Rabu, 24 Mei 2017

Studi Hadis - Kajian Hadis Dalam Pandangan Sunni

Kajian Hadis Dalam Pandangan Sunni



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W.
Allah telah memberikan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga Al-Qur’an dan hadits Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Al-Qur’an dan ilmunya yaitu para mufassir. Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadist Nabi dan ilmunya, mereka adalah para ahli hadis.
Hadis merupakan salah satu sumber tasyri’ yang sangat penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an. Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat penting untuk menjaga dan mengawal pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke generasi. Mereka misalnya menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar sebuah hadis dapat diterima (dengan derajat shahih ataupun hasan). Setelah meneliti dan membuktikan keabsahan sebuah hadist secara sanad, mereka tidak cukup berhenti hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya; apakah ia tidak syadz atau mansukh. Demikianlah seterusnya, hingga mereka dapat menyimpulkan dan mendapatkan hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh karena itu, tentu perlu untuk mengetahui lebih jauh tentang  hadist menurut Ahl-Sunnah secara umum.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian dan klasifikasi hadis di kalangan Sunni?
2.      Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni?
3.      Adalat al-shahabah di kalangan Sunni?
4.      Penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni?
5.      Literatur hadis Sunni?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui pengertian dan klasifikasi hadis di kalangan Sunni
2.      Untuk mengetahui penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni
3.      Untuk mengetahui adalat al-shahabah di kalangan Sunni
4.      Untuk mengetahui penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni
5.      Untuk mengetahui literatur hadis Sunni



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadis di Kalangan Sunni
Dalam tradisi Sunni, yang menjadi esensi dari hadis itu sendiri ialah segala berita yang berkenan dengan: sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud hal ihwal di sini adalah segala sifat dan keadaan pribadi Nabi SAW.[1] Dengan demikian, menurut umumnya jumhur ulama hadis, bentuk-bentuk hadist ialah segala berita berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad saw.
Ulama hadis melihat Rasulullah sebagai manusia yang sempurna (insan kamil) atau pribadi pilihan Allah yang tidak saja perkataan, perbuatan atau ketetapan beliau dapat dicontoh, aka tetapi seluruh perilaku dan perjalanan hidup beliau adalah pantas untuk dijadikan teladan utama. Rasulullah adalah figur sentral dan model terbaik (uswah hasanah) yang harus diteladani oleh setiap umat Islam. Karena itu, dalam kerangka menjadikan nabi sebagai uswah hasanah ini, muhadditsun juga mengikutkan segala perilaku Muhammad SAW, sejak sebelum beliau diangkat menjadi Nabi/ Rasul. Oleh karena itu, ulama hadits berusaha meliput sebanyak mungkin riwayat yang berkenan dengan Rasulullah, tidak saja berkenaan dengan aspek hukum, akan tetapi juga menceritakan keadaan beliau, sifat-sifat dan kebiasaan, bahkan hingga gambaran dan performa fisik beliau sekalipun.[2]
Adapun beberapa contoh dari sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad saw, diantaranya:
Contoh perkataan Nabi adalah sabda beliau,
إِنّمَاَ الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلٍّ امْرئٍ مَا نَوَى
“Perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang bergantung pada niatnya”.[3]
Sabda beliau juga,
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ وَ الحِلُّ مَيْتَتُهُ
“(Laut itu) suci airnya dan halal bangkainya”.[4]
Contoh perbuatan Nabi adalah cara wudhu, sholat, manasik haji, dan lain sebagainya yang beliau kerjakan.
Contoh penetapan (taqrir) Nabi adalah sikap diam beliau dan tidak mengingkari terhadap suatu perbuatan, atau persetujuan beliau terhadapnya. Misalnya:
عن خلد بن الو ليد قال أتي النبي صلى الله عليه وسلم بضب مشوي فأهوي إليه ليأ كل فقيل له إنه ضب فأ مسك يده فقل خالد أحرام هو ؟ قال(لاولكنه لا يكون بأرض قومى فأجد نى أعا فه) فأكل خلد ورسو ل الله عليه وسلم ين ظر
Diriwayatkan dari Khalid ibn walid, Katanya: “Nabi saw pernah disuguhi hidangan berupa daging biawak. Beliau menjulurkan tangan untuk mengambilnya, tiba-tiba ada yang memberitahu bahwa hidangan itu adalah daging biawak sehingga beliau mengurungkan kembali tangannya. Khalid bertanya: ”Apakah daging ini haram? beliau menjawab: “tidak, hanya saja tidak ada di tempatku. Khalid trus memakannya, sementara beliau memandangku (H.R Bukhari).
Dari definisi hadis yang ditetapkan Sunni di atas, memberikan batasan tentang segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w., sekaligus adanya anggapan bahwa wahyu telah terhenti setelah wafatnya Nabi Muhammad. Dengan demikian apapun yang bersumber dari Nabi dapat dijadikan dasar hukum dan sekaligus sumber ajaran Islam. Sebaliknya apapun yang tidak bersumber langsung dari Nabi bukan termasuk hadis, dan karenanya tidak wajib diikuti dan tidak dapat dijadikan dasar hukum apalagi dijadikan sebagai sumber ajaran Islam. Dengan demikian sumber utama yang dapat mengeluarkan hadis menurut Sunni hanya Nabi Muhammad SAW.
B.     Klasifikasi Hadis di Kalangan Sunni
1.      Hadis ditinjau dari jumlah perawinya
Dalam menyampaikan sebuah hadis terkadang Nabi berhadapan dengan sahabat yang banyak jumlahnya, terkadang hanya beberapa sahabat, bahkan terkadang hanya satu atau dua orang saja. Begitu seterusnya sampai dengan generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai kitab. Sudah pasti informasi yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan dibanding informasi yang dibawa oleh hanya satu atau dua orang saja. Dengan demikian, maka menurut pembagian hadis dari aspek kuantitas periwayat adalah sebagai berikut. Ulama ahli hadis membaginya kepada dua bagian, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.[5]
a.     Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut etimologi berarti “beriring-iringan.” Sedangkan hadis mutawatir menurut terminologi ialah hadis yang diriwayatkan oleh segolongan rawi banyak, dimana materi hadis tersebut bersifat inderawi, yang menurut pertimbangan rasio, mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan, dan adanya segolongan rawi banyak itu terdapat di dalam semua thabaqahnya, jika terdiri dari beberapa thabaqah.
Berdasarkan definisi di atas, maka hadis mutawatir itu harus memenuhi empat syarat yaitu:
1)      Rawi-rawi hadisnya terdiri dari segolongan orang banyak.
2)      Menurut pertimbangan rasio, mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan, atau mengadakan suatu perkumpulan untuk berdusta, atau dipaksa oleh penguasa untuk berdusta, karena rawi-rawi itu orang banyak yang berbeda-beda dari berbagai kalangan dan profesi.
3)      Rawi yang banyak itu meriwayatkan dari rawi yang banyak pula, mulai dari permulaan sampai pada akhir sanadnya.
4)      Sandaran akhir (hadis yang diriwayat) dari rawi-rawi itu sesuatu inderawi (diterima melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa).[6]
Jika keempat syarat tersebut terpenuhi, maka sudah tentu akan diperoleh pengetahuan adanya kepastian kebenaran hadis itu, dan keempat syarat itu tidak akan terpenuhi jika kita belum memperoleh pengetahuan adanya kepastian kebenarannya. Hadis mutawatir itu merupakan ilmu dharuri, yaitu ilmu yang tidak memerlukan observasi karena sudah jelas dan didukung oleh keyakinan yang kuat.[7]
Hadis mutawatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a)      Mutawatir lafdzi
Yaitu mutawatir dalam satu masalah yang diriwayatkan dengan menggunakan lafadz satu atau lebih namun satu makna, atau menggunakan susunan kata yang berbeda-beda tetapi pengertiannya sama, yaitu tetap dalam konteks masalah itu, seperti hadis:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“barang siapa yang berbuat dusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh segolongan banyak sahabat. Menurut sebagian orang yang hafal hadis, hadis tersebut diriwayatkan dari Nabi SAW oleh enam puluh dua sahabat, dan di antara mereka terdapat sepuluh orang sahabat yag sudah diakui Nabi SAW masuk surga. Menurut Ibnu Al-Shalah, bahwa hadis mutawatir lafdzi itu langkah.[8]
b)     Mutawatir maknawi
Mutawatir maknawi ialah maknanya yang mutawatir sedangkan lafadznya tidak. Misalnya, hadis-hadis tentang mengangkat tangan dalam berdoa. Hadis ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadis tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Dan setiap hadis tersebut berbeda kasusnya dari hadis yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadis-hadis tersebut yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdoa.[9]
b.    Hadis Ahad
Ahad menurut bahasa mempunyai arti satu. Dan khabarul wahid adalah yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan hadits ahad menurut istilah adalah hadis yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi 3 macam yaitu: Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.[10]
1)      Hadis Masyhur
Masyhur menurut bahasa nampak. Sedangkan menurut istilah adalah yang diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir.
Hadis masyhur di luar istilah tersebut dapat terbagi menjadi beberapa macam yang meliputi: mempunyai satu sanad, mempunyai beberapa sanad, dan tidak ada sanad sama sekali.[11] Dengan demikian, berdasarkan pada segi lingkungan, popularitas dan penyebarannya maupun dari segi frekuensi penggunannya, hadis masyhur ini juga sangat beragam,[12] yaitu:
a)      Hadis masyhur di kalangan muhadditsun
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوْعِ شَهْرًا يَدْعُوْ عَلَى رِعْلٍ وَ ذَكْوَانَ. (رواه البخاري)
b)      Hadis masyhur di kalangan muhadditsun dan ulama lain
عَنْ عَبْدِ الله بنْ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ وَ المُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ (رواه البخاري)
c)      Hadis masyhur di kalangan fuqaha’
ابن عمر عَنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الحَلاَلِ إِلَى اللهِ الطَّلاَقُ (رواه أبو داود)
d)     Hadis masyhur di kalangan ahli ushul fiqh
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. (رواه البخاري)
e)      Hadis masyhur di kalangan ahli bahasa Arab
عن عمر قال : نعم العبد صهيب لو لم يخف الله لم يعصه
f)       Hadis masyhur di kalangan ahli pendidikan
"ادبنى ربى فاحسن تأديبي"
g)      Hadis masyhur di kalangan umum
"العجلة من الشيطان" (اخرجه الترمذي و حسنه)
2)      Hadis ‘Aziz
‘Aziz artinya: yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat.
‘Aziz menurut istilah ilmu hadis, ialah: satu hadis yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya.
Contohnya: Nabi SAW bersabda, “Tidak (sesungguhnya) beriman salah seorang dari kamu, sehingga adalah aku (Nabi) lebih tercinta kepadanya daripada ia (mencintai) bapaknya dan anaknya serta semua orang.”
Keterangan: hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan Anas. Dan diriwayatkan juga oleh Bukhari dari jalan Abu Hurairah. Susunan sanad dari dua jalan itu adalah yang meriwayatkan dari Anas: Qatadah dan Abdulaziz bin Shuhaib. Yang meriwayatkan dari Abdulaziz: Ismail bin ‘Illiyyah dan Abdul warits.[13]
3)      Hadis Gharib
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan hadis gharib secara istilah adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri. Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan periwayatan, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lainnya jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya sebagai hadis gharib. Sebagian ulama juga menyebutkan jenis hadis ini dengan nama lain yaitu al-fard. Hadis gharib dilihat dari segi letak sendiriannya dapat terbagi menjadi dua macam,[14] yaitu:
a)      Gharib mutlak yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanadnya (sahabat). Contohnya adalah hadis tentang niat yang diriwayatkan secara menyendiri oleh Umar kemudian diriwayatkan oleh Alqamah, Yahya bin Sa’id dan terakhir oleh banyak perawi.[15]
لغة : هو صفة مشبهة من "عز يعز" واصطلاحا : ان لا يقال رواته عن اثنين في جميع طبقات السند
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصري قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر قال سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ إِنّمَاَ الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلٍّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَجَرَ إِلَيْهِ. (رواه البخاري)
“bahwa setiap perbuatan itu bergantung dengan niatnya.”
b)      Gharib nisbi yaitu hadis yang keghariban sanadnya terjadi pada tengah sanad, bukan pada asal sanad sebagaimana hadis gharib mutlak. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Zuhri secara menyendiri.[16]
2.      Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitasnya
Klasifikasi ini lebih mengacu kepada jajaran hadis ahad yang mencakup hadis masyhur, ‘aziz, dan gharib, karena ulama tampak telah sepakat bahwa hadis mutawatir seluruhnya bernilai shahih. Dalam hal ini, ulama membagi kualitas hadis pada tiga bagian, yakni shahih, hasan, dan dha’if.[17]
a.      Hadis shahih
Hadis shahih adalah hadis musnad, yakni hadis yang bersambung sanadnya, yang dinukil dari perawi yang adil dan dhabit mulai dari awal hingga akhir sanad sampai kepada Rasulullah SAW, dari sahabat atau lainnya, tanpa adanya syadz dan ‘illat.[18] Dari definisi tersebut jelaslah bahwa bisa disebut hadis shahih apabila sudah memenuhi syarat- syarat ini, yaitu: rawinya bersifat ‘adil, rawinya sempurna ingatan atau dhabith, sanad-nya bersambung, matan-nya marfu, tidak ada ‘illat, tidak janggal (syadz).
1)      Keadilan Rawi
Menurut Ar-Razi, keadilan ialah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertakwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebih-lebihan.
Menurut Ibn As-Sam’ani, keadilan harus memenuhi syarat:
a)      Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat.
b)      Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
c)      Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggurgurkan iman dan mengakibatkan penyesalan.
d)     Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
Menurut Muhyi Ad-Din ‘Abd Al-Hamid, syarat keadilan rawi itu adalah:
a)      Islam, maka periwayatan yang kafir tidak diterima.
b)      Mukallaf, maka periwayatan anak yang belum dewasa menurut pendapat yang lebih shahih, tidak diterima.
c)      Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seorang fasik dan memiliki cacat pribadi.
Pengertian dan ketentuan adil dalam periwayatan berbeda dengan adil dalam kesaksian. Dalam persaksian (syahadah), dikatakan adil jika terdiri atas dua orang laki-laki yang merdeka. Adapun dalam periwayatan, dapat dikatakan adil cukup seorang saja, baik orang perempuan, budak, merdeka.
2)      Kedhabitan Rawi
Dhabith ialah orang yang terpelihara, kuat ingatannya, ingatannya lebih banyak daripada kesalahannya. Dhabith ada dua macam:
a)      Dhabith ash-Shadri, yakni seorang yang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya paham yang tinggi, sejak menerima sampai menyampaikan pada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja dikehendakinya.
b)      Dhabith al-kitab, yakni seseorang yang dhabith atau cermat memelihara catatan atau buku yang ia terima.
Unsur-unsur dhabith adalah:
a)      Tidak pelupa.
b)      Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya apabila ia memberikan hadis dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan apabila ia meriwayatkan hadis dan kitabnya, dan
c)      Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya, dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud apabila ia meriwayatkan hadis menurut maknanya saja. Rawi yang adil dan dhabith disebut tsiqat.
3)      Musnad
Musnad yaitu muttashil-nya sanad dan marfu’-nya matan. Arti muttashil atau bersambung atau tidak putusnya sanad, yakni selamat dari keguguran, tiap-tiap rawi saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya (mengajarinya). Matan yang marfu’, artinya idhafah kepada Nabi SAW.


4)      Tanpa ‘Illat
‘Illat hadis ialah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan hadis, misalnya: meriwayatkan hadis secara muttashil terhadap hadis mursal atau hadis munqathi’, atau berupa sisipan yang terdapat pada matan hadis.
5)      Tidak ada kejanggalan
Kejanggalan hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan dengan kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
Jadi hadis shahih adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabit-anya, sanad-nya muttashil dan tidak cacat, matan-nya marfu’, tidak cacat, dan tidak janggal.
Derajat dan kekuatan hadis sahih bisa berlebih dan berkurang karena berlebih berkurangnya sifat ke-dhabit-an dan keadilan rawi serta sanad-nya. Urutan-urutan hadis sahih menurut derajatnya mulai yang tertinggi adalah sebagai berikut:
a)      Hadis sahih yang ber-sanad ashah al-asanaid
Ashal al-asanid ialah sanad yang paling tinggi martabatnya karena rangkaian rawi dalam sanad suatu hadis terdiri atas rawi-rawi yang paling tinggi derajat adil dan dhabit-nya, antara lain:
a)      Malik, Nafi’, ‘Abdullah ibn ‘Umar,
b)      Ibn Syihab Az-Zuhri, Salim, ‘Abdullah ibn ‘Umar,
c)      Zain AL-‘Abidin, Hasan, ‘Ali ibn Abu Thalib.
b)      Hadis yang muttafaq ‘alai atau muttafaq ‘alaihi sihhatihi, yaitu hadis sahih yang sanad mudwwin-nya adalah Bukhari dan Muslim atau sanad-nya telah disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
c)      Hadis yang diriwayatkan (di-takhrij-kan) oleh Bukhari sendiri, sedangkan Muslim tidak meriwayatkannya. Untuk itu, disebut infarada bih al-bukhari.
d)      Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri, sedangkan Bukhari tidak meriwayatkannya. Hadis yang hanya diriwayatkan Muslim dan tidak diriwayatkan Bukhari tetap disebut infarada bihi muslim, walaupun hadis tersebut diriwayatkan pen-takhrij lain seperti Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibn Majah, dan begitu sebaliknya dengan infarada bihi al-bukhari.
e)      Hadis sahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim. Hadis demikian disebut dengan Shahihun ‘ala syarthi al-bukhari wa muslim, artinya bahwa rawi-rawi hadis yang dikemukakan itu terdapat di dalam kedua kitab hadis, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, walaupun kedua imam hadis tersebut tidak men-takhrij-nya.
f)       Hadis sahih yang menurut syarat Bukhari, sedang Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya, disebut shahih ‘ala syarthi al-bukhari.
g)      Hadis sahih menurut syarat Muslim, sedangkan Muslim sendiri tidak men-takhrij-nya, disebut shahih ‘ala syarthi muslim.[19]
Jika salah satu dari lima syarat tersebut tidak terpenuhi, maka ia tidak dapat dinamakan dengan hadis shahih.
b.      Hadis Hasan
Hadis hasan adalah yang sanadnya bersambung, dinukil oleh periwayat yang adil namun tidak terlalu dhabit (kuat ingatannya) serta terhindar dari syadz dan ‘illat.[20] Perbedaan prinsip antara hadis shaihi dan hasan terletak pada keadaan perawinya. Pada hadis shahih perawinya sempeurna dhabitnya, sedangkan pada hadis hasan, kedhabitan perawinya kurang sempurna. Oleh karena itu maka hadis hasan diposisikan di bawah hadis shahih. Hadis hasan di bagi menjadi dua yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih. Jika pada hasan lidzatih ingatan perawinya setingkat di bawah perawi hadis shahih dengan memunculkan aspek kehasanannya, sedangkan pada hasan lighayrih dalam rangkaian sanadnya terdapat orang yang tidak diketahui kelayakan atau ketidaklayakannya untuk diterima riwayat hadisnya, tetapi ia juga bukan orang yang lengah dan suka berbuat dusta dan salah.[21] Di antara contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tarmidzi tentang pintu surga di bawah kilatan pedang sebagai berikut:
عَنْ أَبِي بَكْر بْنِ أَبِي مُوْسَى الأَشْعَرِيّ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العُدُوِّ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم إِنَّ أَبْوَابَ الجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوْفِ (رواه الترمذي)
c.       Hadis Dha’if
Dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dhaif ada dua macam yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dhaif maknawiyah. Hadis dhaif menurut istilah adalah hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.
Karena syarat diterimanya suatu hadis sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya hadis terletak pada hilangnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih, maka atas dasar ini hadis dhaif terbagi menjadi beberapa macam, seperti Syadz, Mudhtharib, Maqlub, Mu’allal, Munqathi’, Mu’dhal, dan lain sebagainya.[22]

C.    Penulisan dan Pengumpulan Hadis di Kalangan Sunni
Pada periode ini Hadis-hadis Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan hadis secara resmi. Hal ini didasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya hadist dan wafatnya para ulama hadis. Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara hadist-hadist yang ada di dada mereka belum tentu semuanya sempat diwariskan.
Adapun otang yang pertama membukukan hadis atas perintah Umar bin Abdul Aziz adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az-Zuhri Al-Madani, seorang imam dan ulama di Hijaz dan Syam. Ia belajar hadis dari Ibnu Umar, Sahl bin Sa’d, Anas bin Malik, Mahmud bin Rabi’, Sa’id bin Musayyab, Abu Umamah bin Sahl, dan orang-orang yang semasa dengan mereka dari para yunior sahabat dan  senior tabi’in. Adapun yang belajar kepadanya adalah Ma’mar, Al-Auza’i, Al-Laits, Malik, Ibnu Abi Dzi’b dan lain-lain. Ia dilahirkan pada tahun 50 H dan meningal pada tahun 124 H.
Adapun orang yang pertama mengumpulkannya adalah Ibnu Juraij di Mekkah, Ibnu Ishaq atau Malik di Madinah, Rabi’ bin Shabih atau Sa’id bin Abu ‘Urubah atau Hammad bin Salamah di Bashrah, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah, Al-Auza’i di Syam, Hasyim bin Wasith, Ma’mar di Yaman, Jarir bin Abdulhamid di Ray, dan Ibnul Mubarak di Khurasan. Mereka itu dalam satu masa dan tidak diketahui siapa di antara mereka yang paling dahulu dalam membukukan hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, ‘Sesungguhnya yang disebutkan itu adalah jika dilihat dari pengumpulan hadis dalam beberapa bab. Adapun pengumpulan hadis-hadis tentang tema yang sama ke dalam satu bab maka yang pertama adalah Asy-Sya’bi. Sebab terdapat riwayat dirinya bahwa dia berkata, “Ini bab besar dari masalah talak,” lalu dia menyebutkan beberapa hadis.”
Setelah mereka, maka banyak ulama pada masanya yang melakukan seperti itu hingga sebagian imam berpendapat untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi SAW dalam bab khusus, yaitu pada awal tahun 200 H. Pada saat itu Ubaidillah bin Musa Al-‘Abasi Al-Kufi menulis kitab Musnad, Musaddad Al-Bashri menulis kitab Musnad, Asad bin Musa menulis kitab Musnad, dan Nu’aim bin Hammad Al-Khuza’i juma menulis kitab Musnad. Kemudian para hafidz hadis mengikuti jejak mereka. Imam Ahmad menulis kitab Musnad, demikian juga Ishaq bin Rahawaih, Ustman bin Abi Syaibah dan lain-lain.[23]
Penulisan hadis itu tiada pernah terhenti dan selalu berlangsung hingga muncul Imam Bukhari yang cemerlang dalam ilmu hadis dan menempati posisi yang tiada bandingannya. Beliau mengkhususkan penulisan hadis-hadis sahih dan dijadikannya dalam satu kitab agar para pencari hadis tidak kesulitan dalam mengkaji dan bertanya. Beliau menulis kitabnya yang masyhur dengan hanya menyebutkan hadis-hadis sahih saja.  Sementara kitab-kitab sebelumnya bercampur antara yang sahih dan yang tidak sahih, sehingga tidak jelas bagi yang mempelajarinya antara derajat hadis yang sahih dan tidak sahih melainkan setelah mengkaji kondisi para perawinya dan hal-hal lain yang dikenal dalam ilmu dan ulama hadis. Jika seseorang tidak mampu mencermati hal tersebut, maka dia harus bertanya kepada para imam ahli hadis. Namun jika hal itu tidak dapat dilakukan, maka hadis itu tetap belum jelas baginya.[24]  
Kebijakan yang diambil oleh Umar bin Abdul Aziz telah membawa dampak luar biasa. Kesadaran akan pentingnya penulisan hadis betul-betul dirasakan para ulama kala itu. Keengganan dan ketabuan telah berubah menjadi sebuah kemestian adanya. Az-Zuhri mengakui akan hal itu ketika dia menuliskan hadis kepada penguasa sambil menguturkan: “Kami membenci menulis ilmu (hadis) sampai para penguasa meminta kami untuk menuliskannya. Dan kami pun tahu bahwa tak ada seorang pun di kalangan muslim yang menentang hal itu.” Generasi ini sudah memahami alasan, kekhawatiran Umar bin Khattab akan adanya kitab tandingan selain al-Qur’an dengan diibaratkan pada orang-orang Ahlul Kitab sebelum Islam. Hal tersebut tidak dapat dianalogkan dengan kedudukan hadis terhadap al-Qur’an. Karena orang-orang Ahlul Kitab sengaja membuat kitab tandingan tersebut tidak sebagaimana hadis. Seperti telah dituturkan Dhahaj bin Muzaim: “Jangan disamakan catatan-catatan hadis dengan lembaran-lembaran mushaf.”[25]
Keterlambatan penulisan hadis dalam sebuah kumpulan yang utuh mengalami rentang perjalanan yang cukup panjang sampai pertengahan abad ke-2 hijriah, bukan berarti keautentikan dan kevaliditasan hadis perlu di pertanyakan. Walau belakangan timbul usaha serius dari para ulama hadis untuk melakukan verifikasi lantaran banyaknya karya yang ditulis tentang hadis.
Berbeda dengan sejarah penulisan hadits di kalangan muslim Sunni yang terlambat hingga tiga abad lamanya, penulisan hadits di kalangan muslim Syi’ah sudah di mulai dari sejak awal. Selain kitab Al Kâfi, apa yang dikenal sebagai mushaf Fatimah, pada dasarnya adalah kumpulan hadits-hadits Nabi yang telah dimulai prosesnya dari sejak awal. Sejarah penulisan dini Hadist Nabi juga diperkuat oleh fakta Abu Rafi’, seorang budak Nabi, dan bahkan Imam ‘Ali Bin Abi Thalib juga telah memulai pekerjaan tersebut. Ini bisa terjadi, karena dalam tradisi Syi’ah Nabi Muhammad tidak dikenal sebagai orang yang buta huruf. Menurut muslim Syi’ah beliau bisa membaca dan menulis dan karenanya ia juga mampu mengajarkan anak, menantu dan keluarganya menulis dan belajar hadits.
Di kalangan sunni juga berbeda dengan syi’ah dikarenakan dalam periwayatan hadis sunni lebih terbuka. Hal ini berbeda dengan hadis syi’ah. Sunni menerima semua hadis dengan tingkat kualitas dan kuantitas dalam periwayat hadisnya baik dari segi sanad maupun matannya, sunni menerima semua hadis yang diriwayatkan oleh semua sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali dan hal ini berbeda dengan syiah yang hanya menerima hadisnya dari kalangan Imam-imam mereka, syiah menganggap Imam-imam mereka derajatnya dapat disejajarkan dengan Rasulullah.
Sunni beranggapan bahwa hadis shahih adalah hadis yang berasal dari Nabi sedangkan syiah menganggap hadis sahih itu tidak selamanya berasal dari Nabi, akan tetapi juga bisa berasal dari Imam-imam mereka karena mereka menganggap bahwa Imam-imam mereka derajatnya dapat disejajarkan dengan Rasulullah.
Para ulama Sunni itu lebih teliti dalam menyeleksi hadis-hadis dari periwayatannya dan juga sanad maupun matannya agar sebuah hadis bisa dijadikan sebagai hujjah. Salah satu penulis hadis di kalangan Sunni ialah al-Bukhari, di dalam buku Studi Sembilan Kitab Sunni, al-Bukhari tidak menguraikan kriteria-kriteria hadis yang dihimpun. Akan tetapi dengan memperhatikan nama kitab tersebut, menunjukan bahwa ia hanya memasukkan hadis-hadis shahih ke dalamnya.[26]
Dalam menyeleksi hadis-hadis yang akan dimuat pada kitabnya ini, al-Bukhari telah mengikuti kaidah penelitian ilmiah yang benar, sehingga keshahihan hadisnya dapat diyakini sepenuhnya. Agaknya hal ini memang beralasan dan dapat dipertanggungjawabkan, melihat pada syarat-syarat keshahihan hadis bagi al-Bukhari dinilai lebih ketat dari syara-syarat keshahihan yang ditetapkan oleh para ulama hadis lainnya.[27]
D.    Adalat al-Shahabah di Kalangan Sunni
Seluruh sahabat, kecil maupn besar, tua maupun muda, yang terlibat peperangan antara Ali dengan Mu’awiyah maupun tidak, semuanya adil. Dengan demikian menurut konsensus para ulama ahli sunnah atas dasar baik sangka, bukti dari sikap dan perilaku mereka, baik dari sisi kepatuhan dalam menjalankan perintah Nabi SAW sesudah wafatnya, kegigihan dalam melakukan ekspansi wilayah Islam, kesungguhan dalam menyampaikan Al-Qur’an dan hadis.
Memberikan petunjuk kepada manusia, dan yang terpenting ialah kontinyuitas mereka dalam menjalankan shalat, zakat dan ibadah-ibadah lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maupun dari sisi karakter pribadi mereka berupa keberanian dalam mengambil kebijaksanaan, kedermawanan, kesediaan untuk mendahulukan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan pribadi, dan lain sebagainya dari akhlak-akhlak mereka yang terpuji yang tidak pernah dimiliki oleh umat-umat sebelumnya.[28]
Keadilan sahabat merupakan sesuatu yang imperatif diakui berdasarkan firman-firman Allah yang berhubungan dengan para sahabat, dan hadis-hadis yang inklusif menunjukan kesucian mereka dan keberadaannya sebagai manusia-manusia pilihan. Sekiranya tidak ada dalil-dalil dari Allah dan Rasulnya, maka sudah cukup dengan bukti sikap dan perilaku serta perjuangan mereka. Musalnya, adanya peristiwa hijrah, jihad dalam membela Islam dengan mengorbankan seluruh harta, jiwa dan tenaga mereka. Mereka senantiasa memberikan nasehat dalam agama. Keimanan dan keyakinan mereka demikian kuatnya. Dan semua itu merupakan bukti kuat yang memberikan keyakinan penilaian atas keadilan dan kejujuran mereka, yang imperatif berimplikasi pada sikap menaruh kepercayaan penuh atas kesucian mereka. Secara inklusif, mereka adalah orang-orang yang lebih utama dari pada semua orang, termasuk mereka yang dipandang adil, yang datang sesudah mereka. Demikian ini pendapat mayoritas ulama yang fatwanya bisa dijadikan pegangan.[29]
Abu Al-Zar’ah berkata, “apabila kamu melihat seseorang mencela seorang sahabat dari sahabat-sahabat Rasulullah SAW, maka ketauhilah bahwa dia itu seorang zindiq (orang kafir yang pura-pura beriman), karena kita semua meyakini Rasulullah itu haq, Qur’an itu haq, dan semua yang dibawa Rasulullah itu haq. Sedangkan mereka yang menyampaikan semua itu kepada kita adalah sahabat. Mereka yang mencela sahabat itu tidak lain bertujuan memperdangkal persaksian kita terhadap para sahabat, yang tujuan akhirnya ialah unutk membatalkan Al-Qur’an dan sunnah Rasullah SAW. Dan oleh karena itulah, mereka itu lebih tercela, dan mereka tidak ada lain adalah orang-orang zindiq.[30]
Adapun beberapa dalil-dalil mengenai keadilan sahabat, berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis diantaranya adalah:



1.      Dalil-dalil dari Al-Qur’an
a.       Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 143
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tƒur ãAqß§9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3 $tBur $oYù=yèy_ s's#ö7É)ø9$# ÓÉL©9$# |MZä. !$pköŽn=tæ žwÎ) zNn=÷èuZÏ9 `tB ßìÎ6®Ktƒ tAqß§9$# `£JÏB Ü=Î=s)Ztƒ 4n?tã Ïmøt7É)tã 4 bÎ)ur ôMtR%x. ¸ouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûïÏ%©!$# yyd ª!$# 3 $tBur tb%x. ª!$# yìÅÒãÏ9 öNä3oY»yJƒÎ) 4 žcÎ) ©!$# Ĩ$¨Y9$$Î/ Ô$râäts9 ÒOŠÏm§ ÇÊÍÌÈ  
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
b.      Surat Al-Fath ayat 29
Ó£JptC ãAqß§ «!$# 4 tûïÏ%©!$#ur ÿ¼çmyètB âä!#£Ï©r& n?tã Í$¤ÿä3ø9$# âä!$uHxqâ öNæhuZ÷t/ ( öNßg1ts? $Yè©.â #Y£Úß tbqäótGö6tƒ WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊÍur ( öNèd$yJÅ Îû OÎgÏdqã_ãr ô`ÏiB ̍rOr& ÏŠqàf¡9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßgè=sVtB Îû Ïp1uöq­G9$# 4 ö/àSè=sVtBur Îû È@ŠÅgUM}$# ?íötx. ylt÷zr& ¼çmt«ôÜx© ¼çnuy$t«sù xán=øótGó$$sù 3uqtFó$$sù 4n?tã ¾ÏmÏ%qß Ü=Éf÷èムtí#§9$# xáŠÉóuÏ9 ãNÍkÍ5 u$¤ÿä3ø9$# 3 ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Nåk÷]ÏB ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $JJÏàtã ÇËÒÈ  
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”
c.       Surat Al-Anfal ayat 64
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# šç7ó¡ym ª!$# Ç`tBur y7yèt7¨?$# z`ÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÏÍÈ  
“Hai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”
2.      Dalil-dalil dari Sunnah
Hadis-hadis yang menunjukkan atas keutamaan para sahabat ini, di antaranya adalah:
a.       Hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi SAW, bahwasanya beliau bersabda:
خَيْرُ القُرُوْنِ قُرْنِى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلَوْنَهُمْ
“Sebaik-baik kurun adalah kurunku, kemudian kurun-kurun berikutnya dari generasi ke generasi”
b.      Hadis riwayat Al-Turmudzi dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, dari Abdullah bin Mughaffal, dia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم الله الله فِي أَصْحَابِي لاَ تَتَّخِذُوْهُمْ غَرْضًا بَعْدِي فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّيْ أُحِبَّهُمْ وَ مَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِهِمْ أَبْغَضَهُمْ وَ مَنْ أَذَاهٌمْ فَقَدْ أَذَانِيْ وَ مَنْ أَذَانِيْ فَقَدْ اَذَى الله يُوْشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ.
Rasulullah SAW bersabda, “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah terhadap sahabat-sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran maksud jahatmu sesudahku. Barangsiapa mencintai mereka, maka sebab cintanya kepadaku akan mencintainya, dan barangsiapa membenci mereka maka sebab kebenciannya kepadaku aku pun membencinya, barang siapa menyakiti aku maka dia telah menyakiti Allah, yang nyaris Allah menyiksanya.”
c.       Hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi SAW, bahwasanya Nabi SAW bersabda:
لَا تَسُبُّوْا أَصْحَبِي فَوَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحِدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَ لَا نَصِيْفَهُ.
“Janganlah kamu sekalipun mengumpat sahabat-sahabatku, demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, sekiranya salah seorang di antara kamu menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan menyamai pahala sedekah satu mud salah seorang di antara mereka dan tidak pula separuhnya”
Rawi dari hadis-hadis di atas adalah tsiqqah (terpercaya).[31]
E.     Penggunaan Hadis Sebagai Hujjah di Kalangan Sunni
Kehujjahan hadis di kalangan ahli hadis sunni, kehujjahan hadis menurut para ahli, misalnya: contoh dari sebuah hadis, “Sesungguhnya mayat itu disiksa sebab ditangisi oleh keluarganya” (H.R. Bukhori). Hadis ini sahih dari segi sanadnya, sebagaimana tercatat dalam kitab Shahih Bukhari. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kandungan maknanya, hadis tersebut bertentangan dengan beberapa ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa amal perbuatan seseorang akan mendapat balasan dari Allah SWT. Hanya karena amalnya dan bukan karena amal orang lain. Salah satu ayat Al-Quran menyatakan bahwa dosa seseorang tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain.
Sebagaimana firman Allah SWT:
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒtƒ $pköŽn=tæ 4 Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ  
15. Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
Dengan adanya penegasan ayat di atas, hadis tersebut termasuk ke dalam kategori hadis sahih segi sanadnya sebagaimana berdasarkan kualitas para perawi yang meriwayatkan hadis tersebut. Akan tetapi, maknanya dha’if. Hadis demikian tidak bisa dijadikan hujjah sebab yakin bahwa hal itu bukan ucapan Rasulullah SAW. Bukan hadis Nabi karena mustahil Nabi SAW. Menetang ayat, atau menambah Al-Qur’an.
Karena riwayat itu bersumber dari Umar dan Ibn Umar, dan keduanya menjadi sanad hadis tersebut, artinya keduanya mendengar riwayat itu dari Rasulullah SAW. Jika demikian, apakah kedua sahabat (ayah dan anak) ini berdusta atau salah mendengar? Menurut ukuran rasio, tak mungkin sahabat setingkat Umar dan Ibn Umar yang dikenal sebagai tokoh cendekia dari kalangan sahabat Nabi itu berbuat kesalahan yang fatal. Akan tetapi, tidak mustahil kalau ia berbuat keliru atau salah dengar, bukankah mereka juga manusia yang tak dijamin ma’shum (terjaga dari kesalahan) sebagaimana Nabi? Pada keduanya satu saat bisa pula terkena sifat kemanusiaannya, yaitu berbuat salah atau lupa.[32]
Al-Qasim ibn Muhammad berkata, ketika sampai kepada Aisyah, perkataan Umar dan Ibn Umar itu, Aisyah menyatakan bahwa sesungguhnya kamu menceritakan kepadaku bahwa hadis itu bukan diriwayatkan oleh orang yang biasa berdusta dan tidak bisa didustakan, tetapi (bisa saja) pendengaran yang salah (atau salah dengar). (Riwayat Muslim).
Aisyah tidak menuduh dusta kepada Umar dan Ibn Umar, apalagi menuduhnya sebagai pendusta, tetapi ia menyangsikan kebenaran hadis itu datangnya dari Rasul dan ia meyakini bahwa keduanya salah dengar. Selanjutnya, ia menyatakan, “Cukup untuk kamu sekalian Al-Quran dan dosa seseorang tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada orang lain.” (Riwayat Bukhari)
A. Hassan, seorang ulama Persatuan Islam, yang dikenal sangat konsisten dalam penggunaan dalil dari Al-Quran dan hadis Nabi, ketika memberikan pandangannya mengenai mayat disiksa karena tangisan keluarganya, sebagaimana yang terdapat dalam hadis riwayat Bukhari di atas, dan seperti yang dikritik oleh Muhammad Al-Ghazali sebelum mengemukakan pendapatnya mengenai hadis tersebut, ia berpendapat bahwa salah satu syarat hadis itu sahih adalah maknanya tidak bertentangan dengan dalil yang qath’i, yaitu Al-Qur’an atau hadis mutawatir.[33]
Dengan demikian, dalam kerangka berpikir A. Hassan, hadis itu atau yang semacamnya tidak boleh dijadikan untuk berhujjah. Ayat-ayat Al-Quran yang dianggap menentang makna hadis di atas adalah sebagai berikut:
1.      Firman Allah:
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pköŽn=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 $oY­/u Ÿw !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZŠÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY­/u Ÿwur ö@ÏJóss? !$uZøŠn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ­/u Ÿwur $oYù=ÏdJysè? $tB Ÿw sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# šúï͍Ïÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ  
286. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
Maksudnya, kebaikan yang dikerjakan oleh seseorang, tidak akan dapat ganjarannya, melainkan dirinya sendiri, dan kejahatan yang dikerjakan olehnya, tidak akan dapat azabnya, melainkan dia sendiri.
2.      Firman Allah:
ô`¨B Ÿ@ÏHxå $[sÎ=»|¹ ¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù ( ô`tBur uä!$yr& $ygøŠn=yèsù 3 $tBur y7/u 5O»¯=sàÎ/ ÏÎ7yèù=Ïj9 ÇÍÏÈ  
46. Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.
Maksudnya, kebaikan yang dikerjakan oleh seseorang adalah untuk dirinya, tidak untuk orang lain, begitu juga kejahatan.
3.      Firman Allah:
`tBur yyg»y_ $yJ¯RÎ*sù ßÎg»pgä ÿ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 4 ¨bÎ) ©!$# ;ÓÍ_tós9 Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÏÈ  
6. Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

4.      Firman Allah:
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒtƒ $pköŽn=tæ 4 Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ  
15. Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
Maksudnya, barang siapa berbuat kebaikan atau kejahatan, ia yang akan mendapat buahnya ia sendiri, tidak yang lainnya.
5.      Firman Allah:
Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 2t÷zé& 4 bÎ)ur äíôs? î's#s)÷WãB 4n<Î) $ygÎ=÷H¿q Ÿw ö@yJøtä çm÷ZÏB ÖäóÓx« öqs9ur tb%x. #sŒ #n1öè% 3 $yJ¯RÎ) âÉZè? tûïÏ%©!$# šcöqt±øƒs Nåk®5u Í=øtóø9$$Î/ (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# 4 `tBur 4ª1ts? $yJ¯RÎ*sù 4ª1utItƒ ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 4 n<Î)ur «!$# 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÑÈ  
18. Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu Tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan sembahyang. dan Barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada Allahlah kembali(mu).
Maksudnya, barang siapa mengerjakan suatu pekerjaan yang bisa membersihkan dirinya, yaitu amal ibadah maka kebaikannya itu hanya untuk dirinya, bukan untuk orang lain.[34]
Demikian pula, ayat-ayat Al-Quran yang dianggap menentang makna hadis yang menyatakan bahwa mayat disiksa karena tangisan keluarganya. Pendapat ulama lain yang menolak kesahihan hadis di atas seperti halnya Al-Ghazali dan A. Hassan di atas sebagai berikut:
1.      Pendapat Imam Ath-Thabari, “Tidak dibalas seseorang yang beramal, melainkan dengan amalnya, baik ataupun jahat. Tidak disiksa, melainkan orang yang mengerjakan dosa, dan tidak diberi ganjaran orang yang tidak mengerjakan kebaikan.
2.      Pendapat Imam Fahr Ar-Razy, “sesungguhnya kebaikan orang lain tidak bisa memberi manfaat karena barang siapa tidak beramal saleh, ia tidak akan mendapat kebaikan.” Sempurna dan nyatalah dengan ayat itu bahwa orang yang berdosa itu tidak bisa mendapat ganjaran dengan sebab kebaikan orang lain, dan tidak seorang pun akan menanggung dosanya.
3.      Pendapat Imam ibn Katsir, “Sebagaimana tidak dibebankan atas seseorang, dosa orang lain, begitu juga ia tidak bisa mendapat ganjaran, melainkan atas apa yang ia kerjakan sendiri untuk dirinya.
4.      Imam ibn Katsir selanjutnya menyatakan, “Sesungguhnya manusia itu hanya dibalas menurut amalnya. Jika baik, balasannya baik, dan jika jahat, balasannya jahat.
5.      Pendapat Imam Asy-Syaukani, “Seseorang tidak mendapat balasan, malainkan atas usahanya sendiri, dan ganjaran amalnya, dan tidak memberi faedah kepada seseorang, atas amal orang lain.
6.      Imam Al-Muzani, sahabat Imam Asy-Syafi’i, menyatakan: “Rasulullah SAW. Memberi tahu sebagaimana Allah SWT. Memberi tahu bahwa dosa tiap-tiap seorang adalah untuk kecelakaan dirinya, sebagaimana amalnya itu untuk kebaikan dirinya, tidak untuk kebaikan orang dan tidak untuk kecelakaan orang lain.[35]
Demikian beberapa pendapat para ahli mengenai makna hadis yang menyatakan bahwa mayat disiksa karena tangisan keluarganya. Bila pendapat-pendapat itu diringkas, tampak bahwa amal perbuatan itu sama sekali tidak akan berakibat bertambahnya dosa atau ganjaran terhadap orang lain. Dengan demikian, kehujjahan hadis tersebut tertolak sebagai hadis sahih.
Disini terlihat bahwa Muhammad Al-Ghazali dalam menolak hadis tersebut di atas sebagai sesuatu yang sahih, ternyata tidak sendirian, melainkan banyak didukung oleh para ahli hadis maupun para ulama fuqaha.
Di kalangan sunni pembahasan tentang kehujjahan hadis meliputi nilai atau kualitas hadis dan pengamalan hadis. Kualitas hadis ada yang maqbul dan ada yang mardud. Yang dimaksud dengan maqbul menurut lughat, adalah مصدق atau مأخوذ, Artinya yang diambil atau yang dibenarkan, maksudnya yang diterimanya.[36]
Menurut istilah muhaditsin, maqbul berarti:
مَا دَلَّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ ثُبُوْتِهِ
“Yang ditunjuk oleh suatu keterangan, bahwa Nabi SAW ada menyabdakannya, yakni adanya lebih berat dan tidak adanya”
Yang dimaksud dengan mardud adalah yang ditolakn yang tidak diterima”. Menurut istilah Muhaditsin mardud berarti:
مَا لَمْ يَدُلُّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ ثُبُوْتِهِ بَلْ يَتَسَاوَى الأَمْرَانِ فِيْهِ.
“Sesuatu hadis yang tidak ditunjuki oleh sesuatu keterangan alas berat adanya dan tiada ditunjuki atas berat ketiadaannya, adanya dengan tidak adanya bersamaan”.
Denga demikian, hadis maqbul adalah hadis yang dapat diterima atau pada dasarnya dapat dijadikan hujjah, yakni dapat dijadikan pedoman dan panduan pengamalan syariat, dapat dijadikan alat istinbath dengan Ushul fiqh. Sedangkan hadis mardud adalah hadis yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah.
Ditinjau dari segi maqbul dan mardud di atas, hadis ahad terbagi kepada: hadis shahih, hadis hasan, hadis dha’if. Hadis hasan dan shahih nilainya maqbul, sedangkan hadis dha’if nilainya mardud.
Adapan beberapa kriteria agar bisa disebut dengan hadis shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah: rawinya bersifat adil, rawinya sempurna ingatannya atau dhabit, sanadnya bersambung, matannya marfu’, tidak ada ‘illat, tidak janggal (syadz). Penjelasan dari kriteria hadis shahih yang dapat dijadikan hujjah diantaranya,
1.      Keadilan rawi
Menurut Ibn al-Sam’ani keadilan harus memenuhi syarat:
a.       Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat.
b.      Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
c.       Tidak melakukan perkara-perkara mubab yang dapat manggugurkan iman dan mengakibatkan penyesalan.
d.      Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertetangga dengan dasar syara’.
2.      Kedhabitan Rawi
Yang dimaksud dengan dhabit ialah orang yang terpelihara, kuat ingatannya, ingatnya lebih banyak dari pada kesalahannya. Dhabit ada dua macam:
a.       Dhabit al-shadri, yakni seorang yang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya faham yang tinggi, sejak dari menerima sampai pada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja dikehendakinya.
b.      Dhabit al-Kitab, yaitu seorang yang dhabit atau cermat memelihara catatan atau buku yang ia terima.
3.      Musnad
Musnad yaitu mustahilnya sanad dan marfu’nya matan. Dan yang dimaksud dengan mustahil atau bersambung atau tidak putusnya sanad, yakni selamat dari keguguran, tiap-tiap rawi saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya (mengajarinya). Matan yang marfu’, artinya idhafah kepada Nabi SAW.
4.      Tanpa ‘Illat
‘Illat hadis ialah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan hadis, misalnya meriwayatkan hadis secara mutashil terhadap hadis mursal atau hadis munqathi’ atau berupa sisipan yang terdapat matan hadis.
5.      Tidak ada kejanggalan
Kejanggalan hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan dengan kelebihan jumlah sanad dalam kedhabitan atau adanya segi-segi tarjih yang lain.[37]
Jadi, hadis shahih adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna kedhabitan, sanadnya muttashil dan tidak cacat, matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal.
Dan hadis hasan hampir sama dengan hadis shahih. Perbedaannya hanya dalam soal kedhabitan rawi. Hadis shahih rawinya tam dhabit, sementara hadis hasan rawinya qalil dhabit. Sedangkan hadis dha’if tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dikarenakan beberapa faktor: dari segi rawi yang tidak dhabit, gugur sanadnya, dan penisbatan matannya tidak pada Nabi Muhammad SAW.
Hadis dha’if bermacam-macam, dan kedha’ifannya bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadis shahih atau hadis hasan, baik mengenai rawi, sanad, atau matan.
1.      Dari segi rawi,terdapat kecacatan para rawi, baik mengenai keadilannya maupun mengenai kedhabitannya, diantaranya:
a.       Dusta, yakni berdusta dalam membuat hadis walaupun hanya sekali dalam seumur hidup. Hadis dha’if yang karena rawinya dusta disebut hadis maudhu’.
b.      Tertuduh dusta, yakni rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tapi belum dapat dibuktikan bahwa ia pernah berdusta dalam membuat hadis. Rawi ini bila benar-benar bertaubat dapat diterima periwayatan hadisnya, hadisnya disebut matruk.
c.       Fasiq, ialah kecenderungan dalam amal, bukan kecurangan dalam i’tikad, juga mereka berbuat maksiat.
d.      Lengah hafalan dan banyak salah, lengah biasanya terjadi dalam penerimaan hadis, sedangkan banyak salah dalam penyampaiannya. Hadis yang rawinya fasiq, lengah dalam hafalan dan banyak salah disebut hadis Munkar.
e.       Banyak waham (purbasangka), yakni salah sangka seolah-olah hadis tersebut tidak cacat baik pada matan maupun pada sanad. Hadis yang demikian disebut hadis Mu’allal.
f.       Menyalahi riwayat orang kepercayaan:
1)      Membuat suatu sisipan, baik pada sanad maupun matan, mungkin perkataan sendiri maupun orang lain. Hadisnya disebut hadi mudraj.
2)      Memutarbalikkan, yakni mendahulukan sesuatu pada satu tempat dan mengakhirinya pada tempat yang lain, adakalanya pada matan, adakalanya pada sanad. Hadisnya disebut hadis Maqlub.
3)      Menukar-nukar rawi. Hadisnya disebut Mudhtharib.
4)      Perubahan syakal huruf yakni tanda hidup dan tanda mati, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadisnya disebut Muharraf.
5)      Perubahan tentang titik kata. Hadisnya disebut Mushahhaf.
g.      Tidak diketahui identitasnya (jahalah), kadang-kadang tidak disebut namanya, atau disebutkan tetapi tidak dijelaskan siapa yang dimaksud nama itu, atau hanya disebut hubungan keluarganya. Hadis ini disebut hadis Muhham.
h.      Penganut bid’ah, yakni ada kecurangan dan I’tikad. Hadis ini disebut dengan hadis Mardud.
i.        Tidak baik hafalannya:
1)      Menyalahi riwayat yang lebih rajah, hadisnya disebut syadz
2)      Buruk hafalan karena lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitabnya. Hadis ini disebut Mukhtalith.[38]
2.      Dari segi sanad
Suatu hadis menjadi dha’if karena sanadnya tidak bersambung-sambung (tidak muttashi), rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru, sehingga terdapat inqitha’(gugur rawi) pada sanad.
a.       Gugur sanad pertama hadis ini disebut Mu’allaq.
b.      Gugur pada sanad terakhir atau rawi pertama (shahabat), hadis ini disebut dengan hadis Mursal.
c.       Gugur dua orang rawi atau lebih berturut-turut, hadisnya disebut Mu’dhal.
d.      Gugur seorang rawi atau lebih tetapi tidak berturut-turut. Hadisnya disebut Munqathi’.[39]
3.      Dari segi matan
Penisbatan matan tidak pada Nabi Muhammad SAW.
a.       Penisbatan matan kepada sahabat, disebut Mauquf.
b.      Penisbatan matan kepada tabi’in, disebut Maqthu’.[40]
F.     Literatur Hadis di Kalangan Sunni (Shahih Bukhari)
1.      Penyusunan dan Metode Penghimpunan Kitab Shahih al-Bukhari
Pada akhir masa tabi’in, atau pertengahan kedua abad ke-2 H, hadis-hadis Nabi mulai dibukukan dan dikodifikasikan. Metode penulisannyapun juga terbatas pada bab-bab yang menyangkut masalah tertentu saja. Kemudian pada tahap selanjutnya, para ulama periode berikutnya menulis hadis-hadis lengkap dari pada cara penulisan sebelumnya. Mereka menuliskan hadis-hadis yang menyangkut masalah-masalah hukum secara luas. Hanya saja tulisan-tulisan mereka juga masih bercampur dengan fatwa-fatwa sahabat, tab’in, dan tabi’ tabi’in.
Pada awal abad ke 3 H, penulisan hadis dilakukan dengan memilah dan menyeleksi secara tersendiri antara hadis yang dipisahkan dari fatwa sahabat dan tabi’in. Metode penulisan pada periode ini berbentuk musnad, yang ditulis berdasarkan nama sahabat kemudian hadis-hadis yang diriwayatkan padanya. Dengan kata lain, kitab musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat. Namun demikian, hadis-hadis yang terdapat dalam kitab musnad inipun juga masih bercampur antara hadis-hadis yang berkualitas shahih, hasan, dan dha’if.[41]
Oleh karena itu, Ishaq bin Rahawaih, salah seorang guru Imam al-Bukhari menyarankan pada al-Bukhari agar menulis kitab yang singkat, yang hanya memuat hadis-hadis shahih saja. Dalam kaitan ini pula, al-Bukhari sendiri menjelaskan, “sarab beliau itu sangat mendorong saya hingga saya menulis kitab al-Jami’ al-shahih”.[42]
Imam al-Bukhori menamakan kitab shahihnya dengan nama al-Jami’ al-Musnad al- Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasul Allah SAW wa Sunanih wa Ayyamih. Perkataan al-Jami’ memberikan pengertian bahwa kitab yang ditulisnya itu menghimpun hadis-hadis hukum, fadail, berita-berita tentang hal-hal yang telah laulu, hal-hal yang akan datang, sopan santun, kehalusan budi dan sebagainya. Kata al-Shahih memberi pengertian bahwa al-Bukhari tidak memasukkan ke dalam kitabnya tersebut hadis-hadis yang berkualitas dha’if. Kata al-Musnad mengandung arti bahwa ia hanya memasukkan hadis-hadis yang bersambung sanadnya melalui para sahabat sampai kepada rasul, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrir).[43]
Imam al-Bukhari tampaknya juga merasa tidak puas dengan persyaratan kebersambungan sanad sebagaimana yang ditentukan oleh pada umumnya para ahli hadis. Ketidakpuasan Imam al-Bukhari dan didorong oleh sikap kehati-hatian beliau mengingat kitabnya kelak akan menjadi rujukan umat yang mendorong beliau untuk membuat persyaratan sendiri dalam menetukan bersambungnya sanad. Yang dikenal dengan istilah syart al-khashshah li al-Bukhari.[44]
Upaya maksimal Imam al-Bukhari dalam menyeleksi hadis-hadis shahih dikaitkan dengan aspek spritual. Dalam konteks ini, al-Farbari, seorang murid Imam al-Bukhari mengatakan, “Aku mendengar Muhammad bin Isma’il al-Bukhari berkata: “Aku menyusun kitab al-Jami’ di Masjid al-Haram, aku tidak menuliskan sebuah hadis padanya serta jelas bagiku keshahihannya. Demikianlah al-Bukhari yang akhirnya berhasil menyelesaikan kitab shahih ini dalam masa 16 tahun, setelah menyeleksinya dari 600.000 hadis yang didapatkan dan diriwayatkan dari guru-gurunya.[45]
2.      Isi dan Sistematika Kitab Shahih al-Bukhari
Menurut Ibnu Shalah, seperti yang dikutip oleh Muhammad Abu Syuhbah, bahwa Kitab Shahih al-Bukhari berisi 7275 hadis dengan pengulangan dan apabila tanpa pengulangan jumlahnya hanya 400 hadis.[46] Kitab Shahih al-Bukhari ini tersusun dari beberapa kitab dan setiap kitab terdiri dari beberapa bab. Secara keseluruhan kitab shahih ini mencakup 97 kitab dan 3450 bab.
Dapat diketahui bahwa kitab shahih al-Bukhari tidak hanya berisi hadis-hadis tentang ibadah dan mu’amalah saja, namun juga berisi tafsir, tauhid, sejarah dan sebagainya. Dari 97 kitab tersebut, ada sekitar 79 kitab yang membahas persoalan fiqih, 4 kitab terkait dengan keimanan (tawhid), 5 kitab mengenai sejarah, 1 kitab tentang ilmu, 2 kitab tentang tafsir al-Qur’an, dan 2 kitab berisi tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hadis. Dalam penyusunan kitab shahih ini al-Bukhari tidak menyelesaikan masalah permasalah. Misalnya masalah tauhid dapat dijumpai di awal dan di akhir kitab setelah diselingi dengan masalah-masalah yang lain.[47] Kitab shahih al-Bukhari ini telah disyarah oleh para ahli, yang jumlahnya sampai ratusan, sebagian di antara kitab syarah tersebut melebihi 25 jilid.[48]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di kalangan Sunni, pengertian hadis itu sendiri ialah segala berita yang berkenan dengan: sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud hal ihwal di sini adalah segala sifat dan keadaan pribadi Nabi SAW.  Dengan demikian, menurut umumnya jumhur ulama hadis, bentuk-bentuk hadist ialah segala berita berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad saw. Ulama hadis melihat Rasulullah sebagai manusia yang sempurna (insan kamil) atau pribadi pilihan Allah yang tidak saja perkataan, perbuatan atau ketetapan beliau dapat dicontoh, aka tetapi seluruh perilaku dan perjalanan hidup beliau adalah pantas untuk dijadikan teladan utama.
Adapun Klasifikasi hadis dikalangan sunni  dilihat dari kualitasnya terbagi menjadi tiga, yaitu hadis sahih, hadis hasan, hadis dha’if, akan tetapi sebuah hadis bisa dikatakan dengan berbagai kualitasnya harus memenuhi beberapa syarat, seperti syarat yang sudah dijelaskan di atas, ada lima syarat sebuah hadis bisa dijadikan hadis sahih. Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan sunni juga berbeda dengan syi’ah dikarenakan dalam periwayatan hadis sunni lebih terbuka hal ini berbeda dengan hadis syi’ah. Sunni menerima semua hadis dengan tingkat kualitas dan kuantitas dalam periwayat hadisnya baik dari segi sanad maupun matannya, dan juga para ulama Sunni itu lebih teliti dalam menyeleksi hadis-hadis dari periwayatannya dan juga sanad maupun matannya agar sebuah hadis bisa dijadikan sebagai hujjah.
Dalam pengumpulan hadis, sunni hanya menerima hadis yang berasal dari Rasulullah. Hal ini berbeda di kalangan syiah yang mana mereka tidak hanya menerima hadis yang berasal dari Nabi saja akan tetapi mereka juga menerima hadis yang berasal dari imam-imam mereka, karena mereka menganggap imam-imam mereka ke-ma’shum-annya dapat dsejajarkan dengan Nabi saw.
Di kalangan Sunni keadilan Seluruh sahabat, kecil maupn besar, tua maupun muda, yang terlibat peperangan antara Ali dengan Mu’awiyah maupun tidak, semuanya adil. Dengan demikian menurut ulama ahli sunnah atas dasar baik sangka, bukti dari sikap dan perilaku mereka, baik dari sisi kepatuhan dalam menjalankan perintah Nabi SAW sesudah wafatnya, kegigihan dalam melakukan ekspansi wilayah Islam, kesungguhan dalam menyampaikan Al-Qur’an dan hadis, memberikan petunjuk kepada manusia, maupun dari sisi karakter pribadi mereka berupa keberanian dalam mengambil kebijaksanaan, kedermawanan, kesediaan untuk mendahulukan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan pribadi, dan lain sebagainya dari akhlak-akhlak mereka yang terpuji yang tidak pernah dimiliki oleh umat-umat sebelumnya.
Kehujjahan hadis di kalangan ahli hadis sunni, kehujjahan hadis menurut para ahli, misalnya: contoh dari sebuah hadis, “Sesungguhnya mayat itu disiksa sebab ditangisi oleh keluarganya” (H.R. Bukhori). Hadis ini sahih dari segi sanadnya, sebagaimana tercatat dalam kitab Shahih Bukhari. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kandungan maknanya, hadis tersebut bertentangan dengan beberapa ayat al-Qur’an. Pendapat ulama lain yang menolak kesahihan hadis di atas seperti halnya pendapat Imam Ath-Thabari, “Tidak dibalas seseorang yang beramal, melainkan dengan amalnya, baik ataupun jahat. Tidak disiksa, melainkan orang yang mengerjakan dosa, dan tidak diberi ganjaran orang yang tidak mengerjakan kebaikan.
Dengan demikan terdapat beberapa pendapat para ahli yang menjelaskan hadis yang di atas menyatakan bahwa mayat disiksa karena tangisan keluarganya. Bila pendapat-pendapat kita amati, terlihat bahwa amal perbuatan itu sama sekali tidak akan berakibat bertambahnya dosa atau ganjaran terhadap orang lain akan tetapi setiap manusia menanggung amal perbuatan dan dosanya masing-masing. Dapat disimpulkan, kehujjahan hadis tersebut tertolak sebagai hadis sahih.
Adapan beberapa kriteria agar bisa disebut dengan hadis shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah: rawinya bersifat adil, rawinya sempurna ingatannya atau dhabit, sanadnya bersambung, matannya marfu’, tidak ada ‘illat, tidak janggal (syadz). Sedangkan hadis dha’if tidak dapat dijadikan hujjah.
Literatur hadis Sunni adalah hadis shahih Bukhori dikarenakan Imam al-Bukhari dalam penulisan hadisnya hanya memilih hadis yang benar-benar shahih, menurut kriteria keshahihan hadis. Kitab Shahih al-Bukhari ini tersusun dari beberapa kitab dan setiap kitab terdiri dari beberapa bab. Secara keseluruhan kitab shahih ini mencakup 97 kitab dan 3450 bab.
Dapat diketahui bahwa kitab shahih al-Bukhari tidak hanya berisi hadis-hadis tentang ibadah dan mu’amalah saja, namun juga berisi tafsir, tauhid, sejarah dan sebagainya. Dari 97 kitab tersebut, ada sekitar 79 kitab yang membahas persoalan fiqih, 4 kitab terkait dengan keimanan (tawhid), 5 kitab mengenai sejarah, 1 kitab tentang ilmu, 2 kitab tentang tafsir al-Qur’an, dan 2 kitab berisi tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hadis. Dalam penyusunan kitab shahih ini al-Bukhari tidak menyelesaikan masalah permasalah. Misalnya masalah tauhid dapat dijumpai di awal dan di akhir kitab setelah diselingi dengan masalah-masalah yang lain. Kitab shahih al-Bukhari ini telah disyarah oleh para ahli, yang jumlahnya sampai ratusan, sebagian di antara kitab syarah tersebut melebihi 25 jilid.





DAFTAR PUSTAKA
‘Itr, Nuruddin. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits. Damaskus: Dar al-Fikr, 1988.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Al-Siba’i, Musthafa. Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam. Terj. Nurcholish Majid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Ash-Shiddeqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: CV Mulia, 1967.
As-Salus, Ali Ahmad. Ensiklopedia Sunnah-Syiah. Terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001
Dailamy, M. Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan. Yogyakarta: STAIN Purwekerto Press, 2010.
Khaeruman, Badri. Ulum Al-Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Shalih, Subhi. ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1988.
Soetari, Endang. Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka, 2008.
Sumbulah, Umi. Studi 9 Kitab Hadis Sunni. Malang: Uin-Maliki Press, 2013.
Sumbulah,Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2010
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003.
Suryadilaga, Alfatih. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras, 2010.
Syuhbah, Muhammad Abu. al-Kutub al-Shihhah. Al-Azhar: Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah, 1969.






[1]Endang Soetari, Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2008), hlm. 4. 
[2]Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 6.
[3]HR. Bukhari dan Muslim.
[4]HR. Ahmad dan Ibnu Majah.
[5]Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 88.
[6]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 89.
[7]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm. 90.
[8]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm. 90. 
[9]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 112.  
[10]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 113.
[11]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 113. 
[12]Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 323.
[13]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 114.
[14]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 115.
[15]Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 95. 
[16]Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 96. 
[17]Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 96.
[18]Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1988), hlm. 145.
[19]Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 119-123.
[20]Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, hlm. 156.  
[21]Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 100.
[22]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 129.
[23]Ali Ahmad As-Salus, Ensiklopedia Sunnah-Syiah, Terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 29.
[24]Ali Ahmad As-Salus, Ensiklopedia Sunnah-Syiah, Terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, hlm. 30
[25]Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 88.
[26]Umi Sumbulah, Studi 9 Kitab Hadis Sunni, (Malang: UIN-Maliki Press, 2013), hlm. 24.
[27]Umi Sumbulah, Studi 9 Kitab Hadis Sunni,  hlm. 25.
[28]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm. 165.
[29]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm. 166.
[30]Fathu Al-Mughits, Juz III, hlm. 101.
[31]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm. 168-169.
[32]Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, hlm. 138.
[33]Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, hlm. 139.
[34]Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, hlm. 139-141. 
[35]Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, hlm. 144.
[36]Hasbi Ash-Shiddeqy,  Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: CV Mulia, 1967), hlm. 105-130.
[37]Endang Soetari, Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah, hlm. 132-134.
[38] Endang Soetari, Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah, hlm. 135-140.
[39]Endang Soetari, Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah, hlm.140-141.
[40]Endang Soetari, Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah, hlm. 142.
[41]Umi Sumbullah, Sudi 9 Kitab Hadis Sunni, hlm. 23.
[42]Rifa’at Fauzi ‘Abdul Mutalib, Kutub al-Sunnah Dirasah Tauthiqiyyah, Juz I (cet.I, ttp: Maktabah al-Khaniji, 1979), hlm. 64.
[43]Muhammad Mustafa ‘Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Indianapolis: American Trust Publication, 1977), hlm. 89.
[44]Rif’at Fauzi Abd. Al-Muthalib, Kutub al-Sunnan Dirasat Tuatsiqiyah, Juz I, (Cet. I, Kairo: Maktabah al-Khanji, 1979), hlm.  73.
[45]Muhammad  Abu Syuhbah, al-Kutub al-Shihhah, (Al-Azhar: Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah, 1969), hlm. 57.
[46]Muhammad  Abu Syuhbah, al-Kutub al-Shihhah, hlm. 73.
[47]Umi Sumbullah, Studi 9 Kitab Hadis Sunni,  hlm. 30.
[48]Muhammad Mustafa ‘Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, hlm. 92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Poligami dalam Islam

POLIGAMI DALAM ISLAM PERSPEKTIF KESEHATAN REPRODUKSI DAN MASLAHAH MURSALAH A.     Latar Belakang Poligami merupakan masalah yang sering...