أَبْوَابَ الجَنَّةِ
تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوْفِ (رواه الترمذي)
c. Hadis Dha’if
Dhaif
menurut bahasa adalah lawan dari kuat.
Dhaif ada dua macam yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud
disini adalah dhaif maknawiyah. Hadis dhaif menurut istilah adalah hadis yang
didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat
hadis hasan.
Karena
syarat diterimanya suatu hadis sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya hadis
terletak pada hilangnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih, maka atas
dasar ini hadis dhaif terbagi menjadi beberapa macam, seperti Syadz, Mudhtharib, Maqlub, Mu’allal,
Munqathi’, Mu’dhal, dan lain sebagainya.[22]
C.
Penulisan
dan Pengumpulan Hadis di Kalangan Sunni
Pada periode ini Hadis-hadis Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara
resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz
dari Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul
Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan
membukukan hadis secara resmi. Hal ini didasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan
hilangnya hadist dan wafatnya para ulama hadis. Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit
jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara hadist-hadist yang ada di dada mereka
belum tentu semuanya sempat diwariskan.
Adapun otang
yang pertama membukukan hadis atas perintah Umar bin Abdul Aziz adalah Muhammad
bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az-Zuhri Al-Madani, seorang
imam dan ulama di Hijaz dan Syam. Ia belajar hadis dari Ibnu Umar, Sahl bin
Sa’d, Anas bin Malik, Mahmud bin Rabi’, Sa’id bin Musayyab, Abu Umamah bin
Sahl, dan orang-orang yang semasa dengan mereka dari para yunior sahabat
dan senior tabi’in. Adapun yang belajar
kepadanya adalah Ma’mar, Al-Auza’i, Al-Laits, Malik, Ibnu Abi Dzi’b dan
lain-lain. Ia dilahirkan pada tahun 50 H dan meningal pada tahun 124 H.
Adapun orang
yang pertama mengumpulkannya adalah Ibnu Juraij di Mekkah, Ibnu Ishaq atau
Malik di Madinah, Rabi’ bin Shabih atau Sa’id bin Abu ‘Urubah atau Hammad bin
Salamah di Bashrah, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah, Al-Auza’i di Syam, Hasyim bin
Wasith, Ma’mar di Yaman, Jarir bin Abdulhamid di Ray, dan Ibnul Mubarak di
Khurasan. Mereka itu dalam satu masa dan tidak diketahui siapa di antara mereka
yang paling dahulu dalam membukukan hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,
‘Sesungguhnya yang disebutkan itu adalah jika dilihat dari pengumpulan hadis
dalam beberapa bab. Adapun pengumpulan hadis-hadis tentang tema yang sama ke
dalam satu bab maka yang pertama adalah Asy-Sya’bi. Sebab terdapat riwayat
dirinya bahwa dia berkata, “Ini bab besar dari masalah talak,” lalu dia
menyebutkan beberapa hadis.”
Setelah
mereka, maka banyak ulama pada masanya yang melakukan seperti itu hingga
sebagian imam berpendapat untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi SAW dalam bab
khusus, yaitu pada awal tahun 200 H. Pada saat itu Ubaidillah bin Musa
Al-‘Abasi Al-Kufi menulis kitab Musnad, Musaddad Al-Bashri menulis kitab
Musnad, Asad bin Musa menulis kitab Musnad, dan Nu’aim bin Hammad Al-Khuza’i
juma menulis kitab Musnad. Kemudian para hafidz hadis mengikuti jejak mereka.
Imam Ahmad menulis kitab Musnad, demikian juga Ishaq bin Rahawaih, Ustman bin
Abi Syaibah dan lain-lain.[23]
Penulisan
hadis itu tiada pernah terhenti dan selalu berlangsung hingga muncul Imam
Bukhari yang cemerlang dalam ilmu hadis dan menempati posisi yang tiada
bandingannya. Beliau mengkhususkan penulisan hadis-hadis sahih dan dijadikannya
dalam satu kitab agar para pencari hadis tidak kesulitan dalam mengkaji dan
bertanya. Beliau menulis kitabnya yang masyhur dengan hanya menyebutkan
hadis-hadis sahih saja. Sementara
kitab-kitab sebelumnya bercampur antara yang sahih dan yang tidak sahih,
sehingga tidak jelas bagi yang mempelajarinya antara derajat hadis yang sahih
dan tidak sahih melainkan setelah mengkaji kondisi para perawinya dan hal-hal
lain yang dikenal dalam ilmu dan ulama hadis. Jika seseorang tidak mampu
mencermati hal tersebut, maka dia harus bertanya kepada para imam ahli hadis.
Namun jika hal itu tidak dapat dilakukan, maka hadis itu tetap belum jelas
baginya.[24]
Kebijakan
yang diambil oleh Umar bin Abdul Aziz telah membawa dampak luar biasa.
Kesadaran akan pentingnya penulisan hadis betul-betul dirasakan para ulama kala
itu. Keengganan dan ketabuan telah berubah menjadi sebuah kemestian adanya.
Az-Zuhri mengakui akan hal itu ketika dia menuliskan hadis kepada penguasa
sambil menguturkan: “Kami membenci menulis ilmu (hadis) sampai para penguasa
meminta kami untuk menuliskannya. Dan kami pun tahu bahwa tak ada seorang pun
di kalangan muslim yang menentang hal itu.” Generasi ini sudah memahami alasan,
kekhawatiran Umar bin Khattab akan adanya kitab tandingan selain al-Qur’an
dengan diibaratkan pada orang-orang Ahlul Kitab sebelum Islam. Hal tersebut
tidak dapat dianalogkan dengan kedudukan hadis terhadap al-Qur’an. Karena
orang-orang Ahlul Kitab sengaja membuat kitab tandingan tersebut tidak
sebagaimana hadis. Seperti telah dituturkan Dhahaj bin Muzaim: “Jangan
disamakan catatan-catatan hadis dengan lembaran-lembaran mushaf.”[25]
Keterlambatan
penulisan hadis dalam sebuah kumpulan yang utuh mengalami rentang perjalanan
yang cukup panjang sampai pertengahan abad ke-2 hijriah, bukan berarti
keautentikan dan kevaliditasan hadis perlu di pertanyakan. Walau belakangan
timbul usaha serius dari para ulama hadis untuk melakukan verifikasi lantaran
banyaknya karya yang ditulis tentang hadis.
Berbeda
dengan sejarah penulisan hadits di kalangan muslim Sunni yang terlambat hingga
tiga abad lamanya, penulisan hadits di kalangan muslim Syi’ah sudah di mulai
dari sejak awal. Selain kitab Al Kâfi, apa yang dikenal sebagai mushaf Fatimah,
pada dasarnya adalah kumpulan hadits-hadits Nabi yang telah dimulai prosesnya
dari sejak awal. Sejarah penulisan dini Hadist Nabi juga diperkuat oleh fakta
Abu Rafi’, seorang budak Nabi, dan bahkan Imam ‘Ali Bin Abi Thalib juga telah
memulai pekerjaan tersebut. Ini bisa terjadi, karena dalam tradisi Syi’ah Nabi
Muhammad tidak dikenal sebagai orang yang buta huruf. Menurut muslim Syi’ah
beliau bisa membaca dan menulis dan karenanya ia juga mampu mengajarkan anak,
menantu dan keluarganya menulis dan belajar hadits.
Di kalangan
sunni juga berbeda dengan syi’ah dikarenakan dalam periwayatan hadis sunni
lebih terbuka. Hal ini berbeda dengan hadis syi’ah. Sunni menerima semua hadis
dengan tingkat kualitas dan kuantitas dalam periwayat hadisnya baik dari segi
sanad maupun matannya, sunni menerima semua hadis yang diriwayatkan oleh semua
sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali dan hal ini berbeda dengan syiah yang
hanya menerima hadisnya dari kalangan Imam-imam mereka, syiah menganggap
Imam-imam mereka derajatnya dapat disejajarkan dengan Rasulullah.
Sunni beranggapan
bahwa hadis shahih adalah hadis yang berasal dari Nabi sedangkan syiah
menganggap hadis sahih itu tidak selamanya berasal dari Nabi, akan tetapi juga
bisa berasal dari Imam-imam mereka karena mereka menganggap bahwa Imam-imam
mereka derajatnya dapat disejajarkan dengan Rasulullah.
Para ulama
Sunni itu lebih teliti dalam menyeleksi hadis-hadis dari periwayatannya dan
juga sanad maupun matannya agar sebuah hadis bisa dijadikan sebagai hujjah.
Salah satu penulis hadis di kalangan Sunni ialah al-Bukhari, di dalam buku
Studi Sembilan Kitab Sunni, al-Bukhari tidak menguraikan kriteria-kriteria
hadis yang dihimpun. Akan tetapi dengan memperhatikan nama kitab tersebut,
menunjukan bahwa ia hanya memasukkan hadis-hadis shahih ke dalamnya.[26]
Dalam
menyeleksi hadis-hadis yang akan dimuat pada kitabnya ini, al-Bukhari telah
mengikuti kaidah penelitian ilmiah yang benar, sehingga keshahihan hadisnya
dapat diyakini sepenuhnya. Agaknya hal ini memang beralasan dan dapat
dipertanggungjawabkan, melihat pada syarat-syarat keshahihan hadis bagi
al-Bukhari dinilai lebih ketat dari syara-syarat keshahihan yang ditetapkan
oleh para ulama hadis lainnya.[27]
D.
Adalat
al-Shahabah
di Kalangan Sunni
Seluruh sahabat, kecil maupn besar, tua
maupun muda, yang terlibat peperangan antara Ali dengan Mu’awiyah maupun tidak,
semuanya adil. Dengan demikian menurut konsensus para ulama ahli sunnah atas
dasar baik sangka, bukti dari sikap dan perilaku mereka, baik dari sisi
kepatuhan dalam menjalankan perintah Nabi SAW sesudah wafatnya, kegigihan dalam
melakukan ekspansi wilayah Islam, kesungguhan dalam menyampaikan Al-Qur’an dan
hadis.
Memberikan petunjuk kepada manusia, dan
yang terpenting ialah kontinyuitas mereka dalam menjalankan shalat, zakat dan
ibadah-ibadah lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maupun dari sisi
karakter pribadi mereka berupa keberanian dalam mengambil kebijaksanaan,
kedermawanan, kesediaan untuk mendahulukan kepentingan orang banyak dari pada
kepentingan pribadi, dan lain sebagainya dari akhlak-akhlak mereka yang terpuji
yang tidak pernah dimiliki oleh umat-umat sebelumnya.[28]
Keadilan sahabat merupakan sesuatu yang
imperatif diakui berdasarkan firman-firman Allah yang berhubungan dengan para
sahabat, dan hadis-hadis yang inklusif menunjukan kesucian mereka dan
keberadaannya sebagai manusia-manusia pilihan. Sekiranya tidak ada dalil-dalil
dari Allah dan Rasulnya, maka sudah cukup dengan bukti sikap dan perilaku serta
perjuangan mereka. Musalnya, adanya peristiwa hijrah, jihad dalam membela Islam
dengan mengorbankan seluruh harta, jiwa dan tenaga mereka. Mereka senantiasa
memberikan nasehat dalam agama. Keimanan dan keyakinan mereka demikian kuatnya.
Dan semua itu merupakan bukti kuat yang memberikan keyakinan penilaian atas
keadilan dan kejujuran mereka, yang imperatif berimplikasi pada sikap menaruh
kepercayaan penuh atas kesucian mereka. Secara inklusif, mereka adalah
orang-orang yang lebih utama dari pada semua orang, termasuk mereka yang
dipandang adil, yang datang sesudah mereka. Demikian ini pendapat mayoritas
ulama yang fatwanya bisa dijadikan pegangan.[29]
Abu Al-Zar’ah berkata, “apabila kamu
melihat seseorang mencela seorang sahabat dari sahabat-sahabat Rasulullah SAW,
maka ketauhilah bahwa dia itu seorang zindiq (orang kafir yang pura-pura
beriman), karena kita semua meyakini Rasulullah itu haq, Qur’an itu haq, dan
semua yang dibawa Rasulullah itu haq. Sedangkan mereka yang menyampaikan semua
itu kepada kita adalah sahabat. Mereka yang mencela sahabat itu tidak lain
bertujuan memperdangkal persaksian kita terhadap para sahabat, yang tujuan
akhirnya ialah unutk membatalkan Al-Qur’an dan sunnah Rasullah SAW. Dan oleh
karena itulah, mereka itu lebih tercela, dan mereka tidak ada lain adalah
orang-orang zindiq.[30]
Adapun beberapa dalil-dalil mengenai
keadilan sahabat, berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis diantaranya adalah:
1.
Dalil-dalil
dari Al-Qur’an
a. Firman
Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 143
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tur ãAqß§9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3
$tBur $oYù=yèy_ s's#ö7É)ø9$# ÓÉL©9$# |MZä. !$pkön=tæ wÎ) zNn=÷èuZÏ9 `tB ßìÎ6®Kt tAqß§9$# `£JÏB Ü=Î=s)Zt 4n?tã Ïmøt7É)tã 4
bÎ)ur ôMtR%x. ¸ouÎ7s3s9 wÎ) n?tã tûïÏ%©!$# yyd ª!$# 3
$tBur tb%x. ª!$# yìÅÒãÏ9 öNä3oY»yJÎ) 4
cÎ) ©!$# Ĩ$¨Y9$$Î/ Ô$râäts9 ÒOÏm§ ÇÊÍÌÈ
“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
b. Surat
Al-Fath ayat 29
Ó£JptC ãAqß§ «!$# 4
tûïÏ%©!$#ur ÿ¼çmyètB âä!#£Ï©r& n?tã Í$¤ÿä3ø9$# âä!$uHxqâ öNæhuZ÷t/ (
öNßg1ts? $Yè©.â #Y£Úß tbqäótGö6t WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊÍur (
öNèd$yJÅ Îû OÎgÏdqã_ãr ô`ÏiB ÌrOr& Ïqàf¡9$# 4
y7Ï9ºs öNßgè=sVtB Îû Ïp1uöqG9$# 4
ö/àSè=sVtBur Îû È@ÅgUM}$# ?íötx. ylt÷zr& ¼çmt«ôÜx© ¼çnuy$t«sù xán=øótGó$$sù 3uqtFó$$sù 4n?tã ¾ÏmÏ%qß Ü=Éf÷èã tí#§9$# xáÉóuÏ9 ãNÍkÍ5 u$¤ÿä3ø9$# 3
ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Nåk÷]ÏB ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $JJÏàtã ÇËÒÈ
“Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”
c. Surat
Al-Anfal ayat 64
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# ç7ó¡ym ª!$# Ç`tBur y7yèt7¨?$# z`ÏB úüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÏÍÈ
“Hai
Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”
2.
Dalil-dalil
dari Sunnah
Hadis-hadis
yang menunjukkan atas keutamaan para sahabat ini, di antaranya adalah:
a. Hadis
riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi SAW, bahwasanya
beliau bersabda:
خَيْرُ القُرُوْنِ قُرْنِى ثُمَّ
الَّذِيْنَ يَلَوْنَهُمْ
“Sebaik-baik
kurun adalah kurunku, kemudian kurun-kurun berikutnya dari generasi ke
generasi”
b. Hadis
riwayat Al-Turmudzi dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, dari Abdullah bin
Mughaffal, dia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ
الله صلى الله عليه و سلم الله الله فِي أَصْحَابِي لاَ تَتَّخِذُوْهُمْ غَرْضًا
بَعْدِي فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّيْ أُحِبَّهُمْ وَ مَنْ أَبْغَضَهُمْ
فَبِبُغْضِهِمْ أَبْغَضَهُمْ وَ مَنْ أَذَاهٌمْ فَقَدْ أَذَانِيْ وَ مَنْ
أَذَانِيْ فَقَدْ اَذَى الله يُوْشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ.
Rasulullah
SAW bersabda, “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah terhadap
sahabat-sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran maksud
jahatmu sesudahku. Barangsiapa mencintai mereka, maka sebab cintanya kepadaku
akan mencintainya, dan barangsiapa membenci mereka maka sebab kebenciannya
kepadaku aku pun membencinya, barang siapa menyakiti aku maka dia telah
menyakiti Allah, yang nyaris Allah menyiksanya.”
c. Hadis
riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi SAW, bahwasanya
Nabi SAW bersabda:
لَا
تَسُبُّوْا أَصْحَبِي فَوَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ
مِثْلَ أُحِدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَ لَا نَصِيْفَهُ.
“Janganlah
kamu sekalipun mengumpat sahabat-sahabatku, demi Dzat yang jiwaku berada dalam
kekuasaanNya, sekiranya salah seorang di antara kamu menginfakkan emas sebesar
gunung uhud, niscaya tidak akan menyamai pahala sedekah satu mud salah seorang
di antara mereka dan tidak pula separuhnya”
Rawi dari hadis-hadis
di atas adalah tsiqqah (terpercaya).[31]
E.
Penggunaan
Hadis Sebagai Hujjah di Kalangan Sunni
Kehujjahan hadis di kalangan ahli hadis
sunni, kehujjahan hadis menurut para ahli, misalnya: contoh dari sebuah hadis,
“Sesungguhnya mayat itu disiksa sebab ditangisi oleh keluarganya” (H.R.
Bukhori). Hadis ini sahih dari segi sanadnya, sebagaimana tercatat dalam kitab
Shahih Bukhari. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kandungan maknanya, hadis
tersebut bertentangan dengan beberapa ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa amal
perbuatan seseorang akan mendapat balasan dari Allah SWT. Hanya karena amalnya
dan bukan karena amal orang lain. Salah satu ayat Al-Quran menyatakan bahwa
dosa seseorang tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain.
Sebagaimana
firman Allah SWT:
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 (
`tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒt $pkön=tæ 4
wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3
$tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
15.
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia
berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat
Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang
yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab
sebelum Kami mengutus seorang rasul.
Dengan adanya penegasan ayat di atas,
hadis tersebut termasuk ke dalam kategori hadis sahih segi sanadnya sebagaimana
berdasarkan kualitas para perawi yang meriwayatkan hadis tersebut. Akan tetapi,
maknanya dha’if. Hadis demikian tidak bisa dijadikan hujjah sebab yakin
bahwa hal itu bukan ucapan Rasulullah SAW. Bukan hadis Nabi karena mustahil
Nabi SAW. Menetang ayat, atau menambah Al-Qur’an.
Karena riwayat itu bersumber dari Umar
dan Ibn Umar, dan keduanya menjadi sanad hadis tersebut, artinya keduanya
mendengar riwayat itu dari Rasulullah SAW. Jika demikian, apakah kedua sahabat
(ayah dan anak) ini berdusta atau salah mendengar? Menurut ukuran rasio, tak
mungkin sahabat setingkat Umar dan Ibn Umar yang dikenal sebagai tokoh cendekia
dari kalangan sahabat Nabi itu berbuat kesalahan yang fatal. Akan tetapi, tidak
mustahil kalau ia berbuat keliru atau salah dengar, bukankah mereka juga
manusia yang tak dijamin ma’shum (terjaga dari kesalahan) sebagaimana
Nabi? Pada keduanya satu saat bisa pula terkena sifat kemanusiaannya, yaitu
berbuat salah atau lupa.[32]
Al-Qasim ibn Muhammad berkata, ketika
sampai kepada Aisyah, perkataan Umar dan Ibn Umar itu, Aisyah menyatakan bahwa
sesungguhnya kamu menceritakan kepadaku bahwa hadis itu bukan diriwayatkan oleh
orang yang biasa berdusta dan tidak bisa didustakan, tetapi (bisa saja)
pendengaran yang salah (atau salah dengar). (Riwayat Muslim).
Aisyah tidak menuduh dusta kepada Umar
dan Ibn Umar, apalagi menuduhnya sebagai pendusta, tetapi ia menyangsikan
kebenaran hadis itu datangnya dari Rasul dan ia meyakini bahwa keduanya salah
dengar. Selanjutnya, ia menyatakan, “Cukup untuk kamu sekalian Al-Quran dan
dosa seseorang tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada orang lain.” (Riwayat
Bukhari)
A. Hassan, seorang ulama Persatuan
Islam, yang dikenal sangat konsisten dalam penggunaan dalil dari Al-Quran dan
hadis Nabi, ketika memberikan pandangannya mengenai mayat disiksa karena
tangisan keluarganya, sebagaimana yang terdapat dalam hadis riwayat Bukhari di
atas, dan seperti yang dikritik oleh Muhammad Al-Ghazali sebelum mengemukakan
pendapatnya mengenai hadis tersebut, ia berpendapat bahwa salah satu syarat
hadis itu sahih adalah maknanya tidak bertentangan dengan dalil yang qath’i,
yaitu Al-Qur’an atau hadis mutawatir.[33]
Dengan demikian, dalam kerangka berpikir
A. Hassan, hadis itu atau yang semacamnya tidak boleh dijadikan untuk
berhujjah. Ayat-ayat Al-Quran yang dianggap menentang makna hadis di atas
adalah sebagai berikut:
1. Firman
Allah:
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4
$ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pkön=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3
$oY/u w !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4
$oY/u wur ö@ÏJóss? !$uZøn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã úïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4
$uZ/u wur $oYù=ÏdJysè? $tB w sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ (
ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4
|MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# úïÍÏÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ
286. Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami
lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami
memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
Maksudnya, kebaikan yang dikerjakan oleh
seseorang, tidak akan dapat ganjarannya, melainkan dirinya sendiri, dan
kejahatan yang dikerjakan olehnya, tidak akan dapat azabnya, melainkan dia
sendiri.
2. Firman
Allah:
ô`¨B @ÏHxå $[sÎ=»|¹ ¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù (
ô`tBur uä!$yr& $ygøn=yèsù 3
$tBur y7/u 5O»¯=sàÎ/ ÏÎ7yèù=Ïj9 ÇÍÏÈ
46. Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka
(pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat,
Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu
Menganiaya hamba-hambaNya.
Maksudnya, kebaikan yang dikerjakan oleh
seseorang adalah untuk dirinya, tidak untuk orang lain, begitu juga kejahatan.
3. Firman
Allah:
`tBur yyg»y_ $yJ¯RÎ*sù ßÎg»pgä ÿ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 4
¨bÎ) ©!$# ;ÓÍ_tós9 Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÏÈ
6. Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka
Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
4. Firman
Allah:
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 (
`tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒt $pkön=tæ 4
wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3
$tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
15. Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan
hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya
sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
Maksudnya, barang siapa berbuat kebaikan
atau kejahatan, ia yang akan mendapat buahnya ia sendiri, tidak yang lainnya.
5. Firman
Allah:
wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 2t÷zé& 4
bÎ)ur äíôs? î's#s)÷WãB 4n<Î) $ygÎ=÷H¿q w ö@yJøtä çm÷ZÏB ÖäóÓx« öqs9ur tb%x. #s #n1öè% 3
$yJ¯RÎ) âÉZè? tûïÏ%©!$# cöqt±øs Nåk®5u Í=øtóø9$$Î/ (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# 4
`tBur 4ª1ts? $yJ¯RÎ*sù 4ª1utIt ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 4
n<Î)ur «!$# çÅÁyJø9$# ÇÊÑÈ
18. Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan
jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya
itu Tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya
itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya
orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya
dan mereka mendirikan sembahyang. dan Barangsiapa yang mensucikan dirinya,
Sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada
Allahlah kembali(mu).
Maksudnya, barang siapa mengerjakan
suatu pekerjaan yang bisa membersihkan dirinya, yaitu amal ibadah maka
kebaikannya itu hanya untuk dirinya, bukan untuk orang lain.[34]
Demikian pula, ayat-ayat Al-Quran yang
dianggap menentang makna hadis yang menyatakan bahwa mayat disiksa karena
tangisan keluarganya. Pendapat ulama lain yang menolak kesahihan hadis di atas
seperti halnya Al-Ghazali dan A. Hassan di atas sebagai berikut:
1. Pendapat
Imam Ath-Thabari, “Tidak dibalas seseorang yang beramal, melainkan dengan
amalnya, baik ataupun jahat. Tidak disiksa, melainkan orang yang mengerjakan
dosa, dan tidak diberi ganjaran orang yang tidak mengerjakan kebaikan.
2. Pendapat
Imam Fahr Ar-Razy, “sesungguhnya kebaikan orang lain tidak bisa memberi manfaat
karena barang siapa tidak beramal saleh, ia tidak akan mendapat kebaikan.”
Sempurna dan nyatalah dengan ayat itu bahwa orang yang berdosa itu tidak bisa
mendapat ganjaran dengan sebab kebaikan orang lain, dan tidak seorang pun akan
menanggung dosanya.
3. Pendapat
Imam ibn Katsir, “Sebagaimana tidak dibebankan atas seseorang, dosa orang lain,
begitu juga ia tidak bisa mendapat ganjaran, melainkan atas apa yang ia
kerjakan sendiri untuk dirinya.
4. Imam
ibn Katsir selanjutnya menyatakan, “Sesungguhnya manusia itu hanya dibalas
menurut amalnya. Jika baik, balasannya baik, dan jika jahat, balasannya jahat.
5. Pendapat
Imam Asy-Syaukani, “Seseorang tidak mendapat balasan, malainkan atas usahanya
sendiri, dan ganjaran amalnya, dan tidak memberi faedah kepada seseorang, atas
amal orang lain.
6. Imam
Al-Muzani, sahabat Imam Asy-Syafi’i, menyatakan: “Rasulullah SAW. Memberi tahu
sebagaimana Allah SWT. Memberi tahu bahwa dosa tiap-tiap seorang adalah untuk
kecelakaan dirinya, sebagaimana amalnya itu untuk kebaikan dirinya, tidak untuk
kebaikan orang dan tidak untuk kecelakaan orang lain.[35]
Demikian beberapa pendapat para ahli
mengenai makna hadis yang menyatakan bahwa mayat disiksa karena tangisan
keluarganya. Bila pendapat-pendapat itu diringkas, tampak bahwa amal perbuatan
itu sama sekali tidak akan berakibat bertambahnya dosa atau ganjaran terhadap
orang lain. Dengan demikian, kehujjahan hadis tersebut tertolak sebagai hadis
sahih.
Disini terlihat bahwa Muhammad
Al-Ghazali dalam menolak hadis tersebut di atas sebagai sesuatu yang sahih,
ternyata tidak sendirian, melainkan banyak didukung oleh para ahli hadis maupun
para ulama fuqaha.
Di kalangan sunni pembahasan tentang
kehujjahan hadis meliputi nilai atau kualitas hadis dan pengamalan hadis.
Kualitas hadis ada yang maqbul dan ada yang mardud. Yang dimaksud
dengan maqbul menurut lughat, adalah مصدق atau مأخوذ, Artinya yang
diambil atau yang dibenarkan, maksudnya yang diterimanya.[36]
Menurut
istilah muhaditsin, maqbul berarti:
مَا دَلَّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ ثُبُوْتِهِ
“Yang
ditunjuk oleh suatu keterangan, bahwa Nabi SAW ada menyabdakannya, yakni adanya
lebih berat dan tidak adanya”
Yang dimaksud dengan mardud
adalah yang ditolakn yang tidak diterima”. Menurut istilah Muhaditsin mardud
berarti:
مَا لَمْ يَدُلُّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ
ثُبُوْتِهِ بَلْ يَتَسَاوَى الأَمْرَانِ فِيْهِ.
“Sesuatu
hadis yang tidak ditunjuki oleh sesuatu keterangan alas berat adanya dan tiada
ditunjuki atas berat ketiadaannya, adanya dengan tidak adanya bersamaan”.
Denga demikian, hadis maqbul
adalah hadis yang dapat diterima atau pada dasarnya dapat dijadikan hujjah,
yakni dapat dijadikan pedoman dan panduan pengamalan syariat, dapat dijadikan
alat istinbath dengan Ushul fiqh. Sedangkan hadis mardud adalah hadis
yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah.
Ditinjau
dari segi maqbul dan mardud di atas, hadis ahad terbagi
kepada: hadis shahih, hadis hasan, hadis dha’if. Hadis hasan dan shahih
nilainya maqbul, sedangkan hadis dha’if nilainya mardud.
Adapan beberapa kriteria agar bisa
disebut dengan hadis shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah: rawinya
bersifat adil, rawinya sempurna ingatannya atau dhabit, sanadnya bersambung,
matannya marfu’, tidak ada ‘illat, tidak janggal (syadz). Penjelasan dari
kriteria hadis shahih yang dapat dijadikan hujjah diantaranya,
1.
Keadilan
rawi
Menurut Ibn al-Sam’ani keadilan
harus memenuhi syarat:
a. Selalu
memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat.
b. Menjauhi
dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
c. Tidak
melakukan perkara-perkara mubab yang dapat manggugurkan iman dan mengakibatkan
penyesalan.
d. Tidak
mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertetangga dengan dasar syara’.
2.
Kedhabitan
Rawi
Yang
dimaksud dengan dhabit ialah orang yang terpelihara, kuat ingatannya, ingatnya
lebih banyak dari pada kesalahannya. Dhabit ada dua macam:
a. Dhabit
al-shadri, yakni seorang yang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta
daya faham yang tinggi, sejak dari menerima sampai pada menyampaikan kepada
orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja
dikehendakinya.
b. Dhabit
al-Kitab, yaitu seorang yang dhabit atau cermat memelihara catatan atau buku
yang ia terima.
3.
Musnad
Musnad
yaitu mustahilnya sanad dan marfu’nya matan. Dan yang dimaksud dengan mustahil
atau bersambung atau tidak putusnya sanad, yakni selamat dari keguguran, tiap-tiap
rawi saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya
(mengajarinya). Matan yang marfu’, artinya idhafah kepada Nabi SAW.
4.
Tanpa
‘Illat
‘Illat
hadis ialah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan
hadis, misalnya meriwayatkan hadis secara mutashil terhadap hadis mursal atau
hadis munqathi’ atau berupa sisipan yang terdapat matan hadis.
5.
Tidak
ada kejanggalan
Kejanggalan
hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan dengan
kelebihan jumlah sanad dalam kedhabitan atau adanya segi-segi tarjih yang lain.[37]
Jadi, hadis shahih adalah hadis yang
rawinya adil dan sempurna kedhabitan, sanadnya muttashil dan tidak cacat,
matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal.
Dan hadis hasan hampir sama dengan hadis
shahih. Perbedaannya hanya dalam soal kedhabitan rawi. Hadis shahih rawinya tam
dhabit, sementara hadis hasan rawinya qalil dhabit. Sedangkan hadis dha’if
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dikarenakan beberapa faktor: dari segi
rawi yang tidak dhabit, gugur sanadnya, dan penisbatan matannya tidak pada Nabi
Muhammad SAW.
Hadis dha’if bermacam-macam, dan
kedha’ifannya bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadis
shahih atau hadis hasan, baik mengenai rawi, sanad, atau matan.
1.
Dari
segi rawi,terdapat kecacatan para rawi, baik mengenai keadilannya maupun
mengenai kedhabitannya, diantaranya:
a. Dusta,
yakni berdusta dalam membuat hadis walaupun hanya sekali dalam seumur hidup.
Hadis dha’if yang karena rawinya dusta disebut hadis maudhu’.
b. Tertuduh
dusta, yakni rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tapi belum
dapat dibuktikan bahwa ia pernah berdusta dalam membuat hadis. Rawi ini bila
benar-benar bertaubat dapat diterima periwayatan hadisnya, hadisnya disebut
matruk.
c. Fasiq,
ialah kecenderungan dalam amal, bukan kecurangan dalam i’tikad, juga mereka
berbuat maksiat.
d. Lengah
hafalan dan banyak salah, lengah biasanya terjadi dalam penerimaan hadis,
sedangkan banyak salah dalam penyampaiannya. Hadis yang rawinya fasiq, lengah
dalam hafalan dan banyak salah disebut hadis Munkar.
e. Banyak
waham (purbasangka), yakni salah sangka seolah-olah hadis tersebut tidak cacat
baik pada matan maupun pada sanad. Hadis yang demikian disebut hadis Mu’allal.
f. Menyalahi
riwayat orang kepercayaan:
1) Membuat
suatu sisipan, baik pada sanad maupun matan, mungkin perkataan sendiri maupun
orang lain. Hadisnya disebut hadi mudraj.
2) Memutarbalikkan,
yakni mendahulukan sesuatu pada satu tempat dan mengakhirinya pada tempat yang
lain, adakalanya pada matan, adakalanya pada sanad. Hadisnya disebut hadis
Maqlub.
3) Menukar-nukar
rawi. Hadisnya disebut Mudhtharib.
4) Perubahan
syakal huruf yakni tanda hidup dan tanda mati, sedangkan bentuk tulisannya
tidak berubah. Hadisnya disebut Muharraf.
5) Perubahan
tentang titik kata. Hadisnya disebut Mushahhaf.
g. Tidak
diketahui identitasnya (jahalah), kadang-kadang tidak disebut namanya, atau
disebutkan tetapi tidak dijelaskan siapa yang dimaksud nama itu, atau hanya
disebut hubungan keluarganya. Hadis ini disebut hadis Muhham.
h. Penganut
bid’ah, yakni ada kecurangan dan I’tikad. Hadis ini disebut dengan hadis
Mardud.
i.
Tidak baik hafalannya:
1) Menyalahi
riwayat yang lebih rajah, hadisnya disebut syadz
2) Buruk
hafalan karena lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitabnya.
Hadis ini disebut Mukhtalith.[38]
2.
Dari
segi sanad
Suatu hadis menjadi
dha’if karena sanadnya tidak bersambung-sambung (tidak muttashi), rawi murid
tidak bertemu dengan rawi guru, sehingga terdapat inqitha’(gugur rawi) pada
sanad.
a. Gugur
sanad pertama hadis ini disebut Mu’allaq.
b. Gugur
pada sanad terakhir atau rawi pertama (shahabat), hadis ini disebut dengan
hadis Mursal.
c. Gugur
dua orang rawi atau lebih berturut-turut, hadisnya disebut Mu’dhal.
d. Gugur
seorang rawi atau lebih tetapi tidak berturut-turut. Hadisnya disebut
Munqathi’.[39]
3.
Dari
segi matan
Penisbatan matan tidak
pada Nabi Muhammad SAW.
a. Penisbatan
matan kepada sahabat, disebut Mauquf.
b. Penisbatan
matan kepada tabi’in, disebut Maqthu’.[40]
F.
Literatur
Hadis di Kalangan Sunni (Shahih Bukhari)
1. Penyusunan
dan Metode Penghimpunan Kitab Shahih al-Bukhari
Pada
akhir masa tabi’in, atau pertengahan kedua abad ke-2 H, hadis-hadis Nabi mulai
dibukukan dan dikodifikasikan. Metode penulisannyapun juga terbatas pada
bab-bab yang menyangkut masalah tertentu saja. Kemudian pada tahap selanjutnya,
para ulama periode berikutnya menulis hadis-hadis lengkap dari pada cara
penulisan sebelumnya. Mereka menuliskan hadis-hadis yang menyangkut
masalah-masalah hukum secara luas. Hanya saja tulisan-tulisan mereka juga masih
bercampur dengan fatwa-fatwa sahabat, tab’in, dan tabi’ tabi’in.
Pada
awal abad ke 3 H, penulisan hadis dilakukan dengan memilah dan menyeleksi
secara tersendiri antara hadis yang dipisahkan dari fatwa sahabat dan tabi’in.
Metode penulisan pada periode ini berbentuk musnad, yang ditulis berdasarkan
nama sahabat kemudian hadis-hadis yang diriwayatkan padanya. Dengan kata lain,
kitab musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat. Namun
demikian, hadis-hadis yang terdapat dalam kitab musnad inipun juga masih
bercampur antara hadis-hadis yang berkualitas shahih, hasan, dan dha’if.[41]
Oleh
karena itu, Ishaq bin Rahawaih, salah seorang guru Imam al-Bukhari menyarankan
pada al-Bukhari agar menulis kitab yang singkat, yang hanya memuat hadis-hadis
shahih saja. Dalam kaitan ini pula, al-Bukhari sendiri menjelaskan, “sarab
beliau itu sangat mendorong saya hingga saya menulis kitab al-Jami’ al-shahih”.[42]
Imam
al-Bukhori menamakan kitab shahihnya dengan nama al-Jami’ al-Musnad al- Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasul Allah SAW wa
Sunanih wa Ayyamih. Perkataan al-Jami’ memberikan pengertian bahwa kitab
yang ditulisnya itu menghimpun hadis-hadis hukum, fadail, berita-berita tentang
hal-hal yang telah laulu, hal-hal yang akan datang, sopan santun, kehalusan
budi dan sebagainya. Kata al-Shahih memberi pengertian bahwa al-Bukhari tidak
memasukkan ke dalam kitabnya tersebut hadis-hadis yang berkualitas dha’if. Kata
al-Musnad mengandung arti bahwa ia hanya memasukkan hadis-hadis yang bersambung
sanadnya melalui para sahabat sampai kepada rasul, baik perkataan, perbuatan
maupun ketetapan (taqrir).[43]
Imam
al-Bukhari tampaknya juga merasa tidak puas dengan persyaratan kebersambungan
sanad sebagaimana yang ditentukan oleh pada umumnya para ahli hadis.
Ketidakpuasan Imam al-Bukhari dan didorong oleh sikap kehati-hatian beliau
mengingat kitabnya kelak akan menjadi rujukan umat yang mendorong beliau untuk
membuat persyaratan sendiri dalam menetukan bersambungnya sanad. Yang dikenal
dengan istilah syart al-khashshah li
al-Bukhari.[44]
Upaya
maksimal Imam al-Bukhari dalam menyeleksi hadis-hadis shahih dikaitkan dengan
aspek spritual. Dalam konteks ini, al-Farbari, seorang murid Imam al-Bukhari
mengatakan, “Aku mendengar Muhammad bin Isma’il al-Bukhari berkata: “Aku
menyusun kitab al-Jami’ di Masjid al-Haram, aku tidak menuliskan sebuah hadis
padanya serta jelas bagiku keshahihannya. Demikianlah al-Bukhari yang akhirnya
berhasil menyelesaikan kitab shahih ini dalam masa 16 tahun, setelah
menyeleksinya dari 600.000 hadis yang didapatkan dan diriwayatkan dari
guru-gurunya.[45]
2.
Isi
dan Sistematika Kitab Shahih al-Bukhari
Menurut
Ibnu Shalah, seperti yang dikutip oleh Muhammad Abu Syuhbah, bahwa Kitab Shahih
al-Bukhari berisi 7275 hadis dengan pengulangan dan apabila tanpa pengulangan
jumlahnya hanya 400 hadis.[46]
Kitab Shahih al-Bukhari ini tersusun dari beberapa kitab dan setiap kitab
terdiri dari beberapa bab. Secara keseluruhan kitab shahih ini mencakup 97
kitab dan 3450 bab.
Dapat
diketahui bahwa kitab shahih al-Bukhari tidak hanya berisi hadis-hadis tentang
ibadah dan mu’amalah saja, namun juga berisi tafsir, tauhid, sejarah dan
sebagainya. Dari 97 kitab tersebut, ada sekitar 79 kitab yang membahas
persoalan fiqih, 4 kitab terkait dengan keimanan (tawhid), 5 kitab mengenai sejarah, 1 kitab tentang ilmu, 2 kitab
tentang tafsir al-Qur’an, dan 2 kitab berisi tentang persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan hadis. Dalam penyusunan kitab shahih ini al-Bukhari tidak
menyelesaikan masalah permasalah. Misalnya masalah tauhid dapat dijumpai di
awal dan di akhir kitab setelah diselingi dengan masalah-masalah yang lain.[47] Kitab
shahih al-Bukhari ini telah disyarah oleh para ahli, yang jumlahnya sampai
ratusan, sebagian di antara kitab syarah tersebut melebihi 25 jilid.[48]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di
kalangan Sunni, pengertian hadis itu sendiri ialah segala berita yang berkenan
dengan: sabda, perbuatan, taqrir, dan
hal ihwal Nabi Muhammad SAW. Yang
dimaksud hal ihwal di sini adalah segala sifat dan keadaan pribadi Nabi
SAW. Dengan demikian, menurut umumnya
jumhur ulama hadis, bentuk-bentuk hadist ialah segala berita berkenaan dengan
sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad saw. Ulama hadis
melihat Rasulullah sebagai manusia yang sempurna (insan kamil) atau pribadi pilihan Allah yang tidak saja perkataan,
perbuatan atau ketetapan beliau dapat dicontoh, aka tetapi seluruh perilaku dan
perjalanan hidup beliau adalah pantas untuk dijadikan teladan utama.
Adapun Klasifikasi hadis
dikalangan sunni dilihat dari
kualitasnya terbagi menjadi tiga, yaitu hadis sahih, hadis hasan, hadis dha’if,
akan tetapi sebuah hadis bisa dikatakan dengan berbagai kualitasnya harus
memenuhi beberapa syarat, seperti syarat yang sudah dijelaskan di atas, ada
lima syarat sebuah hadis bisa dijadikan hadis sahih. Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan sunni juga berbeda
dengan syi’ah dikarenakan dalam periwayatan hadis sunni lebih terbuka hal ini
berbeda dengan hadis syi’ah. Sunni menerima semua hadis dengan tingkat kualitas
dan kuantitas dalam periwayat hadisnya baik dari segi sanad maupun matannya,
dan juga para ulama Sunni itu lebih teliti dalam menyeleksi hadis-hadis dari
periwayatannya dan juga sanad maupun matannya agar sebuah hadis bisa dijadikan
sebagai hujjah.
Dalam
pengumpulan hadis, sunni hanya menerima hadis yang berasal dari Rasulullah. Hal
ini berbeda di kalangan syiah yang mana mereka tidak hanya menerima hadis yang
berasal dari Nabi saja akan tetapi mereka juga menerima hadis yang berasal dari
imam-imam mereka, karena mereka menganggap imam-imam mereka ke-ma’shum-annya
dapat dsejajarkan dengan Nabi saw.
Di
kalangan Sunni keadilan Seluruh sahabat, kecil maupn besar, tua maupun muda,
yang terlibat peperangan antara Ali dengan Mu’awiyah maupun tidak, semuanya adil.
Dengan demikian menurut ulama ahli sunnah atas dasar baik sangka, bukti dari
sikap dan perilaku mereka, baik dari sisi kepatuhan dalam menjalankan perintah
Nabi SAW sesudah wafatnya, kegigihan dalam melakukan ekspansi wilayah Islam,
kesungguhan dalam menyampaikan Al-Qur’an dan hadis, memberikan petunjuk kepada
manusia, maupun dari sisi karakter pribadi mereka berupa keberanian dalam
mengambil kebijaksanaan, kedermawanan, kesediaan untuk mendahulukan kepentingan
orang banyak dari pada kepentingan pribadi, dan lain sebagainya dari
akhlak-akhlak mereka yang terpuji yang tidak pernah dimiliki oleh umat-umat
sebelumnya.
Kehujjahan
hadis di kalangan ahli hadis sunni, kehujjahan hadis menurut para ahli,
misalnya: contoh dari sebuah hadis, “Sesungguhnya mayat itu disiksa sebab
ditangisi oleh keluarganya” (H.R. Bukhori). Hadis ini sahih dari segi sanadnya,
sebagaimana tercatat dalam kitab Shahih Bukhari. Akan tetapi, jika dilihat dari
segi kandungan maknanya, hadis tersebut bertentangan dengan beberapa ayat al-Qur’an.
Pendapat ulama lain yang menolak kesahihan hadis di atas seperti halnya
pendapat Imam Ath-Thabari, “Tidak dibalas seseorang yang beramal, melainkan
dengan amalnya, baik ataupun jahat. Tidak disiksa, melainkan orang yang
mengerjakan dosa, dan tidak diberi ganjaran orang yang tidak mengerjakan
kebaikan.
Dengan
demikan terdapat beberapa pendapat para ahli yang menjelaskan hadis yang di
atas menyatakan bahwa mayat disiksa karena tangisan keluarganya. Bila
pendapat-pendapat kita amati, terlihat bahwa amal perbuatan itu sama sekali
tidak akan berakibat bertambahnya dosa atau ganjaran terhadap orang lain akan
tetapi setiap manusia menanggung amal perbuatan dan dosanya masing-masing.
Dapat disimpulkan, kehujjahan hadis tersebut tertolak sebagai hadis sahih.
Adapan
beberapa kriteria agar bisa disebut dengan hadis shahih dan dapat dijadikan
sebagai hujjah: rawinya bersifat adil, rawinya sempurna ingatannya atau dhabit,
sanadnya bersambung, matannya marfu’, tidak ada ‘illat, tidak janggal (syadz).
Sedangkan hadis dha’if tidak dapat dijadikan hujjah.
Literatur
hadis Sunni adalah hadis shahih Bukhori dikarenakan Imam al-Bukhari dalam
penulisan hadisnya hanya memilih hadis yang benar-benar shahih, menurut
kriteria keshahihan hadis. Kitab Shahih al-Bukhari ini tersusun dari beberapa
kitab dan setiap kitab terdiri dari beberapa bab. Secara keseluruhan kitab
shahih ini mencakup 97 kitab dan 3450 bab.
Dapat
diketahui bahwa kitab shahih al-Bukhari tidak hanya berisi hadis-hadis tentang
ibadah dan mu’amalah saja, namun juga berisi tafsir, tauhid, sejarah dan
sebagainya. Dari 97 kitab tersebut, ada sekitar 79 kitab yang membahas
persoalan fiqih, 4 kitab terkait dengan keimanan (tawhid), 5 kitab mengenai
sejarah, 1 kitab tentang ilmu, 2 kitab tentang tafsir al-Qur’an, dan 2 kitab
berisi tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hadis. Dalam
penyusunan kitab shahih ini al-Bukhari tidak menyelesaikan masalah permasalah.
Misalnya masalah tauhid dapat dijumpai di awal dan di akhir kitab setelah
diselingi dengan masalah-masalah yang lain. Kitab shahih al-Bukhari ini telah
disyarah oleh para ahli, yang jumlahnya sampai ratusan, sebagian di antara
kitab syarah tersebut melebihi 25 jilid.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Itr,
Nuruddin. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum
al-Hadits. Damaskus: Dar al-Fikr, 1988.
Al-Maliki,
Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
Al-Qaththan,
Manna’. Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits,
terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Al-Siba’i,
Musthafa. Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam. Terj.
Nurcholish Majid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Ash-Shiddeqy,
Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta:
CV Mulia, 1967.
As-Salus,
Ali Ahmad. Ensiklopedia Sunnah-Syiah. Terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001
Dailamy,
M. Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan. Yogyakarta: STAIN
Purwekerto Press, 2010.
Khaeruman,
Badri. Ulum Al-Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Shalih,
Subhi. ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh.
Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1988.
Soetari,
Endang. Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan
Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka, 2008.
Sumbulah,
Umi. Studi 9 Kitab Hadis Sunni.
Malang: Uin-Maliki Press, 2013.
Sumbulah,Umi.
Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang:
UIN-Maliki Press, 2010
Suparta,
Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003.
Suryadilaga,
Alfatih. Ulumul Hadis. Yogyakarta:
Teras, 2010.
Syuhbah,
Muhammad Abu. al-Kutub al-Shihhah. Al-Azhar:
Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah, 1969.
[1]Endang Soetari, Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah,
(Bandung: Mimbar Pustaka, 2008), hlm. 4.
[2]Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 6.
[3]HR. Bukhari dan Muslim.
[6]Muhammad Alawi Al-Maliki,
Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 89.
[12]Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 323.
[17]Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 96.
[18]Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, (Beirut:
Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1988), hlm. 145.
[19]Badri Khaeruman, Ulum
Al-Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 119-123.
[23]Ali Ahmad
As-Salus, Ensiklopedia Sunnah-Syiah, Terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, (
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 29.
[24]Ali Ahmad
As-Salus, Ensiklopedia Sunnah-Syiah, Terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari,
hlm. 30
[25]Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010),
hlm. 88.
[26]Umi Sumbulah, Studi
9 Kitab Hadis Sunni, (Malang: UIN-Maliki Press, 2013), hlm. 24.
[28]Muhammad Alawi Al-Maliki,
Ilmu Ushul Hadis, hlm. 165.
[29]Muhammad Alawi Al-Maliki,
Ilmu Ushul Hadis, hlm. 166.
[30]Fathu Al-Mughits, Juz III,
hlm. 101.
[36]Hasbi Ash-Shiddeqy, Pengantar
Ilmu Fiqh, (Jakarta: CV Mulia, 1967), hlm. 105-130.
[39]Endang Soetari, Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah,
hlm.140-141.
[40]Endang Soetari, Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah,
hlm. 142.
[41]Umi Sumbullah, Sudi 9 Kitab Hadis Sunni, hlm. 23.
[42]Rifa’at Fauzi ‘Abdul
Mutalib, Kutub al-Sunnah Dirasah
Tauthiqiyyah, Juz I (cet.I, ttp: Maktabah al-Khaniji, 1979), hlm. 64.
[43]Muhammad Mustafa ‘Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature,
(Indianapolis: American Trust Publication, 1977), hlm. 89.
[44]Rif’at Fauzi Abd.
Al-Muthalib, Kutub al-Sunnan Dirasat
Tuatsiqiyah, Juz I, (Cet. I, Kairo: Maktabah al-Khanji, 1979), hlm. 73.
[45]Muhammad Abu Syuhbah, al-Kutub al-Shihhah, (Al-Azhar: Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah,
1969), hlm. 57.
[48]Muhammad Mustafa ‘Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature,
hlm. 92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar